Anda di halaman 1dari 10

Kemudian ditambahkan pereaksi setetes demi setetes, sambil diaduk.

Bahan bermassa
molekul paling tinggi menjadi tidak larut dan segera terpisah. Tambahkan pereaksi berikutnya
untuk mengendapkan polimer bermassa molekul tinggi berikutnya. Pekerjaan seperti ini
diulang-ulang untuk memisahkan fraksi-fraksi polimer yang masa molekulnya semakin lama
semakin berkurang. Cara lain adalah mencari pelarut yang dapat melarutkan polimer dalam
keadaan panas dan mengendap dalam keadaan dingin,sehingga fraksi-fraksi dengan massa
molekul yang semakin berkurang berturut-turut diendapkan.

2. Pengelusian bertingkat

Metode ini sama dengan metode kolom kromatografi, dimana polimer diekstraksi dari zat
padat ke dalam larutan. Kolom diisi dengan padatan yang mengandung polimer dan dielusi
dengan campuran pelarut yang secara perlahan dinaikan daya kelarutannya. Ini menyebabkan
polimer bermassa molekul rendah akan keluar dari kolom lebih dulu diikuti oleh fraksi
polimer yang bermassa molekul makin besar, dengan semakin besarnya salah satu fraksi
pelarut dalam campurannya.

3. Kromatografi permeasi gel

Pada metode ini suatu kolom yang mempunyai pori atau celah diisi dengan beberapa bahan
polimer bercabang (yang dapat mengembang jika terkena pelarut). Larutan sampel polimer
yang sedang diteliti dilewatkan ke dalam kolom dan dielusi dengan lebih banyak pelarut.
Semakin kecil molekul polimer, semakin sukar terelusi dari kolom, karena lebih mudah
berpindah melalui celah-celah. Dengan demikian,molekul yang paling besar (memiliki massa
molekul tertinggi) akan terelusi dahulu karena tidak dapat memasuki lubang kemasan.

Kromatografi permeasi gel untuk


kopolimer berselang-seling yang
terbentuk dari feniletuna dan
anhidrida butenadioat (Blok,
Cowd dan Walker 1972, Polymer,
13, 594). Kromatografi ini
berhubungan dengan sebaran
massa molekul.

Pemisahan setelah penyuntikan

16.7 PENENTUAN MASSA MOLEKUL NISBI

Pada penentuan massa molekul nisbi ini, kita hanya membahas beberapa contoh, termasuk
cara penentuan yang sudah sangat dikenal misalnya osmometri.

16.7.1 Analisis gugus ujung

Jika suatu polimer diketahui menggandung jumlah tertentu gugus ujung per molekulnya, maka
jumlah gugus itu dapat ditentukan dalam sejumlah massa polimer dengan metode analisis.
Dari informasi ini massa satu mol polimer dapat ditentukan, dan tentunya massa molekul nisbi
polimer juga dapat ditentukan. Agar lebih jelas, perhatikan contoh berikut ini.
Contoh:

Misalnya 1 gram poliester yang diambil menggandung satu gugus COOH per molekul
polimer. Jika 10,00 cm3 larutanbaku natrium hidroksida 0,01 mol dm3 diperlukan untuk
menetralkan sampel tersebut, berapakah massa molekul nisbi polimer?

Jawaban:

10
0,01 = 104
1000
Jumlah mol gugus COOH adalah 10-4 mol. Karena setiap molekul polimer mengandung satu
gugus COOH , maka jumlah mol polimer yang ada adalah 10-4 mol. Berat 10-4 mol polimer
tersebut adalah 1 gram. Jadi, 1mol polimer beratnya adalah 1/10-4 g = 10.000 g. Karena
analisis gugus ujung melibatkan pencacahan jumlah gugus COOH, yang berarti juga
merupakan jumlah molekul polimer yang ada, maka rata-rata massa molekul nisbi polimer

, adalah 10.000.

Metode ini mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, kita harusmengandaikan


struktur molekul. Misalnya jika polimer pada contoh diatas mengandung dua gugus COOH
per molekul polimer, atau bahkan campuran kedua macam polimer diatas, maka perhitungan
yang diperlihatkan diatas tidak dapat dipakai.

