Anda di halaman 1dari 35

PROSOSAL PENELITIAN

KUALITAS FISIK DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DENDENG DAGING SAPI


DENGAN PENAMBAHAN BUAH APEL (Malus sylvestris) SEBAGAI BAHAN CURING

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Hasil Ternal


Dosen Pembimbing: Dr. Herly Evanuarini S. Pt., MP

Disusun Oleh:

1. Andre Aldy S. 145050101111247


2. M. Syaifudin Zuhri 145050101111310
3. Adi Nurbiantoro M. 145050107111001
4. Fauzia Maurentia 145050107111002
5. Elizabeth Stella L. 145050107111005

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya kepada kita
semua sehingga kami dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul KUALITAS
FISIK DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DENDENG DAGING SAPI DENGAN
PENAMBAHAN BUAH APEL (Malus sylvestris) SEBAGAI BAHAN CURING.
Laporan proposal skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi pada
program Strata-1 di Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari dalam penyusunan proposal skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Herly Evanuarini selaku dosen pembimbing.
Kami menyadari proposal skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga akhirnya
laporan proposal skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan
penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut. Amiin.

Malang, 20 Oktober 2016

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2. Tujuan Penelitian.....................................................................................................2
1.3. Kegunaan Penelitian................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daging......................................................................................................................3
2.2. Pengolahan Daging..................................................................................................5
2.3. Komposisi Daging...................................................................................................7
2.4. Curing......................................................................................................................8
2.5. Apel dan Aktivitas Antioksidan...............................................................................13
2.6. Kualitas Fisikokimia................................................................................................14
BAB III MATERI DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu.....................................................................................................19
3.2. Bahan.......................................................................................................................19
3.3. Alat...........................................................................................................................19
3.4. Rancangan dan Analisis Data...................................................................................20
3.5. Prosedur...................................................................................................................21
3.6. Analisis Sifat Fisik...................................................................................................21
3.7. Kerangka Penelitian.................................................................................................24
3.8. Hipotesis..................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................25

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Daging Sapi Segar..................................................................................4


Tabel 2. Komposisi Dendeng Sapi Giling..............................................................................6
Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Daging Dendeng.......................................................8

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan konsumsi daging di Indonesia dari tahun ke tahun semakin


meningkat. Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan rata-rata kualitas hidup
masyarakat serta semakin tingginya kesadaran dari masyarakat. Menurut Veerman dkk (2013)
daging merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai gizi tinggi, karena selain
mengandung protein yang berkualitas tinggi juga mengandung vitamin B komplek dan
beberapa mineral. Kandungan air dan protein yang tinggi pada daging menyebabkan daging
mudah mengalami kerusakan sehingga dapat menurunkan daya gunanya. Mengatasi hal
tersebut, maka dilakukan suatu usaha pengawetan untuk mencegah atau menghambat
terjadinya kerusakan bahan makanan.
Ternak sapi merupakan salah satu ternak penghasil daging yang berpotensi untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, maka beternak sapi merupakan usaha yang
berpeluang besar karena cepat berkembang dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya.
Daging sapi merupakan produk hasil peternakan yang bersifat perishable food atau mudah
rusak, oleh karena itu untuk memperpanjang masa simpan perlu dilakukannya suatu
pengolahan.
Salah satu bentuk pengawetan daging tradisional di Indonesia adalah dendeng, yang
diproduksi secara meluas serta dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat. Dendeng sangat
populer di Indonesia karena merupakan makanan setengah basah (intermediate moisture
food). Berbagai jenis daging dapat diolah menjadi dendeng, namun demikian hanya dendeng
daging sapi yang beredar luas dipasaran. (Evanuarini dan Huda, 2011).
Menurut Legowo dkk (2012) dendeng mempunyai cita rasa spesifik, karena daging
mengalami proses kyuring dan pengeringan, serta perlakuan penggorengan sesaat sebelum
dendeng dikonsumsi. Sebagai produk awetan, dendeng dapat disimpan selama beberapa
bulan. Salah satu masalah yang sering timbul pada dendeng yang disimpan adalah ketengikan
sebagai akibat oksidasi lemak. Pencegahan ketengikan antara lain dapat dilakukan dengan
penggunaan bahan antioksidan. Antioksidan selain dapat dibuat secara sintetis juga secara
alami banyak terdapat pada berbagai bahan pertanian.
Pencegahan reaksi oksidasi dapat dilakukan dengan penambahan bahan yang
mengandung antioksidan. Nitrit merupakan bahan tambahan pangan yang biasa digunakan
1
pada skala komersil sebagai antioksidan disamping mempertahankan warna merah daging
melalui mekanisme fiksasi mioglobin. Namun penggunaan nitrit yang berlebihan memiliki
dampak yang tidak baik bagi kesehatan seperti keracunan, kanker, bahkan kematian. Residu
nitrit yang terdapat dalam daging curing dapat bereaksi dengan amina sekunder atau tersier
protein membentuk senyawa yang bersifat karsinogenik yaitu nitrosamin sebagai pemicu
kanker.
Ampas kulit apel merupakan hasil samping dari proses pembuatan sari apel yang
jumlahnya melimpah dan tidak termanfaatkan. Pada ampas tersebut dimungkinkan masih
terdapat kandungan senyawa fenol yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada
edible film. Senyawa fenol diketahui memiliki aktivitas antioksidan (Huri dan Nisa, 2014).
Apel mengandung kuersetin zat yang dibutuhkan guna meningkatkan kadar antioksidan guna
mencegah berbagai macam penyakit. Kuersetin merupakan golongan senyawa flavonol yang
paling banyak terdapat di alam dari pada jenis flavonoid yang lain. Kuersetin terdapat di buah
apel yang berfungsi sebagai antioksidan dan anti aging (Pertiwi dkk, 2016).
Hal ini dapat menjadikan apel sangat berpeluang untuk dijadikan bahan yang
digunakan dalam proses pembuatan dendeng sebagai antioksidan. Seperti diketahui apel telah
banyak dijadikan produk makanan ringan dan minuman, akan tetapi dalam penggunaan
sebagai curing daging sangatlah jarang dan terbatas, sehingga perlu diketahui jumlah
penambahan yang sesuai terhadap produk (dalam hal ini dendeng). Penambahan apel pada
proses curing diharapkan dapat meningkatkan kualitas fisik dan aktivitas antioksidan serta
mencegah kerusakan pada produk dendeng yang dihasilkan.

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perlakuan curing yang berbeda
yaitu dengan penambahan apel terhadap kualitas fisik dan aktivitas antioksidan pada dendeng
daging sapi.
1.3. Kegunaan Penelitiaan
1.3.1. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan industri pengolahan
hasil ternak, khususnya pembuatan dendeng.
1.3.2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan tentang
penggunaan bahan antioksidan alami.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1. Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan 18
gangguan kesehatan bagi yang memakannya . Menurut Lawrie (2003) mendefinisikan daging
sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan
memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan
disamping urat daging (Ridwan, 2011).
Daging merupakan salah satu hasil ternak sumber protein hewani yang bermutu tinggi
dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan asam-asam amino
esensial tubuh (Susilo, 2007).
Daging didefinisikan sebagai 'bagian yang dapat dimakan dan merupakan bagian dari otot
skeletal dari hewan yang sehat di saat pembantaian . Komposisi kimia daging adalah terdiri
dari empat komponen utama termasuk air, protein, lipid, karbohidrat dan banyak minor
lainnya komponen seperti vitamin, enzim, pigmen dan senyawa flavor . Itu proporsi relatif
dari semua konstituen ini memberikan daging struktur tertentu, tekstur, rasa, warna dan nilai
gizi (Oaloye, 2011).
Daging merupakan potongan dan bentukan terutama terdiri dari otot utuh atau bagian
otot yang terikat bersama untuk membentuk satu bagian (Reddy et al, 2015).
Daging yang berkualitas tinggi adalah daging yang berkembang penuh dan baik,
konsistensi kenyal, tekstur halus, warna terang dan marbling yang cukup. (Susilo, 2007)
Warna daging adalah kesan total yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi ketika memandang. Warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor
yang dideteksi oleh mata. Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan,
spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen.
Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi pigmen
daging mioglobin. Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta
fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna
daging (Ridwan, 2011).

