Anda di halaman 1dari 5

Nama : Hamdani Syafri

BP : 1010711001

Historiografi Tradisional

Historiografi yang selalu berkembang dan menurut jiwa zaman seorang sejarawan, enjadikan
historiografi diklarifikasikan. Dalam sebuah historiografi terutama dibagi atas dua historiografi
besar yaitu, historiografi tradisional dan historiografi modern. Historiogarafi tradisional
dipengaruhi oleh jiwa zaman yang banyak mengandung unsur-unsur mitos atau mitologi. Sedang
dalam historiografi modern unsur tersebut tidak diketahui, namun bila dalam penulisan masih
terdapat mitos, hal itu dapat dikategorikan dalam historiografi tradisional. Historiografi tidak
dipengaruhai oleh kapan historiografi atau penulisan sejarah itu ditulis.

Historiografi tradisional lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat mitos. Sebagai studi
awal, maka penekannya adalah pada aspek mitologi dan sangkut paut para penulis sejarah
Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai historiografi tradisonal.

1. Mitos Mengandung Maksud

Mitos merupakan pencampuradukan dewa-dewa manusia, sejarah dan perristiwa keseharian.


Hal-hal itu bercampur dalam sebuah penulisan sejarah. Sehingg auntuk menjadikan karaya
penulisan sejarah itu mejadi sebuah sumber sejarah perlu dilakukan sebauh kritik sejarah yang
relevan. Mitos diperlukan karena keinginan pujangga sebagai tokoh yang mengadakan penulisan
sejarah denagn dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa.

Mitos akan melukiskan sejarah dari perlaku-perilaku supranatural. Perilaku supranatural menurut
akal sehat sangat sulit untuk diterima, melainkan dalam melihat konteks supranatural tersebut
perlu menggunakan kaca mata yang berbeda. Perilaku supranatural tersebut ada karena pada
zaman penulisan hal itu merupakan sebuah sifat linuwih, sehingga orang itu memiliki sebuah
kedudukan dan kehormatan. Selain itu didukung oleh keadaan masyarakat yang masih percaya
akan hal itu, menjadikan hal-hal yang bersifat supranatural dapat berkembang secara pesat.
Mitos mengangap sejarah sebagai hal yang mutlak kebenarannya dan keramat. Sejarah erupakan
sebuah peristiwa masa lalu, namun peristiwa itu tidak dapat menyampaikan kebenaran peristiwa
tersebut secara mutlak. Sejarah dalam arti objektif adalah peristiwa masa lampau yang telah
terjadi. Namun, sejarah pada kategori historiografi tradisional mendapatkan sebuah tekanan ntuk
menyakini, bahwa peristiwa terjadi seperti apa yang telah dituliskan oleh pujangga atau ejarawan
yang menulis sebuah peristiwa dalam konteks kebudayaan Jawa. Masyarakan yang hidup pada
masa historiografi tradisional tidak diberikan untuk menginterprestasikan sebuah peristiwa yang
telah terjadi.

Mitos akan selalu menghubungkan antara seseorang dengan pencipataan tentang keberaan,
institusi, dan perilaku. Menghubungkan seorang tokoh dengan proses penciptaan merupakan
sebuah supremai kekuasaan, dan dapat diartikan sebagai sebuah pandangan sempit tentangtokoh
tersebut. Tokoh tersebut diagambarkan seakan-akan sebagai perfect man atau orang yang
sempurna. Padahal dalam dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Masyarakat akan selalu
berpikir untuk melawan atau berperilaku, dan berhubungan dengan orang tersebut. Dari situ
memunculkan konsep tentang sabdo pandhita ratu yang berrati bahwa ucapan seorang raja sama
dengan sabda Tuhan. Mnejadikan perintah raja tidak boleh ditolak atau tidak boleh tidak
dijalankan.

Mitos dapat sebagai alat untuk mencari asal-usul. Asal-usul hal dalam ini dapat diartikan sebagi
asal-usul sebuah tempat atau asal-usul seseorang. Sebagai contohnya bila diketahui tentang asal-
usul seseorang, orang akan dapat melakukan sebuah kontrol dan memanipulasi sesuatu sesuai
kehendaknya. Kontrol tersebut akan memberikan sebuah kekuasaan atau legitimasi. Dalam hal
tersebut dapat dilihat mengenai asal-usul Sultan Agung yang dapat diartikan sebagai sebuah
mitos. Sultan Agung dalam historiografi tanah Jawa merupakan keturunan dari Nabi Adam dan
tokoh-tokoh pewayangan. Hal itu memnag sulit untuk diterima apalagi Sultan Agung merupakan
keturunan dari seorang tokoh pewayangan.

