Anda di halaman 1dari 5

Inovasi merupakan sebuah proses yang sangat penting, yang harus mampu diwujudkan oleh perusahaan,

agar competitive advantage dapat diraih. Namun demikian tidak semua pemimpin atau manajer dalam
perusahaan mampu berpikir kreatif serta menciptakan inovasi. Dalam proses inovasi, ada lima
kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin inovatif. Kemampuan tersebut adalah
associating, questioning, observing, experimenting, dan networking.

Seorang pemimpin yang inovatif memiliki sesuatu yang disebut dengan creative intelligence atau
kecerdasan kreatif. Kecerdasan ini menyebabkan para pemimpin tersebut mampu menemukan sesuatu
yang belum mampu ditemukan oleh orang lain. Pemimpin yang kreatif menggunakan kedua belah
otaknya, serta menggunakan kelima kemampuan di atas untuk menciptakan ide baru. Kelima ide ini
bekerja seperti layaknya DNA. Associating atau berasosiasi merupakan struktur penopang dari keempat
ide lain, yaitu questioning, observing, experimenting, dan networking.

Kemampuan pertama, dan paling signifikan perannya adalah associating, atau kemampuan untuk
mengasosiasikan berbagai ide, pertanyaan, dan permasalahan yang tidak berhubungan untuk kemudian
mengambil kesimpulan yang inovatif dan out of the box. Sebagai contoh, eBay didirikan karena
penemunya mampu mengasosiasikan tiga hal yang berbeda, (1) Keinginan untuk menemukan pasar baru
yang lebih efisien, setelah dia dipecat dari perusahaan website ternama (2) Keinginan tunangannya untuk
menemukan PEZ Dispenser yang langka, dan (3) Inefektifitas iklan kecik di koran lokal untuk menemukan
barang tersebut. Pierre Odmiyar, penemu eBay, mampu mengasosiasikan ketiga hal yang sepertinya tidak
memiliki hubungan tersebut dan menemukan solusi yang mampu menyelesaikan masalah tersebut.
Kemampuan asosiasi ini bisa dilatih. Semakin sering seseorang berusaha untuk mengerti,
mengkategorisasi, dan menyimpan pengetahuan baru, maka akan semakin mudah bagi otak mereka
untuk melakukan proses asosiasi.

Kemampuan kedua adalah questioning. Seringkali seorang manajer menanyakan suatu hal yang bersifat
konvensional, seperti Bagaimana agar target penjualan bulan ini bisa dicapai? atau Apa yang harus
dilakukan untuk meningkatkan penjualan produk X di pasar Y?. Agar mampu menjadi pemimpin yang
inovatif, maka manajer perlu lebih banyak bertanya mengapa, mengapa tidak, dan bagaimana jika.
Ketika seorang manajer lebih banyak menanyakan hal tersebut maka potensi bagi mereka untuk
menemukan sesuatu yang baru akan semakin meningkat.

Kemampuan ketiga adalah observing. Dalam melakukan pengamatan seorang inovator secara berhati-hati
dan konsisten menganalisis berbagai detil perilaku objek pengamatannya. Dalam hal ini seorang manajer
mengamati perilaku konsumennya, dan menemukan permasalahan yang mereka hadapi. Dari
permasalahan tersebut manajer yang inovatif harus mampu menemukan solusi, yang berbeda lain
daripada yang lain.

Kemampuan keempat adalah experimenting. Seorang pemimpin yang inovatif harus berani mencoba
melakukan eksperimen. Eksperimen di sini berarti membuat prototipe, dan meluncurkan produk baru.
Berbeda dari observer, seorang innovator berani untuk berinteraksi langsung dan membuat respon yang
tidak lazim dalam proses penyelesaian masalah.

