TINJAUAN PUSTAKA
3
terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelainan genetik
pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan
substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi
pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek
insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme
lemak dan protein dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II
cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan
metabolisme lemak.3
2.1.4 Gejala Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini:1
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam mendiagnosis dan
memantau keberhasilan terapi penyakit diabetes Melitus tipe 2 ini, berikut
pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis, memantau
keberhasilan terapi maupun evaluasi komplikasi yang ditimbulkan dari diabetes
melitus tipe 2 :1
Kadar Glukosa darah puasa, 2 jam post prandial dan sewaktu di periksa
untuk mendiagnosis pasien yang sebelumnya memiliki gejala klinis
diabetes melitus tipe 2 yang khas.
HbA1C, diperiksa untuk menentukan terapi DM tipe 2 dan melihat
keberhasilan terapi.
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida), diperiksa untuk mengetahui kemungkinan sindrom metabolik
lain seperti dislipdemia yang merupakan komorbid pada pasien pasien DM
tipe 2
4
Kreatinin serum di periksan untuk mengetahui fungsi ginjal, dimana dapat
terjadi komplikasi mikrovaskular pada pasien SM tipe 2 yaitu nefropati.
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Foto sinar-x dada
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena,ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.2
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:2
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
5
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:2
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.
6
Tabel 3. Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11.2 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikanpasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.
*Pemeriksaan HbA1c (6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik.
7
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.2
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring
dan diagnosis diabetes melitus.
Diabetes Meilitus
2.1.8 Penatalaksaan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan.2
8
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.2
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampirsama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.2
A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:2
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
9
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
10
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI).
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:2
11
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
IMT = BB(kg)/
TB(m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
Keterangan:
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
ObesII > 30
12
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah
kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita
dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
13
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e. DPP-IV inhibitor
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
14
ambilan glukosa diperifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakaipada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saatatau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaanakan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
15
aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4),
atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang pelepasan insulin serta menghambat pelepasan glukagon.
2. Suntikan
A.Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
16
Action (Puncakkerja) Duration
(Awalkerja) of Action
(Lama kerja)
Insulin prandial (meal-rolated)
Insulin short-acting
Regular (Actrapid", Humulin" R) 30 60 menit 30 90 menit 3 5 jam
Insulin analog rapid-acting
Insulin lispro (Humalog") 6 15 menit 30 90 menit 3 5 jam
Insulin glulicino (Apidra") 6 15 menit 30 90 menit 3 5 jam
Insulin aspart (NovoRapid") 6 15 menit 30 90 menit 3 5 jam
Insulin Intermediate-acting
NPH (Insulaterd", Humulin" N) 2 4 jam 4 10 jam 10 16 jam
Lenle" 3 4 jam 4 12 jam 12 18 jam
Insulin long-acting
Insulin glargine (Lantus") 2 4 jam No peak
Ultralento" 6 10 jam 8 10 jam
Insulin detemir (Levenir") 2 4 jam No peak
Insulin campuran
17
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
B. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulinyang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel betapankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obatini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
18
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin.
2.1.9 Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif
akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius
pada diabetes adalah:2
A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal ini
terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan mengalami hal
berikut:
Hiperglikemia
Hiperketonemia
Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan
lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion
hidrogendan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. (Price et.al 2005).
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami
koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi,
karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya
komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.
19
B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada
penderitadiabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut,
namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah
sebagai berikut:2
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
Dehidrasi berat
Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara
HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil
penelitian di RSCM 1990-1991yang dilakukan Karsono dkk, memperlihatkan
kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita
lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM. meskipun
hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya
ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum
mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya.2
Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
20
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi
hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi.Tanda
klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
(Soegondo, 2005).
Tanda-tanda Hipoglikemia
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sederhana.
