Anda di halaman 1dari 20

TEORI ETIKA DAN PROFESI BISNIS

I. Pendahuluan
Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang semakin
ketat, yang ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan berkembang dan
semakin banyak orang yang lebih memilih merintis usaha sendiri dibandingkan
dengan bekerja di perusahaan orang lain. Terlebih di Indonesia yang masih sangat
sedikit terdapat wirausaha, mendorong masyarakatnya untuk berlomba-lomba
mencari peluang bisnis baru. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia, selalu
diikuti oleh norma-norma dan etika yang harus dipenuhi agar tidak mengganggu dan
merugikan orang lain. Namun semakin banyaknya bisnis yang dijalankan, akan
semakin menambah resiko kerusakan lingkungan jika bisnis tersebut dilakukan tidak
sesuai dengan etika yang ada. Kemajuan teknologi saat ini juga sangat mendukung
berkembangnya sebuah bisnis. Teknologi dimanfaatkan manusia sebagai sarana
untuk memudahkan pekerjaan dan menjaga kelancaran dan keefektifan dalam
berbisnis, jika teknologi digunakan sebagaimana mestinya dan sesuai etika yang
ada, maka segala sesuatu yang dilakukan manusia akan berhasil baik, akan tetapi
jika digunakan sebaliknya, maka akan berdampak buruk bagi orang lain.
Menurut Keraf (1998:14) Etika berarti sistem nilai tentang bagaimana
manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam
sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku. Beberapa
tahun belakangan, etika semakin sering diperbincangkan karena maraknya
fenomena yang mengarah pada pelanggaran hak dengan disertai lemahnya
supremasi hukum, telah menggugah kesadaran setiap orang bahwa etika sudah
sepatutnya ditegakkan. Teori etika merupakan dasar untuk menilai apakah tindakan
seseorang secara moral benar atau salah, baik atau buruk. Tetapi benturan-benturan
sering terjadi, karena pada kenyataannya terdapat banyak teori etika yang dapat
mengakibatkan penilaian berbeda-beda dan sampai kapan pun tidak akan pernah ada
sebuah teori yang disepakati oleh semua orang (Sutrisna Dewi, 2011:24).
Semua aktivitas bisnis dapat dianggap sebagai profesi, karena dalam setiap
bisnis dituntut untuk selalu bersikap professional dan beretika. Profesi dirumuskan
sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk nafkah hidup dengan menggunakan

1
keahlian dan keterampilan dengan melibatkan komitmen pribadi dalam melakukan
pekerjaan tersebut (Satyanugraha, 2003:10). Sikap professional dalam bisnis terbatas
pada kemampuan teknis menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan
bisnis. Dalam bisnis diatur beberapa kode etik yang harus diterapkan seperti kode
etik sumber daya manusia, kode etik pemasaran, kode etik keuangan, dan
sebagainya, yang harus dipenuhi oleh semua pebisnis demi kesuksesan bisnis
tersebut. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup makro maupun mikro. Perspektif makro adalah pertumbuhan suatu negara
tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada
command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Perspektif mikro adalah
dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan. Untuk memahami etika
bisnis dalam berbisnis, langkah awal yang harus kita dalami adalah mengenal
gambaran umum bisnis. Pada hakikatnya bisnis tidak hanya semata-mata mencari
keuntungan saja namun juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial diberbagai
bidang profesi yang berbeda.
Oleh karena itu, setiap pelaku bisnis perlu memahami beberapa hal tentang
Teori Etika dan Profesi Bisnisdan materi yang akan dibahas antara lain:
1. Etika Normatif
a. Teori Dentologi
b. Teori Teleologi
2. Hakikat Bisnis
3. Karakteristik Bisnis
4. Pergeseran paradigma dari pendekatan stockholder ke pendekatan
stakeholder
5. Tanggungjawab moral dan sosial bisnis
6. Kode etik berbagai profesi

II. Pembahasan
1. Etika Normatif
Etika normatif merupakan etika yang menetapkan berbagai sikap dan
perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya
dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Oleh

