Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 4

Febris Tifoid, Obs. Konvulsi, DADS

Disusun oleh:
Amani Hanifah G1F012011
Eka Angriani Putri H. G1F012043
Hilda Fatma K. G1F012047
Muhammad Salman AF G1F012073
Satya Agustian G1F012085

Dosen Pembimbing : Esti Dyah Utami, M.Sc., Apt.


Tanggal Diskusi Dosen : 22 September 2015
Asisten : Kiki
Tanggal Diskusi Kelompok : 29 September 2015

LABORATORIUM FARMASI KLINIK


JURUSAN FARMASI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2015
FARMAKOTERAPI 4
PASIEN FEBRIS TIFOID, OBS KONVULSI, DADS

A. KASUS
Dokumen Farmasi Pasien (DFP)
Nama pasien : An. H. T
Usia : 1 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
BB/TB : 9 kg/-
No. rekam medic : 541xxx
Alamat : Mandirancan
Status jaminan :-
Riwayat MRS : Demam tinggi, kejang-kejang seluruh badan, kaku <15 menit,
sebelum/sesudah kejang sadar, saat kejang tidak sadar, mual
(-) muntah (+), batuk (-), pilek (-), BAB (+) cair 12x,
nyemprot, kuning (+), bau (+) N
Riwayat penyakit :-
Riwayat pengobatan : Sanmol
Diagnosis : Febris tifoid, obs konvulsi, DADS

Data klinik (objective)


Tanggal (jan-feb)
TTV 5 Normal
30 31 1 2 3 4
TD 120/80
N 126 140 136 120 140 136 142 60-100
RR 40,8 38,3 38,6 38,2 37 37,4 36,8 16-24
Suhu 42 40 36 24 44 46 40 36,5-37,5
(Nicoll et al, 2001).
Data laboratorium (objective)
Tanggal
Pemeriksaan Satuan Normal
30/01 01/02
Hb g/dl 12,2 13-18
Leukosit /uL 18390 3800-9800
Hct % 39 40-50
Eritrosit 106/uL 5,4 4,4-5,6
Trombosit /uL 114000 150000-450000
MCV mcm3 72,7 80-97,6
MCH Pg/cell 22,8 28-34
MCHC g/dL 31,4 32-36
RDW % 27,9 10-15
Basophil % 0,2 0-2
Eosinophil % 0,1 0-6
Batang % 0,8 3-5
Segmen % 79,9 36-73
Limfosit % 16,0 15-45
GDS Mg/dL 348 110 60-110
Natrium Mmol/L 133 135-145
Kalium Mmol/L 3,0 3,5-5
Klorida Mmol/L 98 98-107
Kalsium Mmol/L 7,9 8,5-10,5
(Nicoll et al, 2001).

Pemeriksaan Penunjang
Nama Hasil
pemeriksaan : Paratyphi
Paratyphi A-O (-)
A-H (-)
Tgl: 30-01-2014 B-O (-)
B-H (-)
C-O (+ titer 1/80)
C-H (-)
Sero Imunologi IgM Anti Toxoplasma (Non-reaktif)
IgG Anti Toxoplasma (-/<0,130
Tgl: 11-02-2014 14/ml)
IgM Anti CMV (Non-reaktif)
IgG Anti CMV (+/66,82 4/ml))
Terapi penggunaan obat pada kasus
Tanggal
Obat Dosis freq
30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
O2 3lpm
IV FD KAEN
Inj ampicilin 300mg 3
Inj kemicetin 150mg 3
Luminal 25mg 2
Injphenobarbital 100mg 1
Zink kid 1 1
Sanmol 1cth 3
Po mukos 1/2cth 3 \
Fisioterapi
Cefixime 1/2cth 3
fartolyn 1/2cth 3
Asi ad libitum

Terapi KRS
No Regimen Frekuensi
Nama Obat
dosis
1 Cefiime 1/2cth 2
2 Fartolyn 1/2cth 3
3 zink 1 1
B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi demam tifoid


Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2 ) banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus dan di usus halus
tepatnya di ileum dan jejenum akan menembus dinding usus. Bakteri mencapai folikel
limfe usus halus, dan mengikuti aliran ke dalam kelenjar limfe mesenterika bahkan ada
yang melewati sirkulasi sistemik ke jaringan di organ hati dan limfa. Salmonella typhi
mengalami multifikasi di dalam sel fagosit mononuklear, di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah pada periode tertentu (inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penderita maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui Duktus Torasikus akan masuk
ke dalam sirkulasi darah. Dengan cara ini bakteri dapat mencapai organ manapun, akan
tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limfa, sumsum tulang,
kantung empedu, payeris patch dari ileum terminal. Peran endotoksin dari Salmonella
typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limfa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk makrofag
inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik
(Soedarmo et al., 2002).

2. Tata laksana demam tifoid

Pasien Demam tifoid

Tata laksana Tata laksana


umum antibiotik

Bed rest, pemberian rehidrasi Demam tifoid Demam tifoid


oral atau parenteral, pemberian dengan tanpa
antipiretik, serta nutrisi yang komplikasi komplikasi
adekuat

Terlampir Terlampir

(WHO, 2003).
(WHO, 2003).
Demam tipoid memiliki 2 tata laksana terapi yaitu secara umum dengan melakukan
Bed rest, pemberian rehidrasi oral atau parenteral, pemberian antipiretik, serta nutrisi
yang adekuat serta tatalaksana antibiotik. Pengobatan antibiotik mempertimbangkan
pasien memiliki komplikasi lain atau tidak. Antibiotik yang digunakan bisa optimal
parenteral drug atau alternative parenteral drug dengan menyesuaikan kondisi pasien
(WHO, 2003).

C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN


1. Subjektif
Nama pasien : An. H. T
Usia : 1 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
BB/TB : 9 kg/-
No. rekam medic : 541xxx
Alamat : Mandirancan
Status jaminan :
Riwayat MRS : Demam tinggi, kejang-kejang seluruh badan, kaku <15 menit,
sebelum/sesudah kejang sadar, saat kejang tidak sadar, mual
(-) muntah (+), batuk (-), pilek (-), BAB (+) cair 12x,
nyemprot, kuning (+), bau (+) N
Riwayat penyakit :-
Riwayat pengobatan : Sanmol
Diagnosis : Febris tifoid, obs konvulsi, DADS
2. Objektif
Data klinik
Tanggal (jan-feb)
TTV 5 Normal keterangan
30 31 1 2 3 4
TD 120/80 Normal Sebab
N 126 140 136 120 140 136 142 60-100 Naik di setiap hari Indikasi kejang
demam
Suhu 40,8 38,3 38,6 38,2 37 37,4 36,8 36,5- Naik di setiap hari Febris tipoid dan
37,5 kejang demam
RR 42 40 36 24 44 46 40 16-24 Naik di tgl 30, Indikasi kejang
31,3, 4, 5 demam
(Nicoll et al, 2001).
Keterangan:
Pasien ini mengalami kenaikan TTV akibat febris typhoid dan kejang demam yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella Paratyphi (Nicoll et al, 2001).