Kemampuan kelima adalah networking. Seorang pemimpin yang inovatif harus memiliki jaringan yang
kuat, dengan berbagai macam orang yang memiliki latar belakang serta perspektif yang berbeda. Hal ini
penting agar wawasan yang dimiliki oleh pemimpin tersebut dapat lebih luas menjangkau berbagai
macam disiplin ilmu. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan seorang pemimpin agar mampu memperluas
jaringannya, seperti datang ke konferensi, atau mendatangi tempat orang-orang dengan pekerjaan yang
berbeda beda seperti seniman, akademia, entrepreneur, dan lain sebagainya.

Lima kemampuan tersebut da[at dibangun dan dilatih oleh pemimpin yang ingin menjadi inovatif.
Semakin sering kelima hal tersebut dilakukan, maka insting pemimpin untuk mengambil keputusan yang
inovatif akan semakin tajam.

Selama ini tugas inovasi hanya dimiliki oleh beberapa kelompok pekerja saja, seperti desainer, insinyur,
atau ilmuwan. Ditambah lagi inovasi hanya diasosiasikan dengan penemuan produk baru atau teknologi
baru. Namun dewasa ini anggapan tersebut mulai bergeser, inovasi bukan lagi hanya menjadi tugas
beberapa golongan pekerja saja, karena kini inovasi tidak lagi hanya berkaitan dengan penemuan produk
dan teknologi baru. Kini inovasi bisa dilakukan di seluruh lini perusahaan, mulai dari pembentukan layanan
baru, model bisnis baru, penentuan harga produk, dan lain sebagainya. Dengan demikian seluruh pekerja
di dalam sebuah perusahaan mampu dilibatkan dalam proses inovasi. Kini penemuan produk dan
teknologi baru hanya bisa dikatakan hanya merupakan ujung dari gunung es inovasi.

Melibatkan seluruh elemen perusahaan di dalam inovasi merupakan hal yang sangat baik, namun sangat
sulit untuk dilakukan. Banyak perusahaan yang menggunakan kolom sugesti, skema perencanaan,
program pembentukan ide, dan lain sebagainya, namun dengan tingkat kesuksesan yang rendah. Ada
hambatan dari segi karyawannya, mulai dari hambatan waktu, kapasitas, hingga hambatan motivasi dan
partisipasi. Selama ini tool yang berbasiskan web dianggap sebagai solusi bagi hal tersebut. Namun
kenyataannya kesuksesan penggunaan alat tersebut tidak signifikan dibandingkan penggunaan alat
konvensional. Ada berbagai mitos yang menghantui proses inovasi di dalam perusahaan. Mitos ini
seringkali dipercaya oleh anggota organisasi tersebut, dan dapat mengganggu proses penciptaan inovasi.
Berikut merupakan beberapa mitos yang seringkali muncul dan dipercayai oleh anggota perusahaan.

Mitos pertama yaitu Eureka Moment. Seringkali anggota organisasi percaya, bahwa inspirasi untuk
melakukan inovasi akan datang sendiri dan terjadi sewaktu-waktu tanpa terprediksi. Sebagai contoh
ketika Newton duduk di bawah pohon apel dan mendapatkan inspirasi mengenai gravitasi, atau ketika
Archimedes sedang mandi dan mendapatkan inspirasi mengenai berat jenis. Ide atau inspirasi seringkali
dianggap sebagai faktor terpenting di dalam proses inovasi. Namun pada kenyataannya, sebuah proses
inovasi hanya terdiri dari 5% inspirasi, dan 95% kerja keras. Inovasi dilakukan melalui beberapa tahap.
Tahapan pertama adalah menemukan ide, dan ditutup dengan tahapan terakhir yaitu komersialisasi.
Seringkali perusahaan bermasalah pada tahap terakhir ini. Justru pada tahapan pertama dapat dengan
mudah dilakukan oleh perusahaan. Mitos Eureka Moment menyebabkan perusahaan seringkali berfokus
pada tahapan pertama, yaitu menemukan ide, terlalu fokus pada proses brainstorming, dan melupakan
proses lain yang tidak kalah penting, terutama proses komersialisasi. Hasilnya, ketika perusahaan telah
mencapai tahapan tersebut perusahaan justru mengalami kegagalan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa seringkali proses inovasi mengalami kegagalan bukan karena kurangnya ide, namun
justru karena seringkali ada kesalahan di dalam pelaksanaan tahapan lain di dalam proses inovasi.