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung,bibir
atau tangan, berdebar-debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat
stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral
ataupun suntikan. Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
a. Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
b. Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin
bias diperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I : 18 jam setelah suntikan
21
2.1.10 Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diatas
prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi (meminimalkan) risiko
timbulnya komplikasi dengan baik. Serangan jantung, stroke, dan kerusakan saraf
dapat terjadi. Beberapa orang dengandiabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung
pada hemodialisa akibat kompilkasi gagalginjal.Ada banyak hal yang dapat
dilakukan untuk meminimalkan risiko komplikasi :2
Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah
gula),perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong,
salak, tomat, semangka, dianjurkan pisang ambon namun dalam jumlah
terbatas)
Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)
Hindari konsumsi alkohol dan olahraga yang berlebihan
Pertahankan berat badan ideal
Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid
Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori
prediabetes).
2.1.11 Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu :2
Pencegahan primer:
Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada
individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
Pencegahan sekunder:
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengantes
penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien
diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan
demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah
ada komplikasi masih reversible (cegah kompilkasi).
22
Pencegahan tersier:
Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi yangsudah
ada. Usaha ini meliputi:
Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi
kegagalan organ (jangan sampai timbul chronic kidney disease)
Mencegah kecacatan tubuh
23
2.2 PENYAKIT GINJAL KRONIK / CHRONIC KIDNEY DISEASE
2.2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis adalah kelainan struktur atau fungsional ginjal, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian berdasarkan kausa, kategori
LFG, dan kategori albuminuria.4
2.2.2 Etiologi
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus
tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga
menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung
serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan
dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan
menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal
kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal antara lain :4
Penyakit peradangan seperti gloerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit
ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis
tubulus.
Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si
ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran
balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
ginjal.
Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria danrefluks ureter
Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
24
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis
Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,
penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan
kanker.
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kuranglebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan
ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih
utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadilingkaran setan
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan GagalGinjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya
peningkatanaktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi
sistemik, nefrotoksindan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut
memberikan kontribusiterhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut.5
25
2.2.4 Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan.
Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya
penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah
semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala
fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti :4
Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
Gangguan kelamin: libido menurun, nokturia, oligouria
(140 )
=
72 (/)
* pada Perempuan dikalikan 0,85
26
Dan berdasarkan hasil dari LFG dapat di interprestasikan di tabel bawah ini.
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,75m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG
1 90
normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG
2 60 89
peningkatan ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
3 30-59
Peningkatan Sedang
Kerusakan Ginjal dengan LFG
4 15-29
Peningkatan Berat
5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisi
27
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah rutin, pemeriksaan ini untuk melihat nilai hemoglobin
dimana pada pasien dengan penyakit ginjal kronik kadar hemoglobin akan
menurun, hal ini disebabkan menurunnya hormon eritropoietin yang berfungsi
untuk merangsang pengeluaran sel darah merah oleh sumsun tulang.4
Pemeriksaan Fungsi Ginjal, pemeriksaan fungsi ginjal diliakukan untuk
melihat kadar ureum dan kreatinin, dimana kadar kreatinin digunakan untuk
menentukan stadium penyakit ginjal kronik dengan cara memasukan nilai
kreatinin kedalam rumus creatinin clearance atau laju filtrasi glomelurus.4
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :4
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
28
2.2.7 Diagnosa
Kriteria diagnosis untuk penyakit ginjal kronik.4
Kriteria Kesan
Durasi > 3 bulan, Durasi dibutuhkan untuk membedakan CKD dengan
berdasarkan riwayat AKI. Evaluasi secara klinis biasanya dapat
dokumentasi atau menunjukkan adanya dokumentasi dari durasi.