2
karena itu, etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar
manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai
dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Etika
normatif tersebut tidak lagi menjelaskan tentang gejala-gejala, melainkan tentang
apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan kita. Dalam etika normatif, norma-
norma dinilai, dan sikap manusia ditentukan. Etika normatif memberi penilaian dan
himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan
norma-norma. dan menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan
menghindari yang tindakan yang jelek. Etika normatif yang berkaitan dengan
masalah moral merupakan topik bahasan yang paling menarik. Penilaian baik dan
buruk mengenai tindakan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dalam etika
normatif selalu dikaitkan dengan norma norma yang dapat menuntun manusia
untuk bertindak secara baik dan menghindarkan hal hal yang buruk sesuai dengan
kaidah dan norma yang disepakati dan yang berlaku di masyarakat.
Suatu tindakan atau perbuatan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu
yang ingin dicapainya. Artinya ada arah dan sasaran dari tindakan atas hidup yang
dijalankan. Contoh dari etika normatif, ada etika yang bersifat individual seperti
kejujuran, disiplin diri, mengerjakan tugas. Selain itu, contoh etika normatif adalah
etika dalam berbisnis. Contoh penerapan etika normatif adalah :
1. Kebiasaan menggunakan NARKOBA harus dapat dihindari karena dapat
merusak organ tubuh (menyiksa diri sendiri)
2. Menolak kebiasaan aborsi karena termasuk tindakan menghilangkan nyawa
orang lain dan menyiksa diri sendiri.
3. Dilarang menghilangkan nyawa orang lain yang tidak bersalah
4. Kebiasaan minum minuman keras harus dapat dihindari, karena dapat
mengakibatkan hilangnya kesadaran manusia dan merusak organ tubuhnya.
5. Menolak kebiasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) karena dapat
merugikan orang lain.
6. Kebiasaan prostitusi, harus dapat dihindari, karena bertentangan dengan
martabat manusia.
a. Teori Dentologi

3
Dentologi berasal dari bahasa Yunani, deon yang berarti diharuskan,
yang wajib, sesuai dengan prosedur (Magnis, 1975:75-80: Pratley,
1997:173). Bertitik tolak dari makna etimologis tersebut, teori deontologi
menilai tindakan itu baik atau buruk berdasarkan aturan-aturan, prosedur
atau kewajiban. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu bernilai moral
karena tindakan itu dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari
tindakan itu. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika
deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi
pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban pelaku
untuk, misalnya, (1) memberikan pelayanan yang baik pada semua
konsumen, untuk mengembalikan utangnya sesuai kesepakatan; (2)
menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya;
dan sebagainya. Ada tiga prinsip yang harus dipenuhi dalam menerapkan
teori deontologi, yaitu:
(1) Supaya suatu tindakan punya nilai moral, maka tindakan itu harus
dijalankan berdasarkan aturan, prosedur, atau kewajiban;
(2) Nilai moral dari suatu tindakan tidak ditentukan oleh tujuan atau hasil
yang dicapai, melainkan tergantung pada kemauan baik yang
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu.
(3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal
yang penting dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat
pada hukum moral universal.
b. Teori Teleologi
Teleologi berasal dari bahasa Yunanim telos yang berarti tujuan, sasaran,
hasil, akibat (Magnis, 1975:79-80; Pratley, 1997:173). Etika teleologi
menilai suatu tindakan itu baik atau buruk dari sudut tujuan, hasil, sasaran
atau keadaan optimum yang dapat dicapai. Tujuan, hasil, sasaran, atau akibat
bisa dilihat dari dua segi, yaitu apa dan untuk siapa tujuan, hasil, sasaran,
atau akibat tersebut. Dilihat dari sudut apa, dikenal dua versi teleologi, yaitu
hedonisme (hedone, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan) dan
eudaimonisme (daimon, dalam bahasa Yunani berarti jiwa yang baik;
Eudaimonia, berarti kebahagiaan).

4
Dalam pembahasan tentang eudaimonisme, Aristoteles menyatakan
bahwa setiap tindakan manusia mempunyai tujuan. Ada dua macam tujuan,
yaitu tujuan yang dicari demi tujuan selanjutnya (tujuan antara), dan tujuan
demi tujuan itu sendiri, misalnya, orang belajar ilmu kedokteran agar bisa
menyembuhkan penyakit, orang membuat kursi agar bisa duduk lebih tinggi
dari lantai, dan sebagainya.
2. Hakikat Bisnis
Bisnis pada hakikatnya adalah organisasi yang bekerja di tengah-tengah
masyarakat atau merupakan sebuah komunitas yang berada di tengah-tengah
komunitas lainnya. Bisnis mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia,
mulai dari jaman prasejarah, abad pertengahan, era merkantilisme, fisiokrat, klasik,
sampai jaman modern yang sangat komplek. Kompleksitas bisnis berkaitan langsung
dengan kompleksitas masyarakat. Menurut Bertens (2000:13) bisnis sebagai
kegiatan sosial pada hakikatnya dapat dipandang dari 3 (tiga) sudut yang berbeda
yaitu sudut pandang ekonomi, moral dan hukum.
Sudut Pandang Ekonomi
Bisnis adalah salah satu kegiatan ekonomis yang kegiatannya yaitu tukar-
menukar, memproduksi-memasarkan, bekerja-memperkerjakan, dan interaksi
manusia lainnya dengan maksud memperoleh untung. Bisnis berlangsung sebagai
komunikasi sosial yang menguntungkan para pihak yang terlibat. Bisnis selalu
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan perusahaan dapat disebut organisasi
yang berdiri untuk memperoleh keuntungan. Dengan cara cukup jelas, bisnis sering
dilukiskan sebagai to provide products or service for a profit
Keuntungan atau profit hanya muncul dalam kegiatan ekonomi yang
memakai sistem keuangan. Dalam bisnis modern untung diekspresikan dengan uang.
Pada pertukaran barang dengan barang (barter) tidak diperoleh profit, walaupun para
pihak memperoleh manfaat. Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus
memperoleh keuntungan financial. Profit yang dihasilakan dalam kegiatan bisnis
bukan diperoleh secara kebetulan, tetapi melalui upaya-upaya khusus. Dipandang
dari sudut ekonomis good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang banyak
membawa untung.

