Setiap manusia berpikir dan berhasrat memperoleh pengetahuan yang sempurna, yang dapat dijangkau dengan pengamatan yang cermat, pemeriksaan yag teliti, penalaran yang luas, dengan berpikir yang sedalam dalamnya, tentang kenyataan yang sebenar-benarnya . Menurut Paryana Suryadiputra (1958) bahwa, kenyataan yang sebenarnya itu dinamai hakikat. Kegiatan hasrat memperoleh hakikat, ialah berpikir dengan landasan yang benar. Berpikir dengan landasan dasar yang benar membutuhkan tarekat, dengan demikian mencari hakikat ialah bukan memikirkan sesuatu tentang kenyataan yang ada keseluruhannya, terhadap semesta alam, dan dengan pusat asasnya (Yang mutlak/Sang pencipta). Hubungan yang demikian dinamai ma`rifat. Secara fundamental manusia sebagai animal educable juga mempunyai berbagai kebutuhan. Manusia menunjukkan kemiripan dengan diri sendiri. Namun demikian, adanya rasionalitas yang menjadikannya sebagai suprabuman yang pengendali makhluk lain (Poespoprodjo W., 1987). Rasionalitas adalah proses refleksi perenungan sistematis dari pengalaman konkret sensitif, yang mampu menyusun konklusi signate berupa pengertian langsung secara sadar, yang sangat padat dengan informasi. Secara exercite, pengertian yang tiak langsung diperoleh dengan mengadakan eksplorasi dari pengalaman yang padat informasi tersebut, dan kemudian memastikannya. Pencarian kepastian inilah yang berhubungan dengan ilmu tentang prinsip, yang mempelajari dan mempertanyakan secara raikal segala realias melalu sebab musabab terakhir, melalui asas- asasnya guna memperoleh pandangan insight yang tepat mengenai realitas, menggunakan logika yang berupa analisis kritis pikiran dan pemikirn manusia. Ilmu itu berupa pembuktian secara ilmiah tentang pengetahuan untuk menjelaskan gejala- gejala dan fenomena alam yang normative, komunalime, serta disinterestedness yang skeptistis. Norma ilmu bersifat universalize yang tidak tergantung ras, warna kulit, dan internasional. Disinterestedness yang berlawanan dengan propaganda kepentingan golongan, dan skeptisme yang tidak begitu saja menerima kebenaran apapun dating dari nmanapun. Ilmu dapat dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigm etika pada kenyataannya amat rumit untuk diurai. Ilmu, teknologi dan seni sebagai proses memanandang manusia merupakan unsure pelaku dalam memahami arti hidup bagi kehidupannya. Hal ini menuntun setip individu untuk dihargai taraf eksistensinya sebagai objek peragaulan kemasyarakatan. Ilmu adalah sistem kegiatan sosial, ataupun dalam kegiatan sosial berkembanglah ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan masing- masing subjek. Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan pengetahuan denan suatu produk, yang berhubungan dengan seni, yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta bersandarkan pada apikasi dan implikasi penegtahuan itu sendiri(Kamus Besar Bahasa Indonesia,1959). Seni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), adalah merupakan keahlian membuat kerya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan lain sebagainya. Sesuatu dikatakan indah apabila mengandung tiga faktor utama yaitu (1)faktor kesempurnaan, (2)faktor keharmonisan, (3)sinar kecemerlangan. Artinya ilmu, teknologi dan seni didapat melalui pola berpikir analogi ilmiah dengan menggunakan metode metode keilmuan yang runtut membawa kearah titik temu pada suatu konklusi yang bersifat nisbi.