2.1.1. Daging Sapi


Daging sapi adalah bagian dari skeletal karkas sapi yang aman, layak dan
lazim dikonsumsi manusia (Ridwan, 2011).

3
Protein dari daging sapi terdiri asam amino esensial seperti leusin,
isoleusin, lisin, metionin, sistin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, arginin dan
histidin; ini yang dua terakhir dianggap penting untuk bayi. Asam Amino penting
untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh pada manusia (Oaloye, 2011).
Syarat mutu daging sapi untuk jumlah mikroba maksimum adalah 5 x 10
kuman/gram (BSN, 1995), sedangkan tingkat maksimum total mikroba yang dapat
diterima pada daging yang menentukan akhir dari masa simpannya (Oaloye, 2011).
Daging sapi memiliki rataan nilai pH yang lebih rendah yaitu 5,70
dibandingkan dengan daging kerbau dan domba. Daging sapi mempunyai
perototan yang besar dan teksturnya lebih kasar dibandingkan dengan daging
domba. Daya mengikat air daging sapi lebih tinggi dari pada daya mengikat air
daging kerbau dan domba (Sarjito dkk, 2009).
Daging sapi mengandung tiga jenis air; bebas, bergerak, dan air terikat.
Sejak air terikat terjebak dalam protein dan air bergerak melekat ke protein dalam
daging sapi, air bebas biasanya akan hilang selama memasak (Vasques et al, 2011).

Tabel 1. Komposisi Daging Sapi Segar


Daging Sapi
Komposisi (dalam 100g daging)
A B C
Air (%) 66 70 75
Protein (%) 8.8 19 3.5
Lemak (%) 14 5 3.5
Ca (mg) 11 - -
P (mg) 170 - -
Fe (mg) 2.8 - -
Energi (Kal/100g) 207 - -
Sumber : Depkes (1992), Anonim (2008) dan Lawrie (1995)

2.2. Pengolahan Daging


2.2.1. Dendeng Sayat
Metode pembuatan dendeng dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu metode
sayat (dendeng sayat) dan metode giling (dendeng giling) (Almeida et al., 2006).
Dendeng sayat mempunyai rasa yang lebih lezat dibandingkan dendeng giling,
sedang kerugiannya adalah harus menggunakan daging yang lebih bagus, utuh,
agar bisa diiris, sehingga harganya lebih mahal, sedang dendeng giling bisa

4
menggunakan potongan-potongan daging yang kecil atau tidak beraturan kemudian
bisa digiling (Obeng et al., 2013).
Salah satu bentuk produk olahan daging agar awet dan tahan lama adalah
dendeng, dimana pengolahannya melibatkan proses curing dan pengeringan.
Daging yang biasanya diolah menjadi produk dendeng adalah daging sapi akan
tetapi daging ternak lain seperti ayam juga dapat diolah menjadi dendeng
(Indriastuti dkk, 2011).
Metode pembuatan dendeng sayat menghasilkan dendeng dengan
kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein pada
pembuatan dendeng giling. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kandungan
bahan lain (seluruh bumbu yang digunakan) terikut bersama dengan dendeng
giling dibandingkan dengan dendeng sayat akibat dari perbedaan cara
pengolahannya yang terlihat dari perbedaan rendemen dendeng yang
dihasilkan. Selain itu kadar air dendeng giling juga lebih besar dibandingkan
dengan dendeng sayat (Husna dkk, 2014).

2.2.2 Daging Giling


Salah satu cara efektif dalam pengawetan daging adalah dengan mengolah
daging tersebut menjadi dendeng. Dendeng merupakan kombinasi proses curing
dan pengeringan. Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak. Dendeng
yang umum dijumpai dipasaran adalah dendeng sapi, namun belakangan ini mulai
dikenal dendeng ayam, ikan, udang, bekicot, dan bahkan keong emas (Purnamasari
dkk, 2013).
Dendeng giling adalah daging yang digiling berupa lembaran tipis dan diberi
bumbu, kemudian dikeringkan. Pembuatan dendeng giling tidak memerlukan
daging yang berkualitas baik (Sebranek et al., 2013).
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan cara pengolahan daging menjadi
dendeng, salah satunya dendeng daging sapi giling yang banyak dijual di
pasaran. Dendeng daging sapi giling merupakan jenis bahan pangan setengah
basah. Pembuatan dendeng sapi giling seringkali dilakukan dengan penanganan
yang kurang higienis sehingga memudahkan terjadinya kerusakan yang
ditandai dengan adanya jamur pada permukaan dendeng. Hal ini berbahaya
bagi konsumen karena terdapat jamur yang mengandung mikotoksin dan sulit
hilang melalui pengolahan. Untuk menghambat terjadinya pertumbuhan jamur,
5
berbagai cara dilakukan dengan tujuan memperpanjang umur simpan dendeng
sapi tersebut, baik perlakuan fisik maupun perlakuan kimiawi (dengan
penambahan bahan pengawet). Pemanfaatan bahan alami sebagai antijamur
untuk dendeng patut diteliti sebab selain dapat mencegah tumbuhnya jamur
juga dapat mengurangi efek negatif pada dendeng maupun orang yang
mengkonsumsi dendeng tersebut (Rofiatiningrum dkk, 2015).

Tabel 2. Komposisi Dendeng Giling


Komponen Kadar (%)
Air (%) 25
Protein (%) 13,8
Lemak (%) 9
Karbohidrat 52
Ca (mg/ 100 gram) 30
P (mg/ 100 gram) 270
Fe (mg/ 100 gram) 5,1

Sumber : Winarno, 1993.

2.3. Komposisi Dendeng


2.3.1 Bumbu dan Fungsi Masing-Masing Bahan
Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Badan Standardisasi Nasional
(BSN) persyaratan mikrobiologis dalam daging sapi yang beredar di Indonesia adalah
total plate count (TPC) 106 CFU/g, bakteri coliform 102 CFU/g, bakteri S. Aureus 102
CFU/g, bakteri Salmonella sp negatif per 25 g, dan bakteri E. coli 10 CFU/g (SNI
3932, 2008). Apabila kandungan bakteri dalam daging sapi melebihi standard yang telah
ditentukan, maka daging sapi tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan pangan,
karena kemungkinan menjadi mudah rusak/busuk. Kemungkinan pula dapat
menimbulkan penyakit apabila daging sapi tersebut mengandung bakteri patogen diolah
kurang sempurna dan selanjutnya dikonsumsi (Nurwantoro dkk, 2012).