Data laboratorium
Tanggal
Pemeriksaan Satuan Normal Keterangan
30/01 01/02 Interpretasi
Hb g/dl 12,2 13-18 Turun
Leukosit /uL 18390 3800-9800 Naik Demam tipoid
Hct % 39 40-50 Turun
Eritrosit 106/uL 5,4 4,4-5,6 Normal
Trombosit /uL 114000 150000-450000 Turun Demam tipoid
MCV mcm3 72,7 80-97,6 Turun
MCH Pg/cell 22,8 28-34 Turun
MCHC g/dL 31,4 32-36 Turun
RDW % 27,9 10-15 Naik
Basophil % 0,2 0-2 Normal
Eosinophil % 0,1 0-6 Normal
Batang % 0,8 3-5 Turun Infeksi bakteri (typhoid)
Segmen % 79,9 36-73 Naik Infeksi bakteri (typhoid)
Limfosit % 16,0 15-45 Normal
GDS Mg/dL 348 110 60-110 Naik hari 1
Natrium Mmol/L 133 135-145 Normal
Kalium Mmol/L 3,0 3,5-5 Turun Kekurangan elektrolit
Klorida Mmol/L 98 98-107 Normal
Kalsium Mmol/L 7,9 8,5-10,5 Turun Kekurangan elektrolit
(Nicoll et al, 2001)
Keterangan:
Pada pasien mangalami penurunan tanda vital darah yaitu (Hb. Hct, Trombosit, MCV, MCH,
MCHC) kemungkinan akibat terinfeksi bakteri tipoid sehingga merasa lemas dan mengalami
penurunan tanda vital darah, kenaikan leukosit, penurunan batang serta kenaikan segmen
menandakan adanya infeksi S. Paratyphi disaluran cerna sehingga mengalami neutropenia.
Pasien juga mengalami DADS sehingga nilai elektrolit kalium dan kalsium mengalami
penurunan (Nicoll et al, 2001; KEMENKES, 2011)

Pemeriksaan Penunjang
Nama Hasil Keterangan
pemeriksaan : Paratyphi Pasien mengalami paratyhi C karena
Paratyphi A-O (-) dari data antigen C-O yang positif
A-H (-) (WHO, 2003).
Tgl: 30-01-14 B-O (-)
B-H (-)
C-O (+ titer 1/80)
C-H (-)
Sero IgM Anti Toxoplasma (Non-reaktif) IgM dan IgG merupakan antibodi
Imunologi IgG Anti Toxoplasma (-/<0,130 didalam tubuh yang membedakan
14/ml) jika IgM merupakan antibodi yang
Tgl: 11-02-14 IgM Anti CMV (Non-reaktif) muncul setelah setelah terinfeksi
IgG Anti CMV (+/66,82 4/ml)) sedankan IgG merupakan sel
memori antibodi.

Jika dilihat dari hasil IgM dan IgG


anti CMV, pasien pernah mengalami
penyakit yang disebabkan CMV
(sebangsa herpes). IgG anti CMV
(+) dikarenakan sel memori antibodi
masih dapat mengkompensasi virus
tersebut sehingga tidak perlu terapi
(Prodia, 2015).
Terapi penggunaan obat pada kasus
Tanggal
Obat Dosis freq
30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
O2 3lpm
IV FD KAEN
Inj ampicilin 300mg 3
Inj kemicetin 150mg 3
Luminal 25mg 2
Injphenobarbital 100mg 1
Zink kid 1 1
Sanmol 1cth 3
Po mukos 1/2cth 3 \
Fisioterapi
Cefixime 1/2cth 3
fartolyn 1/2cth 3
Asi ad libitum

Terapi KRS
No Regimen Frekuensi
Nama Obat
dosis
1 Cefiime 1/2cth 2
2 Fartolyn 1/2cth 3
3 zink 1 1

3. Assesment
Assessment and Drug Related Problem
No Problem Paparan Problem rekomendasi
1 Terapi tidak Terdapat duplikasi obat kejang Obat inj. fenobarbital dan luminal
diperlukan demam yaitu inj. fenobarbital tidak digunakan. Untuk pasien yang
dan luminal (fenobarbital oral), mengalami riwayat simple fever
serta penggunaan fenobarbital seizures direkomendasikan diazepam
kurang cocok untuk pasien oral karena menurunkan kejang
karena banyak efek samping demam sebesar 44%, bisa juga
(hiperaktifitas, iritasi, digunakan sebagai terapi profilaksis
hipersensitifitas, gangguan intermittent pada saat demam karena
tidur dan lesu) (AAP, 2008). penyerapannya cepat. Dosis yang
diberikan 5 mg setiap 8 jam p.o
ketika panas (Deliana, 2002; AAP,
2008).