Kedua, jika massa molekul polimer sangat besar, maka jelas 1 g sampel polimer akan
mengandung lebih sedikit gugus fungsi daripada contoh perhitungan. Berarti makin besar
massa molekul makin sukar untuk menentukan jumlah gugus yang ada. Dengan kata lain kita
dibatasi oleh kepekaan metode analitik. Karena kelemahan ini maka analilis gugus fungsi
hanya dapat dipakai untuk
yang mendekati 25.000. Namun demikian, metode ini masih
sangat berguna bagi polimer kondensasi yang bermassa molekul nisbi rendah. Gugus lain
yang mudah dideteksi secara analitik adalah gugus hidroksil (poliester) dan gugus amina
(poliamida).

16.7.2 Metode viskositas

Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metade lainnya yaitu lebih cepat, lebih
mudah, alatnya murah, dan perhitungan hasilnya lebih sederhana. Prinsip dari metodeini
adalah berdasarkan perbandingan antara viskositas larutan polimer dengan viskositas pelarut
murni yang dipakai untuk menentukan massa molekul nisbi polimer. Alat yang dipakai untuk
mengukur viskositas pelarut dan larutan polimer adalah viskometer Oswald atau viskometer
Ubbelohde seperti yang ditunjukkan di bawah ini.
Pada dasar nya kita mengukur waktu yang diperlukan pelarut atau larutan polimer
untuk menggalir diantara dua tanda, x dan y. Dalam viskometer Oswalt,volume cairan harus
dibuat tetap karena ketika cairan mengalir ke bawah melalui pipa kapiler A, cairan akan
didorong naik ke B. Akibatnya,jika volume cairan berbeda pada beberapa percobaan, maka
massa cairan yang didorong menaiki tabung B akan berubah pula, sehingga menghasilkan
waktu alir yang tidak taat asas.

Pada viskometer Ubbelohde, pengukuran tidak bergantung pada volume cairan yang
dipakai, karena viskometer dirancang untuk bekerja dengan cairan mengalir melalui kapiler
tanpa cairan dibawahnya. Waktu alir diukur untuk pelarut dan larutan polimer pada berbagai
kepekaan. Viskometer Ubbelohde mempunyai keunggulan, yaitu dapat mencapai berbagai
konsentrasi. Larutan polimer dapat diencerkan dalam viskometer dengan menambahkan
sejumlah tertentu pelarut (karena volum cairan yang dipakai tidak penting). Pengukuran
dilakukan dengan viskometer yang berada dalam penangas airbersuhu tetap untuk mencegah
naik turunnya viskositas akibat perubahan suhu.

Sekarang mari kita tinjau teori dasar viskositas larutan polimer dan bagaimana hasil
percobaan dapat digunakan untuk menggukur massa molekul. Jika viskositas larutan polimer
adalah dan viskositas pelarut murni adalah maka viskositas jenis ( ) larutan polimer
menjadi:

= (16.3)

Persamaan ini menggambarkan peningkatan viskositas yang disebabkan oleh polimer. Rasio
/ c (c adalah konsentrasi larutan polimer) disebut viskositas tereduksi atau angka
viskositas batas (viskositas intrinsik) dan diberi notasi []. Secara matematik dapat dinyatakan
dengan :

lim = [] (16.4)
0

Karena massa jenis berbagai larutan yang dipakaidalam suatu percobaan hampir sama
dengan massa jenis pelarut, maka sebagai pendekatan dapat dikatakan viskositas setiap larutan
hasil pengenceran berbanding lurus dengan waktu alirnya,sehingga Persamaan 16.3 menjadi:
2 1
= (16.5)
1

t2 adalah waktu alir untuk larutan, sedangkan t1 adalah waktu alir untuk pelarut. Dari
percobaan waktu alir untuk berbagai pengenceran larutan polimer dan untuk pelarut murni
dapat diperoleh. Dengan demikian, harga sp dan sp/c dapat dihitung. Selanjutnya, harga sp/c
dialurkan terhadap konsentrasi, hasil ekstrapolasi pada konsentrasi nol akan menghasilkan
harga [].
Mark dan Houwink kemudian mendapatkan bahwa viskositas batas dapat dikaitkan
dengan massa molekul nisbi melalui Persamaan 16.6 di bawah ini:

[] = (16.6)

M = massa molekul nisbi


K dan a adalah tetapan yang spesifik untuk sistem polimer pelarut tertentu

K dan a harus ditentukan dengan menggunakan paling sedikit dua sampel polimer
yang mempunyai massa molekul nisbi berbeda. Harga molekul nisbi iniharus ditentukan
dengan metode mutlak untuk menentukan massa molekul nisbi, karna tanpa mengetahui harga
K dan a, massa molekul nisbi tidak dapat dihitung. Akan tetapi jika ini diketahui, viskositas
merupakan metode yang sangat menarik.