5
Sudut Pandang Moral
Dengan tetap mengakui peran sentral dari sudut pandang ekonomis dalam
bisnis, perlu ditambahkan sudut pandang lain yaitu moral. Mengejar keuntungan
adalah hal wajar asalkan tidak merugikan atau mengorbankan pihak lain.
Kepentingan dan hak orang lain harus diperhatikan demi kepentingan bisnis itu
sendiri. Perilaku etis penting dalam bisnis untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dan posisi financial bisnis itu sendiri. Dari sudut pandang moral, bisnis yang
baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, melainkan bisnis yang baik secara
moral. Perilaku yang baik dalam bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan
norma-norma moral.
Sudut Pandang Hukum
Hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan. Peraturan hukum merupakan kristalisasi atau
pengendapan dari keyakinan moral. Dalam praktek hukum, banyak masalah timbul
dari kegiatan bisnis. Jika perilaku bisnis itu legal, maka dari sudut moral juga
dipandang baik. Bisnis harus menaati peraturan yang berlaku. Bisnis yang baik
berarti bisnis yang patuh pada hukum. Namun, sikap bisnis belum terjamin etis, bila
hanya dibatasi pada hukum saja.
Dari sudut pandang hukum, indikatornya juga cukup jelas, yaitu bahwa
bisnis yang baik adalah bisnis yang tidak melanggar hukum. Indikator yang
digunakan untuk menentukan baik buruknya bisnis dari sudut pandang moral
Menurut Bertens (2000:28) terdapat tiga tolok ukur yang dapat digunakan, yaitu :
1. Hati Nurani
Suatu perbuatan dikatakan baik jika dilakukan sesuai dengan hati nurani.
Tindakan yang bertentangan dengan hati nurani dapat menghancurkan integritas
pribadi. Hati nurani merupakan norma moral yang penting tetapi sifatnya subjektif,
sehingga tidak terbuka bagi orang lain. Oleh karena itu, penilaian tidak dapat hanya
dilakukan dari sudut hati nurani saja, melainkan harus dilakukan bersamaan dengan
norma-nomra lain.
2. Kaidah Emas
Cara yang lebih objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah
Kaidah Emas yang berbunyi: Hendaknya memperlakukan orang lain sebagaimana
anda sendiri ingin diperlakukan. Atau bila dirumuskan secara negatif akan menjadi:

6
janganlah lakukan terhadap orang lain apa yang anda sendiri tidak ingin lakukan
orang lain terhadap anda. Misalnya, kalau tidak ingin ditipu, janganlah menipu
orang lain.
3. Penilaian Masyarakat
Cara lain yang paling ampuh digunakan untuk menilai perilaku moral adalah
dengan menyerahkan kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini juga disebut
audit sosial. Audit sosial menuntut adanya keterbukaan dan transparasi. Perilaku
yang kurang etis biasanya sengaja disembunyikan. Tingkah laku yang baik secara
moral, tidak akan takut dengan transparasi.
3. Karakteristik Bisnis
Profesi dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk nafkah hidup
dengan menggunakan keahlian dan keterampilan dengan melibatkan komitmen
pribadi dalam melakukan pekerjaan tersebut. Bisnis modern mensyaratkan untuk
melakukan dan menuntut para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang profesional.
Bisnis merupakan kegiatan menjual citra kepada masyarakat dengan cara memenuhi
kebutuhan mereka secara prima, baik, dan jujur melalui penawaran barang dan jasa
yang bermutu dan harga yang wajar.
Profesionalisme akhirnya menjadi keharusan dalam bisnis. Hanya saja sikap
profesional dalam bisnis terbatas pada kemampuan teknis menyangkut keahlian dan
keterampilan yang terkait dengan bisnis: manajemen, produksi, pemasaran,
keuangan, personalia, dan seterusnya. Orang-orang yang professional selalu berarti
orang-orang yang mempunyai komitmen pribadi yang tinggi, yang serius dalam
pekerjaan, yang bertanggungjawab terhadap pekerjaannya agar tidak merugikan
orang lain.
Menurut Keraf (Rindjin, 2004:63) suatu profesi yang diperlukan dan dihargai
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Seseorang memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus
yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang membentuk
profesinya, yang membedakannya dengan orang lainnya. Barang atau jasa yang
bermutu dan dengan harga yang kompetitif hanya dapat dihasilkan oleh
profesionalisme.
2. Terdapat kaidah dan standar moral. Pada setiap profesi selalu ada
peraturan yang menentukan bagaimana profesi itu dijalankan. Peraturan yang biasa
disebut kode etik ini sekaligus menunjukan tanggungjawab professional dalam

