Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Apotek


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian
oleh Apoteker.
Apotek dalam upaya kesehatan harus mampu menyediakan,
menyimpan dan menyerahkan obat yang terjamin khasiat, keamanan dan mutu
sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
922/MENKES/Per/X/1993 serta mampu berperan dalam upaya untuk
meningkatkan ketepatan, kerasionalan dan efisiensi penggunaan obat.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun
2009 pasal 1 ayat 1 tentang pekerjaan kefarmasian, Pekerjaan Kefarmasian
adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

2.2 Tugas Dan Fungsi Apotek


Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980, tugas dan fungsi
Apotek adalah :
1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucap
sumpah jabatan.
2. Sarana farmasi yang melakukan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
2.3. Studi Kelayakan Pendirian Apotek
Studi kelayakan merupakan suatu kajian sebagai bagian dari
perencanaan yang dilakukan secara menyeluruh mengenai suatu usaha dalam
proses pengambilan keputusan yang mengandung resiko yang belum jelas.
Melalui studi kelayakan, berbagai hal yang diperkirakan dapat menyebabkan
kegagalan sehingga diharapkan dapat diantisipasi sedini mungkin.
Studi kelayakan dalam pendirian apotek meliputi:
A. Survey dan pemilihan lokasi
Penentuan lokasi apotek merupakan pertimbangan awal yang paling
penting dan paling menentukan bagi kelangsungan hidup apotek. Untuk hidup
berkesinambungan, suatu apotek setidaknya memiliki langganan yang tetap.
Oleh karena itu, pemilihan lokasi harus benar-benar diperhitungkan sebelum
apotek berdiri. Dengan kata lain, lokasi apotek harus strategis sehingga
menjadi pilihan konsumen.
Beberapa keadaan yang penting untuk dipertimbangkan dalam
memenuhi kriteria lokasi yang baik antara lain: terjaminnya keamanan, dekat
dengan pemukiman penduduk, ramai, mudah terjangkau, adanya tempat
pelayanan kesehatan lainnya seperti rumah sakit, praktek dokter, puskesmas,
klinik dan daerah perbelanjaan serta keadaan-keadaan lain yang menuntut
pertimbangan dipandang mempunyai nilai tambah. Dengan lokasi yang
sedemikian diharapkan apotek sebagai tempat usaha dan terus bertahan dan
meningkatkan pelayanannya.
B. Analisis Keuangan
Analisis keuangan diperlukan untuk mengetahui untung rugi suatu
usaha, mengukur liquiditas apotek dan mengukur efektifitas penggunaan
dana. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat analisis
keuangan:
1. Modal minimal
Modal minimal adalah modal minimum yang diperlukan untuk
mendirikan apotek serta melengkapi sarana dan prasarana sebagai syarat
untuk memperoleh izin apotek dan mampu melayani masyarakat dengan baik.
Penggunaan modal minimal antara lain :
a. Pengadaan aktiva/harta tetap yaitu harta yang relatif tidak dapat
diuangkan untuk jangka waktu kurang dari setahun.
b. Pengadaan aktiva/harta lancar yaitu harta yang relatif mudah
diuangkan dalam jangka waktu kurang dari setahun.
c. Biaya awal yaitu pengeluaran yang dapat digolongkan sebagai biaya
yang dikeluarkan pada awal pendirian apotek.
d. Kas yaitu uang kontan berupa uang tunai ataupun di bank dalam
bentuk rekening yang sewaktu-waktu dapat digunakan.
2. Sumber modal
Kesulitan modal merupakan masalah yang sangat sering dijumpai bagi
seorang apoteker sewaktu akan mendirikan apotek sendiri. Untuk itu,
seorang apoteker harus mempunyai keberanian dan mau bekerja keras untuk
mengusahakan modal dari berbagai sumber.
Modal untuk mendirikan apotek dapat berasal dari modal sendiri atau
kredit. Modal sendiri merupakan modal yang tidak mempunyai jangka waktu
pengambilan, misalnya modal milik apoteker sendiri atau modal milik
keluarga. Sedangkan modal kredit adalah modal pinjaman dari pemberi
kredit (kreditur). Sumber-sumber modal kredit antara lain adalah bank,
teman sejawat, PBF yang pada umumnya berupa perbekalan farmasi yang
