Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis
dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh
obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke
pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam
sirkulasi. Cara ini sesuai utuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun
yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik
secara fisis maupun secara kimia. Bahkan bentuk sediaan larutan, suspensi,
atau emulsi juga dapat diterima lewat intramuskuler, begitu juga pembawanya
bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa
larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari
disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan
yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil
sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang
biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral, selain diusahakan harus
steril juga tidak boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi pada
pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari
mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan pemanasan
pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan
terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.

1
Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja
memberikan reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut
steril. Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen
dinding sel bakteri yang disebut endotoksin. Adanya endotoksin yang
ditandai dengan reaksi demam itu merupakan pertanda bahwa selama proses
produksi terjadi kontaminasi mikroba pada produk.
Oleh sebab itu dalam proses produksi sediaan parenteral diisyaratkan hal-
hal sebagai berikut:
1. Personil yang bekerja pada bagian produk steril harus memiliki moral dan
etik professional yang tinggi.
2. Setiap personil mendapat latihan tentang sediaan steril secara lengkap.
3. Memiliki teknik spesialisasi untuk memproduksi sediaan steril.
4. Bahan yang digunakan harus bermutu tinggi.
5. Kestabilan dan kemanjuran produk harus terjamin.
6. Program pengontrolan (quality control) harus baik untuk memastikan mutu
produk dan harus memenuhi keabsahan prosedur produksi.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian sediaan parenteral.
2. Untuk mempelajari biotransformasi obat melalui sediaan parenteral.
3. Untuk memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa/i tentang
berbagai tipe sediaan yang digunakan melalui sediaan parenteral.
4. Untuk mengetahui factor fifiologi yang mempengaruhi pembuatan sediaan
parenteral.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut
atau dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna
(langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan
langsung sampai sasaran. Misal suntikan atau insulin.
Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara
parenteral. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila
obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk sediaan kering.
Apabila mau dipakai baru ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan
atau suspensi injeksi.
Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui
injeksi atau infuse. Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini
diberikan melalui beberapa rute pemberian, yaitu Intra Vena (IV), Intra Spinal
(IS), Intra Muskular (IM), Subcutaneus (SC), dan Intra Cutaneus (IC). Obat
yang diberikan secara parenteral akan di absorbs lebih banyak dan bereaksi
lebih cepat dibandingkan dengan obat yang diberikan secara topical atau oral.
Perlu juga diketahui bahwa pemberian obat parenteral dapat menyebabkan
resiko infeksi.
Resiko infeksi dapat terjadi bila perawat tidak memperhatikan dan
melakukan tekhnik aseptic dan antiseptic pada saat pemberian obat. Karena
pada pemberian obat parenteral, obat diinjeksikan melalui kulit menembus
system pertahanan kulit. Komplikasi yang seringv terjadi adalah bila pH
osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diinjeksikan tidak sesuai dengan
tempat penusukan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sekitar
tempat injeksi.

3
2.2 Rute Pemberian
Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa
pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua
pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan
tentang rute pemebrian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan
dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk
ditinjau secara farmasis
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah
dengan ukuran yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan
penetapan tonisitas. Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute
pemberian injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak
(lipoid) yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin,
insulin, skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis
biasanya diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak
boleh lebih dari 1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya
samapi sampai 1 inci (1 inchi = 2,35 cm)
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa
sediaan (produk) mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN
(1978) mensyaratkan larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan
vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat)
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara
intramuskuler atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar
tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian
elektrolit atau larutan infuse i.v sejenisnya. Cara ini disebut
hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi
iritasi maka pemberiannya harus hati-hati. Cara ini dpata dimanfaatkan
untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.