6
Bawang putih sering dimanfaatkan sebagai bumbu dalam pengolahan daging sapi
dan kemungkinan dapat dimanfaatkan pula sebagai bahan pengawet tunggal (anti
bakteri). Bawang putih mengandung senyawa organo-sulfur berupa alliin dan allicin,
apabila bawang putih diremas, maka alliin akan bereaksi dengan enzim alliinase,
selanjutnya berubah menjadi allicin dalam beberapa detik. Allicin merupakan senyawa
derivat sulfur, memberikan aroma (bau) yang khas pada bawang putih, dan bermanfaat
bagi tanaman bawang putih melawan mikroba dan serangga. Bawang putih dapat
dimanfaatkan sebagai anti bakteri yaitu dapat menghambat pertumbuhan E. coli,
Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Proteus, Bacillus, Clostridium,
dan Heliobacter pylory (Obeng et al., 2013).
Salah satu bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng adalah
gula. Gula berfungsi sebagai pemberi cita rasa dan bahan pengawet. Jenis gula
yang digunakan adalah gula pasir dan gula merah. Perbedaan jenis gula yang
digunakan diduga akan mempengaruhi penampakan dendeng(Husna dkk, 2014).
Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan penambahan garam, gula
dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan garam, untuk
pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping ebagai
pengawet, garam juga berfungsi sebagai penambah rasa. Penambahan gula juga
dimaksudkan sebagai penambahan rasa pada bahan yang diolah (Petroman et al, 2012).

Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi (SNI 01-2908-1992)


Persyaratan
Jenis Uji Mutu I Mutu II

Warna dan bau Khas dendeng Khas dendeng


Kadar air (berat/berat basah) Maks 12% Maks 12%

Kadar Protein (Berat/bahan kering) Min 30% Min 25%


Abu (Berat/bahan kering) Maks 1% Maks 1%

Benda asing (Berat/bahan kering) Maks 1% Maks 1%


Kapang dan serangga Tidak Nampak Tidak Nampak
Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1992).

7
2.4. Curing
Curing merupakan teknik pengawetan daging dengan menggunakan garam dalam
konsentrasi tertentu. Seiring dengan berkembangnya rantai dingin, metode curing dinilai
tidak efisien namun curing tetap dilakukan dengan tujuan membentuk sifat sensoris daging.
Curing bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging,menghambat aktivitas mikrobia
terutama Clostridium botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah
memperbaiki warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri
mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi
dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk
warna merah menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik
kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging.
Contoh produk olahan daging curing yang banyak di pasaran seperti adalah bacon (daging
babi, sapi, kalkun), sosis (hotdog, franks, cocktaill), cornet dan dendeng (Anonym, 2013).
Mekanisme curing adalah nitrit bereaksi dengan gugus sulfhidril dan membentuk
senyawa yang tidak dapat dimetabolisasi oleh mikrobia dalam kondisi anaerob. Pada daging,
nitrit membentuk nitroksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin
yang berwarna merah cerah (Ho,Huang, 2004)
Pembentukan nitrooksida dapat terlalu banyak jika hanya menggunakan garam
nitrit, oleh sebab itu biasanya digunakan campuran garam nitrat dan garam nitrit. Garam
nitrat akan tereduksi oleh bakteri nitrat menghasilkan nitrit. Peranan garam nitrat sendiri
sebagai bahan pengawet masih dipertanyakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
didapat bahwa nitrat tidak dapat mencegah kebusukan, bahkan akan mempercepat kebusukan
dalam keadaan aerobic (Varnam, 2012).
Curing memiliki tiga tujuan utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan
warna (color). Curing daging membutuhkan garam yang merupakan bahan pengawet pangan
pertama digunakan manusia. Garam telah menjadi bahan penting dalam pengawetan produk-
produk peternakan dan perikanan. Pada tingkat tertentu, garam mencegah pertumbuhan
beberapa tipe bakteri yang bertanggung jawab dalam pembusukan daging. Garam dapat
mencegah pertumbuhan bakteri, baik yang disebabkan oleh efek penghambat langsung dari
bakteri maupun oleh efek pengeringan yang dimiliki bakteri dalam daging. Proses curing
membuat aroma daging menjadi agak khas, teksturnya keras, dan warnanya merah cerah.
Sementara itu, pada kornet yang dihasilkan memiliki aroma khas, tekstur keras, dan warna
cerah. Secara umum (Purnomo, 2012).

8
2.4.1. Bahan-bahan Curing
Bahan yang digunakan pada teknologi curing adalah sebagai berikut (Hidayat, 2012) :

2.4.1.1. Nitrat / Nitrit

Nitrat/nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging, antimikrobial


terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Nitrit dan nitrat
merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging
pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan
clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga
menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan
bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang
menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu
nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin
(NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi
secara komersial dengan nama sodium nitrite.

Nitrat merupakan sumber nitrit. Nitrat akan diubah menjadi nitrit


kemudian diubah menjadi NO melalui reduksi. Reduksi terjaid karena adanya
aktivitas mikrobia. Di Amerika Serikat, penggunaan sodium nitrite dalam
proses curing daging telah diatur secara legal oleh sebuah regulasi yang
dikembangkan Departemen Pertanian AS (USDA). Pembatasan dalam
penggunaan nitrit sangat diperlukan karena nitrit akan bersifat racun bila
dikonsumsi dalam dosis yang berlebihan.

Pada curing biasanya dikombinasikan antara nitrit dan nitrat. Apabila


hanya garam nitrit yang ditambahkan maka waktu yang diperlukan untuk
berubah menjadi NO cepat, apabila berlebih akan langsung bereaksi dengan N
atau gugus amin sekunder membentuk nitrosamine yang karsinogenik. Jika
hanya garam nitrit yang ditambahkan maka reksinya lambat dan tidak efektif
karena memerlukan waktu utuk merubah nitrat menjadi NO.Jadi keduanya
dikombinasikan agar saling melengkapi. Dosis masing-masing menjadi lebih
rendah.

2.4.1.2. Garam

9
Garam berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan
antimikrobial. Garam merupakan bahan utama dalam curing. Penambahan
garam pada konsentrasi tertentu mampu menghambat pertumbuhan mikrobia
karena garam berperan dalam dehidrasi sehingga merubah tekanan osmosis.
Selain itu, garam berfungsi sebagai flavour modifier. Apabilla hanya
ditambahnkan garam saja, maka hasilnya tidak baik karena menyebabkan
produk menjadi kasar, asin, gelap (warna tidak menarik), kenampakan dan
flavor tidak disenangi konsumen. Oleh karena itu harus dikombinasikan
dengan senyawa lain seperti gula, nitrat dan atau nitrit.

2.4.1.3. Gula

Gula berfungsi untuk memperbaiki flavor, mengurangi rasa asin akibat


penambahan garam,mengurangi kekerasan akibat adanya penambahan garam
(pelunak), mempengaruhi warna melalui karamelisasi. Waktu curing yang
lama akan memberi kesempatan bakteri untuk memanfaatkan gula sebagai
sumber nutrient. Gula efektif sebagai pemgawet karena menghambat
pertumbuhan bakteri.

2.4.1.4. Angkak

Pertama kali angkak dikenal oleh masyarakat Cina sebagai hung-


chu atau hong-qu. Angkak merupakan yang sejenis dengan pangan tape atau
tempe di Indonesia. Masyarakat Cina memenfaatkan angkak senagai bahan
tambahan makanan maupun minuman sebagai bahan pengobatan
tradisional. Angkak berasal dari hasil fermentasi beras dengan menggunakan
kapang merah. Nama lain dari angkak adalah Monascus Powder karena terkait
dengan genus kapang yang paling umum digunakan yaitu
kapang Monascus spp. Sedangkan powder merujuk pada produk angkak yang
berada di pasaran. Terdapat dua spesies kapang Monascus yang umum dipakai
pada proses fermentasi untuk menghasilkan angkak, yaituMonascus
purpureus dan Monascus ruber.