bersifat fast moving.
Berdasarkan pada penggunaannya, modal dapat dibagi atas:
a. Modal tetap (aktiva tetap), yaitu modal yang keadaannya relatif
tetap misalnya gedung, tanah, mesin-mesin, kendaraan.
b. Modal lancar (aktiva lancar), yaitu modal yang sewaktu-waktu dapat
berubah misalnya uang tunai (kas/bank), piutang, perbekalan
kesehatan/barang dagangan.
3. Analisis Impas
Analisis impas adalah suatu cara yang digunakan untuk mempelajari
hubungan antara penjualan, biaya dan laba atau keuntungan. Apotek
dikatakan mencapai titik impas apabila di dalam laporan perhitungan rugi-
laba pada periode tertentu, apotek tersebut tidak memperoleh laba dan juga
tidak menderita kerugian. Dari analsis titik impas, pengelola apotek dapat
mengetahui pada volume (jumlah) penjualan berapakah apotek yang
bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak memperoleh keuntungan
(laba).
Analisis titik impas tentunya dapat dipakai untuk mengetahui pada
volume penjualan berapa apotek dapat memperoleh laba atau menderita
kerugian tertentu, titik impas dihitung sebagai volume penjualan dimana
total pendapatan menyamai total biaya.
Setelah mengetahui nilai titik impas, kita akan mengetahui posisi kita
dalam suatu usaha atau sasaran (target) yang akan dicapai. Untuk menjaga
kelangsungan hidup apotek, target yang direncanakan harus tercapai.
Pencapaian target ditentukan oleh kebijakan apoteker dalam melakukan
upaya-upaya pengelolaan apotek. Upaya yang dilakukan dapat berupa
manajemen personil, pengadaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pasar,
menekan biaya pengeluaran seminimal mungkin, memberikan pelayanan
yang baik sehingga meningkatkan volume penjualan.
Studi kelayakan berhubungan juga dengan Marketing Mix. Marketing
Mix adalah kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang merupakan
inti dari sistem pemasaran perusahaan, yakni: produk, struktur harga,
kegiatan promosi dan sistem distribusi.
a. Produk (Product)
Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk
mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan atau dikonsumsi dan yang
dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan.
b. Harga (Price)
Harga adalah sejumlah uang sebagai alat tukar untuk memperoleh
produk atau jasa.
c. Saluran Distribusi (Place)
Saluran pemasaran/saluran distribusi terdiri dari seperangkat lembaga
yang melakukan semua kegiatan (fungsi) yang digunakan untuk
menyalurkan produk dan status kepemilikannya dari produsen ke
konsumen.
d. Promosi (Promotion)
Promosi adalah suatu komunikasi informasi penjual dan pembeli yang
bertujuan untuk merubah sikap dan tingkah laku pembeli, yang tadinya
tidak mengenal sehingga menjadi pembeli dan tetap mengingat produk
tersebut.
Keempat unsur atau variabel marketing mix ini saling berkaitan
dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam pencapaian tujuan
perusahaan. Sehingga tidak ada satu pun dari variabel tersebut yang
dianggap paling penting, tetapi setiap variabel sama pentingnya dan
saling melengkapi.
2.4 Persyaratan Mendirikan Apotek
Sebelum Apotek didirikan, terlebih dahulu harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Surat Keterangan Izin Tempat Usaha/HO (Hinder Ordonantie) dari Biru
Perekonomian di Pemerintah Daerah Kabupaten harus dimiliki terlebih
dahulu, kemudian diperoleh SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dari
Departemen Perdagangan dan Perindustrian, setelah itu dapat diperoleh
NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang diajukan pemilik sarana ke
kantor pajak dan SIA untuk apotek dan Apoteker.
2. Persyaratan fisik : bangunan (termasuk IMB dan status tanah), etalase dan
furniture, alat meracik obat dan buku-buku standar. Secara teknis, lantai,
ventilasi, serta sanitasi harus memenuhi persyaratan higienis dan
penerangan yang cukup. Bangunan setidaknya terdiri dari ruang tunggu,
ruang peracikan, gudang dan tempat pencucian.