Mitos kedua adalah seringkali perusahaan percaya, ketika mereka menemukan sesuatu, maka konsumen
akan datang dengan sendirinya. Hal ini seringkali terjadi dengan hasil inovasi yang berbasiskan online.
Banyak perusahaan yang menciptakan platform bisnis online dan mengalami kegagalan, karena tidak ada
user yang mau menggunakan hal tersebut. Banyak perusahaan yang terinspirasi oleh kesuksesan
Facebook, Twitter, dan media sosial lain, dan berusaha membuat platform baru tanpa
mempertimbangkan kekurangan, kelebihan, dan kebutuhan user-nya. Dengan demikian seringkali user
hanya menggunakan layanan tersebut dalam jangka waktu yang pendek, dan kemudian meninggalkannya,
atau justru user tidak datang sama sekali. Hal ini juga sering terjadi ketika perusahaan menciptakan
platform online untuk menjaring ide untuk inovasi. Seringkali yang terjadi adalah tidak ada user yang
datang dan menyumbangkan idenya. Dengan demikian agar proses inovasi berbasis online dapat berhasil
maka perusahaan inovator harus mampu menganalisis kebutuhan serta bentuk interaksi yang ingin
diciptakan dari platform tersebut. Memang platform online baik digunakan untuk menjaring ide untuk
inovasi, namun demikian perlu penanganan yang tepat agar platform tersebut dapat dijalankan dengan
efektif dan efisien.

Mitos ketiga adalah anggapan bahwa inovasi terbuka merupakan masa depan yang harus dirangkul oleh
perusahaan. Inovasi terbuka adalah ide yang menyatakan bahwa perusahaan harus mampu mencari ide
yang terletak di luar batasan-batasan formal perusahaannya, terutama ide dari pengguna produk
tersebut. Sebagai contoh LEGO seringkali menggunakan ide dari konsumennya, dan mengeluarkan produk
yang diberi cap yang menyatakan bahwa produk tersebut terinspirasi dari ide konsumen. Namun demikian
inovasi terbuka ini bukan tanpa hambatan. Seringkali ada permasalahan yang menyangkut hak milik
intelektual, kurangnya kepercayaan di antara kedua belah pihak, serta tingginya biaya yang harus
dikeluarkan untuk membangun platform yang mampu mendukung mekanisme ini. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa memang inovasi model ini merupakan bagian dari masa depan, namun
demikian perlu pendekatan yang tepat agar inovasi terbuka dapat berjalan dengan baik.

Mitos keempat adalah anggapan bahwa bayaran merupakan hal terpenting dalam penciptaan inovasi.
Seringkali perusahaan menganggap bahwa inovasi harus diberi penghargaan ekstrinsik. Hal ini tercermin
dari banyaknya perusahaan yang memberikan imbalan yang besar bagi inovator. Namun pada
kenyataannya, seringkali imbalan ekstrinsik hanya dianggap sebagai hal yang sekunder bagi inovator, dan
dianggap sebagai sesuatu yang sudah lumrah didapatkan. Motivasi utama yang ingin didapatkan oleh para
inovator adalah motif sosial, dan pengakuan. Motivasi intrinsik ini biasanya jauh lebih kuat pengaruhnya
terhadap motivasi seseorang untuk melakukan inovasi ketimbang inovasi yang bersifat ekstrinsik. Dengan
demikian proses inovasi itu sendiri sudah menjadi imbalan bagi inovator. Perusahaan yang baik adalah
perusahaan yang mampu memanfaatkan penggerak sosial dan personal ini untuk memaksimalkan proses
inovasi.