Sementara beras yang digunakan sebagai bahan baku adalah beras


putih berkualitas baik, Cina memanfaatkan angkak sebagai bahan tambahan

10
dalam pengolahan ikan dan daging. Angkak di sini berfungsi sebagai pewarna,
pembangkit rasa, dan pengawet. Angkak juga sedang dikaji di Jerman sebagai
pengganti nitrit atau nitrat yang umum digunakan pada proses kuring. Kuring
merupakan proses pengawetan daging yang berfungsi sebagai pewarna merah
pada daging.

2.4.1.5. Bumbu - Bumbu

Bumbu-bumbu adalah penting untuk meningkatkan flavor sehingga


meningkatkan kesukaan pada konsumen. Selain itu bumbu juga bersifat
antimikrobial dan antioksidan sehingga berperan mengawetkan. Fosfat,
berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk dan mengurangi
pengkerutan daging selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi
produk. Beberapa olahan tidak menggunakan fosfat, jadi bersifat pilihan saja.
Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa
berdampak negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu
produk harus tidak lebih dari 200 ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm.

Bahan-bahan pengasinan dapat dimasukkan ke dalam daging dengan


tiga alternatif lain, yaitu dengan suntikan jarum, suntikan arteri, dan pompa
setik. Di negara-negara maju, proses pengasinan sangat mudah dilakukan oleh
siapa saja karena semua bahan, alat dan tempat untuk proses pengasinan
tersebut dapat diperoleh dalam satu produk yang terjual secara komersial.

2.4.1.6. Sodium Erythorbate

Asam erythorbate dan asam askorbat mengembangkan dan


menstabilkan daging curing dengan mereduksi metmioglobin menjadi
mioglobin. Kelebihan asam askorbat adalah sebagai antioksidan terhadap
kepudaran warna, menstabilkan warna dan flavor.

2.4.1.7. Air

Air selain sebagai carrier, juga penting untuk mengatur juiceness dari
produk yang dihasilkan.

Proses curing membutuhkan garam dalam konsentrasi tertentu untuk


menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah garam yang ditambahkan

11
dalam daging sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti temperatur
dan tingkat keasaman (pH). Kondisi tersebut akan mempengaruhi keefektifan
fungsi garam sehingga tidak ada batasan pasti yang menentukan konsentrasi
garam dalam proses curing (Heni, 2007).

Secara garis besar, curing dapat dilakukan dengan cara kering dan
basah. Cara kering adalah dengan mengolesi/menaburkan campuran bahan
curing secara merata ke seluruh bagian daging, dilakukan proses yang bersifat
tradisional karena merupakan metode pengasinan yang telah berusia tua
Curing kering ini bahan-bahannya adalah 26% NaCl, 5% KNO3, 0,1%
NaNO2 dan 0,5 - % sukrosa. Curing secara basah adalah dengan merendam
daging ke dalam larutan yang mengandung bahan-bahan curing, lazim
dinamakan dengan pengasinan tangki. Caranya adalah merendamkan daging
ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1. Larutan garam yang dibuat
adalah 26% NaCl, 2 4% KNO3, 0,1% NaNO2. Perendaman dilakukan
selama 10 20 hari. Selain direndam, cara basah ini bisa dilakukan dengan
injeksi larutan curing (Heni, 2007).

Curing dapat dilakukan, baik pada daging segar (cured-raw meats)


maupun daging olahan (cured-cooked meats). Cured-raw meats tidak
mengalami proses pemanasan selama pengolahannya, sedangkan cured-
cooked meat mengalami proses pemanasan, seperti pasteurisasi atau
sterilisasi. Metode curing dapat dikelompokkan sebagai berikut (Hendry,
2011) :

2.5. Apel dan Aktivitas Antioksidan


Apel merupakan salah satu buah yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Berdasarkan
Biro Pusat Statistik, rata-rata konsumsi apel penduduk Indonesia adalah 0,6 kg perkapita
pertahun, dan mengalami peningkatan rata-rata 0,02% tiap tahun dari tahun 1985 sampai
tahun 1987. Selain itu, apel juga mengandung quercetin dalam jumlah tinggi. (Mullen, 2013)
Diketahui ada pengaruh waktu inkubasi dan konsentrasi ekstrak apel terhadap aktivitas
antioksidan. Semakin lama waktu inkubasi, maka semakin kecil aktivitas antioksidan ekstrak
apel. Dan semakin besar konsentrasi ekstrak apel, maka semakin besar pula aktivitas
antioksidannya. (Ikizler, 2007)

12
Terdapat pengaruh yang signifikan antara metode pengolahan pada masing-masing
varietas apel terhadap kadar quercetin apel segar, jus apel, dan smoothie apel. Secara umum,
kadar quercetin pada kedua jenis metode pengolahan yang dilakukan berbeda bermakna.
Jenis metode pengolahan yang memiliki kadar quercetin lebih tinggi adalah metode juicing,
sedangkan metode blending merupakan yang memiliki kadar quercetin paling rendah. Tetapi
bila dibandingkan dengan bentuk segar, maka bentuk segar mengandung quercetin dalam
jumlah yang paling tinggi. Salah satu flavonoid yang paling penting adalah quercetin.
Quercetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit degeneratif dengan
cara mencegah terjadinya proses peroksidasi lemak. Quercetin memperlihatkan kemampuan
mencegah proses oksidasi LDL dengan cara menangkap radikal bebas dan menghelat ion
logam transisi ( Handayani, 2011).
Untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh akan flavonoid quercetin yang berperan
sebagai antioksidan, maka disarankan untuk mengkonsumsi buah apel segar sebanyak 100
250 gram/hari, atau mengonsumsi jus apel sebanyak 200500 ml/hari atau mengonsumsi
smoothie apel sebanyak 300900 ml/hari (Anggun, 2014).

2.6. Kualitas Fisikokimia


Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling disukai oleh
konsumen karena lezat rasanya. Secara umum, komposisi daging terdiri atas air, lemak,
protein, mineral dan karbohidrat. Kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk
olahannya menjadikan daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Sifat fisik memegang peranan penting dalam proses pengolahan
dikarenakan sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan (Prasetyo
dkk, 2013).
Daya mengikat air sangat dipengaruhi oleh pH daging. Nilai daya mengikat air
meningkat seiring dengan penurunan nilai pH daging. apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih
rendah dari titik isoelektrik daging (5,0-5,1) maka nilai daya mengikat air daging akan tinggi
atau nilai mgH2O rendah (Komariah dkk, 2009).
Fisikokimia merupakan suatu parameter dalam menentukan suatu qualitas daging.
Fisikokimia meliputi penilaian intrinsic dan ekstrinsik. Penilaian ekstrinsik meliputi Nilai PH,
daya ikat air, activity water (Aw). Sedangkan ekstrinsik meliputi penilaian warna, tekstur dan
flavor (Akhtar dkk, 2013).