16.7.3 Osmometri

Larutan encer polimer hanya menyebabkan kenaikan titik didih dan penurunan titik beku yang
kecil sehingga sukar diukur dengan teliti. Namun demikian tekanan osmosis larutan polimer
jauh lebih mudah diukurdan memungkinkan dilakukannya pengukuran mutlak massa molekul
polimer. Karena tekanan osmosis merupakan sifat koligatif, yaitu sifat yang bergantung pada
jumlah partikel terlarut yang ada, maka osmometri menghasilkan harga rata-rata massa
molekul nisbi. Osmosis dapat dikatakan sebagai lewatnya pelarut melalui membran (selaput
ardatiris) dari pelarut murni ke dalam larutan atau dari larutan yang lebih encer ke larutan
yang lebih pekat. Selaput ardatiris hanya dapat melewatkan pelarut saja,sedangkan zat terlarut
tidak dapat melewatinya. Contoh selaput ardatiris yaitu kertas kulit, selofan, dan bahan
berselulosa. Contoh osmometer sederhana dapat dilihat seperti gambar di bawah ini.

Osmometer sederhana

Proses osmosis dapat dijelaskan berikut ini. Mula-mula tinggi pelarut dan larutan
sama. Setelah didiamkan beberapa saat, osmosis terjadi ketika pelarut pindah ke dalam larutan
melewati selaput ardatiris. Dengan demikian,tinggi larutan naik, tetapi pada suatu saat
kenaikannya berhenti karena kesetimbangan dinamik telah dicapai. Pada saat itu selisih
ketinggian pelaarut dan larutan adalah h, tentu saja perpindahan pelarut melewati selaput tetap
berlangsung pada kedua arah tetapi dengan kecepatan yang sama.

Berkeler dan Hartley adalah duaorang perintis yang menyelidiki tentang osmosis, kemudian
Vantt Hoffmenggunakan data hasilpengukuran tekanan osmosis itu untuk menurunkan
hukum-hukum osmosis, yaitu berbanding lurus dengan konsentrasi c dan juga berbanding
lurus dengan suhu mutlak T.

~ c dan ~ T (16.7)
Kombinasi kedua persamaan tersebut di atas memberikan persamaan:

=kcT (16.8)

k adalahtetapan kesebandingan. Oleh karena itu, batasan konsentrasi adalah

()
=
()

Maka penggantian c pada Persamaan 16.8 menghasilkan persamaan:



= atau = (16.9)

Beberapa percobaan selanjutnya yang dilakukan oleh Vant Hoff menunjukkan bahwa
tetapan k (untuk satu mol zat terlarut) harganya hampir sama dengan tetapan gas per mol, R.
Jadi

= (16.10)

Bandingkan dengan persamaan gas ideal, pV = nRT. Oleh karena jumlah molzat
terlarut, n = w/M dimana w adalah zat terlarut,dan M adalah massamolekul nisbi, maka
dengan menggantikanharga n pada persamaan 16.10 diperoleh persamaan:

= (16.11)


Dan karena
adalah konsentrasi larutan, c, diukur dalam massa per satuan volume, maka
akan diperoleh persamaan:


= (16.12)
c

Persamaan 16.12 adalah persamaan yang diturunkan Vant Hoff.Persamaan ini


berlaku untuk larutan ideal dan dianggap berlaku untuk larutan encer molekul-molekul kecil,
tetapi untuk larutan polimer tinggi persamaan mengambil bentuk deret pangkat:

= + Bc + Cc (16.13)
c

Urutan larutan encer berkonsentrasi rendah suku terakhir dapat dihilangkan sehingga
persamaan 16.13 menjadi:

c
=
+ (16.14)

Jika tekanan osmosis diukur, maka larutan polimerpada suhu tetap dan berbagai

konsentrasi,
terdapat c, akan memberikan garis lurus dengan kemiringan B dan
perpotongan RT/M (lihat Gambar di hal. 429). Jadi, harga rata-ratabagi massa molekul

nisbi, , dapat dihitung. Perlu diingat bahwa uraian yang disajikan disini sangatlah
disederhanakan. Osmometri merupakan topik yang banyak dibahas secara mendalam,
sehingga hasilnya tidaklah sederhana yang dikemukakan di sini.
Prakiraan massa molekul nisbi rata-rata polimer pada kurva /cterhadap c

Karakteristik paling penting dalam kimia polimerisasi adalah distribusi massa


molekul, karena massa molekul yang berbeda pada polimer yang sama dapat mempengaruhi
sifat-sifat polimer. Sebagai contoh, polistirena yang mempunyai daerah massa molekul sempit
dengan polistirena yang mempunyai daerah massa molekul rata-rata dari kedua sampel
tersebut sama.

16.8 PENGARUH PELARUT TERHADAP MASSAMOLEKUL CABANG POLIMER

Dalam proses polimerisasi ada dua tipe mendasar yang berbeda,yaitu:

1. Peninjauan terhadap kecepatan reaksi atau disebut reaksibertahap polimerisasi


2. Peninjauan terhadap distribusi massa molekul

Prinsip yang membedkanpeninjauan distribusi massa molekul dengan reaksi bertahap adalah
penambahan pusat aktif radikal (radikal atau ion-ion bebas) ke ikatan dalam reaksi yang
sangat cepat, beberapa kali lebih cepat dari pada reaksi bertahap polimerisasi. Reaksi ini biasa
disebut polimerisasi reaksi berantai (chain-reaction polymerization), yang juga terdiri atas
tiga tahap, yaitu inisiasi, propagarasi dan terminasi.

Radikal bebas (R-) diproduksi ketika senyawa organik tidak stabil (inisiator)
didekomposisi oleh panas, cahaya, dan radikal secara homolitik. Dekomposisi inisiator
inidipengaruhi oleh kehadiran pelarut yang dalam hal ini berperan sebagai zat aditif. Bahan
aditif orgnik yang mempunyai substituen Cl atau Br (halogen), jika dikenakan pada matriks
polimer akan menghasilkan radikal polimer.

Mekanisme reaksi penempelan dgn teknik iradiasi simultan diperoleh sebagai berikut:

A 2R
inisiasi
P + R RP

Propagasi RP + M RPM

Radikal polimer yang ditambahkan ke monomer menghasilkan radikal polimer


bercabang (RPM o ), lalu ditambahkan lagi ke monomer dengan cara yang sama untuk
memasuki tahap propagasi selanjutnya.

RP + nM RPMnM
Terminal rantai polimer yang sedang tumbuh dihasilkan dari penggabungan dua rantai
yang sedang tumbuh dan akan menghasilkan ikatan silang (cross linking) sebagai berikut:

terminal RPMnM + MMnPR RPMnM :MMnPR

Dengan adanya perubahan rantai seperti di atas, Florydan Mayomengajukan


fenomena chain tranfer untuk menyelesaikan tahap terminasi pertumbuhan rantai, yaitu suatu
pertumbuhan individu molekul polimer diterminasi dengan pusat aktif yang jumlahnya tetap.
Dengan adanya chain transfer agent, produk cross linked dapat diminimalkan. Reaksi yang
terjadi pada cabang polimer adalah sebagai berikut:

M + RH MH + R

radikal cabang monometer chain transfer agent cabang monomer radikal

Hasil samping reaksi ini adalah terbentuknya homopolimer, karena monomer


berlebihan akan turut serta teradisi atau bereaksi sehingga terjadi proses polimerisasi antar
monomer. Seperti reaksi berikut:

M M

M + nM MM n

MM n + nMM MM n:nMM

Dengan adanya pelarut, persamaan dapat disederhanakan dengan menggunakan


hubungan timbal balik 1/DP dengan asumsi bahwa di bawah kondisi ini tranfer ke seluruh
molekul selain pelarut (S) diabaikan. Pertanyaan ini direduksi menjadi persamaan Mayo+:
1 1 []
= +
[]
(16.15)

Akan tetapi, chain transfer (Cs) adalah perbandingan laju penghentian dan laju
propagasi, dihubungkan ke ikatan relatif dalam molekul pelarut tidak stabil dan kestabilan
pelarut. Dari persamaan di atas, Cs didapat dari slope garis lurus yang diperoleh dengan
memplotkan 1/DP dengan [S]/[M] dan perpotongannya adalah 1/DPo.