Mitos kelima adalah anggapan bahwa inovasi yang bersifat bottom-up lebih baik ketimbang inovasi yang
bersifat top-down. Pihak top executive seringkali dianggap kurang dekat dengan proses pekerjaan
organisasi, dengan demikian mereka tidak mampu menciptakan inovasi yang mampu menjawab berbagai
permasalahan di lapangan. Ide inovasi yang dianggap baik ketika muncul dari pihak manajemen yang lebih
dekat dengan konsumen. Memang banyak ide bagus yang muncul dari pihak manajemen bawah, yang
lebih akrab dengan lingkungan sekitar di mana perusahaan berjalan. Namun pada akhirnya berbagai ide
tersebut harus disaring dan diprioritaskan oleh pihak top executive, yang memiliki pengetahuan lebih
lengkap mengenai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan demikian ketika proses inovasi
dapat berjalan dengan baik, perlu kerja sama yang lebih erat antara kedua belah pihak, yaitu pihak top
executive dengan pihak manajemen. Ketika bottom-up dapat bekerja dengan baik maka top-down dapat
bekerja dengan baik pula.

Inovasi merupakan tulang punggung yang menopang kemajuan sebuah organisasi. Namun demikian
inovasi tersebut harus dicapai dengan kerja keras. Tidak ada satu solusi yang bisa digunakan untuk
menyelesaikan seluruh permasalahan. Dengan demikian agar inovasi mampu berjalan dengan lebih
maksimal maka perusahaan harus meninggalkan kelima mitos yang selama ini banyak dipercaya oleh
perusahaan yang berusaha untuk melakukan inovasi.

Namun demikian kesuksesan sebuah perusahaan dalam melakukan inovasi dapat berdampak buruk, jika
perusahaan tersebut tidak mampu me-manage kesuksesan yang dicapai dengan baik. Ada tiga faktor yang
dapat menghalangi sebuah perusahaan untuk mempertahankan kesuksesannya.

Pertama, perusahaan seringkali melakukan fundamental attribution errors. Ketika mencapai kesuksesan,
seringkali perusahaan mengatribusikan kesuksesan tersebut pada strategi yang sedang digunakan saat
itu. Namun demikian lingkungan terus berubah, ketika perusahaan terlalu berfokus pada strategi yang
mereka gunakan saat itu maka mereka akan tergerus oleh perubahan lingkungan. Sebagai contoh, Tim
balap motor Ducati ketika mulai mengikuti kejuaraan sangat berhati-hati dalam mengambil langkah.
Setiap data yang didapatkan dianalisis untuk kemudian dimanfaatkan untuk mencapai kemenangan.
Namun semakin lama mereka semakin percaya diri dengan kemampuan mereka, hingga pada akhirnya
mereka terlalu percaya diri, dan menjadi gegabah dalam mengambil keputusan. Mereka terlalu percaya
diri terhadap strategi lama yang biasa mereka gunakan. Akibatnya mereka gagal meraih posisi pertama,
dan mengalami kekalahan dalam kejuaraan Moto GP tersebut.

Kegagalan Tim Ducati tersebut menunjukkan bahwa sangat mudah bagi perusahaan untuk
mengatribusikan kesuksesan saat itu terhadap kualitas pengambilan keputusan, kapabilitas, atau strategi
yang diambil. Dalam meraih kesuksesan sebuah perusahaan tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi.
Faktor-faktor tersebut saling berhubungan untuk kemudian mewujudkan kesuksesan perusahaan atau
organisasi. Namun demikian seringkali manajer mengatribusikan kesuksesan tersebut kepada
kemampuan dirinya sendiri. Hal ini berpotensi untuk menghambat organisasi mencapai kesuksesan.

Hambatan kedua yang sering terjadi adalah overconfidence bias. Hampir sama dengan hambatan
sebelumnya, seorang manajer seringkali terlalu percaya diri akan kemampuannya sehingga dia gegabah
dalam mengambil keputusan. Overconfidence bias muncul karena manajer tersebut dipengaruhi oleh
berbagai kesuksesan yang diraih sebelumnya. Hambatan ini dapat mengakibatkan manajer tersebut
menghiraukan inovasi baru, berkurangnya kepuasan pelanggan, dan meningkatnya permasalahan dalam
kualitas produk. Ditambah lagi dengan adanya hambatan ini manajer menjadi mudah untuk mengambil
keputusan yang berisiko.