Dalam sebuah penghayatan mengenai mitos seseorang atau dalam hal yang lebih luas lagi
masyarakat akan hidup dalam alam yang serba keramat. Seseorang yang hidup dalam alam yang
serba keramat akan selalu berhati-hati dalam menjalani hidup. Bila dapat mengkontrol hal terbut
ketertiban masyarakat akan terjamin dan berlangsung sesuai keinginan seorang penguasa.
Mitos dapat diartikan sebagi alat penertiban tertib sosial. Seorang pujangga akan berusaha
menyampaikan maksud politiknya untyk memperkuat kedudukan sng patrion atau seorang
penguasa. Sebagai contohnya dalam serat cebolek, Pembangunan yang dilakukan oleh para
priyayi adalah pembangunan mentalitas. Pembangunan mentalitas dilaksanakan karena kerajaan
(Kartasura) telah kehilangan kekuasaan politiknya. Kekuasaan yang dimiliki seorang raja
untuk memerintah, terlalu banyak dicampuri oleh kepentingan kompeni. Raja tidak memiliki
kekuasaan untuk memimpin kerajaannya. Untuk tetap memiliki pengaruh pada rakyat, untuk
tetap memiliki kekuasaan pada diri setiap masyarakat Jawa. Sehingga raja berupaya untuk
menanamkan kekuasaannya pada bidang spiritualis dan mentalitas masyarakat Jawa.

Pembangunan mental spiritual dan mentalitas akan terlaksana bila kerajaan memiliki alat. Alat
inilah sebagai motor penggerak mencapai tujuan pembangunan itu. Motor penggerak itu berupa
kepemimpinan komunitas Islam. Kepemimpinan komunitas Islam berasal dari golongan elit
agama. Golongan itu berasal dari kalangan guru, haji, dan kiai. Golongan ini memiliki eranan
penting dalam pelaksanaan ritual-ritual keagamaan, dan memberikan pelayanan keagamaan.

2. Pujangga Sebagai Seseorang Pembangun Supremasi Kekuasaan

Pujangga memilki peranan penting dalam penulisan sejarah atau dalam lingkup klarifikasi
pembabakan historiografi, terutama dalam historiografi Indonesia tradisional. Pujangga memilki
perana untuk menulis sebuah peristiwa masa lampau yang dapat disebut sebagai sebuah enulisan
sejarah dalam perspektif pujangga tersebut.

Pujangga dalam arti etimologi kata pujangga berasal dari bahasa sansekerta yaitu Bujangga,yang
berarti ular dan pengikut seorang raja. Sedangkan menurut arti kata dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah pendeta, pertapa, orang yang cerdik dan pandai, sifat-sifat pujangga, pengarang,
pendeta mengenai kesusastraan pengarang.

Seorang Pujangga harus memilki kemampuan nawungkridha dan sambegan. Sambegan artinya
kuat ingatan, dan nawungkridha berarti waskitha atau mengetahui rahasia segala sesuatu dengan
ketajaman pandangan batinnya. Dalam hal ini Ranggawarsito telah memberikan batasan-batasan
mengenai syarat-syarat menjadi seorang pujangga. Yaitu sebagai berikut.
Seorang yang pantas menjadi seorang pujangga, syaratnya sebagai berikut.

1. Golongan wirya, yakni orang berderajat.

2. Golongan agama, yakni ulama.

3. Golongan pertapa, yakni pandhita.

4. Golongan sujana, yakni orang yang baik.

5. Golongan aguna, yakni orang pandai.

6. Golongan prawira, yakni golongan prajurit.

7. Golongan supunya, yakni orang yang kaya.

8. Golongan supatya, yakni golongan petani.

Seorang pujangga harus memiliki delapan kemapuan.

1. Ngawiryo atau orang luhur dan memiliki derajat

2. Ngagama atau ulama yang menguasai kitab agama

3. Ngatapa atau petapa atau pendeta yang ahli bertapa

4. Sujana atau orang memiliki kelebihan

5. Ngaguna atau orang yang memiliki ilmu dan kepandaian

6. Prawira atau prajurit yang tersohor

7. Supunya atau orang kaya yang berharta

8. Supatya atau petani yang tekun.


Dalam sebuah kesusastraan Pujangga bertugas.

1. Ingkang anyerat atau orang yang menuliskan naskah

2. Ingkang anganggit atau yang mengarang) naskah

3. Ingkang angiket atau yang mengumpulkan

4. Ingkang akarya sastra atau yang mengerjakan teks

5. Ingkang anedhak atau yang menyalin

Anda mungkin juga menyukai