Anda di halaman 1dari 15

TREMATODA HATI DAN

TREMATODA DARAH
June 2, 2013 by triyaniuc

TREMATODA HATI

1) Fasciola hepatica

1. A. Taxonomi

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Kelas : Trematoda

Ordo : Echinostomida

Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola hepatica

Fasciola hepatica merupakan salah satu spesies cacing yang merupakan parasit dalam tubuh
manusia. Fasciola tergolong dalam kelas Trematoda, filum Platyhelmintes.

Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada
manusia. Fasciola hepatica merupakan penyakit fascioliasis. Fascioliasis banyak ditemukan
di negara-negara Amerika Latin dan negara-negara sekitar Laut Tengah

1. B. Morfologi
1. Telur

Ukuran : 130 150 mikron x 63 90 mikron


Warna : kuning kecoklatan
Bentuk : Bulat oval dengan salah satu kutub mengecil, terdapat overculum pada kutub
yang mengecil, dinding satu lapis dan berisi sel-sel granula berkelompok

1. Cacing dewasa

Ukuran 30 mm x 13 mm
Bersifat hermaprodit
Sistem reproduksinya ovivar
Bentuknya menyerupai daun
Mempunyai tonjolan konus pada bagian anteriornya
Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut, uterus pendek berkelok-kelok.
Testis bercabang banyak, letaknya di pertengahan badan berjumlah 2 buah.
Ovarium sangat bercabang

Ciri umum :

1. Bentuk tubuh seperti daun


2. Bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten merupakan modifikasi dari
epidermis
3. Cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek,
memanjang dan membelok
4. Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam inang yaitu: inang perantara
yakni siput air dan inang menetapnya yaitu hewan bertulang belakang pemakan
rumput seperti sapi dan domba
5. Merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktusbiliferus atau pada
epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya
6. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam
intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.
7. Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfa, kemudian sisa-sisa
metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit.
8. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda
bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis
laurer.

1. C. Hospes

a) Hospes definitif : Manusia, kambing, sapi dan biri biri

b) Hospes perantara I : Keong air / siput

c) Hospes perantara II : Tumbuhan air

1. D. Siklus Hidup

Pada spesies F. hepatica, cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong
empedu hewan ruminansia dan manusia. Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama feses
domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang
disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar
(Lymnea auricularis-rubigranosa).

Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siput
selama + 2 minggu). Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini
berlangsung secara partenogenesis. Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang
menjadi larva berikutnya yang disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya
serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput dan keluar berenang dalam air.

Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk beberapa lama. Serkaria
melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri berupa kista
yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya. Perhatikan
tahap perkembangan larva Fasciola hepatica. Apabila rumput tersebut termakan oleh hewan
ruminansia dan manusia, maka kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke
dalam hati, saluran empedu dan dewasa disana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur
kembali dan siklus ini terulang lagi.

Penjelasan Singkat

Telur > larva mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea > sporokista > berkembang
menjadi larva (II): redia > larva (III): serkaria yang berekor, kemudian keluar dari tubuh
keong > kista yang menempel pada tumbuhan air (terutama selada air > Nasturqium
officinale) kemudian termakan hewan ternak (dapat tertular ke orang, apabila memakan
selada air) > masuk ke tubuh dan menjadi cacing dewasa menyebabkan Fascioliasis.

1. E. Gejala dan Diagnosis

Gejala

Migrasi cacing Fasciola hepatica ke saluran empedu menimbulkan kerusakan pada parenkim
hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga
menimbulkan Sirosis Periportal.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum atau cairan
empedu. Reaksi serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis

Pengobatan

Pengobatan yang dapat diberikan antara lain:

Heksakloretan
Heksaklorofan
Rafoxamide
Niklofolan
Bromsalan yang disuntikkan di bawah kulit

1. F. Epidemiologi dan Pencegahan


Epidemiologi
Banyak kasus di daerah yang masyarakatnya mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi ikan mentah atau ikan yang diolah kurang matang.
Sering ditemukan di Cina, Jepang, Korea dan Vietnam.

Pencegahan

Tidak memakan ikan mentah. Apabila mengkonsumsi harus sudah

dimasak secara sempurna dan memakai cuka khusus yang dapat mematikan parasit,
sehingga bisa dihindari terinfeksi oleh

metaserkaria dalam ikan. Pengobatan sempurna pada penderita dengan prazikuantel.