7
melakukan pekerjaan, seperti kode etik dokter, wartawan, pengacara, akuntan, dan
sebagainya. Untuk menjaga kemurnian dan ketepatan pelaksanaan kode etik ini,
dibentuklah organisasi profesi. Organisasi profesi ini berkewajiban menjaga nama
baik organisasi, melakukan seleksi anggota baru dan bila perlu memberikan sanksi
kepada anggota yang melanggar kode etik profesi.
3. Seseorang perlu memiliki izin khusus atau lisensi untuk bias
menjalankan suatu profesi. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi profesi tersebut
dari orang-orang yang tidak professional. Tergantung dari jenis profesi, setelah
seseorang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan telah melalui pengujian dan
pemeriksaan yang seksama sesuai dengan ketentuan yang berlaku, ia akan diberi
lisensi oleh pemerintah atau organisasi profesi.
4. Memberikan pelayanan pada masyarakat. Keuntungan harus dibayar
sebagai akibat logis dari pelayanan kepada masyarakat, bahkan keikutsertaan dalam
menyejahterakan masyarakat, adalah citra perusahaan yang baik.
4. Pergeseran paradigma dari pendekatan stockholder ke pendekatan
stakeholderTanggungjawab moral dan sosial bisnis
Shareholders atau stockholders paradigma merupakan sebuah paradigma
dimana Chief Executive Officer (CEO) berorientasi pada kepentingan pemegang
saham. Pihak manajemen sebagai pemegang mandat (agency) berusaha memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya untuk menyenangkan dan meningkatkan kemakmuran
pemegang saham (principal). Seakan-akan pemegang saham merupakan pihak yang
paling berpengaruh bagi kelangsungan hidup perusahaan. Orientasi seperti ini
mengakibatkan evaluasi yang dilakukan atas pengelolaan bisnis hanya dilihat dari
aspek finansial. Prestasi manajemen hanya dilihat dari kemampuannya
menghasilkan laba. Hal ini mendorong manajemen menghalalkan berbagai cara
demi mengejar keuntungan. Tindakan demikian mengakibatkan adanya pihak-pihak
lain yang dirugikan.
Paradigma shareholders kemudian mengalami pergeseran, karena pada
kenyataannya manajemen dihadapkan pada banyak kepentingan yang pengaruhnya
perlu diperhitungkan secara seksama. Bagaimanapun juga dalam kegiatan bisnis
akhirnya muncul kesadaran bahwa dalam usaha memperoleh laba, selain
shareholders, wajib juga diperhatikan kepentingan pihak-pihak lain yang terkena
dampak kegiatan bisnis. Pihak berkepentingan (stakeholders) adalah individu atau

8
kelompok yang dapat dipengaruhi atau mempengaruhi tindakan, keputusan,
kebijakan, praktek, dan tujuan organisasi bisnis. Perusahaan berdiri ditengah-tengah
lingkungan. Lingkungan merupakan satu-satunya alasan mengapa bisnis itu ada.
Pendekatan stakeholders terutama memetakan hubungan-hubungan yang
terjalin kedalam kegiatan bisnis pada umumnya. Pendekatan ini berusaha
memberikan kesadaran bahwa bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan
kepentingan semua pihak yang terkait yang berkepentingan dengan suatu kegiatan
bisnis dijamin, diperhatikan dan dihargai. Pendekatan ini bermuara pada prinsip
tidak merugikan hak dan kepentingan manapun dalam kegiatan bisnis. Hal ini
menuntut agar bisnis dijalankan secara baik dan etis demi hak dan kepentingan
semua pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan bisnis. Adapun lingkungan yang
berada di sekitar perusahaan adalah pemegang saham, kelompok pendukung, media
massa, kelompok sosial, pemerintah asing, pemerintah setempat, pesaing,
konsumen, pemasok, pekerja, dan kreditur.
Pada umumnya stakeholders dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok primer
Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham (shareholders),
kreditur, pegawai, pemasok, konsumen, penyalur, pesaing atau rekanan. Yang paling
penting diperhatikan dalam suatu kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer
karena hidup matinya atau berhasil tidaknya bisnis suatu perusahaan sangat
ditentukan oleh relasi yang saling menguntungkan yang dijalin dengan kelompok
primer tersebut. Demi keberhasilan dan kelangsungan bisnis, perusahaan tidak boleh
merugikan satupun kelompok stakeholders primer diatas. Dengan kata lain,
perusahaan harus menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok
tersebut, seperti jujur dan bertanggung jawab dalam penawaran barang dan jasa,
bersikap adil terhadap mereka,
dan saling memahami satu sama lain. Di sinilah kita menemukan bahwa
prinsip etika menemukan tempat penerapannya yang paling konkret dan sangat
sejalan dengan kepentingan bisnis untuk mencari keuntungan.
2. Kelompok sekunder
Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah setempat, pemerintah asing,
kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya
dan masyarakat setempat. Dalam situasi tertentu kelompok sekunder bisa sangat
penting bahkan bisa jauh lebih penting dari kelompok primer, karena itu sangat perlu