tindakan
GFR <60 GFR merupakan indeks terbaik untuk melihat fungsi
ml/min/1.73m2 dan kelainan pada ginjal
(GFR categories G3a- GFR normal untuk dewasa muda sekitar 125
G5) ml/min/1.73m2, GFR < 15 didefinisikan
sebagai gagal ginjal
Penurunan GFR dapat dilihat dari perhitungan
Serum Creatinin atau Cystatin C, namun tidak
dengan Serum Creatinin atau Cystatin C saja
Penurunan GFR dapat dikonfirmasi dengan
mengukur GFR, jika dibutuhkan
Kerusakan Ginjal Albuminuria merupakan tanda dari kerusakan ginjal
didefinisikan sebagai (kenaikan permeabilitas glomerulus) AER > 30mg/24
abnormalitas jam kurang lebih sama dengan ACR > 30mg/g
structural atau (>3mg/mmol)
fungsional selain Normal ACR urine orang dewasa sehat
kelainan pada GFR adalah< 10mg/g
Sedimen urin dapat menandakan adanya kelainan
ginjal
Microhematuria dengan adanya kelainan
morfologi sel darah merah (anisositosis) pada
kelainan GBM
Silinder sel darah merah pada
glomerulonephritis poliferatif
29
Silinder sel darah putih pada pyelonephritis
atau interstisial nephritis
Oval fat bodies atau silinder lemak pada
penyakit dengan proteinuria
Silinder granular dan sel tubulus ginjal pada
banyak penyakit parenkim ginjal
Kelainan TubulusGinjal
Renal tubular acidosis
Nephrogenic diabetes incipidus
Fanconi syndrome
Renal potassium wasting
Renal sodium wasting
Non-albumin proteinuria
Cystinuria
30
Hydronephrosis karena obstruksi
Kerusakan kortikal yang disebabkan oleh
infarct, pyelonephritis, atauvesicourethral
reflux
Massa ginjal atau pembesaran ginjal karena
penyakit infiltrative
Renal artery stenosis
Ginjal kecil dan hipoechoic
2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik Meliputi.
Terapi Spesifik terhadap Penyakit dasar.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi Komorbid
Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Waktu yang paling tepat, untuk terapi penyakit dasarnya, adalah sebelum
terjadinya penuruan LFG, sehingga pemburukan Fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang normal secara USG, Biopsi dan pemeriksaanm
Histopatologi Ginjal dapat mementukan indikasi yang tepat terhadap terapi
Spesifik. Sebaliknya, bila LFG Sudah menurun sampai 20-30% dari normal ,
tetapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.
31
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada table
2.2.9 Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai
berikut:4
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diet berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardinal, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
32
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.
2.2.10 Pencegahan
Pencegahan kerusakan ginjal dan merubah perjalanan penyakit juga tidak
kalah pentingnya melalui terapi sejak awal dan pengawan progresifitas penyakit.
Pencegahan primer
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan terhadap faktor-
faktor yang dapat penyebabkan penyakit ginjal (pencegahan paparan infeksi,
konseling genetik, pencegahan obesitas, dan lain-lain).
Pencegahan sekunder
Dilakukan dengan menjaga agar progresifitas CKD tidak terus berlanjut
dengan penanganan yang tepat pada setiap stadium CKD.
Pencegahan tersier
difokuskan pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau
kecacatan akibat CKD melalui terapi penggantian ginjal (dialisis atau
transplantasi ginjal).7-8
2.2.11 Prognosis
Umumnya Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis
jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan
yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari
GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya
seringkali terlambat. Menurut KDIGO predikisi prognosis pada CKD bisa dilihat
dengan menggunakan GFR dan albuminuria yang terjadi pada pasien seperti pada
tabel di bawah ;6
33
Normal to
Moderately Severely
midly
increased increased
increased
Mildly
G2 60-89
decreased
Mildly to
G3a moderately 45-59
decreased
GFR categories (ml/min/1.73 m2)
Moderately
G3b to severely 30-44
decreased
Description and range
Severely
G4 15-29
decreased
Kidney
G5 <15
failure
Green: low risk (if no other markers of kidney diasease, no CKD); Yellow: moderately
increased risk; Orange: high risk; Red, very high risk
Tabel yang terarsir dengan warna hijau memiliki kemungkinan yang lebih rendah
untuk jatuh menjadi kegagalan ginjal, sedangkan yang berwarna merah memiliki
resiko lebih tinggi untuk menjadi gagal ginjal.