13
2.6.1. pH
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6366-2000 merekomendasikan batas
maksimal pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu
daging. pH rendah (5,1-6,1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka
sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah muda cerah sehingga disukai
oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai stabilitas yang
lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. pH tinggi (6,2-9,0) menyebabkan
daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan warna merah ungu tua, rasa
kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan
mikroorganisme (Afrila1 dan Jaya, 2012).
Peningkatan waktu penyimpanan menyebabkan kenaikan nilai pH daging.
Selama penyimpanan 2,5 dan 5 jam pH mengalami peningkatan karena pertumbuhan
bakteri mulai menuju ke fase logaritmik. Nilai pH daging yang tinggi (6,2-7,2)
mengakibatkan struktur daging tertutup (Puspitasari dkk, 2013)
Jarked beef atau dendeng sapi merupakan produk asal Brazil. Produk daging ini
diolah dengan metode pengeringan dan penggaraman. Banyak dari formulasi ini
diwariskan dari generasi ke generasi. Produk ini stabil mikroba pada kombinasi
penghalang mengaktivasi air vity 0,77 dan pH 5,5. Namun banyak konsumen yang
lebih suka JB dalam keadaan "basah" biltong dengan Aw biasanya berkisar 0,85-0,93
(Dzimba et al, 2007).
Daging gelap lebih kering dibandingkan dengan daging yang normal dan
memiliki daya tahan yang terbatas. Daging berkualitas tinggi memiliki pH akhir pada
kisaran 5,4-5,6. Pada pH >5,8 penurunan kelezatan daging serta untuk menjaga
kualitas yang baik selama pendinginan adalah diamati. pH tinggi tidak tepat untuk
menyortir, dan mengemas. daging pH akhir tinggi dapat dicirikan oleh Struktur
bergetah, meningkatnya kapasitas air dan penurunan rasa tertentu (Weglars, 2010).

2.6.2. AW
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai Aw dendeng memiliki kisaran
rata-rata antara 0,710,77 dengan rataan umumnya 0,75. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa Aw dendeng tidak dipengaruhi oleh faktor pencucian, jenis
daging dan interaksi antara keduanya (P>0,05). Bila ditinjau dari factor pencucian,
rataan nilai Aw dendeng untuk L0, L1 dan L2 masing-masing adalah 0,75, 0,76 dan
0,76. Sedangkan menurut factor jenis daging maka rataan nilai Aw untuk dendeng
14
daging kuda, domba dan sapi masing-masing adalah 0,74, 0,75 dan 0,77. bahwa
dendeng sayat memiliki Aw 0,52- 0,67 dan dendeng giling memiliki Aw 0,62- 0,66.
Tetapi dendeng yang beredar di pasaran pada umumnya memiliki Aw 0,40-0,50
(Suharyanto, 2009).
Daging sapi dijemur adalah produk karakteristik Brasil, di mana hasilnya
ringan, asin dan dipasarkan. Meskipun asin, daging sapi jemur memiliki karakteristik
lebih mirip dengan daging segar, seperti charque (CH) dan dendeng sapi (JB). Karena
CH dan JB dianggap makanan dengan kadar air menengah, mereka memiliki
acticityair (Aw) antara nilai 0,60 dan 0,90 dan menjalani pengawetan selama
pengolahan, seperti Selain garam dan natrium nitrit, dehidrasi dan kemasan vakum,
yang bertindak sebagai pelindung untuk memberikan kehidupan jangka panjang (6
bulan). (Ishihara et al, 2013).
Di Brasil, charqui daging (CM) dan Dendeng daging sapi (JB) adalah perantara
produk kelembaban yang diperoleh dengan penggaraman (4 sampai 5 haris) dan
pengeringan dengan matahari (2 untuk 3 hari) sampel daging sapi, sehingga makanan
dengan 45% kelembaban dan aktivitas air antara 0,70 untuk 0,75; adalah nilai-nilai
yang membuat mereka stabil pada suhu kamar. (Bolognesil et al, 2015).
Berdasarkan pengamatan hari ke-0 dan hari ke-7 dapat diketahui bahwa selama
penyimpanan tidak ditemukan adanya kapang dalam dendeng asap yang dibuat dari
daging sapi maupun daging kerbau. Hal ini diduga karena jumlah kadar air dan nilai
aktivitas air (Aw) yang cukup rendah pada produk dari kedua jenis daging
menyebabkan pertumbuhan kapang menjadi terhambat. pada aktivitas air yang tinggi
(0.91) bakteri umumnya berkembang dan tumbuh dengan baik. Khamir dapat tumbuh
dan berkembang biak pada aw 0.87 91, sedangkan kapang lebih rendah lagi yaitu
pada w 0.80 0.87 (Jahidin, 2014).

2.6.3. Aktivitas Antioksidan


Pada dasarnya limbah kulit buah apel tidak hanya digunakan sebagai substitusi
pakan ternak dan pemupukan tanaman, akan tetapi limbah kulit buah apel juga dapat
digunakan sebagai bahan antioksidan alami yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
terutama pada kulit untuk melawan berbagai radikal bebas dari luar. Sebagian besar
masyarakat yang gemar mengkonsumsi buah apel lebih suka mengupas kulitnya dan
membuang kulit buah apel tersebut tanpa memanfaatkannya (Pertiwi dkk, 2016).

15
Ada berbagai variasi jenis antioksidan yang terdapat dalam buah-buahan.
Senyawa-senyawa antioksidan tersebut bekerja dengan cara menghalangi oksidasi
selular yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif.Sebenarnya tubuh kita memiliki
senyawa antioksidan (antioksidan endogen) untuk melawan kerusakan yang
ditimbulkan oleh spesies oksigen reaktif, tetapi kondisi saat ini dimana radikal bebas
yang berasal dari lingkungan seperti asap rokok, polusi udara, obat-obatan dan lain-
lain sangat banyak maka tubuh membutuhkan antioksidan yang didatangkan dari luar.
Prinsip utama aktivitas antioksidan adalah ketersediaan elektron untuk menetralisir
radikal bebas. Senyawaantioksidan yang paling berlimpah pada buah-buahan adalah
karotenoid, flavonoid, fenolik, vitamin C, vitamin E, vitamin A,dan betalain.
(Febrianti dkk, 2015).
Ketika apel diolah menjadi jus, kandungan polifenol dalam jus menurun secara
signifikan dibandingkan dengan apel segar, ini pada gilirannya mengurangi aktivitas
antioksidan dari produk akhir. Dalam produksi jus apel konvensional, kandungan
senyawa polifenol berkurang setidaknya 58% dan aktivitas antioksidan menurun
hingga 90% dibandingkan dengan apel segar Proses klarifikasi dan filtrasi
mempengaruhi isi polifenol dalam jus apel sebagai langkah-langkah menghapus
bubur di mana sebagian besar senyawa polifenol tetap Beberapa jus tidak diklarifikasi
dan dijual sebagai jus apel 'berawan'; dan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dari
senyawa polifenol dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jus lainnya. (Candrawinata et al, 2014).
Rekomendasi diet termasuk konsumsi apel segar dan diproses berdasarkan
produk apel terutama untuk sifat antioksidan yang berhubungan dengan polifenol, dan
kandungan vitamin C. perlakuan termal, umumnya digunakan untuk memperpanjang
masa simpan bahan makanan berbasis buah, dapat mempengaruhi kualitas.
Penggabungan apel dan turunannya dalam makanan dianggap berguna karena
senyawa ini dapat berkontribusi untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner,
karsinogenesis, proses penuaan, dan dapat menghambat tren Konsumen density
lipoprotein oksidasi rendah manusia menunjukkan minat meningkat untuk jus buah
dengan kandungan antioksidan alami yang tinggi, misalnya vitamin dan polifenol
(Santini et al, 2014).