9
diperhatikan dan dijaga kepentingan mereka. Misalnya, kelompok sosial semacam
LSM, baik dibidang lingkungan hidup, kehutanan maupun hak masyarakat lokal.
Demikian pula pemerintah nasional mupun asing. Juga, media massa dan
masyarakat setempat. Dalam kondisi sosial, ekonomi, politik semacam Indonesia,
masyarakat setempat bisa sangat mempengaruhi hidup matinya perusahaan. Ketika
suatu perusahaan beroperasi tanpa memberikan kesejahteraan, nilai budaya, saran
dan prasarna lokal, lapangan kerja setempat dan lainnya, akan menimbulkan suasana
sosial yang tidak kondusif dan tidak stabil bagi kelangsungan bisnis perusahaan
tersebut.
Jika ingin berhasil dan bertahan dalam bisnisnya, maka perusahaan harus
pandai menangani dan memperhatikan kepentingan kedua kelompok stakeholders
tersebut secara berimbang. Perusahaan dituntut untuk tidak hanya memperhatikan
kinerja dari aspek keuangan semata, melainkan juga dari aspek aspek lain secara
berimbang. Balanced Scorecard yang dikemukakan oleh Kaplan & Kaplan pada
tahun 1970-an merupakan salah satu pendekatan yang kini banyak digunakan dalam
melakukan perencanaan strategi bisnis dan evaluasi kinerja perusahaan. Balanced
Scorecard menekankan perhatian secara berimbang antara kinerja dari aspek internal
dan eksternal, serta aspek finansial dan nonfinansial. Implementasi pendekatan ini
menunjukkan wujud nyata kesadaran bisnis akan pentingnya perhatian terhadap
stakeholders.
5. Tanggungjawab Moral dan Sosial Bisnis
a. Tanggungjawab Moral Bisnis
Terdapat berbagai pandangan mengenai tanggungjawab moral bisnis. Kaum
neo-klasik dan modern, mulai dari Adam Smith, Thomas Hoobes, John Locke,
Milton Fiedman, Theodore Levitt, dan John Kenneth Galbraith berpendapat bahwa
bisnis adalah korporasi impersonal yang bertujuan untuk memperoleh laba. Sebagai
institusi impersonal atau pribadi, bisnis tidak mempunyai nurani, sehingga tidak
bertanggungjawab secara moral (Weiss, 1994:88). Dengan kata lain, menurut
pandangan ini bisnis adalah institusi yang tidak berkaitan dengan moralitas yang
bertujuan meningkatkan pemenuhan kepentingan pihak-pihak yang terlibat, dan
melalui kekuatan pasar. Ini berarti pandangan mereka tergolong ulitarianisme karena
bisnis memberikan yang terbaik untuk sebagian besar anggota masyarakat.

10
Terdapat perbedaan pandangan dari Kenneth Goodpastern dan John
Metthews yang mengatakan bahwa bisnis adalah analog dengan individu, yang
mempunyai kehendak, nurani, tujuan dan strategi (Weiss, 1994:90). Pengertian
individu di sini bukanlah secara harfiah, melainkan sebagai kumpulan orang yang
mendukung nilai-nilai moral yang mewakili bisnis. Oleh karena itu, bisnis bukan
saja secara hukum dan moral bertanggungjawab sosial, yaitu untuk menjadi warga
negar yang baik. Pandangan ini sejalan dengan kedudukan perusahaan sebagai
suatu badan hukum yang dapat mempunyai berbagai hak. Oleh karena itu, sangat
wajar jika bisnis juga mempunyai tanggungjawab moral dan sosial sebagaimana
halnya pribadi individu. Sehingga disimpulkan bahwa bisnis menyerupai institusi
personal, ehingga mempunyai nurani.
Pandangan lain melihat bisnis sebagai korporasi sosial ekonomi pihak
berkepentingan (corporation as sosial and economic stakeholder). Korporasi (dalam
arti perusahaan dan pimpinannya) mempunyai kewajiban utama kepada pemilik dan
pemegang saham, karena mereka telah memberikan mandate ekonomi kepada
korporasi. Korporasi bertanggungjawab secara sosial dan moral kepada
konstituennya, artinya memelihara hubungan yang bertanggungjawab dengan pihak
berkepentingan serta peduli dan responsive terhadap tuntutan-tuntutannya
berdasarkan standar etika mengenai kejujuran dan keadilan.
CEO, manajer puncak, dan dewan direksi mempunyai kewajiban moral
untuk menyampaikan secara jujur kemajuan dan kondisi ekonomis-finansial
korporasi kepada pemegang saham, bertanggungjawab secara sosial kepada
masyarakat atau Negara di mana korporasi beroperasi, berkewajiban moral untuk
menyediakan kondisi dan lingkungan kerja yang sehat dan aman, memberikan upah
yang adil kepada pegawai, menginformasikan dengan benar kepada konsumen atau
pemakai jasa mengenai produk yang dihasilkannya serta jasa-jasa pelayanan yang
diberikan.
Setiap pihak yang mengikat diri terhadap manajemen mutu sesungguhnya
menyetujui adanya tanggungjawab moral. Menurut Pratley (1997:134-135) minimal
ada tiga tanggungjawab utama korporasi yaitu:
1. Menghasilkan barang-barang, kepuasan konsumen, dan keamanan
pemakaian;