34
BAB III
LAPORAN KASUS
Anamnesis Pribadi
Nama : Asnidar
Umur : 50tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Kawin : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Pasar VII Beringin, Gg. Keswari P. Tembung
Suku : Jawa
Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama : Nyeri pinggang kanan
Telaah : Pasien datang ke Rumah sakit Haji Medan dengan keluhan
nyeri pinggang sebelah kanan sejak 5 bulan yang lalu. Dan
memberat 2 minggu ini. Nyeri bersifat terus menerus dan
menjalar ke perut depan. Pasien juga mengeluh mual sejak
1 minggu yang lalu, mual disertai muntah. Muntah 1
sampai 3 kali sehari, banyaknya kurang lebih gelas aqua
berisi apa yang dimakan dan diminum, muntah disertai
darah disangkal. Pasien juga mengeluh bengkak pada
wajah sejak 2 minggu yang lalu, dikeluhkan semakin
membesar, bengkak dikeluhkan lebih besar saat pasien
bangun tidur pada pagi hari. Pasien juga mengeluh badan
lemas sejak 1 minggu yang lalu, lemas dikeluhkan setiap
saat, dan keluahan lemas semakin memberat saat pasien
melakukan banyak aktivitas. Pasien juga mengeluh nyeri
pada ulu hati sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri bersifat
hilang timbul, nyeri dikeluhkan seperti ditusuk. Pasien
35
juga mengeluh rasa panas pada ulu hati. Pasien juga
mengeluh tidak nafsu makan sejak 2 minggu yang lalu.
BAK : (+) Normal, 3-4 kali, kuning pekat
BAB : Sudah tidak BAB sejak 2 hari yang lalu.
RPT : DM tipe 2 dan Hipertensi
RPO : furosemid, candesartan, adalat oros, apidra.
RPK : Tidak ada
Anamnesa Umum
- Badan kurang enak : ya - Tidur : terganggu
- Merasa Lemas : ya - Berat badan : menurun
- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak
- Menggigil : tidak - Demam : tidak
- Nafsu makan : menurun - Pening : ya
Anamnesa organ
1. Cor
- Dyspneu deffort : tidak - Cyanosis :tidak
- Dyspnea drepos :tidak - Angina pectoris : tidak
- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : tidak
- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak
2. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : tidak - Gangguan tropis : tidak
- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : tidak
- Rasa mati Ujung jari : tidak
3. Traktus respiratorius
- Batuk : tidak - Stidor : tidak
- Berdahak : tidak - sesak nafas : ya
- Haemoptoe : tidak - Pernafasan cuping hidung : tidak
36
- Sakit dada waktu bernafas :tidak - Suara parau : tidak
4. Traktus digestivus
a. Lambung
- Sakit di epigastrium : ya - Sendawa :tidak
- Rasa panas di epigastrium : ya - Anoreksia : ya
- Muntah : ya, 1-3 kali/hari - Mual-mual : ya
- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak
- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak
- Pyrosis : tidak
b. Usus
- Sakit di abdomen : tidak - Melena :tidak
- Borborygmi : tidak - Tenesmi :tidak
- Defekasi : tidak - Flatulensi : ya
- Obstipasi : ya, 3 hari lalu - Haemorrhoid : tidak
- Diare : tidak
37
- Sakit : ya - Sakit digerakan : ya
- Sendi kaku : ya - Bangkak : tidak
- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak
7. Tulang
- Sakit : ya - Fraktur spontan : tidak
- Bengkak : tidak - Deformitas : tidak
8. Otot
- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak
- Kebas-kebas : ya - Atrofi : tidak
9. Darah
- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : ya
- Mata berkunang-kunang: ya - Bengkak : ya
- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak
- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak
10. Endokrin
a. Pankreas
- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak
- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak
- Poliuri : tidak
b. Tiroid
- Nervositas : tidak - struma : tidak
- Exoftalmus : tidak - miksoderm : tidak
c. Hipofisis
- Akromegali : tidak - distrofi adipos kongenital : tidak