2.5 Tata Cara Pemberian Izin Apotek


Berdasarkan Kepmenkes RI No. 1332 tahun 2002 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MenKes/SK/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek dalam pasal 4 (2)
menyebutkan bahwa wewenang pemberian izin apotek dilimpahkan oleh
Menteri kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin,
pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun
kepada Menteri Kesehatan dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi sedangkan pada pasal 7 proses pemberian izin apotek
sebagai berikut:
1. Permohonan Ijin Apotek diajukan apoteker kepada Kepala Dinas
Kesehatan (DinKes) Kabupaten/Kota setempat (Form Apt-1). Lampiran
KepMenKes RI No. 1332/MenKes/SK/X/2002 mencantumkan syarat-
syarat administrasi yang harus dilampirkan dalam permohonan izin apotek
adalah sebagai berikut:
a. Salinan/fotokopi Surat Izin Kerja Apoteker.
b. Salinan/fotokopi KTP.
c. Salinan/fotokopi denah bangunan.
d. Surat yang menyatakan status bangunan dalam bentuk akta hak milik/
sewa/ kontrak.
e. Daftar asisten apoteker dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal
lulus, dan nomor surat izin kerja.
f. Asli dan salinan/fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan apotek.
g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek (APA) bahwa tidak
bekerja tetap pada perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker
Pengelola Apotek di apotek lain.
h. Asli dan salinan/fotokopi surat izin atasan bagi pemohon Pegawai
Negeri Sipil (PNS), anggota ABRI, dan pegawai instansi pemerintahan
lainnya.
i. Akta perjanjian kerjasama Apoteker Pengelola Apotek dengan pemilik
sarana apotek.
j. Surat pernyataan pemilik sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan
perundangan di bidang Obat.
k. Kepala Dinkes Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari kerja
setelah menerima permohonan (Form Apt-1) dapat meminta bantuan
teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan
setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan (Form
Apt-2). Form Apt-2 ini juga dibuat tembusannya kepada Menteri
Kesehatan RI di Jakarta serta satu rangkap untuk arsip apotek.
2. Tim Dinkes Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya
6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala DinKes
Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan kepada DinKes
Kabupaten/Kota (Form Apt-3). Formulir Apt-3 kemudian dibuat dalam
rangkap 3 (tiga) dan dikirim kepada:
a. Kepala Dinas Keshatan Provinsi.
b. Permohonan satu rangkap.
c. Satu rangkap arsip.
3. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor 2 dan 3
tidak dilaksanakan, Apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan
siap melakukan kegiatan kepada Kepala DinKes Kabupaten/Kota setempat
dengan tembusan kepada Kepala DinKes Propinsi setempat dan kepada
Menteri Kesehatan RI di Jakarta (Form Apt-4).
4. Dalam jangka waktu 12 hari kerja setelah diterima laporan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud nomor 3 atau pernyataan yang
dimaksud nomor 4, Kepala DinKes Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan Surat Ijin Apotek dengan menggunakan contoh Formulir
Model APT- 5. Formulir model Apt-5 ini dibuat tembusannya.
5. Dalam hal hasil pemeriksaan tim Dinkes Kabuapaten/Kota atau Kepala
Balai POM yang dimaksud nomor 3 masih belum memenuhi persyaratan,
Kepala DinKes Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 hari kerja
mengeluarkan Surat Penundaan (Form Apt-6).
6. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud nomor 6, apoteker
diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal penundaan.

Dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/Menkes/Per/X/1993


pasal 8 yang tidak mengalami perubahan, dijelaskan:
1. Dalam hal apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan
sarana dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara
apoteker dengan pemilik sarana.
2. Pemilik sarana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan
tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan yang
bersangkutan.
Berdasarkan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
32/Menkes/SK/X/2002 pasal 9 terhadap permohonan izin apotek yang
ternyata tidak memenuhi persyaratan dimaksud pasal 5 dan atau pasal 6, atau
lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua
belas) hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasan-
alasannya.

2.6 Pencabutan Izin Apotek


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 25, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dapat mencabut surat ijin apotek apabila:
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan yang berlaku.
b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dimaksud dalam Pasal 12 Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/SK/X/2002 yang menyatakan:
1. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan
sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
2. Sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi
atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau
ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh menteri.
c. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/SK/X/2002 yang
menyatakan apoteker tidak diijinkan untuk mengganti obat generik yang
ditulis di dalam resep dengan obat paten.
d. Apoteker Pengelola Apotek terkena ketentuan dimaksud dalam pasal 19
ayat (5) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/SK/X/2002
yang menyatakan apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan
melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus, Surat Ijin
Apotek atas nama apoteker bersangkutan dicabut.
e. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yaitu pelanggaran terhadap
Undang-Undang no 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang
No. 23 tahun 1992 serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang terjadi di apotek dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
f. Surat Ijin Kerja Apoteker Pengelola Apotek dicabut.
g. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-
undangan di bidang obat.
h. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan berlaku.

2.7 Tugas dan Fungsi Apotek


Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tugas dan fungsi
apotek adalah sebagai berikut:
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan obat
atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang di
perlukan masyarakat secara meluas dan merata.
2.8 Lokasi Pendirian Apotek
Dalam Permenkes RI No.992/Menkes/Per.X/1993 tentang Pemberian
Izin Apotek, tidak lagi menentukan persyaratan jarak dan ijin lokasi apotek,
seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
278/Menkes/SK/V/1081. Pemohon pendirian apotek bebas memilih lokasi
yang diinginkan untuk mendirikan apotek tanpa perlu persetujan terlebih
dahulu. Lokasi pendirian suatu apotek dapat menentukan kesuksesan sebuah
apotek, untuk itu hendaknya mempertimbangkan segi penyebaran dan
pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya
beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan
mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.

2.9 Sarana dan Prasarana Apotek


2.9.1 Bangunan apotek
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/SK/X/2002 diatur tentang persyaratan bangunan Apotek
sebagai berikut:
1. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan dan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
2. Bangunan apotek sekurang-kurangnya memiliki ruangan khusus untuk:
a. Ruang tunggu.
b. Ruang peracikan dan penyerahan resep.
c. Ruang administrasi dan kamar kerja apoteker.
d. Ruang tempat pencucian alat dan kamar mandi atau WC.
Bangunan apotek harus memenuhi syarat:
a. Luas bangunan harus disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan
kefarmasian.
b. Dinding harus kuat dan tahan air, permukaan sebelah dalam harus rata,
tidak mudah mengelupas, dan mudah dibersihkan.
c. Langit-langit harus terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak dan
permukaan sebelah dalam harus berwarna terang.
d. Atap tidak boleh bocor.
e. Lantai tidak boleh lembab.
3. Kelengkapan bangunan calon apotek yaitu:
a. Sumber air harus memenuhi persyaratan kesehatan.
b. Penerangan harus cukup terang sehingga dapat menjamin pelaksanaan
tugas dan fungsi apotek.
c. Alat pemadam kebakaran harus berfungsi dengan baik sekurang-
kurangnya 2 buah.
d. Ventilasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya.
e. Sanitasi harus baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya.
4. Papan nama
Biasanya berisi nama apotek, nama APA, Nomor SIK, alamat serta
nomor telepon apotek dan waktu praktek atau jam kerja.
a. Berukuran minimal
1. Panjang : 60 cm
2. Lebar : 40 cm
3. Tebal : 5 cm
b. Dengan tulisan:
1. Hitam diatas putih.
2. Tinggi huruf minimal 5 cm.
3. Tebal huruf minimal 5 cm.