Kesuksesan seringkali membuat manajer lupa bahwa dirinya tidak sempurna. Kesuksesan sering
diintepretasikan sebagai pertanda bahwa strategi dan praktik yang dilakukan berjalan dengan baik, serta
seluruh informasi yang dibutuhkan dimiliki secara lengkap oleh manajer/organisasi. Hal ini menyebabkan
manajer lupa bahwa strategi tersebut tidak akan bekerja selamanya, perlu ada perubahan yang dilakukan
agar mampu disesuaikan dengan perubahan lingkungan.

Ada lima cara yang bisa dilakukan oleh manajer agar terhindar dari berbagai halangan ini. Pertama,
manajer boleh merasakan senang atas kesuksesan yang mereka capai. Namun demikian kesuksesan
tersebut perlu dianalisis lebih lanjut, apakah bisa ditingkatkan, atau apakah ada celah yang menyebabkan
kegagalan? Kedua, setelah mengalami kesuksesan, organisasi perlu mengadakan pertemuan untuk
mengulas kinerja setiap bagiannya, hal ini penting untuk meminimalisir kemungkinan munculnya celah
penyebab kegagalan. Ketiga, manajer/organisasi harus menemukan jangka waktu yang tepat dalam
merumuskan solusi. Seringkali solusi yang dirumuskan untuk menyelesaikan sebuah masalah lebih tepat
digunakan untuk perencanaan jangka panjang atau sebaliknya. Dengan demikian agar solusi bisa dengan
baik maka solusinya harus sesuai dengan jangka waktu evaluasi performa organisasi. Keempat,
manajer/organisasi harus tahu ketika mengulang, atau menggunakan kembali strategi yang kemarin
digunakan, mereka tidak bisa belajar, dan mendapatkan pengalaman baru. Kelima, Ketika strategi
tersebut memang bisa dijalankan, dan mampu mendatangkan hasil yang baik, organisasi harus melakukan
eksperimen, agar mampu menemukan hal baru yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan potensi
tercapainya kesuksesan.

Soal Kasus

1. Ketegangan muncul di antara pihak sales dengan designer. Pihak sales bersikukuh bahwa desain
yang dibuat oleh para desainer harus merupakan desain yang menjual, dengan demikian desain
tersebut harus mengikuti berbagai pakem yang sekiranya disukai oleh konsumen. Namun
demikian pihak desainer tidak setuju dengan kebijakan ini. Mereka berpikir bahwa pakem
tersebut akan membatasi ruang gerak mereka, sehingga kreativitas dan inovasi Shanghai Tang
akan berkurang dan pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap competitive advantage
perusahaan tersebut.
2. Hal tersebut muncul dikarenakan selera konsumen Shanghai Tang mengikuti pola tertentu yang
bisa dilihat dan dianalisis oleh pihak sales. Dari berbagai desain yang diproduksi, hanya beberapa
saja yang secara konsisten diminati oleh konsumen. Namun demikian batasan ini dianggap
mengganggu penciptaan kreativitas para desainer. Mereka beranggapan bahwa jika mereka terus
memproduksi desain baru, maka pada akhirnya konsumen akan tertarik untuk membelinya.
3. Agar kreativitas dan inovasi dapat ditumbuhkan, namun penjualan dapat tetap dilakukan, maka
pihak sales dan designer perlu melakukan kompromi. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara,
semisal mengintegrasikan desain yang sekiranya diminati oleh konsumen dengan desain baru
yang diinginkan oleh desainer, atau membuat beberapa desain yang diminati oleh pembeli, dan
beberapa desain yang diinginkan desainer. Dengan demikian inovasi dapat tetap berjalan, namun
penjualan juga tetap dapat berjalan.

Anda mungkin juga menyukai