Harga tetapan chain tranfer untuk pelarut CCI4 terhadap stirena dapat digunakan
untuk memperkirakan range jumlah pelarut yang dipakai untuk mengatur percabangan stirena
pada polimernya. Bahan aditif CCI4 yang dalam hal ini berfungsi sebagai pelarut mempunyai
pengaruh cukup besar terhadap reduksi cabang stirena pada polimer induk dalam proses
kopolimerisasi. Tabel 16.3 memperlihatkan harga Cs pelarut terhadap monomer dan monomer
terseleksi.

Tabel 16.3 Harga Cs pelarut terhadap monomer stirena dan monomer terseleksi
Agen tranfer Cs x 10-4 mol/g

Benzena 0.018
Sikloheksana 0.024
n-butil klorida 0.04
t-butil benzana 0,04
n-butil bromida 0,06
tolbena 0,125
metilena klorida 0,15
etilena klorida 0,32
n-heptana 0,42
Agen tranfer Cs x 10-4 mol/g

klorofm 0,52
isopropil benzena 0,82
2-heptena 2,170
Fenol 8,10
m-kresol 11,80
0-kresol 33,00
CCI4 90,00
n-butil merkaptan 400.000,00
1
Diambil dari Symor, introduction to Polymer Chemistry, 1971.
Tabel 16.3 Harga Cs pelarut terhadap monomer stirena dan monomer terseleksi
(lanjutan)

Agen tranfer

Pelarut Monomer
Cs x 10-4 mol/g
Benzena Akrilonitril
2,50
Metil akrilat
0,10
Metil metakrilat
0,04
Stirena
0,02
Vinil asetat
1,10
Etil bensena Akrilonitril
36,00
Metil akrilat
1,50
Metil metakrilat
0,77
Stirena
0,67
Vinil asetat
55,20
Karbon tetraklorida Akrilonitril
500,00
Metil akrilat
1,30
Metil metakrilat
0,90
Stirena
90,00
Vinil asetat
7300,00
Karbon tetrabromida Akrilonitril 500,00
Metil akrilat 1,30
Metil metakrilat 0,90
Stirena 90,00
Vinil asetat 7300,00

16.9 laju reaksi kopolimerisasi

Laju reaksi polimerisasi harus berukur, sering kali sebanding dengan pangkat konsentrasi
reaktan. Contohnya, kemungkinan suatu laju sebanding dengan konsentras dua buah reaktan
A dan B, sehingga hukum reaksinya adalah:

= [][]
(16.16)

Koefisien k disebutkan konstanta laju reaksi yang tidak bergantung pada konsentrasi (tetapi
bergantung pada subu). Persamaan sejenis ini, yang ditemukan secara eksperimen, disebut
hukum laju reaksi. Secara formal hukum laju reaksi adalah persamaan yang menyatakan laju
reaksi v sebagai fungsi dari konsentrasi semua spesies yang ada, termasuk produknya. Contoh
reaksi dngan hukum laju dalam persamaan 16.16 memiliki orde satu untuk A dan B. Orde
keseluruhan reaksi merupakan penjumlahan orde semua komponennya.

Pada umumnya, kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya laju reaksi.


Pengamatan empiris menunjukkan bahwa umumnya konstanta laju reaksi mengikuti
persamaan Arrhenius:

=
(16.17)

Jadi untuk banyak reaksi, ternyata grafik antaran In k terhadap 1/T menghasilkan garis
lurus. Persamaan Arrhenius sering dituliskan sebagai:

= 1
(16.18)

Dengan A adalah faktor pre-eksponensial dan Ea adalah energi pengaktifan. Energi


pengaktifan merupakan energi minimum yang harus dimiliki reaktan untuk membentuk
produk. Dalam beberapa hal, ketergantungan pada suhu tidak sesuai dengan persamaan
Arrhenius. Akan tetapi, masih mungkin menyatakan kekuatan ketergantungan itu dengan
menyatakan energi pengaktifan sebagai:

= 2 ( /)
(16.19)

Persamaan 16.19 menunjukkan bahwa semakin tinggi energi pengaktifan, semakin


kuat pula ketergantungan konstanta laju pada suhu, jadi, energi pengaktifan yang tinggi
mempunyai arti bahwa konstanta laju berubah dengan cepat terhadap suhu. Semakin tinggi
energi pengaktifan, semakin lambat reaksi berlangsung pada suhu tertentu.

Anda mungkin juga menyukai