38
- Menarche : 12 tahun - Ereksi : tidak ditanyakan
- Siklus Haid : teratur 28 hari - Libido sexual : tidak ditanyakan
- Menopause : 50
- G/P/AB : G6/ P5/A1 - Coitus : tidak ditanyakan
14. Psikis
- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak
- Takut : tidak - Lekas marah : tidak
- Gelisah : tidak
39
Riwayat pemakaian Obat
Furosemid 1x 40 mg
Candesartan 1x 16mg
Adalat oros 1x30 mg
Apidra
Anamnesa Intoksikasi
Tidak ada
Anamnesa Makanan
- Nasi : freg 3 x/ Hari - Sayur sayuran : tidak
- Ikan : ya - Daging : ya
Anamnesa Family
- Penyakit-penyakit family : tidak ada
- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada
- Anak-anak: 5, Hidup: 5, Mati: 1
STATUS PRESENT
Keadaan Umum
- Sensorium : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg
- Temperatur : 36,5 C
- Pernafasan : 20 x/ menit
- Nadi : 60 x/ menit
40
Keadaan Penyakit
- Anemi : ya - Eritema : tidak
- Ikterus : tidak - Turgor : baik
- Sianosis : tidak - Gerakan Aktif : ya
- Dispnoe : tidak - Sikap tidur paksa: tidak
- Edem : tidak
Keadaan Gizi
BB: 64 Kg TB: 160 cm
64
RBW = BB x 100% = 160100 x 100% = 106 %
TB 100
Kesan : Normoweight
IMT = BB/ (TB/100)2 = 64/1,22 = 25 kg/m2
Kesan : Normoweight
Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : normal
- Sakit kalau dipegang : tidak
- Perubahan lokal : tidak
a. Muka
- Sembab : ya Parese : tidak
- Pucat : ya gangguan lokal : tidak
- Kuning : tidak
b. Mata
- Stand Mata : normal - Ikterus : tidak
- Gerakan : kesegala arah - Anemia : tidak
- Exoftalmos : tidak - Reaksi pupil :ya, RC (+/+)
diameter 3mm
41
- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak
c. Telinga
- Sekret : tidak - Bentuk : Normal
- Radang : tidak - Atrofi : tidak
d. Hidung
- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak
- Bentuk : Normal
e. Bibir
- Sianosis : tidak - Kering : tidak
- Pucat : tidak - Radang : tidak
f. Gigi
- Karies : ya - Jumlah : tidak lengkap
- Pertumbuhan : Normal - Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
- Kering : tidak - Beslag : tidak
- Pucat : tidak - Tremor : tidak
h. Tonsil
- Merah : tidak - Membran : tidak ada
- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak
- Beslag : tidak
42
2. Leher
Inspeksi :
- Struma : tidak - Torticolis :tidak
- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak
- Pulsasi Vena : tidak
Palpasi
- Posisi trachea : Medial - TVJ : R-2cm H2O
- Sakit/ nyeri tekan: tidak - Kosta servikalis : tidak
3. Torax depan
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak
- Simetris/asimetris: simetris - Pembengkakan : tidak
- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak
- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : Normal
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba
- Fremitus suara : kanan=kiri
Kesan : normal a. Lokasi :-
- Fremissement : tidak b. Kuat angkat : -
Perkusi
- Suara perkusi paru : Sonor - Gerakan bebas : 2 cm
- Batas Jantung : - Batas paru hati :
- a. Atas: ICS II linea parasternal sinistra a. Relatif : ICS V
- b. Kanan : ICS IV linea sternalis dextra b. Absolut : ICS VI
- c. Kiri : ICS V 1 cm medial dari linea
Midclaviculasinistra
43
Auskultasi
- Paru paru
o Suara pernafasan : Vesikuler
o Suara Tambahan : Tidak ada
- Cor :
o Heart Rate : 60 x/i reguler intensitas sedang
o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)
o Suara tambahan : Tidak ada
4. Thorax belakang
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas: tidak
- Benjolan : tidak Venektasi : tidak
Terdapat makula hipopigmentasi di scapula
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak
- Fremitus suara : kanan=kiri
kesan : normal
Perkusi
- Suara perkusi paru: sonor kedua lapang paru Gerakan bebas : 2 cm
- Batas bawah paru:
- A. Kanan : Proc. Spinosus Vertebra VIII