16
2.6.3.1. Mekanisme antioksidan hubungan dengan radikal bebas dengan metode
DPPH
DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa
yang dapat mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian
aktivitas antioksidan komponen tertentu dalam suatu ekstrak (Kahl, 2010).
DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa
yang dapat mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian
aktivitas antioksidan komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Karena adanya
elektron yang tidak berpasangan, DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm.
Ketika elektronnya menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal
bebas, maka absorbansinya menurun secara stokiometri sesuai jumlah elektron
yang diambil. Keberadaan senyawa antioksidan dapat mengubah warna larutan
DPPH dari ungu menjadi kuning. Perubahan absorbansi akibat reaksi ini telah
digunakan secara luas untuk menguji kemampuan beberapa molekul sebagai
penangkap radikal bebas (Armala, 2009).
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron tidak
berpasangan (unpaired electron). Adanya elektron yang tidak berpasangan
menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara
menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Target
utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta
unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari molekul-molekul target tersebut, yang
paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh.
Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh
ganda pada membran sel sehingga dinding sel menjadi rapuh, merusak basa
DNA sehingga mengacaukan sistem genetika, dan berlanjut pada pembentukan
sel kanker (Winarsi, 2007).
Metode DPPH merupakan metode yang mudah, cepat, dan sensitif
untuk pengujian aktivitas antioksidan senyawa tertentu atau ekstrak tanaman
(Miller, 2010).

17
18
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yaitu dari bulan Oktober 2016 Januari 2017.
Lokasi penelitian berada di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya.
3.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk adalah daging sapi bagian paha
belakang, buah apel, bumbu yang digunakan yaitu: gula merah, gula pasir, garam, ketumbar,
lada, lengkuas dan bawang putih. Bahan kimia yang digunakan antara lain akuades, larutan
NaCl jenuh, methanol, larutan Na2CO3, reagen Folin-Ciocalteu (FC) dan kristal 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH)
3.3. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan produk:
1. Pisau
2. talenan,
3. slicer merk Nikita
4. food processor merk Philips
5. oven merk Philips
6. alat masak.
Alat untuk analisa diantaranya:
1. waterbath model LWB-111D, Merk Daihan Labtech
2. aw meter merk Pawkit
3. pH meter merk Hanna
4. beaker glass merk Herma
5. erlenmayer merk Herma
6. gelas ukur merk Herma
7. tabung reaksi merk Herma
8. pipet volume merk Herma
9. timbangan analitik merk Shimadzu
10. corong kaca merk Herma

3.4. Rancangan dan Analisis Data


19
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap pola faktorial (2x4) dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah penambahan nitrit
yang dibagi atas 2 taraf yaitu 0 ppm dan 125 ppm. Faktor kedua adalah penambahan apel
yang dibagi atas 4 taraf yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30%. Model matematika yang digunakan
adalah sebagai berikut:

Yijk = + i + j + () ij + ijk
Keterangan:
Yijk = Respon penelitian pada taraf penambahan nitrit ke-i, apel ke- j dan ulangan ke-k.
= Rataan umum respon penelitian.
i = Pengaruh taraf penambahan nitrit ke-i.
j = Pengaruh taraf penambahan apel ke-j.
() ij = Pengaruh interaksi faktor penambahan nitrit ke-i dengan penambahan apel ke-j.
ijk = Pengaruh galat percobaan terhadap respon penelitian.

Data yang diperoleh dari pengukuran dengan pengulangan dianalisis secara statistik.
Data yang diperoleh dari pengukuran tanpa pengulangan dianalisis secara deskriptif. Uji
asumsi analisis ragam meliputi uji kenormalan data, uji kehomogenan ragam, uji kebebasan
galat, dan uji keaditifan model. Analis ragam dilakukan pada data yang memenuhi uji asumsi.
Analisis dilanjutkan dengan uji perbandingan nilai tengah Tukey pada interaksi antar
perlakuan atau ada perlakuan yang berpengaruh nyata berdasarkan analisis ragam. Analisis
regresi dilakukan untuk mengetahui kontribusi senyawa fenol terhadap kapasitas antioksidan
dendeng goreng. Model matematika yang digunakan untuk analisis regresi adalah sebagai
berikut:
Y = a + bX
Keterangan:
Y = Kapasitas antioksidan dendeng
a = Konstanta persamaan regresi
b = Koefisien persamaan regresi
X = Total fenolat dendeng

3.4. Prosedur
20
Pembuatan Dendeng (Suryati et al. 2014) Daging yang telah diiris tipis direndam
dalam larutan nitrit selama 12 jam dalam suhu ruang, kemudian dicampur dengan bumbu
yang sudah dihaluskan dan didiamkan kembali selama 12 jam pada suhu ruang. Komposisi
bahan disusun berdasarkan perbedaan penambahan nitrit yang dibedakan atas 2 taraf
pemberian nitrit yaitu 0 ppm dan 125 ppm, serta penambahan apel yang dibedakan atas 4
taraf yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30% (Tabel 1). Selanjutnya daging dikeringkan menggunakan
oven pada suhu 60 oC selama 3 jam, daging dibalik kemudian dilanjutkan pengeringan
dengan suhu 70oC selama 5 jam. Tahapan pembuatan dendeng dapat dilihat pada Gambar 1.
Sebelum digoreng, dilakukan proses rehidrasi untuk meningkatkan kadar air dendeng.
Dendeng direndam dalam air selama 5 menit kemudian ditiriskan dan digoreng pada suhu
150 oC selama 1.5 menit.

3.5. Analisis Sifat Fisik


Pengukuran Nilai pH. Nilai pH dendeng diukur menggunakan pH meter daging.
Alat dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan buffer dengan pH 4.01 dan 6.86.
Dendeng goreng dengan ukuran 7 x 7 cm dilipat sebanyak 2 kali kemudian jarum elektroda
pH meter ditusukkan ke dalam lipatan dendeng. Nilai pH dendeng ditunjukkan oleh angka
yang terbaca alat secara stabil.
Pengukuran Nilai Aktivitas Air (Syarief dan Halid 1993). Aktivitas air (aw) diukur
menggunakan aw meter. Alat dikalibrasikan terlebih dahulu dengan larutan NaCl jenuh
sebelum digunakan. Sebanyak 5 g sampel dendeng dihaluskan kemudian dimasukkan ke
dalam chamber sampel. Tombol start ditekan dan ditunggu hingga nilai aw terbaca alat.
Analisis Antioksidan: Ekstrak Metanol Dendeng (Tangkanakul et al. 2009 yang
dimodifikasi). Sampel dendeng sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian
diekstraksi dalam pelarut metanol 100% pada suhu ruang. Perbandingan sampel dan pelarut
yang digunakan adalah 1:5. Ekstraksi dilakukan dalam 2 tahap dengan durasi 24 jam untuk
setiap tahap. Supernatan (larutan hasil ekstraksi) dari kedua tahap digabungkan ke dalam labu
takar 10 mL dan ditepatkan dengan pelarut methanol. Ekstrak metanol ditempatkan pada
botol kaca berwarna gelap dan ditutup rapat untuk disimpan dalam freezer (-25 C) sampai
dilakukan analisis.
Aktivitas Penghambatan DPPH (Scavenging Activity)(Tangkanakul et al. 2009).
Sebanyak 0.15 mL ekstrak metanol dendeng direaksikan dengan larutan DPPH 0.1 mM
(pelarut metanol) sebanyak 0.9 mL pada tabung vial. Larutan diinkubasi pada waterbath (37
C selama 30 menit) lalu diukur absorbansinya (spektrofotometer. =517 nm). Aktivitas
21
penangkap radikal bebas DPPH dinyatakan dalam % scavenging activity (%SA) ditentukan
sebagai berikut.