11
2. Peduli terhadap lingkungan, baik dilihat dari sudut masukan maupun
keluaran, pembuangan limbah yang aman, serta mengurangi penyusutan
sumber daya;
3. Memenuhi standar minimal kondisi kerja dan sistem pengupahan serta
jaminan sosial.
b. Tanggungjawab sosial
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility
(atau disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun
bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen
tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi
untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan
berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering
diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy,
corporate community relations, dan community development. Implementasi CSR di
perusahaan pada umumnya di pengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Komitmen pimpinan
Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-
masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan
mempedulikan aktivitas sosial.
2. Ukuran dan kematangan perusahaan
Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan
kontrubusai ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun
bukan berarti perusahaan menengah, kecil dan belum mapan tidak
dapat menerapkan CSR.
3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah
Semakin overlap-nya regulasi dan penataan pajak akan membuat
semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan
sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusif
regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih
berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk kontribusi
kepada masyarakat.

12
Terdapat tiga alasan penting dan manfaat yang diperoleh suatu perusahaan
dalam merespon dan menerapkan CSR yang sejalan dengan operasi usahannya,
sebagai berikut.
1. Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan karena itu wajar bila
perusahaan juga turut memperhatikan kepentingan masyarakat, Dengan
adanya penerapan CSR, maka perusahaan secara tidak langsung telah
menjalin hubungan dan ikatan emosional yang baik terhadap shareholder
maupun stakeholders.
2. Kalangan bisnis dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme (saling mengisi dan menguntungkan. Bagi perusahaan, untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat, setiudaknya licence to operate,
adalah suatu keharusan bagi peruysahaan jika dituntut untuk memberikan
kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bias mendongkrak citra dan
performa perusahaan.
3. Kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi sebagai
potensi mobilisasi massa (penduduk) untuk melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan sebagai akses eksploitasi oleh perusahaan tanpa mengedepankan
adanya perluasan kesempatan bagi terciptanya kesejahteraan dan
pengembangan sumber daya manusia yang berdomisili di sekitar wilayah
penambangan pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Isi tanggungjawab Sosial
Bisa dilihat dengan jelas bahwa ada dua jalur tanggungjawab sosial
perusahaan sesuai dengan dua jalur relasi perusahaan dengan masyarakat,
yaitu relasi primer dan relasi sekunder. Secara singkat isi tanggung jawab
sosial perusahaan sebagai berikut:
1. Terhadap relaasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah
dilakukan dengan perusahaan lain, membayar hutang, memberi
pelayanan kepada konsumen dan pelanggan dengan baik,
memperhatikan hak pegawai, dan sebagainya.
2. Terhadap relasi sekunder, bertanggungjawab atas operasi dan dampak
bisnis terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah
sosial seperti, lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, paja, dan
lain sebagainya.

13
Berdasarkan isi tanggungjawab sosial itu, maka tanggung jawab sosial bisnis
adalah keterlibatan bisnis dalam mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan sosial
masyarakat, tanpa terlalu menghiraukan kepentingan untung ruginya dari segi
ekonoms. Tanggungjawab sosial dapat dirumuskan dalam dua wujud:
1. Positif: melakukan kegiatan yang bukan didasarkan pada perhitungan
untung rugi, melainkan didasarkan pada pertimbangan demi
kesejahteraan masyarakat.
2. Negatif: tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari segi ekonomis
mengutungkan, tetapi dari segi sosial merugikan kepentingan dan
kesejahteraan sosial.
6. Kode Etik Berbagai Profesi
Kode etik suatu profesi berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya
di masyarakat. Norma norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota
profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan-
larangan ataupun hal-hal yang tidak boleh diperbuat oleh mereka, tidak saja
menyangkut dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut
tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di
masyarakat.
a. Tujuan Kode Etik Berbagai Profesi
Tujuan mengadakan kode etik sebagai berikut.
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. Dalam hal ini yang dijaga
adalah image dari pihak luar atau masyarakat agar jangan sampai
orang luar memandang rendah atau remeh profesi tersebut.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota baik
berupa materiil maupun spiritual/mental. Misalnya dengan
menetapkan tarif minimum bagi guru honorer.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi. Dalam hal ini
kode etik juga berisi tujuan pengabdian generasi tertentu, sehingga
bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan
tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugas
profesinya.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi. Kode etik juga memuat norma-
norma tentang anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha

14
meningkatkan mutu para anggotanya sesuai dengan bidang
pengabdiannya.
b. Penetapan Kode Etik Berbagai Profesi
Kode etik ditetapkan oleh organisasi suatu perkumpulan atau
perserikatan suatu profesi untuk para anggotanya. Penetapan kode etik lazim
dilakukan pada suatu organisasi ataupun suatu profesi. Penetapan kode etik
profesi tidak bisa sembarangan dan tidak bisa dilakukan oleh perseorangan,
melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas
nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut, sehingga orang-orang
yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut tidak dapat
ditundukkan padanya. Maka kode etik dari suatu organisasi hanya akan
mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin dikalangan
profesi tersebut, jika orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung
dalam organisasi ataupun profesi tersebut.
c. Sanksi Jika Melanggar Kode Etik
Dapat kita jumpai bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi,
sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik saja dapat
meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Pencampuran
tersebut bersifat memberikan sanksi-sanksi hukum yang memaksa, baik
pidana ataupun perdata. Sanksi pada dasarnya merupakan upaya pembinaan
kepada suatu profesi yang melakukan pelanggaran dan juga untuk menjaga
harkat dan martabat profesi tersebut.
d. Jenis Kode Etik Berbagai Profesi
1. Kode Etik Pemasaran atau American Marketing Association (AMA)
a) Tanggung jawab (responsibilities)
Pelaku pemasaran harus bertanggungjawab atas konsekuensi aktivitas
mereka dan selalu berusaha agar keputusan, rekomendasi dan fungsi
tindakan mereka mengidentifikasi, melayani, dan memuaskan
masyarakat (publik) yang relevan: para pelanggan, organisasi dan
masyarakat
b) Kejujuran dan kewajaran (honesty and fairness)
Pelaku pemasaran harus menjaga dan mengembangkan integritas,
kehormatan dan martabat profesi pemasaran.
2. Kode Etik Akuntansi atau Insitute of Management Accountants
a) Kompetensi

15
Artinya, akuntan harus memelihara pengetahuan dan keahlian yang
sepantasnya, mengikuti hukum, peraturan dan standar teknis, dan
membuat laporan yang jelas dan lengkap berdasarkan informasi yang
dapat dipercaya dan relevan.
Praktisi manajemen akuntansi dan manajemen keuangan memiliki
tanggung jawab untuk:
Menjaga tingkat kompetensi profesional sesuai dengan
pembangunan berkelanjutan, pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki.
Melakukan tugas sesuai dengan hukum, peraturan dan standar

teknis yang berlaku.


Mampu menyiapkan laporan yang lengkap, jelas, dengan

informasi yang relevan serta dapat diandalkan.


b) Kerahasiaan (Confidentiality)
Mengharuskan seorang akuntan manajemen untuk tidak
mengungkapkan informasi rahasia kecuali ada otorisasi dan hukum
yang mengharuskan untuk melakukan hal tersebut. Praktisi
manajemen akuntansi dan manajemen keuangan memiliki tanggung
jawab untuk:
Mampu menahan diri dari mengungkapkan informasi rahasia
yang diperoleh dalam pekerjaan, kecuali ada izin dari atasan atau atas
dasar kewajiban hukum.
Menginformasikan kepada bawahan mengenai kerahasiaan

informasi yang diperoleh, agar dapat menghindari bocornya rahasia


perusahaan. Hal ini dilakukan juga untuk menjaga pemeliharaan
kerahasiaan.
Menghindari diri dari mengungkapkan informasi yang diperoleh

untuk kepentingan pribadi maupun kelompok secara ilegal melalui


pihak ketiga.
c) Integritas (Integrity)
Mengharuskan untuk menghindari conflicts of interest,
menghindari kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka terhadap
kemampuan mereka dalam menjunjung etika. Praktisi manajemen
akuntansi dan manajemen keuangan memiliki tanggung jawab untuk :

16
Menghindari adanya konflik akrual dan menyarankan semua
pihak agar terhindar dari potensi konflik.
Menahan diri dari agar tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang

akan mengurangi kemampuan mereka dalam menjalankan tugas


secara etis.
Menolak berbagai hadiah, bantuan, atau bentuk sogokan lain yang

dapat mempengaruhi tindakan mereka.


Menahan diri dari aktivitas negatif yang dapat menghalangi

dalam pencapaian tujuan organisasi.


Mampu mengenali dan mengatasi keterbatasan profesional atau

kendala lain yang dapat menghalangi penilaian tanggung jawab


kinerja dari suatu kegiatan.
Mengkomunikasikan informasi yang tidak menguntungkan serta

yang menguntungkan dalam penilaian profesional.