- B. Kiri : Proc. Spinosus Vertebra IX
Aukultasi
- Pernafasan :Vesikuler di kedua lapangan paru
- Suara tambahan : Tidak ada
44
Nyeri tekan padaregio epigastrium
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : tidak
- Venektasi : tidak
- Gembung : tidak
- Sirkulasi Collateral : tidak
- Pulsasi : tidak
Palpasi
- Defens muskular : tidak
- Nyeri tekan : ya, pada region epigastrium
- Lien : tidak teraba
- Ren : nyeri ketok sudak costovertebre kanan (+)
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : ya
- Pekak beralih : tidak
Auskultasi
- Peristaltik usus : 6 x/menit
45
6. Genitalia
- luka : tidak diperiksa
- sikatrik : tidak diperiksa
- nanah : tidak diperiksa
- hernia : tidak diperiksa
7. Extremitas
a. Atas Kanan Kiri
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Stand abnormal : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Tes Rumpelit :- -
- Refleks :
o Bisep : ++ ++
o Trisep : ++ ++
- Radio periost : ++ ++
46
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
Tanggal : 22 April 2017
Nama : Asmidar
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 6,2 g/dl 13-18
Hitung Eritrosit 2,1 106/ul 4.5-6.5
Hitung Leukosit 28.200 /ul 4000-11.000
Hematokrit 18,1 % 40-54
Hitung trombosit 665.000 /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 85,4 Fl 80-96
MCH 29,1 Pg 27-31
MCHC 34,2 % 30-34
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
N. Stab 0 % 2-6
N. Seg 88 % 53-75
Limfosit 7 % 20-45
Monosit 4 % 4-8
LED 119
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Glukosa Darah sewaktu 194 mg/dL < 140
Fungsi Hati
Albumin 3,22 g/dL 0,3-1
Globulin 2,48 g/dL < 0,25
protein total 5,70 g/dL < 40
47
Fungsi Ginjal
Ureum 120 mg/dl 20-140
Kreatinin 4,50 mg/dl 0,6-1.1
Elektrolit
Natrium 119 mEq/L 135-155
Kalium 6.0 mEq/L 3.5-5.5
Chlorida 89 mEq/L 98-106
48
RESUME
Anamnesis
- Keluhan utama : Nyeri pinggang kanan
Telaah : Pasien datang ke Rumah sakit Haji Medan dengan keluhan
nyeri pinggang sebelah kanan sejak 5 bulan yang lalu. Dan
memberat 2 minggu ini. Nyeri bersifat terus menerus dan
menjalar ke perut depan. Pasien juga mengeluh mual sejak 1
minggu yang lalu, mual disertai muntah. Muntah 1 sampai 3
kali sehari, banyaknya kurang lebih gelas aqua berisi apa
yang dimakan dan diminum, muntah disertai darah
disangkal. Pasien juga mengeluh bengkak pada wajah sejak
2 minggu yang lalu, dikeluhkan semakin membesar,
bengkak dikeluhkan lebih besar saat pasien bangun tidur
pada pagi hari. Pasien juga mengeluh badan lemas sejak 1
minggu yang lalu, lemas dikeluhkan setiap saat, dan
keluahan lemas semakin memberat saat pasien melakukan
banyak aktivitas. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati
sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul, nyeri
dikeluhkan seperti ditusuk. Pasien juga mengeluh rasa panas
pada ulu hati. Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan sejak
2 minggu yang lalu.
49
Status Present
Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sensoriun: Compos Mentis Anemia : ya TB : 160 cm
Tekanan Darah: 140/90 mmHg Ikterus :tidak BB : 64 kg
Nadi: 60x / menit Sianosis : tidak
Nafas: 20 x/ menit Dyspnea : tidak RBW= BB x 100%
Suhu: 36,50 C Edema : tidak TB - 100
Eritema : tidak = 106 %
Turgor : tidak Kesan : Normoweight
Gerakan aktif : ya
Sikap tidur paksa: tidak IMT = BB/ (TB/100)2 =
64/1,22 = 25 kg/m2
Kesan : Normoweight
Pemeriksaan Fisik
Kepala : konjuntiva anemis dextra dan sinistra
Oedem pada periorbita dextra dan sinistra
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Nyeri epigastrium (+) dan nyeri pada regio lumbalis dextra
Extremitas : Dalam Batas Normal
Pemeriksaan laboratorium
Darah :
Hemoglobin menurun, eritrosit menurun, hematokrit menurun, leukosit
meningkat, ureum meningkat, kreatinin meningkat.
50
Diagnosa Banding
1. Chronic kidney disease stage V e.c nefropati diabetikum + anemia e.c
penyakit kronik + Diabetes Melitus tipe 2 + hypernatremia
2. Chronic kidney disease stage V e.c hipertensi nefropati + anemia defisiensi
besi + Diabetes Melitus tipe 2
3. Chronic kidney disease stage V e.c penyakit ginjal obstruksi infeksi + anemia
e.c perdarahan aktif + Diabetes Melitus tipe 2
Diagnosis Sementara
Chronic kidney disease stage V e.c nefropati diabetikum + anemia e.c penyakit
kronik + Diabetes Melitus tipe 2 + hypernatremia
Terapi
Aktivitas Tirah Baring
Diet Diet Ginjal
Medikamentosa
- IVFD Nacl 20 gtt/menit
- Inj. Ranitidin 50 mg /12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr /12 jam
- Inj. Ondansetron 1 ampul / 8 jam
- Amplodipin tablet 1 x 10 mg
- Candesartan tablet 1 x 16 mg
51
DISKUSI KASUS DM TIPE 2
Teori Kasus
Anamnesis Anamnesis
- Polifagi - Tidak ditemukan polifagi
- polidipsi - Tidak ditemukan polidipsi
- poliuri - Tidak ditemukan poliuri
- penurunan berat badan tanpa sebab - Penurunan berat badan
- pruritus vulva - Tidak ditemukan pruritus vulva
- kebas pada ektremitas - kebas pada kedua tangan
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum - Keadaan umum
Sensoriun : Compos Mentis Sensoriun : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Hate rate : 60x / menit Hate rate : 60x / menit
Respirasi : 20 x/ menit Respirasi : 20 x/ menit
Temperature : 36,50 Temperature : 36,50 C
52
RBW= BB x 100% RBW= BB x 100%
TB - 100 TB - 100
= % = 106 %
Kesan : Kesan : normoweight
53
Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan Laboratorium:
- Peningkatan kadar gula darah puasa - Tidak dilakukan pemeriksaan
126 mg/ dl
- Peningkatan kadar gula post - Tidak dilakukan pemeriksaan
prandial
- Peningkatan kadar gula darah - Ditemukan peningkatan kadar gula
sewaktu 20 mg/dl. darah sewaktu 194 mg/dl.
- Peningkatan kadar HbA1c 6,5 - Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pada pemeriksaan urin rutin di - Tidak dilakukan pemeriksaan
dapatkan adanya glukosuria.
- Kadar hemoglobin menurun < 12 - Kadar hemoglobin menurun 6,2
Diagnosa Diagnosa
- DM Tipe II - DM Tipe II
Tata Laksana Tata Laksana
- Edukasi tentang pola gaya hidup dan - Edukasi tentang pola gaya hidup
olahraga rutin dan olahraga rutin
- Terapi nutrisi medis - Terapi nutrisi medis
- Pemberian Obat hiperglikemi Oral - Pemberian Obat hiperglikemi Oral
1. Pemicu sekresi insulin 1. Pemicu sekresi insulin
( golongan sulfonylurea) ( golongan sulfonylurea)
2. Penambah sensitivitas terhadap 2. Penambah sensitivitas terhadap
insulin (metformin) insulin : Metformin 3 x 500 mg
3. Penghambat gluconeogenesis 3. Penghambat gluconeogenesis
54
4. Penghambat glukosidasealfa 4. Penghambat glukosidasealfa
Komplikasi Komplikasi
- Ulkus kaki diabetik - Ulkus kaki diabetik
- Hipoglikemia - Hipoglikemia
- Ketoasidosis diabetic - Ketoasidosis diabetic
- Neuropati diabetic - Neuropati diabetik
Prognosis Prognosi
55
lanjut) lebih lanjut)
56
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum - Keadaan umum
Sensoriun : Compos Mentis Sensoriun : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Hate rate : 60x / menit Hate rate : 60x / menit
Respirasi : 20 x/ menit Respirasi : 20 x/ menit
Temperature : 36,50 C Temperature : 36,50 C
- Keadaan penyakit - Keadaan penyakit
Anemia Anemia : ya
Ikterus Ikterus :tidak
Sianosis Sianosis : tidak
Dyspnea Dyspnea : tidak
Edema Edema : tidak
Eritema Eritema : tidak
Turgor Turgor : tidak
Gerakan aktif Gerakan aktif: ya
Sikap tidur paksa Sikap tidur paksa : tidak
- Keadaan gizi - Keadaan gizi
TB : cm TB : 160 cm
BB : kg BB : 64 kg
57
Kepala : Dalam Batas Normal Kepala : konjuntiva anemis dextra
dan sinistra Oedem pada
periorbita dextra dan
sinistra
58
Fungsi Ginjal : Fungsi Ginjal :
- Kreatinin = 0,6-1,1mg/dl - Kreatinin = 4,50 mg/dl
Elektrolit : Elektrolit :
- Natrium = 135-155mEq/L - Natrium = 199 mEq/L
- Chlorida = 98-106mEq/L - Chlorida = 89 mEq/L
Diagnosa Banding Diagnosa Banding
1. CKD 1. CKD
2. Diabetes Mellitus 2. Diabetes Mellitus
3. Hipertensi 3. Hipertensi
Diagnosa Diagnosa