Kapasitas Antioksidan (Tangkanakul et al. 2009). Kapasitas antioksidan diperoleh


dengan mengkonversikan nilai % SA berdasarkan kurva standar. Kurva standar diperoleh
dengan pengukuran absorbansi hasil reaksi asam askorbat (konsentrasi 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0,
dan 2.5 mg 100 ml-1 akuades) dengan DPPH (spektrofotometer. =517 nm). Kapasitas
antioksidan dinyatakan sebagai mg ekuivalen vitamin C 100 g-1 dendeng.
Kandungan Total Fenolat (Tangkanakul et al. 2009). Sebanyak 2 mL ekstrak
metanol sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL kemudian ditambah 10 mL pereaksi
Folin-Ciocalteu (1:10). Setelah 30 detik dan sebelum 8 menit, sebanyak 8 mL Na2CO3
(7.5%) ditambahkan dan ditepatkan hingga tanda tera menggunakan akuades. Larutan
dipanaskan pada waterbath (40 C selama 30 menit) lalu diukur absorbansinya (=765 nm).
Kurva kalibrasi asam gallat dibuat dengan pengukuran absorbansi pada rentang konsentrasi
0.5-2.5 mg 100 mL-1 dalam 25 mL campuran reaksi. Hasilnya dinyatakan sebagai mg
ekuivalen asam gallat 100 g-1 dendeng.

DIAGRAM ALIR PEMBUATAN DENDENG

22
23
3.6. Kerangka Pikir

Dendeng

3.7. Hipotesis

ho penambahan apel tidak mempengaruhi kadar antioksidan dendeng

h1 penambahan apel mempengaruhi kadar antioksidan dendeng.

24
Daftar Pustaka

Afrilai., A dan Firman Jaya. 2012. KEEMPUKAN, pH dan AKTIVITAS AIR (Aw) DENDENG
SAPI PADA BERBAGAI KONSENTRASI EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Roscoe)
DAN LAMA PERENDAMAN YANG BERBEDA. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak. Vol.7(2) HAL:6-12

Akhtar, Sehar., Muhammad Issa Khan and Farrukh Faiz. 2013. Effect of Thawing on Frozen
Meat Quality: A comprehensive Review. PAK. J. FOOD SCI. 23(4):198-212.

Almeida, J.C., Magda, S.P., Joiza, L.C., Neura, B., Jorge, L.G. 2006. Fatty acid composition
and cholesterol content of beef and chicken meat in Southern Brazil. Brazilian Journal
of Pharmaceutical Sciences. Vol. 42 (1): 109-117.

Anggun. 2014. Pengaruh metode pengolahan (juicing dan Blending) terhadap kandungan
quercetin berbagai varietas apel lokal dan impor (malus domestica). Indonesian
Journal of Human Nutrition. Volume 1 (1) : 14 22.

Anonym, 2013. Pangan dan Agroindustri. Vol. 1 No.1-12

Arifa.2015. Pengaruh Penambahan Angkak dan Jumlah Tapioka Terhadap Sifat


Organoleptik Sosis Udang. E-journal boga, vol.04 No.03. hal. 30-38.

Armala, M. 2009. Daya Antioksidan Fraksi Air Ekstrak Herba Kenikir. Jurnal Teknologi
Industri dan Hasil Pertanian Volume 13(2): 1-7.

Bolognesi, V. J., Paulo R., Grace M., Maria L., Sandra M. and Carlos E. 2015. Nitrite,
oxidation and color during shelf life of jerked beef. African Journal of Pharmacy and
Pharmacology Vol. 9(34): 856-860.

Candrawinata, V. I., Golding, J. B., Roach, P. D. and Stathopoulos, C. E. 2014. Total phenolic
content and antioxidant activity of apple pomace aqueous extract: effect of time,

25
temperature and water to pomace ratio. International Food Research Journal 21(6):
2337-2344.

Dehpour, A.2009. Antioxidant Activity of Methanol Extract of Ferula Assafoetida and Its
Essential Oil Composition, Grasas Aceites. Vol 60(4): 405-412.

Dzimba., Flavia Edite J. M, Jos de Assis F. Faria and Eduardo Henrique M. Walter. 2007.
Testing the sensory acceptability of biltong formulated with different spices. African
Journal of Agricultural Research Vol. 2 (11): 574-577.

Evanuarini, H. dan Huda. 2011. Quality of Dendeng Giling on Different Sugar Addition.
Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 21 (2): 7 10.

Evanuarini, H. 2010.KUALITAS CHICKEN NUGGETS DENGAN PENAMBAHAN PUTIH


TELUR. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak Vol. 5 (2) : 17-22.

Febrianti, Novi., Irfan Yunianto, Risanti Dhaniaputri. 2015. Kandungan Antioksi dan Asam
Askorbat pada Jus Buah-Buahan Tropis. Jurnal BIOEDUKATIKA Vol. 3 (1): 6-9.

Gallagher, P. and Mac Con Iomaire, M.2011. Irish Corned Beef: A Culinary History. Journal
of Culinary Science and Technology Vol 9 (1).

Handayani R dan Sulistyo J. 2011. Sintesis Senyawa Flavonoid--Glikosida secara Reaksi


Transglikosilasi Enzimatik dan Aktivitasnya sebagai Antioksidan. Biodiversitas Vol.
9(1):14.

Ho,Huang. 2004. A Survey of Microbial Contamination of Food Contact Surfaces at Broiler


Slaughter Plant in Taiwan. J. of Food Protection. (67) 12 : 2809-2811.

Huri, Daman dan Fithri Choirun Nisa. 2014. The Effect of Glycerol and Apple Peel Waste
Extract Concentration on Physical and Chemical Characteristic of Edible Film. Jurnal
Pangan dan Agroindustri Vol. 2 (4): 29-40.

26
Husna, N.E., Asmawati, Gunawan, S. 2014. Dendeng Ikan Leubiem (Canthidermis
maculatus) Dengan Variasi Metode Pembuatan, Jenis Gula, Dan Metode Pengeringan.
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Vol. 6 (3): 76-81.

Ikizler M, Erkasap N, Dernek S, Kural T, Kaygisiz Z. 2007. Dietary Polyphenol Quercetin


Protects Rat Hearts during Reperfusion: Enhanced Antioxidants Capacity with Chronic
Treatment. Anatolian Journal of Cardiology. 7: 404-10.

Indriastut, A.T.D., Setiyono, Yuny, E. 2011. Pengaruh Jus Daun Sirih (Piper betle linn)
Sebagai Bahan Precuring Dan Lama Penyimpanan Terhadap Komposisi Kimia Dan
Angka Peroksida Dendeng Ayam Petelur. Buletin Peternakan. Vol. 35(3):182-187

Ishihara., Yuri, Ricardo Moreira, Geany de Souza, Alanne Salviano and Marta Madruga,
2013. Study of the Warner-Bratzler Shear Force, Sensory Analysis and Sarcomere
Length as Indicators of the Tenderness of Sun-Dried Beef. International Brazil journal.
Vol 9(2):9433-9442.

Ismail, M., R. Priyanto*, A. Fuah, E. Aditia, M. Baihaqi.2015. Peningkatan Produksi dan


Kualitas Daging Sapi Lokal Melalui Penggemukan Berbasis Serealia pada Taraf
Energi yang Berbeda. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) Vol. 20 (2) : 108-114.