Terdapat pemakaian obat yang p.o mucus tidak digunakan


tidak sesuai indikasi yaitu obat
p.o mucus karena pasien tidak
mengalami batuk, pilek
ataupun tidak ada penggunaan
obat yang efek sampingnya
batuk
2 Obat tidak efektif Pemberian IVFD KAEN 1B Pemberian infus KAEN 1B tidak
komposisinya tidak digunakan dan diganti infus RL
mengandung kalium sedangkan karena komposisi elektrolitnya
nilai kalium pada pasien ini lengkap dan cocok digunakan untuk
adalah 3 (dibawah nilai pasien yang mengalammi DADS.
normal)
3 Terapi tidak Terdapat multiple drug pada Dipilih salah satu drug of choice yaitu
diperlukan penanganan demam tifoid kemicetin (kloramfenikol) untuk
dimana pada kasus pasien terapi demam tifoid karena efektif,
diberi 2 jenis obat lini pertama murah, mudah didapat dan dalam
untuk demam tifoid yaitu waktu 72 jam perbaikan klinik (suhu)
kemicetin (kloramfenikol) dan sudah terlihat (WHO, 2003;
ampicilin. Rampenggan, 2013).

4. Plan
Tujuan terapi:
a. Menurunkan demam
b. Menyembuhkan infeksi
c. Mengatasi dehidrasi dan diare
d. Meminimalkan komplikasi
e. Mencegah penyebaran penyakit

Terapi non-farmakologi
Menjaga kebersihan lingkungan
Bedrest total
Pasien dengan demam tifoid harus bedrest total dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama pendarahan dan perforasi.Bedrest selama 7-14
hari.
Diet
Diet pada pasien demam tifoid adalah diet tingga kalori dan protein tetapi rendah
serat untuk mencegah perdarahan.
Pemberian ASI sesuai kebutuhan.
Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya
sembarangan sehingga dapat mengundang lalat yang akan membawa bakteri
Salmonella typi.
(Soedarto, 2007)

Terapi obat setelah rekomendasi


Tanggal
Obat Dosis freq
30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
O2 3LPM

Infus RL 500ml

Kloramfenikol 225 mg 4x sehari

oral setiap 6 jam


p.o
Diazepam 3 mg 3x sehari

setiap 8 jam
p.o ketika
suhu
tinggi/dema
m
Zink kid 10 ml Sekali sehari

Sanmol sirup 360 ml Sekali sehari


p.r.n
Fisioterapi Jika tidak demam

Cefixime 45 mg 3x sehari
setiap 8 jam
Fartolyn sirup 1,2mg/5ml 2x sehari
setiap 12
jam
Asi ad libitum Sesuai kebutuhan

Terapi rekomendasi saat KRS


Tanggal
Regimen
No Nama Obat Frekuensi 13 (dibawa
dosis
pulang)
1 Cefixime 45 mg 3x sehari setiap 8
jam
2 Zink kid 10 ml Sekali sehari

Pembahasan
Pasien An. H.T mengalami kejang demam. Kejang demam sendiri dibagi menjadi 2
klasifikasi yaitu Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) dan Kejang demam
kompleks (Complex febrile seizure). Berdasarkan ciri-ciri yang dialami pasien, kejang
demam yang diderita adalah kejang demam sederhana (simple febrile seizure) yaitu kejang
demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam (Pusponegoro et al, 2006).
Terapi Fase Akut
Pengobatan saat anak mengalami kejang, prioritas utama nya yaitu menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut adalah diazepam karena
diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan per rektal dengan
dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.
Pemberian secara rektal aman dan efektif serta mudah dilakukan oleh keluarga (Deliana,
2002).
Terapi Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan keadaan yang
sangat mencemaskan bagi keluarga pasien. Bila kejang demam berlangsung lama dan
mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat). Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
Profilaksis intermittent pada waktu demam.
Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
a. Profilaksis intermittent
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan pada
waktu pasien demam (suhu lebih dari 38 0C).
b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau
saudara kandung.
Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
(Deliana, 2002).