CKD Stage V CKD Stage V
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
1. Terapi spesifik terhadap penyakit Aktivitas tirah baring
dasarnya Diet diet ginjal
Waktu yang tepat untuk terapi
penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG. Bila
LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.6
2. Pencegahan dan terapi terhadap
kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan
mencatat kecepatan penurunan
LFG untuk mngetahui kondisi
komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien.6
3. Memperlambat perburukan fungsi
ginjal
59
Faktor utama penyebab perburukan
fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara
untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah :6
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak
dapat disimpan didalam tubuh
tetapi di pecah menjadi urea dan
substansi nitrogen lain, yang
terutama dieksresikan melalui
ginjal selain itu makanan tinggi
protein yang mengandung ion
hydrogen, posfat, sulfat, dan ion
anorganik lainnya juga
dieksresikan melalui ginjal. Oleh
karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal
kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan
ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia.
Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama dan untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat
60
antihipertensi (ACE inhibitor)
disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi
intraglomerular dan hipertrofi
glomerulus.
61
abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan
nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar
ureum dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan
kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual,
dan muntah.
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan
hiperfosfatemia.
Pencegahan Pencegahan
- Pencegahan kerusakan ginjal dan - Pencegahan kerusakan ginjal dan
merubah perjalanan penyakit juga merubah perjalanan penyakit juga
tidak kalah pentingnya melalui tidak kalah pentingnya melalui terapi
terapi sejak awal dan pengawan sejak awal dan pengawan
progresifitas penyakit : progresifitas penyakit :
62
- Pencegahan tersier difokuskan pada - Pencegahan tersier difokuskan pada
penundaan komplikasi jangka penundaan komplikasi jangka
panjang, disabilitas atau kecacatan panjang, disabilitas atau kecacatan
akibat CKD melalui terapi akibat CKD melalui terapi
penggantian ginjal (dialisis atau penggantian ginjal (dialisis atau
transplantasi ginjal). transplantasi ginjal).
Prognosis Prognosis
- Dubia et bonam (Baik) Dubia et malam (Buruk)
- Umumnya Penyakit GGK tidak
dapat disembuhkan sehingga prognosis
jangka panjangnya buruk, kecuali
dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk
mencegah progresifitas dari GGK itu
sendiri. Selain itu, biasanya GGK
sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala sehingga
penanganannya seringkali terlambat.
63
BAB IV
KESIMPULAN
64
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lainnya dalam darah).
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis
(10%) merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka
lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi
(uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang
melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan saluran cerna (nafsu makan
menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost dan gatal di
kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi,
sesak nafas, nyeri dada, edema), gangguan kelamin (libido menurun, nokturia,
oligouria).
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal.
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid,
memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi, terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
65
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. JilidIII, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia
5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007.
p. 110 115.
66
8. Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective,
update. MJAFI 2009;65:45-49.yy.
67