2) Clonorchis sinensis

1. A. Taxonomi

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Kelas : Trematoda

Ordo : Opisthorchiida

Family : Opisthorchiidae

Genus : Clonorchis

Spesies : Clonorchis sinensis

Clonorchis sinensis ini tinggal di hati manusia, dan ditemukan terutama di umum saluran
empedu dan kantong empedu , makan pada empedu . Hewan ini yang diyakini menjadi lazim
parasit cacing yang paling ketiga di dunia adalah endemik untuk Jepang, Cina, Taiwan,
dan Asia Tenggara, saat ini menginfeksi suatu manusia diperkirakan 30.000.000.
Clonorchis sinesnsis adalah parasit opisthorchid trematoda yang menginfeksi kucing dan
manusia di negara-negara tropis dan subtropis di Asia.

1. B. Morfologi

Clonorchis sinensis dewasa memiliki bagian-bagian tubuh utama: pengisap oral, faring, usus
buntu, pengisap ventral, vitellaria, rahim, ovarium, kelenjar mehlis, testis, kandung kemih
exretory. Telur dari Clonorchis sinensis yang berisi mirasidium yang berkembang ke dalam
bentuk dewasa, mengapung di air tawar sampai dimakan oleh siput.
1. Telur :
1. Bentuk seperti botol ukuran 2530 m
2. Warna kuning kecoklatan
3. Kulit halus tetapi sangat tebal
4. Pada bagian ujung yg meluas terdapat tonjolan
5. Berisi embrio yg bersilia (mirasidium)
6. Operculum mudah terlihat
7. Infektif untuk siput air

1. Cacing Dewasa :
1. Ukuran 12 20 mm x 3 5 mm
2. Ventral sucker < oral sucker
3. Usus (sekum) panjang dan mencapai bagian posterior tubuh
4. Testis terletak diposterior tubuh & keduanya mempunyai lobus
5. Ovarium kecil terletak ditengah (anterior dari testis)

1. C. Hospes

a) Hospes definitif : manusia, kucing dan anjing

b) Hospes perantara 1 : siput / keong air

c) Hospes perantara 2 : ikan sungai

1. D. Siklus Hidup

Siput merupakan pejamu perantara yang pertama. Sekitar 40 spesies ikan sungai berperan
sebagai pejamu sekunder. Manusia, anjing, kucing dan banyak spesies mamalia pemakan ikan
yang lain merupakan pejamu akhir. Cara penularan dan manusia terinfeksi karena memakan
ikan air tawar. Contohnya daging ikan yang mentah atau dimasak tidak matang yang di
dalamnya terdapat larva berbentuk kista (metaserkaria). Pada saat dicerna larva cacing akan
terbebas dari dalam kista dan bermigrasi melalui Duktus Koledokus ke dalam pecabangan
empedu.

Telur dalam empedu diekskresikan melalui tinja. Pada tempat yang sesuai, telur yang fertil
(telah dibuahi) akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Jika telur ini
termakan oleh siput (lymnea) sebagai pejamu pertama yang rentan, maka akan menetas dalam
usus siput. Larva atau mirasidium ini dalam 2 minggu akan berubah bentuk menjadi
sporosista.
Sporosista yang tidak bersilia, kemudian tumbuh dan akhirnya pecah menghasilkan larva
kedua disebut redia. Redia masuk kejaringan siput. Didalam tubuh siput redia akan tumbuh
dan berkembang menghasilkan larva ketiga disebut serkaria. Jadi jika diringkas
perkembangan larva dalam keong air adalah sebagai berikut:

Mirasidium sporokista redia serkaria

Serkaria ini kemudian bermigrasi atau meningglkan tubuh siput dan masuk ke dalam air. Jika
mengenai pejamu kedua (ikan), serkaria akan menembus tubuh ikan dan biasanya masuk ke
dalam daging ikan atau biasa juga di bawah sisik (kulit). Saat itu membentuk metaserkaria
(kista).

Kemudian melepaskan ekornya. Ikan yang mengandung metaserkaria akan termakan oleh
manusia, jika ikan tersebut tidak dimasak dengan matang. Metaserkaria dalam bentuk kista
akan masuk ke dalam sistem pencernaan, kemudian berpindah kehati melalui saluran empedu
dan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan mengulang kembali siklus hidupnya.

1. E. Patologi dan Gejala klinis

Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu. Pengaruhnya terutama
bergantung pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi, untungnya jumlah cacing yang
menginfeksi biasanya sedikit. Pada daerah endemik jumlah cacing yang pernah ditemukan
sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan terjadinya
penebalan epitel empedu sehingga dapat menyumbat saluran empedu. Pembentukan kantong-
kantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan parenkim hati dapat merusak sel
sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang kemudian dikelilingi jaringan ikat
menyebabkan penurunan fungsi hati.

Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada hubungannya antara
infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum dapat dipastikan. Gejala joundice (penyakit
kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh
obstruksi saluran empedu oleh telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang,
hal ini perlu penelitian lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis.

Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran dan
perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Gejala dibagi 3 stadium:

stadium ringan tidak ada gejala

stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan,


diare, edema, dan pembesaran hati.

stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri


dari pembesaran hati, edema, dan kadang-kadang menimbulkan keganasan dalam hati, dapat
menyebabkan kematian.
1. F. Diagnosis

Diagnosa didasarkan pada isolasi feses telur C. sinensis bersama dengan adanya tanda-
tanda pankreatitis atau primary. Beberapa kucing mungkin menunjukkan penyakit
kuning dalam kasus-kasus lanjutan dengan parasit beban berat. Sejumlah cacing hati lain
yang mempengaruhi kucing, seperti Viverrini opisthorchis dan Felineus opisthorchis, dapat
dibedakan dengan pemeriksaan mikroskopik atau yang lebih baru tes PCR. Konfirmasi
biasanya dibuat pada laparotomi eksplorasi dan visualisasi cacing dalam pohon bilier atau
kandung empedu dari kucing yang terkena dampak.

1. G. Pengobatan

Pengobatan untuk parasit ini adalah sama dengan trematoda lainnya, terutama melalui
penggunaan praziquantel sebagai obat pilihan pertama. Obat diberikan pada 5 mg / kg stat,
atau mingguan. Obat yang digunakan untuk mengobati infestasi
mencakup triclabendazole, praziquantel, bithionol, albendazole dan mebendazol.

TREMATODA DARAH

Trematoda darah merupakan cacing kelas trematoda yang memiliki banyak perbedaan dengan
trematoda lainnya, diantaranya :

v Alat kelamin jantan dan betina terpisah (tidak hermafrodit)

v Cacing dewasa bentuk silindris, tidak pipih

v Ekor serkaria bercabang

v Telur tidak beroperkulum, tetapi memiliki duri yang letaknya berbeda. Telur akan segera
menetas apabila kontak dengan air.

Pada manusia ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni,


dan Schistosoma haematobium. Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak
spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

1) Scistosoma japonicum

Nama penyakit : skistosomiasis japonica, demam keong

Hospes definitif : manusia, anjing, kucing, rusa, dll


Hospes perantara : keong air tawar

1. A. Taxonomi

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda

Subclass : Digenea

Order : Strigeidida

Genus : Schistosoma

Species : S. japonicum

Cacing ini dapat menyerang manusia apabila mereka menyentuh atau mencuci dengan air
yang mengandung larva cacing ini yang biasanya datang dari kotoran babi yang masuk ke
dalamnya. Cacing ini dapat membakar kulit manusia serta dapat menyelinap ke dalam darah,
paru, dan hati. Cacing ini berkembang sangat cepat, dalam sehari bisa mencapai lebih dari
20000 telur, yang dapat membakar kulit, lambung dan hati, terkadang dapat menyerang otak
dan saraf tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan dan kematian.

1. B. Morfologi
1. Telur

Ukuran 70-80 m

Bentuk oval, berhialin

Warna transparan atau kuning pucat

Spina sukar dilihat, terletak dilateral dan sangat kecil dapat jadi tertutup butiran-butiran
yang biasanya ditemukan pada permukaan telur

Berisi embrio besar bersilia

1. Serkaria

Bentuk badan ovoid memanjang


Memiliki ekor bercabang
1. Cacing dewasa

Cacing jantan panjang 1,5cm , gemuk, integumen duri-duri sangat halus dan lancip,
memiliki batil isap perut dan kepala serta kanalis ginekoporik, memliki 6-8 buah testis
Cacing betina panjang 1,9cm, langsing, ovarium ditengah tubuh, uterus merupakan
saluran yang panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur, kelenjar vitellaria di posterior
terletak dalam kanalis ginekoporus cacing jantan.

1. C. Siklus Hidup

Siklus hidup Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni sangat mirip. Secara singkat,
telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan jika mengalami kontak dengan air mereka
menetas menjadi larva yang berenang bebas, yang disebut mirasidium. Larva kemudian harus
menginfeksi keong dari genus Oncomelania seperti jenis Lindoensis oncomelania dalam satu
atau dua hari. Di dalam keong, larva mengalami reproduksi aseksual melalui serangkaian
tahapan yang disebut sporokista. Setelah tahap reproduksi aseksual, serkaria yang dihasilkan
dalam jumlah besar, yang kemudian meninggalkan keong dan harus menginfeksi inang
vertebrata yang cocok. Setelah serkaria menembus kulit tuan rumah kehilangan ekornya dan
menjadi sebuah schistosomule, cacing kemudian bermigrasi melalui sirkulasi, berakhir di
pembuluh darah mesenterika dimana mereka kawin dan mulai bertelur. Setiap pasangan
desposits sekitar 1500 3500 telur per hari dalam dinding usus. Telur menyusup melalui
jaringan dan terdapat dalam tinja.

1. D. Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah
gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam hepatomegali dan eosinofilia
tinggi. Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium
menahun ditemukan sirosis hati dna splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah
(emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

1. E. Diagnosis dan Epidemiologi

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi hati dan
biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi
serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect
Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan
ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).

Epidemiologi

Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di
daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada
tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972. Sebagai sumber infeksi, selain manusia
ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar yang terpenting adalah berbagai
spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga
mengandung cacing ini. Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis
lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah
danau Lindu ada 2 macam, yaitu:

1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi, atau di
pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.

Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun
1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari
kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

1. F. Pencegahan

Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara penularan dan
cara pemberantasan penyakit ini. Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter
agar telur cacing tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai
inang antara. Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan tetapi
biasanya tidak praktis.

Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan


membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan mengalirkan air.
Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia mungkin
terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).

Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot
karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai
dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga
terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70%
segera pada kulit untuk membunuh serkaria.
Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari sumber
yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh serkariannya. Obati
penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah penyakit berlanjut dan
mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur oleh cacing. Para wisatawan yang
mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko penularan dan cara pencegahan.

1. G. Pengobatan

Obat Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba).


Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan diuraikan di dalam hati menjadi
metabolit yang tidak toksik. Pengobatan infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah
dilakukan di Jepang, Filipina, dan Indonesia.

Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari berturut-turut dan
mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bulan setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan
setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan setelah pengobatan. Efek samping yang pernah
dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare.
Obat Prazikuantel (Embay 8440; Droncit, Biltricide) Bayer, A.G. dan Merck Darmstadt.
Di Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan pada
infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Dosis yang dipakai adalah 35 mg per kg berat
badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per
hari. Efek samping adalah mual (3,7%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).

Dari hasil pengobatan yang diuraikan diatas ternyata obat ini cukup baik dengan hasil
penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan, sehingga prospek obat
ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal sebagai obat anti Schistosoma di
daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah.

2) Schistosoma mansoni

Nama penyakit : skistosomiasis usus

Hospes definitif : manusia, kera, baboon

Hospes perantara : keong air tawar

1. A. Taxonomi

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda

Subclass : Digenea

Order : Strigeidida

Genus : Schistosoma

Species : S. Mansoni

1. B. Morfologi
1. Telur

Ukuran 150 m
Bentuknya oval , dengan salah satu kutubnya membulat dan yang lain lebih
meruncing
Spina lateral terletak dekat dengan bagian yang membulat besar dan berbentuk
segitiga
Kulit tipis sangat halus
Berwarna kuning pucat
Berisi embrio besar bersilia, diliputi membran (kulit dalam)

1. Serkaria

Bentuk badan ovoid memanjang


Memiliki ekor bercabang

1. Cacing dewasa

Cacing jantan panjang 1 cm, gemuk, memiliki 6-9 buah testis, pinggir lateral saling
mengunci oleh duri acuminate, dimana pada tempat ini lebih panjang dari tempat
lain, memiliki kanalis ginekoporus
Cacing betina panjang 1,4 cm, langsing, integumen terdapat duri-duri terutama pada
ujung tubuh, letak ovariumdi anterior pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria
memenuhi pinggir lateral dari pertenganhan tubuh, uterus merupakan saluran yang
pendek berisi 1-4 butir telur

1. C. Siklus Hidup

1. D. Patologi dan Gejala Klinis


Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya kira-kira sama seperti pada S. japonicum, akan
tetapi lebih ringan. Pada penyakit ini splenomegali dilaporkan dapat menjadi berat sekali.

1. E. Diagnosis

Sama seperti pada S. japonicum yaitu menemukan telur dalam tinja

1. F. Pencegahan

Menghindari kontak langsung dengan air yang terkontaminasi oleh larva cacing, terapi untuk
penderita, pengendalian hospes perantara dan perbaikan sanitasi.

1. G. Pengobatan

Emetin (Tartras emetikus)

Pada tahun 1918 Chistopherson mengobati penyakit kala azar dengan tartars emetikus.
Tartars emetikus atau antimon kalium tartrat dapat dikatakan sebagai obat schistosomisida
yang cukup efektif, akan tetapi mempunyai efek amping yang agak berat, antara lain: mual,
muntah, batuk, pusing, sakit kepala, nyeri pada tubuh, miokarditis yang tampak pada EKG,
bradi atau takikardia, syok dan kadang-kadang mati mendadak.

Fuadin Stibofen, Reprodal, Neo-antimosan (Antimony-bispyrocatechin-disulfonic-Na


Compound)

Obat ini pertama kali diperkenalkan di Mesir pada tahun 1929. Obat ini merupakan trivalent
antimony salt yang dapat disuntikkan secara intramuscular sebagai larutan 7%. Efek
sampingnya adalah syok, neuritis retrobulbar, skotoma sentralis dan buta warna. Sering pula
dilaporkan efek samping muntah-muntah, tidak nafsu makan, nyeri tubuh, sakit kepala, reaksi
alergi, syok dan anuria. Hasil penyembuhan adalah 40-47%.

3) Schistosoma Haematobium

Nama penyakit : skistosomiasis kandung kemih

Hospes definitif : manusia, baboon

Hospes perantara : keong air tawar

1. A. Taxonomi
Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda

Subclass : Digenea

Order : Strigeidida

Genus : Schistosoma

Species : S. haematobium

1. B. Morfologi
1. Telur

Telur berukuran 145 x 60 mikron, duri di ujung, berisi mirasidium, telur berwarna coklat
kekuningan.

1. Serkaria

Bentuk badan ovoid memanjang


Memiliki ekor bercabang

1. Cacing dewasa

Cacing jantan panjang 1,3 cm, gemuk, memiliki 3-4 buah testis, memiliki kanalis
ginekoporus, memiliki 2 batil isap berotot yang ventral lebih besar.
Cacing betina panjang 2 cm, langsing, batil isap kecil, ovarium terletak posterior
dari pertengahan tubuh, uterus panjang berisi 20-30 telur.

1. C. Siklus hidup

Cacing dewasa berada dalam vena kandung kemih. Telur dikeluarkan bersama urin dan tinja.
Telur dalam air menetas menjadi mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong
(hospes perantara). Mirasidium berkembang menjadi serkaria. Serkaria menginfeksi manusia
dalam air. serkaria menjadi skistosomula. Kemudian menjadi cacing dewasa dalam hati.

1. D. Patologi dan Gejala Klinis


Kelamin terutama ditemukan pada dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah
hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindroma disentri ditemukan bila terjadi kelainan di
rekrum.

1. E. Pencegahan

Pengendalian efektif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan


masyarakat yang disertai perbaikan sanitasi untuk mencegah ekskreta yang mencemari
persediaan air bersih atau dengan memperbaiki tata cara penyediaan air bersih untuk
keperluan sehar-hari.

1. F. Pengobatan

Astiban TW 56 (Stibocaptate atau antimony-dimercaptosuccinate, garam Na dan K)

Obat ini diperkenalkan pada tahun 1954 oleh Friedheim dkk., dengan angka penyembuhan
pada infeksi S.haematobium yang hampir mencapai 100%. Astiban diberikan secara
intramuscular dalam bentuk larutan 10%. Dosis tergantung dari beberapa faktor seperti:
umur, keadaan umum penderita, spesies parasit, pengobatan perorangan atau masal dan
pengobatan radikal atau supresif.

Dosis total untuk dewasa adalah 30-50 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimum 2,5 gram.
Dosis total ini harus dibagi dalam 5 kali suntikan. Pada anak-anak dengan berat badan kurang
dari 20 kg, dosis total adalah 40-60 mg/kg berat badan. Efek samping hampir sama dengan
obat antimon lainnya, akan tetapi lebih ringan seperti pada pengobatan dengan tartras
emetikus

Anda mungkin juga menyukai