Alasan Penggunaan Obat


1. Diazepam
Pasien An. H.T hanya memiliki riwayat MRS demam tinggi dan kejang-kejang,
ketika di Rumah Sakit pasien tidak mengalami kejang hanya demam tinggi. Maka pasien
tidak memerlukan terapi fase akut. Akan tetapi untuk mencegah terjadinya kejang
berulang pasien memerlukan terapi profilaksis, terapi profilaksis yang sesuai untuk
pasien adalah terapi profilaksis intermittent yaitu dengan pemberian diazepam secara
oral dengan dosis 5 mg setiap 8 jam sehari. Efek samping dari diazepam sendiri adalah
ataksia, mengantuk dan hipotoni (Deliana, 2002).

(Deliana, 2002).
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa penggunaan diazepam oral saat demam
tinggi pada anak yang pernah mengalami kejang demam dapat menurunkan resiko
kejang demam sebesar 44% serta dapat digunakan sebagai terapi profilaksis intermittent
pada saat demam (APA, 2008).

(APA, 2008).
2. Cefixime
Penggunaan first line antibiotik untuk terapi paratyphoid seperti
chloramphenicol, amoxicillin/ampicillin dapat beresiko terjadinya multiple-drug
resistance (MDR). Oleh karena itu, antibiotik golongan cephalosporin generasi 3
seperti ceftriaxone digunakan pula dalam manajemen terapi paratyphoid. Generasi 3
dan 4 Cephalosporin telah terbukti aktif dalam menghambat bakteri salmonellae.
Ceftriaxone memiliki tingkat efikasi yang lebih tinggi dari cefotaxime dan memiliki
efikasi terapi yang sama dengan cefixime dalam bentuk oral (Stoesser, 2013).
Ceftriaxone merupakan pilihan terapi yang aman bagi anak-anak ( Communicable
disease management protocol, 2012).
Cefixime sebagai generasi 3 golongan cephalosporins telah banyak digunakan
pada anak-anak karena memiliki indikasi terapi yang signifikan dibanding dengan
ofloxazin dalam mengatasi demam tifoid (WHO, 2003). Dosis yang diberikan untuk
anak-anak dengan demam typhoid yaitu 15-20 mg/kg/dayberupa tablet selama 7
sampai 14 hari atau oral suspensi sebesar 100 mg/5 ml 200 mg/5ml
(Medscape.com).
Menurut kasus yang didapatkan, setelah kloramfenikol tetap diberikan selama
14 hari, untuk menghindari resistensi obat maka diteruskan dengan pemberian
antibiotik golongan cephalosporin. Dengan memperhatikan kondisi pasien yang akan
segera rawat jalan, maka tetap diberikan cefixime yang memiliki efikasi terapi sama
dengan ceftriaxone karena memiliki bentuk sediaan berupa intravena maupun oral
dibandingkan dengan ceftriaxone yang hanya tersedia dalam bentuk Intravena atau
intramuskular. Walaupun side effect berupa diare yang ditimbulkan oleh cefixime
sebesar 16% dibanding dengan cefixime yang hanya 3%, tetapi dengan
memperhatikan risk and benefit pasien telah mendapatkan penanganan di rumah sakit
selama 14 hari dengan kebutuhan cairan terpenuhi, maka diare telah teratasi dan
pasien tetap diberikan cefixime dalam bentuk suspensi dengan dosis 150 mg/5ml pada
hari ke 14 dan 15 di rumah sakit dan selama 7 hari secara oral untuk terapi keluar
rumah sakit dengan diikuti pula oleh pemberian zinkid.