Jahidin., Jaya Putra. 2014. Aspek Mikrobiologi Dendeng Asap Dengan Daging yang Berbeda
pada Pengasapan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Vol.
17(1):39-44.

Kahl, R. 2010. Toxicology of the Synthetic Antioxidants BHA and BHT in Comparison with
the Natural Antioxidant Vitamin E, Z Lebensm Unters Forsch, 196(4): 329-38.

Komariah, Sri Rahayu., dan Sarjito. 2009. SIFAT FISIK DAGING SAPI, KERBAU DAN
DOMBA PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA. Buletin Peternakan Vol.
33(3): 183-189.
Legowo, Anang Mohamad., Soepardie, Rita Miranda, Indira Susi Nur Anisa, dan Yuli
Rohidayah. 2012. The Effect of Soaking of Beef in Betle (Piper betle L) Leaf Juice
Prior to Curing on Rancidity and Sensory Characteristics of Beef Dendeng During
Storage. Jurnal.Teknologi dan Industri Pangan Vol. 13 (1): 64-69.
27
Mastuti ,R. 2008.FORMULASI KONSENTRASI BAHAN PENGIKAT PRODUK DAGING
KAMBING TETELAN RESTRUKTURISASI MENTAH. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak Vol. 3 91) : 15-23.

Mullen. 2013. Apple Phytochemicals and their health benefits. Nutrition Journal Vol 3 (2) : 3-
5.

Nurwantoro,V.P., Bintoro, A.M., Legowo, A., Purnomoadi., L. D. Ambara, A. Prokoso,


Mulyani, S. 2012. Nilai Ph, Kadar Air, Dan Total Escherichia Coli Daging Sapi Yang
Dimarinasi Dalam Jus Bawang Putih. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1 (2): 20-
22.

Oana,D. Berbentea F.*, Georgescu L., Rinovetz A., Bujanca G., Micula Lia, Danci M., David
I.2012. Determination of fat and protein content in Italian sausage commercialized in
Timisoara. JOURNAL of Horticulture, Forestry and Biotechnology Volume 16 (2) :
276-278

Obeng, A. K., F. S. Johnson, S. O. Appenteng. 2013. Microbial Quality of Fresh Meat from
Retail Outlets in Tolon and Kumbungu Districts of the Northern Region of Ghana.
International Journal of Science and Technology VoL. 2 (6): 423-428.

Olaoye, O.A.2011. MiniReview Meat: An overview of its composition, biochemical changes


and associated microbial agents. International Food Research Journal 18(3): 877-885.

Overby. 2010. Meat Science, Milk Science and Technology. J.Animal Science Vol.3 No.7 :55-
67.

Panglipur , P. A.2014. PENGARUH JUMLAH SALAD OIL DAN CMC (CARBOXY METHYL
CELLULOSE) TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK KORNET DAGING SAPI. e-
journal boga Vol. 3(1) : 160-165.

Pertiwi, Ratih Dyah., Cut Ervinar Yari dan Nanda Franata Putra. 2016. UJI AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL LIMBAH KULIT BUAH APEL (Malus domestica

28
Borkh.) TERHADAP RADIKAL BEBAS DPPH (2,2-Diphenyl Picrylhydrazil). JURNAL
ILMIAH MANUNTUNG Vol 2 (1): 81-92.

Petroman, C., Diana, M., Coman, S., Dumitrescu, A., Statie, C., Daniela, A. 2012. Quality
Management In Ecological Beef Production. International Journal for Quality research.
Vol. 6 (3): 207-212.

Prasetyo, heru., Masdiana Ch Padaga, Manik Eirry Sawitri. 2013, KAJIAN KUALITAS
FISIKO KIMIA DAGING SAPI DI PASAR KOTA MALANG. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak. Vol.8(2):1-8

Purnamasari, E., D.S. Munawarah, S.I. Zam. 2013. Mutu Kimia Dendeng Semi Basah Daging
Ayam Yang Direndam Jus Daun Sirih (Piper betle L.) Dengan Konsentrasi Dan Lama
Perendaman Berbeda. Jurnal Peternakan Vol. 10 (1): 9 17.

Purnomo, 2012. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Daging. J. Animal Science. Vol.7
No.3 Hal: 1101-1108.

Puspitasari. I., A. M. P. Nuhriawangsa dan W. Swastike. 2013. Pengaruh Pemanfaatan


Kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap Kualitas Mikrobia dan Fisiko-kimia Daging
Sapi. Tropical Animal Husbandry. Vol. 2 (1): 58-64.

Rambsbottom. 2012. Packaging In The Science Of Meat and Meat Product. Vol.1 No.3 Hal:
107-114.

Reddy ,G.V. Bhaskar Reddy, P.K. Mandal and A.R. Sen.2015. Developments in Science,
Technology, Quality and Constraints of Restructured Meat Products-A Review.
International Journal of Meat Science 5 (1): 14-48.

Rofiatiningrum, A., Ellin, H., Wowon, J. 2015. Penggunaan Gel Lidah Buaya (Aloe vera L)
Sebagai Anti jamur Pada Dendeng Daging Sapi Giling. Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran.

29
Santini,. Antonello., Raffaele Romano, Giuseppe Meca, Assunta Raiola and Alberto Ritieni.
2014. Antioxidant Activity and Quality of Apple Juices and Puree After in vitro
Digestion. Journal of Food Research. Vol. 3(4): 42-52.

Sebranek, J.G., P. N. Sang, D.G. Topel, R.E. Rust. 2013. Effects Of Freezing Methods And
Frozen Storage On Chemical Characteristics Of Ground Beef Patties. Journal Of
Animal Science. Vol. 4 (5): 1101-1108.

Sofiana,A.2012. Penambahan Tepung Protein Kedelai Sebagai Pengikat Pada Sosis Sapi.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Vol 15 (1).

Suharyanto. 2009. Aktivitas Air (Aw) dan Warna Dendeng Daging Giling Terkait Cara
Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia Vol. 4 (2) :113-121.

Suryati T, Astawan M, Lioe HN, Usmiati S. 2014. Nitrite residue and malonaldehyde
reduction in dendeng Indonesian dried meat influenced by species, curing methods
and precooking preparation. Meat Science Vol. 96 (2014): 1403-1408.

Tangkanakul P, Auttaviboonkul P, Niyomwit B, Charoenthamawat P, Lowvitoon N,


Trakoontivakorn G. 2009. Antioxidant capacity, total phenolic content and nutritional
composition of Asian foods after thermal processing. International Food Res. J. 16:
571-580.

Varnam, 2012. Meat and Meat Product. Animal Agriculture Journal. Vol.4 No.2 Hal: 550-
555.

Vasquez, J., P. Gill, K. Hobin, S. Kelley, A. Petrosan.2011.Beef: Correlation between


Physical Properties and Quality . 4-19

Veerman, Marcus., Setiyono dan Rusman. 2013. THE INFLUENCE OF DRYING


METHODS, SEASONING CONCENTRATION AND CURING TIME ON PHYSICAL
AND SENSORY QUALITY OF DRIED PORK. Buletin Peternakan Vol. 37(1): 34-40.

30
Wglarz., A, 2010. Meat quality defined based on pH and colour depending on cattle
category and slaughter season. Czech J. Anim. Sci. 55. 2010 (12): 548556.

Winarsi, W. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Phytochemical Analysis. Vol.77
(81) :13-15

Zhou, G.H., X.L. Xu and Y. Liu. 2010. Preservation technologies for fresh meat A review.
Meat Science 86 (2010): 119128.

31

Anda mungkin juga menyukai