Menahan diri agar tidak terlibat dalam aktivitas apapun yang akan

mendiskreditkan profesi.
d) Objektivitas (Objectifity)
Mengharuskan para akuntan untuk mengkomunikasikan informasi
secara wajar dan objektif, mengungkapan secara penuh (fully
disclose) semua informasi relevan yang diharapkan dapat
mempengaruhi pemahaman user terhadap pelaporan, komentar dan
rekomendasi yang ditampilkan. Praktisi manajemen akuntansi dan
manajemen keuangan memiliki tanggung jawab untuk :
Mengkomunikasikan atau menyebarkan informasi yang cukup

dan objektif.
Mengungkapkan semua informasi relevan yang diharapkan dapat

memberikan pemahaman akan laporan atau rekomendasi yang


disampaikan.
e) Resolusi atas konflik etis
Dalam menerapkan standar kode etik, praktisi akuntansi manajemen
dan manajemen keuangan mungkin menghadapi masalah dalam
mengidentifikasikan perilaku tidak etis atau di dalam memecahkan
suatu konflik etis.

17
3. Kode Etik Keuangan atau Association for Investment Management
and Research (AIMR)
a) Bertindak berdasarkan integritas, kompetensi, martabat dan
bertindak etis dalam berhubungan dengan publik dst.
b) Menjalankan dan mendorong pihak lain untuk bertindak etis
dan professional.
c) Berusaha keras untuk memeliharan dan meningkatkan
kompetensi dan kompetensi pihak lain.
d) Menerapkan kehati-hatian dan menjalankan penilaian yang
bersifat independen.
4. Kode Etik Teknologi Informasi atau Association for Computing
Machinary
a. Bertindak berdasarkan tanggung jawab dan komitmen.
b. Menjalankan dan mendorong pihak lain untuk bertindak jujur
dan dapat dipercaya.
c. Berusaha keras untuk memeliharan kerahasiaan para kliennya.
d. Mampu menjaga dan menghormati privasi orang lain dan
bertindak secara adil.
5. Kode Etik Fungsi Lainnya
Setiap elemen di dalam perusahaan akan berinteraksi satu dengan
yang lainnya yang akan memengaruhi perusahaan secara
keseluruhan, sekecil apapun peran yang dimainkan oleh setiap
elemen tersebut. Misalnya bagian produksi di suatu perusahaan.
Walaupun bagian produksi tidak berhubungan langsung dengan
pelanggan, namun kualitas produk yang dihasilkan sangat
menentukan kinerja fungsi pemasaran.

III. Simpulan
Simpulan yang didapatkan dari pembahasan di atas adalah:
1. Etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan
kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
a. Etika deontologi menilai tindakan itu baik atau buruk berdasarkan
aturan-aturan, prosedur atau kewajiban.

18
b. Etika teleologi menilai suatu tindakan itu baik atau buruk dari sudut
tujuan, hasil, sasaran atau keadaan optimum yang dapat dicapai.
2. Bisnis pada hakikatnya adalah organisasi yang bekerja di tengah-tengah
masyarakat atau merupakan sebuah komunitas yang berada di tengah-tengah
komunitas lainnya. Bisnis sebagai kegiatan sosial pada hakikatnya dapat
dipandang dari 3 (tiga) sudut yang berbeda yaitu sudut pandang ekonomi,
moral dan hukum.
3. Suatu profesi yang diperlukan dan dihargai mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a. Seseorang memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus
yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang
membentuk profesinya.
b. Terdapat kaidah dan standar moral.
c. Seseorang perlu memiliki izin khusus atau lisensi untuk bias
menjalankan suatu profesi.
d. Memberikan pelayanan pada masyarakat.
4. Paradigma shareholders kemudian mengalami pergeseran, karena pada
kenyataannya manajemen dihadapkan pada banyak kepentingan yang
pengaruhnya perlu diperhitungkan secara seksama.
5. Korporasi bertanggungjawab secara sosial dan moral kepada konstituennya,
artinya memelihara hubungan yang bertanggungjawab dengan pihak
berkepentingan serta peduli dan responsif terhadap tuntutan-tuntutannya
berdasarkan standar etika mengenai kejujuran dan keadilan.
6. Kode etik suatu profesi berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam
hidupnya di masyarakat.

19
DAFTAR REFRENSI

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta

Dewi, Sutrisna. 2011. Etika Bisnis Konsep Dasar Implementasi dan Kasus. Bali:
Universitas Udayana Press.

Keraf, Sonny. 1998. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Edisi Baru. Jakarta:
Penerbit Kanisius.

Pratley, Petter. The Essence Business Ethics, diterjemahkan Gunawan Prasetio, Andi,
Yogyakarta.

Rindjin, I Ketut. 2004. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta, PT Gramedia


Pustaka Utama

Satyanugraha, Heru. 2003. Etika Bisnis-Prinsip dan Aplikasi. Jakarta: LPFE


Universtas Trisakti

Weis, Joseph W. 1994, Business Ethics A Managerial, Stakeholder Approach,


Wadsworth Publishing Co., California.

20

Anda mungkin juga menyukai