(Stoesser, 2013)

(WHO, 2003).
3. Kloramfenikol
Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan pasien demam
tifoid anak karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral.
Perbaikan klinik (suhu) terjadi dalam waktu 72 jam dengan lama pengobatan antara 7-
14 hari (Rampengan, 2013).
(Rampengan, 2013).
5. Monitoring
No. Parameter Nilai normal Jadwal pemantauan
1. Nadi 60- 100 Setiap hari
2. RR 16-24 Setiap hari
3. Suhu 36,5-37,5 Setiap hari
4. Leukosit 3800-9800 Tanggal 5, 10 februari 2015
5. Kalium 3,5-5 Tanggal 5, 10 februari 2015
6. Kalsium 8,5-10,5 Tanggal 5, 10 februari 2015

Monitoring terapi
Obat Monitoring Target keberhasilan
keberhasilan ESO
Kloramfenikol Menghambat sintesis Gangguan sumsum Penurunan jumlah
protein bakteri Salmonella tulang belakang, infeksi Salmonella
typhi MDRST typhi
Diazepam Preventif kejang demam Ataksia, mengantuk, kejang demam
berulang hipotoni teratasi
Sanmol Demam turun Hipersensitivitas, Menghilangkan
hepatotoksik gejala demam tifoid
Cefixime Menghambat sintesis Diare ringan Penurunan jumlah
dinding sel bakteri infeksi Salmonella
Salmonella typhi typhi
Fartolyn sirup Nadi dan RR normal Mengantuk, sakit Menormalkan nilai
kepala, tremor ringan klinik RR
pada tangan,
takikardi
(Soedarmo et al, 2012).

6. KIE
a. KIE kepada tenaga kesehatan yang merawat pasien
Memberitahukan untuk memonitoring kadar elektrolit pasien
kontrol tanda vital pasien, terutama suhu dan kebutuhan elektrolit.
b. Kontrol KIE kepada keluarga pasien
Memberikan motivasi/ dukungan kepada keluarga pasien
Menganjurkan tetap melanjutkan pemberian ASI pada pasien
Menganjurkan kebersihan lingkungan dan kebersihan pribadi contohnya tidak
membuang sampah sembarangan, BAB di Jamban, mencuci tangan sebelum
dan sesudah makan
Menganjurkan untuk menggunakan air bersih untuk membuat susu, air harus
dimasak sampai mendidih
Memberitahukan jadwal minum obat pasien
No Regimen
Nama Obat Frekuensi
dosis
1 Zink kid 10 ml 1 x sehari
2 Sanmol 360 ml 3 x sehari setiap 8 jam
3 Asi libitum Sesuai kebutuhan
4 Cefixime 45 mg 3 x sehari setiap 8 jam