4
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan
absorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan
langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis.
Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1
samapi 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTMvolume injeksi tetap
dijaga kecil, biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1
samai 1 inci. Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot
atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini
penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan
bagi Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan
intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi
dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril. Pemberian
intramuskuler memberikan efek depot (lepas lambat), puncak
konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang
mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi
produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa, bahan
pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk.
Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat
dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50
mikron.
3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk
mendapatkan efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata
merupakan pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau
intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi
fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka
pemberian antidotum mungkin terlambat. Volume pemberian dapat
dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan untuk infus dapat lebih besar
dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan samapi 5 ml diberikan 1 ml/10 detik,
sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik. Intravena hanya

5
terbatas untuk pemberian larutan air, kalau merupakan bentuk emulsi
harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau dapay diusahakan pH dan
tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa
tempat. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini
mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena
dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup.
Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu
cairannya mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan
barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab
itu harus pada posisi pasien tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara
cepat diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara
intraspinal, im,sc, dan intradermal
6. Intradermal
Capa penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume
pemberian lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset
yang dapat dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan
serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada
lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke
dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
2.3 Keuntungan & Kerugian
Keuntungan :
1. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
2. Bioavabiltas sempurna atau hampir sempurna.
3. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan .

6
4. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sedang sakit keras ataupun
koma.
Kerugian :
1. Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personal yang
terlatih dan membutuuhkan waktu pemberian yang lebih lama.
2. Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan
prosedur aseptic rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu
dapat dihindari.
3. Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk
menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada
dalam sirkulasi sistemik.
4. Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan
pegemasan.
5. Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral dan
interaksi obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur,
inkompatibilitas karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi
obat.
6. Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat,
bebas dari pirogen, dan stabilitas parenteral harus oleh semua personel
yang terlihat.

2.4 Biotransformasi Obat


Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu
menjadi molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase
ini, yang penting adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap
untuk diabsorbsi. Biotransformasi meliputi:

1. Fase Farmakokinetik
2. Proses Absorbsi

7
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih
dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga
sampai ke aliran darah.

1. Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung dimasukkan ke


pembuluh darah sehingga kadar obat didalam darah diperoleh dengan
cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita. Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran darah memberikan
prediksi respon farmakologik yang lebih baik. Kerugiannya adalah obat
yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, sehingga efek toksik
lebih mudah terjadi. Jika penderita alergi akan lebih terjadi. Pemberian
intravena harus dilakukan perlahan-lahan sambil mengawasi respons
penderita.
2. Pada intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan
kelengkapan absorbsi. Obat yang sukar larut seperti dizepam dan penitoin
akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorbsinya berjalan lambat,
tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air lebih cepat
diabsorbsi. Tempat suntikan yang sering dipilih adalah gluteus maksimus
dan deltoid.
3. Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak iritatif
terhadap jaringan. Absorbsi biasanya berjalan lambat dan konstan,
sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi menjadi lebih lambat jika
diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam
bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan vasokonstriktor juga
dapat memperlambat absorbsinya.
4. Intramuscular dan Subcutan, absorbsi pada kedua injeksi ini akan lebih
cepat jika diberikan dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya
tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh yang diinjeksi. Faktor
lainnya yang mempengaruhi adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi dan
bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.

8
5. Untuk intrathecal, obat langsung dimasukkan kedalam ruang subaraknoid
spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada
selaput otak atau sumbu cerebrospinal seperti pada anestesia spinal atau
pengobatan infeksi sistem saraf pusat yang akut.
2.5 Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi,
yaitu:
1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat,
lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang lipofil
dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati.
Sebaliknya dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan
enzim tersebut, misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide,
antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram (Tan Hoan
Tjay dkk., 1978).
2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti:
jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.
- Perbedaan-Spesies-dan-Galur Dalam proses metabolisme obat,
perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan
sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan
yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan
pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat
sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau
perbedaan kuantitatif (Siswandono dan Soekardjo,2000).
- Faktor-Genetik Perbedaan individu pada proses metabolisme
sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal
ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan
terhadap kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
- Perbedaan-umur Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati
mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah

9
menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi
Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun
berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan
penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia
membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada
orang muda (Neal,2005).
- Perbedaan-Jenis-Kelamin Pada beberapa spesies binatang
menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui
tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap
metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal dimetabolisme
secara berbeda pada pria dan wanita.
3. Faktor-Farmakologi Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi
enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih
cepatnya metabolisme (deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma
berkurang dan memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan
efek farmakologinya berkurang dan sebaliknya.
4. Faktor-Patologi Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada
penderita stroke, pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara
agonis akan mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan
pembuluh darah dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis
reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam
memetabolisme obat-obat lain.
5. Faktor-Makanan Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan
panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi
enzim CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui menghambat
metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara
bersamaan.
6. Faktor-Lingkungan Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok
sigaret memetabolisme beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak
merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian

10
mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat yang
mempunyai indeks terapi sempit.
2.6 Evaluasi biofarmasetik
Tahapan Uji:

Menentukan waktu aksi yang diharapkan


Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan
Evaluasi in vivo: penentuan kadar obat di dalam darah hewan dan
manusia.

2.7 Evaluasi Sediaan Parenteral


1. Potensi/Kadar : Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC,
Spektroskopi IR.
2. Ph : Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi penguraian obat
atau interaksi obat dengan wadah.
3. Warna : Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan
penguraian.
4. Kekeruhan : Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat
menyerap dan memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat
melewatkan 92-97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70%
setelah 3-5 tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda
asing, terjadinya pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.
5. Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk sediaan
yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
6. Toksisistas : Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
7. Evaluasi Wadah
8. keseragaman bobot
9. keseragaman volume

11
2.6 Faktor fisiko kimia pembuatan sediaan parenteral
1. Kelarutan
Umumnya obat untuk membuat sediaan parenteral volume besar mudah
larut sehingga kelarutan jarang menjadi hambatan. Kelarutan penting
diperhatikan bila sediaan dipakai sebagai pembawa obat lain atau
terjadinya kristal dari beberapa zat seperti manitol (13 g dlm 100 ml pada
suhu 14 0C).
2. pH
pH perlu diperhatikan mengingat pH yang tidak tepat dapat berpengaruh
pada darah, kestabilan obat dan berpengaruh pada wadah terutama wadah
gelas, plastik dan tutup karet. pH darah normal : 7,35 7,45 sehingga bila
sediaan parenteral volume basar mempunyai pH diluar batas tsb dapat
menyebabkan masalah. pada tubuh.
3. Pembawa
Umumnya digunakan pembawa air. Bila berupa emulsi, partikel tidak
boleh lebih besar dari 0,5 m.
4. Cahaya dan Suhu
Cahaya dan suhu dapat mempengaruhi kestabilan obat. Contoh vitamin
harus disimpan dalam wadah terlindung cahaya.
5. Faktor Kemasan/ wadah
Bahan pembuat wadah sangat berpengaruh terhadap kestabilan obat
parenteral volume basar seperti gelas, plastik dan tutup karet. Kandungan
mikroba dari komponen kemasan sediaan parenteral dapat memberikan
kontaminasi, misalnya dari komposisi, selama transportasi dan kondisi
penyimpanan produk parenteral.

12
BAB III

KESIMPULAN

Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut


atau dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna
(langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan
langsung sampai sasaran. Misal suntikan atau insulin

Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui


injeksi atau infuse. Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini
diberikan melalui beberapa rute pemberian, yaitu Intra Vena (IV), Intra Spinal
(IS), Intra Muskular (IM), Subcutaneus (SC), dan Intra Cutaneus (IC).

Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi


molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini, yang
penting adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap untuk
diabsorbsi. Biotransformasi meliputi Fase farmakokinetik dan proses absorbs.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi, yaitu:

1. Faktor Intrinsik
2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti:
jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.
3. Faktor-Farmakologi Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi
enzim oleh induktor..
4. Faktor-Patologi Menyangkut jenis dan kondisi penyakit.
5. Faktor-Makanan Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein.
6. Faktor-Lingkungan Adanya insektisida dan logam-logam berat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1990. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

L, Kee Joyce & R, Hayes evelyn ; farmakologi Pendekatan proses Keperawatan,


1996 ; EGC; Jakarta.

Priharjo, Robert; Tekhnik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat, 1995; EGC;
Jakarta.

Aziz, Azimul;Kebutuhan dasar manusia II.Bouwhuizen, M; Ilmu Keperawatan


Bagian 1; 1986; EGC; Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai