Anda di halaman 1dari 12

Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk

Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

PENGARUH PENGGANTIAN AIR DAN PENGGUNAAN NaHCO3 DALAM


PERENDAMAN UBI KAYU IRIS (Manihot esculenta Crantz) TERHADAP KADAR
SIANIDA PADA PENGOLAHAN TEPUNG UBI KAYU

The Effect of Water Replacement and Use of NaHCO3 in Soaking Cassava


Slices (Manihot esculenta Crantz) Against Cyanide Levels In Cassava Flour
Processing

Firmannanda Nur Irzam1*, Harijono1

1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang


Jl. Veteran, Malang 65145
*Penulis Korespondensi, Email: adnan_namrif@yahoo.com

ABSTRAK

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu makanan pokok di
Indonesia. Berdasarkan kandungan glukosanya, ubi kayu dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
ubi kayu manis dan ubi kayu pahit. Kedua jenis ubi kayu ini juga mengandung senyawa
racun, yaitu sianida. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggantian
air rendaman dan penggunaan NaHCO3 terhadap kadar sianida dan sifat fisik kimia yang
lain pada ubi kayu. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak
Kelompok. Faktor pertama yaitu metode perendaman (air rendaman diganti setiap 24 jam
sekali dan tidak diganti), sedangkan faktor kedua yaitu konsentrasi penambahan NaHCO3
(0%, 2%, 4%). Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan ANOVA dengan uji
DMRT (Duncans Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan 5% dan apabila tidak
terjadi interaksi antar kedua perlakuan dilakukan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) 5%. Untuk
perlakuan terbaik digunakan metode De Garmo. Perlakuan terbaik adalah tepung ubi kayu
dengan penggantian air rendaman setiap 24 jam selama 4 hari dan penggunaan 4%
NaHCO3.

Kata kunci: Fermentasi, Glukosida Sianogenik, Natrium Bikarbonat, Tepung Ubi Kayu

ABSTRACT

Cassava (Manihot esculenta Crantz) is one of the staple food in Indonesia. Based on
the content of glucose, cassava can be divided into two types, namely sweet cassava and
bitter cassava. Both of this cassava also contain toxin compounds, namely cyanide. The
purpose of this research is to determine the effect of water soaking replacement and the use
of NaHCO3 on levels of cyanide and other physical and chemical qualities on cassava. The
research was conducted with a Randomized Design Group. The first factor was the method
of soaking (water soaking was replaced every 24 hour a day and the other one was not
replaced) and the second factor was the concentration addition of NaHCO3 (0%, 2%, 4%).
The resulted data of observation is analyzed by using ANOVA with test by DMRT (Duncanc
Multiple Range Test) with trust value 5%. If the test results not shows the existence of
influence, then it would be conducted further test by BNT with trust value 5%. The best
treatment method is used to De Garmo.. The best treatment obtained on cassava flour with
water soaking replacement every 24 hour a day for 4 days and the use of 4% NaHCO3.

Keywords: Cassava Flour, Cyanogenic Glucoside, Fermentation, Sodium Bicarbonate

188
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

PENDAHULUAN

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) adalah salah satu makanan pokok di Indonesia
setelah padi dan jagung. Ubi kayu mengandung glukosa sehingga pada umumnya memiliki
rasa yang manis, namun ada pula yang pahit. Ubi kayu pahit merupakan salah satu ubi kayu
yang masih jarang dimanfaatkan karena tidak layak dikonsumsi. Ubi kayu baik yang manis
maupun yang pahit juga mengandung senyawa racun, yaitu sianida. Jenis yang manis
mengandung sianida < 50 ppm sehingga aman untuk dikonsumsi, tetapi yang pahit
mengandung sianida > 100 ppm dan tidak aman untuk dikonsumsi dan biasanya
dimanfaatkan sebagai gaplek atau tepung.
Sianida adalah senyawa kimia yang mengandung gugus CN dengan atom karbon
terikat rangkap tiga pada atom nitrogen. Sianida merupakan senyawa tidak berwarna,
sangat beracun dan mudah menguap pada suhu kamar 26oC. Secara spesifik, sianida
adalan anion CN-. Senyawa ini ada dalam bentuk gas, liquid dan solid, setiap senyawa
tersebut dapat melepaskan anion CN- yang sangat beracun. Sianida dapat terbentuk secara
alami maupun dibuat oleh manusia dan memiliki sifat racun yang sangat kuat dan bekerja
dengan cepat. Kandungan senyawa sianida pada suatu bahan pangan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis yaitu potensial sianogenik, sianida bebas dan total sianida. Potensial
sianogenik merupakan senyawa yang berpotensi menghasilkan sianida, terbagi menjadi
glukosida sianogenik dan non-glukosida sianogenik. Glukosida sianogenik merupakan
senyawa yang berpotensi menghasilkan sianida dan memiliki ikatan glukosidik misalnya
linamarin dan lotaustralin yang terdapat pada ubi kayu. Sedangkan non-glukosida
sianogenik merupakan senyawa yang tidak berikatan glukosidik tapi berpotensi
menghasilkan sianida. Senyawa ini dapat diukur dengan metode analisis tanpa adanya
tahapan perlakuan secara enzimatis maupun penambahan senyawa asam kuat. Pada ubi
kayu biasanya berupa senyawa sianohidrin hasil pemecahan dari linamarin. Sianida bebas
merupakan produk akhir dari pemecahan senyawa potensial sianida diatas, biasanya
disebut dengan asam sianida (HCN). Sedangkan total sianida merupakan jumlah
keseluruhan jenis sianida yang terkandung dalam suatu bahan baik itu berupa potensial
sianida maupun sianida bebasnya [1].
Ubi kayu varietas Malang 4 mempunyai produktivitas dan kadar pati yang cukup
tinggi, namun memiliki kadar sianida yang tinggi pula [2]. Di dalam proses pembuatan
tepung ubi kayu, kadar sianida harus dikurangi sampai sekecil-kecilnya (kurang dari 40 ppm)
agar layak dikonsumsi. Potensi toksisitas pada ubi kayu disebabkan oleh dua senyawa
prekursor HCN, yaitu linamarin dan lotaustralin.
Salah satu upaya untuk mengurangi kadar racun glukosida sianogenik pada ubi kayu
adalah dengan fermentasi. Selama fermentasi akan terjadi pemecahan senyawa linamarin
menjadi sianida bebas yang disebabkan adanya akitivitas enzim linamarase dari umbi ubi
kayu. Selama proses hidrolisis yang dilakukan oleh enzim linamarase pada glukosida
sianogenik menghasilkan sebagian gula dan hidroksinitril yang akan kembali terpisahkan
atau secara enzimatis menjadi sianida dan campuran karbonil (ketosa dan aldosa) [3].
Proses ini disebut sianogenesis dimana terjadi ketika jaringan sianogenik pada tanaman
mengalami kerusakan.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu pahit varietas
Malang 4 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI) Jambigede, Kepanjen-Malang dan Natrium
Bikarbonat yang diperoleh dari toko bahan kimia Makmur Sejati, Malang. Bahan yang
digunakan untuk analisis antara lain: aquades, alkohol, larutan NaOH 2.50%, larutan natrium
pikrat, larutan stok sianida, larutan AgNO3 0.02 M, alkohol, HCl 25%, kloroform, larutan
NaOH 0.10 N, NaOH 45% dan Na2CO3 yang diperoleh dari toko bahan kimia Makmur
Sejati dan Panadia Malang.

189
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, baskom, blender
kering, kain saring, timbangan digital (Metler AE 160), pengering lampu, dan ayakan 80
mesh. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain oven (Memmert), timbangan digital
analitik (Denver Instrument M-310), labu ukur 100 ml (Pyrex), labu kjeldahl (Buchi) beaker
glass 250 ml (Pyrex), gelas ukur 100 ml (Pyrex), tabung reaksi (Pyrex), rak tabung reaksi,
Erlenmeyer (Pyrex), botol timbang, bola hisap (Merienfiel), spatula kaca, pipet ukur 1 ml
(HBG), pipet tetes, corong kaca (Herma), biuret, timbangan digital (Metler AE 160),
spektrofotometer (UV-2100), kertas saring (Whatman), pH meter, termometer, destilator,
slicer, colour reader (Minolta), pendingin balik dan desikator.

Desain Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok
dengan menggunakan 2 faktor. Faktor pertama yaitu metode perendaman (air rendaman
diganti setiap 24 jam sekali dan tidak diganti), sedangkan faktor kedua yaitu konsentrasi
penambahan NaHCO3 (0%, 2%, 4%). Data hasil pengamatan dianalisis dengan
menggunakan ANOVA dengan uji DMRT (Duncans Multiple Range Test) dengan selang
kepercayaan 5% dan apabila tidak terjadi interaksi antar kedua perlakuan dilakukan uji BNT
(Beda Nyata Terkecil) 5%. Untuk perlakuan terbaik digunakan metode De Garmo..

Tahapan Penelitian
Umbi ubi kayu segar diolah menjadi tepung ubi kayu. Prosedur pembuatan tepung
ubi kayu adalah sebagai berikut:
1. Sortasi
Sortasi dilakukan untuk memilih ubi kayu yang segar dan berkualitas bagus.
2. Pengupasan dan Pencucian
Pengupasan bertujuan untuk memisahkan umbi dengan kulitnya dan proses ini
dilakukan dengan menggunakan pisau, sedangkan pencucian dilakukan untuk
menghilangkan kotoran dan tanah yang masih melekat pada ubi kayu.
3. Pengirisan
Proses ini merupakan proses pengecilan ukuran dengan ketebalan bahan 1 mm
yang bertujuan untuk memudahkan proses selanjutnya, proses ini dilakukan dengan
menggunakan slicer.
4. Perendaman
Proses perendaman dilakukan agar ubi kayu yang sudah dibentuk sesuai ukuran
mengalami fermentasi yang terjadi secara spontan. Proses ini menggunakan perlakuan air
rendaman yang diganti setiap 24 jam sekali selama 4 hari dan air rendaman yang tidak
diganti selama 4 hari. Ke dalam air rendaman tersebut juga ditambahkan Natrium
Bikarbonat dengan konsentrasi 0%, 2%, dan 4%.
5. Pengeringan
Bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan, berat bahan dan mengawetkan bahan
serta memudahkan proses selanjutnya. Proses ini menggunakan cabinet dryer dengan suhu
600C, selama 8 jam atau sampai tekstur bahan yang dikeringkan telah menjadi getas
(rapuh).
6. Penggilingan
Bertujuan untuk mengecilkan ukuran dan memudahkan proses pengemasannya.
Penggilingan dilakukan dengan menggunakan blender kering pada kecepatan 3 selama 1-2
menit.
7. Pengayakan dan Pengemasan
Pengayakan dilakukan untuk mendapatkan ukuran produk yang seragam, ayakan
yang digunakan berukuran 80 mesh. Selain itu ukuran produk yang seragamakan
memudahkan untuk dianalisis. Tepung yang sudah diayak kemudian siap dikemas di dalam
kantung plastik untuk mempermudah penyimpanan serta agar lebih awet selama masa
penyimpanan.

190
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

Metode
Analisis yang dilakukan pada bahan baku ubi kayu meliputi analisis kadar pati [4],
analisis pH [5], analisis kadar air [4], analisis kadar gula reduksi [4] dan analisis kadar
sianida [4]. Analisis yang dilakukan pada tepung ubi kayu meliputi analisis kadar gula
reduksi [4], kadar air [4], kadar sianida [4], total asam [4], kadar pati [4], rendemen [4], pH
[5], dan analisis warna [6].

Prosedur Analisis
Analisis kadar air dilakukan dengan cara pengurangan berat awal sampel dengan
berat akhir sampel, kemudian hasil perhitungan yang diperoleh dibagi dengan berat awal
sampel dan dikalikan 100% [4]. Analisis kadar pati dilakukan dengan cara menentukan
kadar gula yang dinyatakan dengan glukosa dari filtrat yang diperoleh, dan nilai berat pati
diperoleh dari berat glukosa dikalikan dengan 0.90 [4]. Analisis kadar sianida dilakukan
dengan cara pembacaan absorbansi dengan menggunakan spektrofotometri, kemudian
dimasukkan nilai absorbansi yang ada pada persamaan dan dihitung konsentrasinya [4].
Analisis total asam dilakukan dengan menggunakan metode titrasi dengan NaOH 0.10 N [4].
Analisis kadar gula reduksi ditentukan berdasarkan optimal density (OD) larutan contoh dan
kurva standar larutan glukosa [4]. Analisis Rendemen dilakukan dengan cara membagi berat
akhir sampel dengan berat awal sampel, kemudian dikalikan 100% [4]. Analisis warna
dilakukan dengan cara pembacaan skala warna menggunakan colour reader dengan
parameter L* untuk kecerahan (Lightness) dan a*, b* untuk nilai kromatisitas [6]. Analisis pH
dilakukan dengan cara pembacaan nilai pH menggunakan pH meter [5].
Data hasil pengamatan dianalisis dengan ANOVA menggunakan program Microsoft
Excel. Apabila dari hasil uji terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji DMRT
(Duncans Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan 5% untuk melihat perbedaan
antar perlakuan, dan apabila tidak terjadi interaksi antar kedua perlakuan dilakukan uji BNT
(Beda Nyata Terkecil) 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kadar Sianida (HCN)


Kadar HCN tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 11.28 26.27 ppm.
Kecenderungan perubahan kadar HCN tepung ubi kayu karena faktor yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 1.

30
Kadar HCN (ppm)

25
20
15 Air Rendaman
10 Diganti
5 Air Rendaman
0 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 1. Kadar HCN Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air dan Penggunaan NaHCO3

Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar HCN tepung ubi kayu dengan penggantian air
rendaman lebih rendah daripada kadar HCN tepung ubi kayu tanpa penggantian air
rendaman. Hal ini disebabkan oleh sifat HCN yang mudah larut dalam air. Di dalam proses
perendaman, air akan menyebabkan senyawa linamarin terhidrolisis dan membentuk asam
sianida yang larut dalam air. Ketika air rendaman diganti, HCN yang larut dalam air tersebut
akan ikut terbuang bersama dengan air, sehingga rerata kadar HCN yang terukur lebih

191
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

rendah. Sedangkan pada air rendaman yang tidak diganti, rerata kadar HCN terukur lebih
banyak karena HCN yang larut dalam air tidak ikut terbuang bersama air. Selain itu
Keberadaan mikroorganisme selama proses perendaman diduga juga mempengaruhi kadar
sianida pada bahan. Pada penelitian ini, diduga mikroba yang tumbuh dan berkembang
adalah golongan mikroba mesofil yang dapat menghasilkan enzim linamarase (-
glukosidase) sehingga mampu memecah linamarin. Dengan adanya aktivitas enzim dalam
pemecahan linamarin, maka semakin banyak asam sianida yang dibebaskan sehingga
jumlah sianida di dalam bahan menjadi rendah. Selama proses hidrolisis yang dilakukan
oleh -glukosidase pada glukosida sianogenik menghasilkan sebagian gula dan hidroksinitril
yang akan kembali terpisahkan atau secara enzimatis menjadi sianida dan campuran
karbonil (ketosa dan aldosa) [3].
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang
digunakan, maka kadar HCN tepung ubi kayu cenderung semakin rendah. Hal ini
dikarenakan perendaman dalam larutan NaHCO3 akan menyebabkan perubahan suasana
pada air rendaman, suasana yang semula asam berubah menjadi alkalis. Kondisi alkali ini
disebabkan karena ion Na pada NaHCO3 bereaksi dengan komponen dinding sel bahan
seperti pektin, lemak, protein, sehingga dapat menyebabkan perubahan permeabilitas pada
dinding sel bahan (membesar). Permeabilitas dinding sel yang berubah ini menyebabkan
kulit ubi kayu melunak, pengupasan atau pelunakan jaringan kulit pada bahan pangan
seperti buah dan umbi-umbian dengan menggunakan larutan alkali atau biasa disebut lye
peeling, dilakukan dengan konsentrasi larutan alkali 1 - 3%, dengan waktu dan suhu tertentu
[7]. Dengan semakin lunaknya jaringan kulit pada umbi, akan semakin mempermudah
proses pengeluaran linamarin dan lotaustralin dari dalam umbi, dengan begitu akan semakin
banyak linamarin dan lotaustralin yang akan larut dalam air rendaman dan semakin mudah
terdekomposisi oleh mikroorganisme.

2. Derajat Keasaman (pH)


Derajat Keasaman (pH) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 5.90 8.83.
Kecenderungan perubahan rerata derajat keasaman (pH) karena faktor yang digunakan
dilihat pada Gambar 2.

10
8
6
pH

Air Rendaman
4 Diganti
2 Air Rendaman
0 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 2. Derajat Keasaman (pH) Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman
dan Penggunaan NaHCO3

Gambar 2 menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH) tepung ubi kayu dengan
penggantian air rendaman cenderung lebih tinggi dibanding dengan derajat keasaman (pH)
tepung ubi kayu tanpa penggantian air rendaman. Hal ini dikarenakan pada saat fermentasi
spontan berlangsung, terbentuk asam laktat, asam asetat, asam sianida, dan asam organik
lain oleh bakteri asam laktat, namun ketika penggantian air rendaman, asam - asam yang
dibebaskan pada saat proses fermentasi sebagian ikut terbuang bersama air rendaman,
sedangkan pada metode perendaman tanpa penggantian air rendaman asam asam yang
terbebaskan tidak ikut terbuang, sehingga derajat keasaman (pH) yang terukur lebih rendah.

192
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

Gambar 2 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang


digunakan, maka derajat keasaman (pH) tepung ubi kayu cenderung semakin tinggi.
Peningkatan ini disebabkan karena NaHCO3 memiliki sifat buffer (penjaga pH). NaHCO3
dapat digunakan sebagai pencuci untuk menghapus apapun yang berasam. Reaksi dari
NaHCO3 dan asam menghasilkan garam dan asam karbonat, yang mudah terurai menjadi
karbon dioksida dan air [8].

3. Total Asam
Total asam tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 0.39 0.70%.
Kecenderungan perubahan total asam karena faktor yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 3.

0.8
Total Asam (%)

0.6

0.4 Air Rendaman


Diganti
0.2
Air Rendaman
0 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 3. Total Asam Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan
Penggunaan NaHCO3

Gambar 3 menunjukkan bahwa total tepung ubi kayu dengan penggantian air
rendaman lebih rendah daripada total asam tepung ubi kayu tanpa penggantian air
rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan pada air
rendaman, maka total asam tepung ubi kayu cenderung semakin rendah. Hal ini
dikarenakan pada tepung ubi kayu dengan penggantian air rendaman sebagian asam yang
dihasilkan selama fermentasi ikut terbuang bersama dengan air rendaman yang diganti,
sedangkan pada tepung ubi kayu tanpa penggantian air rendaman tidak terjadi hal yang
serupa.
Pati di dalam ubi kayu dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana (glukosa)
oleh mikroba dan akan dimanfaatkan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan, hal inilah yang
akan menyebabkan terbentuknya total asam pada ubi kayu. Semakin banyak mikroba yang
tumbuh di dalam ubi kayu, maka hasil metabolisme yang berupa asam ini juga akan
meningkat. Asam yang dihasilkan oleh mikroba akan tereksresikan keluar sel dan akan
terakumulasi dalam media fermentasi sehingga meningkatkan keasaman. Total asam
berbanding terbalik dengan pH, mikroba mampu memetabolisme substrat menjadi gula
sederhana dan menghasilkan asam laktat maupun asam-asam organik sehingga akan
menurunkan pH medium, yang berarti total asam akan semakin tinggi [9].
Selain itu menurunnya total asam juga dikarenakan oleh semakin tingginya
konsentrasi NaHCO3 yang digunakan ke dalam air rendaman. Semakin tinggi konsentrasi
NaHCO3 maka suasana perendaman akan menjadi semakin basa, sehingga total asam
semakin berkurang. NaHCO3 dapat digunakan sebagai pencuci untuk menghapus apapun
yang berasam [5].

4. Kadar Air
Kadar air tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 7.38 7.73%.
Kecenderungan perubahan kadar air karena faktor yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 4.

193
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

7.80
7.70

Kadar Air (%)


7.60
7.50 Air Rendaman
7.40 Diganti
7.30 Air Rendaman
7.20 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 4. Kadar Air Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan Penggunaan
NaHCO3

Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar air tepung ubi kayu dengan penggantian air
rendaman cenderung lebih rendah dibanding dengan rerata kadar air tepung ubi kayu tanpa
penggantian air rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan
pada air rendaman, maka rerata kadar air tepung ubi kayu cenderung semakin rendah.
Rendahnya rerata kadar air tepung ubi kayu dikarenakan sebelum proses penepungan,
telah dilakukan pengeringan pada cabinet dryer dengan suhu 600C selama 8 jam, sehingga
penurunan kadar air pada tepung ubi kayu mulai terjadi saat pengeringan sampai
penepungan. Semakin lama waktu pemanasan maka pemecahan komponen-komponen
bahan semakin meningkat yang berakibat jumlah air terikat yang terbebaskan semakin
banyak [10]. Selain itu, ubi kayu juga terlebih dahulu mengalami proses perendaman
dengan menggunakan NaHCO3. Pada saat perendaman tersebut, ubi kayu mengalami
fermentasi yang terjadi secara spontan oleh mikroba. Akibat dari adanya aktivitas mikroba
ini maka banyak komponen-komponen dalam bahan yang terpecah karena dimanfaatkan
oleh mikroba untuk metabolisme, sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang
terbebaskan. Hal ini menyebabkan tekstur umbi menjadi lunak dan berpori sehingga
menyebabkan penguapan air selama proses pengeringan semakin mudah.

5. Kadar Pati
Kadar pati tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 75.50 79.27%.
Kecenderungan perubahan kadar pati karena faktor yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 5.
80
79
Kadar Pati (%)

78
77
Air Rendaman
76
Diganti
75
74 Air Rendaman
73 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 %

Gambar 5. Kadar Pati Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan
Penggunaan NaHCO3

Gambar 5 menunjukkan bahwa kadar pati tepung ubi kayu dengan penggantian air
rendaman cenderung lebih rendah dibanding dengan kadar pati tepung ubi kayu tanpa
penggantian air rendaman. Hal ini dikarenakan selama proses perendaman terjadi

194
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

fermentasi yang menyebabkan pemecahan komponen komponen pati menjadi lebih


sederhana yang dilakukan oleh enzim amilase maupun mikroorganisme untuk pertumbuhan
dan aktivitasnya. Selama proses fermentasi berlangsung mikroba akan memecah pati
menjadi komponen gula-gula sederhana, sehingga kadar pati semakin lama semakin
menurun. Selain itu juga aktivitas enzim amilase yang terkandung dalam ubi kayu akan
bekerja secara optimum dalam menghidrolisis pati menjadi komponen yang lebih sederhana
[11].
Gambar 5 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang
digunakan pada air rendaman, maka kadar pati pada tepung ubi kayu cenderung semakin
rendah. Semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan, maka suasana fermentasi
akan semakin alkalis, dan suasana alkalis ini akan membantu mikroorganisme
bermetabolisme selama proses fermentasi terjadi. Pada penelitian ini diduga
mikroorganisme yang tumbuh adalah bakteri asam laktat, kondisi optimal pertumbuhan
bakteri asam laktat adalah pada suhu 30 370C, pH 3 8. Semakin mendekati pH optimal,
maka aktivitas mikroorganisme akan semakin tinggi, sehingga kebutuhan energi untuk
mikroorganisme bermetabolisme juga akan semakin meningkat. Karbon dan sumber energi
untuk kebutuhan mikroorganisme dapat diperoleh dari karbohidrat sederhana seperti
glukosa. Di antara polisakarida yang dapat dijadikan sebagai sumber karbon dan energi
untuk mikroorganisme pada ubi kayu terutama adalah pati [12]. Mengingat cukup tingginya
pati dari ubi kayu, maka kondisi ini dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang
selanjutnya akan memanfaatkan pati dari ubi kayu. Juga molekul-molekul organik yang
komplek seperti polisakarida harus dipecah dulu menjadi unit-unit yang lebih sederhana,
sebelum digunakan

6. Kadar Gula Reduksi


Kadar gula reduksi tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 7.15 9.51%.
Kecenderungan perubahan kadar gula reduksi karena faktor yang digunakan dapat dilihat
pada Gambar 6.

10
Kadar Gula Reduksi (%)

8
6
Air Rendaman
4 Diganti
2 Air Rendaman
0 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 6. Kadar Gula Reduksi Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan
Penggunaan NaHCO3

Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar gula reduksi tepung ubi kayu dengan
penggantian air rendaman cenderung lebih rendah dibanding dengan kadar gula reduksi
tepung ubi kayu tanpa penggantian air rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi
NaHCO3 yang digunakan pada air rendaman, maka kadar gula reduksi tepung ubi kayu
cenderung semakin tinggi. Kadar gula reduksi berkaitan dengan kadar pati dimana semakin
banyak pati yang terhidrolisis maka semakin banyak gula reduksi yang terukur.
Gula reduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi
senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari
suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas.
Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa),

195
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula reduksi. Umumnya gula
reduksi yang dihasilkan berhubungan erat dengan aktivitas enzim, yaitu semakin tinggi
aktivitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan [13].

7. Kecerahan Warna (L*)


Kecerahan warna (L*) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 95.90
97.23. Kecenderungan perubahan kecerahan warna (L*) karena faktor yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 7.

97.5
97
Kecerahan (L*)

96.5
Air Rendaman
96 Diganti
95.5 Air Rendaman
95 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 7. Kecerahan Warna (L*) Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan
Penggunaan NaHCO3

Gambar 7 menunjukkan bahwa kecerahan warna (L*) tepung ubi kayu dengan
penggantian air rendaman cenderung lebih tinggi dibanding dengan kecerahan warna (L*)
tepung ubi kayu tanpa penggantian air rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi
NaHCO3 yang digunakan pada air rendaman, maka kecerahan warna (L*) tepung ubi kayu
cenderung semakin rendah. Hal ini dikarenakan selama fermentasi berlangsung NaHCO3
menyebabkan terjadinya kontak antara enzim polifenol yang terdapat pada ubi kayu dengan
udara yang dapat menyebabkan kecoklatan. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh
enzim polyfenolase yaitu suatu oksidase yang terdapat pada lendir umbi ubi kayu karena
kontak dengan udara dapat mengubah senyawa polyphenol (tannin) menjadi senyawa yang
berwarna gelap [14].
Selain itu penurunan kecerahan tepung ubi kayu juga disebabkan karena selama
fermentasi tidak terjadi secara sempurna pemecahan molekul-molekul besar menjadi
molekul-molekul kecil, sehingga komponen penimbul warna yang terperangkap pada
molekul-molekul besar tidak bisa terbebas seluruhnya, sehingga tingkat kecerahan tepung
menurun. Komponen penimbul warna tersebut kemungkinan adalah pigmen alami yang
terdapat pada ubi kayu yaitu karotenoid. Karotenoid dengan jumlah kecil secara alami
terdapat pada ubi kayu, dan pigmen ini bertahan sampai mengalami proses pengolahan
sebelum dikonsumsi [15].

8. Kekuningan (b+)
Kekuningan (b+) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 4.83 8.33.
Kecenderungan perubahan kekuningan karena faktor yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 8. Kekuningan (b+) tepung ubi kayu dengan penggantian air rendaman cenderung
lebih rendah dibanding dengan kekuningan (b+) tepung ubi kayu tanpa penggantian air
rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan pada air
rendaman, maka kekuningan (b+) tepung ubi kayu cenderung semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan penggunaan NaHCO3 akan menyebabkan terjadinya oksidasi antara keton
dengan NaHCO3. Keton yang dihasilkan dari sianohidrin yang terdekomposisi akan
mengalami oksidasi dengan NaHCO3 dan menghasilkan karboksilat, air dan karbondioksida.
Akibat dari adanya oksidasi ini menyebabkan fermentasi yang terjadi pada ubi kayu yang

196
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

direndam bersifat aerob (fermentasi dengan adanya oksigen). Dengan adanya oksigen akan
menyebabkan penurunan warna karena oksidasi leukoantosianin pada bahan [16].

10

Kekuningan (b+)
8
6
Air Rendaman
4 Diganti
2 Air Rendaman
0 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 8. Kekuningan (b+) Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan
Penggunaan NaHCO3

Selain itu perlakuan perendaman dalam NaHCO3 akan memberikan suhu gelatinisasi
yang lebih tinggi dibandingkan perendaman hanya menggunakan air [17]. Semakin tinggi
suhu gelatinisasi, maka akan semakin melarutkan komponen kimia dalam sel ubi kayu,
sehingga memungkinkan gula dan protein yang terkandung di dalam ubi kayu untuk
bereaksi menghasilkan pigmen berwarna coklat. Perlakuan perendaman dalam NaHCO3
juga dapat memberi perubahan pada sifat-sifat pati yang terdapat pada bahan pangan yang
direndam. Sifat-sifat pati yang mengalami perubahan ini akan mempengaruhi reaksi
enzimatis seperti reaksi Maillard yang mungkin terjadi pada ubi kayu pada saat proses
pengeringan dan pada akhirnya akan mempengaruhi warna atau derajat putih dari tepung
ubi kayu.

9. Rendemen
Rendemen tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 27.62 28.48%.
Kecenderungan perubahan rendemen karena faktor yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 9.
29
Rendemen (%)

28.5

28 Air Rendaman
Diganti
27.5
Air Rendaman
27 Tidak Diganti
0 2 4
Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 9. Rendemen Tepung Ubi Kayu Akibat Penggantian Air Rendaman dan
Penggunaan NaHCO3

Gambar 9 menunjukkan bahwa rerata rendemen tepung ubi kayu dengan


penggantian air rendaman cenderung lebih rendah dibanding dengan rendemen tepung ubi
kayu tanpa penggantian air rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3
yang digunakan pada air rendaman, maka rendemen tepung ubi kayu cenderung semakin
tinggi. Hal ini diduga karena bentuk potongan umbi ubi kayu pada saat pengeringan relatif
seragam dan berukuran relatif kecil. Rendemen bahan kering dipengaruhi oleh kadar air

197
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

bahan awal dan kadar air akhir yang diinginkan. Semakin tinggi total padatan pada bahan
yang dikeringkan maka rendemen yang dihasilkan juga semakin tinggi [18].

SIMPULAN

Perlakuan terbaik sesuai perhitungan metode De Garmo adalah tepung ubi kayu
dengan perlakuan penggantian air rendaman setiap 24 jam sekali selama 4 hari dengan
penambahan 4% NaHCO3. Karakteristik tepung ubi kayu perlakuan terbaik adalah kadar
HCN 11.28 ppm, pH 8.83, total asam 0.39%, kadar air 7.38%, kadar pati 75.50%, kadar gula
reduksi 9.01%, kecerahan warna (L*) 95.97, kekuningan (b+) 8, dan rendemen 28.48%.

DAFTAR PUSTAKA

1) Dawson, E.S., J.A. Lamptey, P.N.T. Johnson, G.A. Annor and A. Budu. 2006. Effect of
Processing Method on The Chemical Composition and Rheological Properties of Flour
From Four New Cassava Varieties. Department of Nutrition and Food Science University
of Ghana. Ghana.
2) Balitkabi. 2012. Deskripsi Ubi Kayu Varietas Malang IV.
http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/varietas-unggul/vu-ubi-kayu/117-malang-4.html.
Tanggal Akses: 8/11/2012
3) Frehner, Marco. 1995. The Linamarin -glukosidase in Costa Rican Wild Lima Beans.
University of California. Department of Biochemistry and Biophysic. California.
4) Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
5) Apriyantono, A. dkk. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas. Pangan dan
Gizi, IPB.
6) Yuwono, S.S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian. Universitas Brawijaya.
7) Woodroof, JG. 1975. Fruit Washing, Peeling, and Preparation for Processing. Di dalam:
Jasper G.W. dan B.S. Luh (eds). Commercial Fruit Processing. The AVI Publ. Co, Inc.
Westport, Connecticut.
8) Kuncoro, P. R. 2009. Pemanfaatan Natrium Bikarbonat (Soda Kue) dan Asam Asetat
(Cuka) Sebagai Propelan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
9) Wijayanti, E. 2006. Identifikasi Pertumbuhan Mikroba dan Sifat Kimia Jagung Selama
Fermentasi serta Pengaruh pada Sifat Kimia Fisik dan Organoleptik Ampok Instan.
Skripsi FTP UB. Malang.
10) Herawati F. 2002. Pemakaian berbagai Jenis Bahan Pengisi pada Pembuatan Tepung
Tape Ubi Kayu dengan Menggunakan Pengering Semprot. Skripsi. Jurusan TPG-Fateta.
IPB. Bogor
11) Adam MR dan Moss MO. 2000. Food Microbiology. 2nd ed. The Royal Society of
Chemistry, United Kingdom
12) Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcana. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
13) Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Suhartono MT, penerjemah. Jakarta:
Erlangga.
14) Garnida Y., E. Turmala dan L. Yusviani. 2000. Pembuatan Makanan Tradisional Gatot
dengan Variasi Ketebalan dan Lamanya Perendaman Ubi Kayu. Prosiding Seminar
Nasional Makanan Tradisional. Malang.
15) Chaves et al. 2006. Retention of Caratenoids in Cassava Roots Submitted to Different
Processing Methods. John Willey & Son, Inc. Colombia
16) Rolle, R. S. 2007. Enzyme Applications for Agro-Processing in Developing Countries: An
Inventory of Current and Potential Applications. Agricultural Industries Officer.

198
Penurunan Kadar Sianida pada Pengolahan Tepung Ubi Kayu Irzam, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.188-199, Oktober 2014

17) Slamet, S. 1995. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan pada Pembuatan Tepung Ganyong
(Canna edulis) terhadap Sifat Fisik dan Amilografi Tepung yang Dihasilkan. Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
18) Widowati, S. dan J. Wargiono. 2009. Nilai Gizi dan Sifat Fungsional Ubikayu. Monograf.
Buku. Ubikayu: Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Puslitbang Tanaman
Pangan, Bogor, Hal 320-346.

199

Anda mungkin juga menyukai