KESIMPULAN
Pasien mengalami demam paratyphoid yang ditandai pada pemeriksaan bakteri
Salmonella Paratyphi data C-O menunjukan basil positif. Pasien mendapat terapi
rekomendasi MRS antara lain O2, infus RL, kloramfenikol oral, diazepam oral, zink kid,
asi ad libitum, fisioterapi, sanmol, fartolin sirup dan cefixime serta terapi KRS yaitu
cefixime dan zinkid.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics, 2008, Febrile Seizures: Clinical Practise Guideline for the
Long-term Management of the Child With Simple Febrile Seizures, Pediatrics, Vol.
121:6.
Comunicable Disease Management Protocol, 2012, typhoid and paratyphoid fever (Enteric
Fever), Public Health Branch.
Deliana, Melda, 2002, Tata Laksana Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2:
59 62.
Kementrian Kesehatan RI, 2011, Pedoman Interpretasi data klinik, Kementrian kesehatan RI,
Jakarta.
Nicoll et al, 2001, Pocket Guideline to Diagnostic test, Mc.Graw Hill Companies, USA.
Prodia, 2015, pemeriksaan laboratorium anti CMV IgG,
http://www.prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Anti-
CMV-IgG?Kategori=Imuno%20Serologi, diakses tanggal 4 oktober 2015.
Pusponegoro, Hardiono D, 2002, Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Badan
Penerbit IDAI, ISBN 979-8421-23-X.
Rampengan, Novie Homenta, 2013, Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5.
Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI, 2002, Buku ajar infeksi & pediatrik
tropis. Edisi ke-2. IDAI, Jakarta. h.408-37.
Soedarmo, Sumarmo SP, 2012, Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
Edisi ke-2, Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
Soedarto, 2007, Sinopsis kedokteran tropis, Airlangga university press, Surabaya.
Stoesser, 2013, Treatment of enteric fever ( typhoid and paratyphoid fever) with third and
fourth generation cephalosporins, The Cochcrane Library published by wiley.
WHO, 2003, Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid
fever, Department of Vaccines and Biologicals CH-1211 Geneva 27, Switzerland.
Lampiran
Pertanyaan diskusi
1. Dwi Agus Riyanto (G1F012017)
Alasan penggunaan cefixime? Padahal efek sampingnya diare sebesar 16% dan pasien
mengalami DADS?
Jawab:
Cefixime sebagai generasi 3 golongan cephalosporins telah banyak digunakan pada
anak-anak karena memiliki indikasi terapi yang signifikan dibanding dengan ofloxazin
dalam mengatasi demam tifoid (WHO, 2003). Dosis yang diberikan untuk anak-anak
dengan demam typhoid yaitu 15-20 mg/kg/dayberupa tablet selama 7 sampai 14 hari atau
oral suspensi sebesar 100 mg/5 ml 200 mg/5ml (Medscape.com).
Walaupun side effect berupa diare ringan yang ditimbulkan oleh cefixime sebesar
16% tetapi dengan memperhatikan risk and benefit pasien telah mendapatkan
penanganan di rumah sakit selama 14 hari dengan kebutuhan cairan terpenuhi, maka
diare telah teratasi dan pasien tetap diberikan cefixime dalam bentuk suspensi dengan
dosis 150 mg/5ml pada hari ke 14 dan 15 di rumah sakit dan selama 7 hari secara oral
untuk terapi keluar rumah sakit dengan diikuti pula oleh pemberian zinkid.

2. Elysia Santie (G1F012087)


Fungsi fisioterapi pada pasien demam tipoid?
Jawab:
Fisioterapi mempunyai kegunaan untuk menstabilkan atau memperbaiki gangguan
fungsi alat gerak atau fungsi tubuh yang terganggu. Selain itu fisioterapi dapat
meningkatkan kesehatan,pencegahan penyakit,penyembuhan dan pemulihan system
gerak pada manusia. Kegunaan fisioterapi pada pasien dengan keluhan
kejang,mual,muntah,batuk dan pilek dapat dilakukan dengan fisioterapi rehabilitative
yaitu fisioterapi yang dapat dilakukan dirumah sakit sehingga saat melakukan fisioterapi
pada pasien dapat terpantau dengan baik. Pada pasien mual,muntah,batuk dan pilek dapat
dilakukan dengan perbanyak mengkonsumsi minuman hangat untuk menyegarkan
tenggorokan dan menormalkan keadaan lambung. Pada pasien tifoid fisioterapi yang
digunakan adalah dengan pemberian kloramfenikol dan penggunaan pola hidup bersih
dan sehat (PDSPDI, 2006)
3. Ria ayu (G1F012045)
Apakah ada aturan perpindahan antibiotik dari kloramfenikol ke cefixime? Hari-hari
perpindahannya bagaimana?
Jawab:
Penggunaan antibiotik maksimal 14 hari, untuk penggunaan kloramfenikol pada pasien
di RS sudah mencapai batas maksimal sehingga penggantian kloramfenikol ke cefixime
tidak menjadi masalah selain itu penggantian antibiotik pada pasien tidak memerlukan
aturan khusus (taperring dose).

Anda mungkin juga menyukai