2.9.2 Perlengkapan apotek


Yang dimaksud dengan perlengkapan apotek dalah semua peralatan
yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan apotek. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 maka persyaratan
perlengkapan Apotek adalah sebagai berikut:
1. Alat pembuatan, pengolahan, dan peracikan terdiri dari:
a. Timbangan miligram dengan anak timbangan yang sudah ditara
minimal 1 set.
b. Timbangan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara minimal 1
set.
c. Perlengkapan lain disesuaikan dengan kebutuhan seperti, alat-alat
gelas laboratorium, mortir beserta stamper, sendok tanduk/porselen,
ayakan, spatel logam/tanduk/plastik, kompor atau alat pemanas yang
sesuai dan rak tempat pengeringan alat.
2. Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi terdiri dari :
a. Lemari dan rak untuk penyimpanan obat dengan jumlah sesuai
kebutuhan.
b. Lemari pendingin minimal 1 buah.
c. Lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika dengan jumlah sesuai
kebutuhan.

Berdasarkan Permenkes No.28/Menkes/Per/1978 tentang


penyimpanan narkotika, disebutkan bahwa tempat khusus untuk penyimpanan
narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci yang kuat.
c. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian
pertama digunakan untuk penyimpanan morfin, petidin dan garam-
garamnya serta penyediaan narkotika, bagian kedua dipergunakan
untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari
40 cm x 80 cm x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada
tembok atau lantai.
e. Lemari khusus tersebut tidak dipergunakan untuk menyimpan barang
lain selain narkotika, dan harus ditempat yang aman dan tidak terlihat
oleh umum. Anak kuncinya harus dikuasai oleh penanggung jawab
atau pegawai lain yang dikuasakan.
3. Wadah pengemas dan pembungkus yang terdiri dari:
a. Etiket dengan ukuran, jenis, dan jumlah sesuai kebutuhan.
b. Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat sesuai
dengan jenis, ukuran dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
4. Alat administrasi, terdiri dari:
a. Blanko pesanan obat.
b. Blanko kartu stok obat.
c. Blanko salinan resep.
d. Blanko faktur dan blanko nota penjualan.
e. Buku pencatatan penggunaan narkotika dan psikotropika.
f. Blanko pesanan obat narkotika dan psikotropika.
g. Form laporan obat narkotika dan psikotropika.
5. Buku standar yang diwajibkan adalah:
a. Farmakope Indonesia edisi terbaru 1 buah.
b. Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
apotek.
c. Buku-buku pendukung kegiatan Apotek lainnya, yaitu MIMS, ISO
edisi terbaru 1 buah.

2.9.3 Ruangan dan penataan apotek


Tata ruang apotek sangat berpengaruh terhadap kenyamanan melayani
resep waktu pelayanan resep dimana secara keseluruhannya berdampak pada
kemajuan apotek tersebut. Ruangan apotek harus diatur sedemikian rupa agar
memudahkan dalam pelayanan, tidak membatasi ruang gerak sehingga
pelaksanaan kegiatan di apotek dapat berjalan dengan baik.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
No.1027/MenKes/SK/IX/2004/15 September 2004, apotek harus memiliki:
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan
brosur/materi informasi.
3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan
meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
4. Ruang racikan.
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

Selain hal tersebut di atas, ruangan lain yang ada di apotek adalah:
1. Ruang tempat cuci alat.
2. WC/kamar kecil.
3. Gudang.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 35 Tahun 2014, Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki
fungsi:
1. Ruang penerimaan Resep
Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat
penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set
komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling
depan dan mudah terlihat oleh pasien.
2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan
Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan
pengemas Obat lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan
Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya
dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin
ruangan (air conditioner).
3. Ruang penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat
digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi
konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan
pasien.
5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan
rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,
lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.
6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

2.10. SDM (Personalia) Apotek


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
No.1027/MenKes/SK/IX/2004, Bab II, sumber daya manusia di apotek
merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan apotek tersebut.
Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan
yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri
sebagai pemimpin dalam situasi multidispliner, kemampuan mengelola SDM
secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberikan
pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Untuk menghasilkan pelayanan terbaik, hasil terbaik dan citra terbaik
tergantung pada tingkat kesungguhan dari setiap karyawan baik individu
maupu kelompok dalam meningkatkan kinerjanya. Kinerja yang sudah ada
harus dijaga pada kondisi konstan dan bahkan harus ditingkatkan, tidak perlu
berlebihan berpuas diri terhadap apa yang sudah dicapai karena kerja adalah
suatu proses yang selalu membutuhkan perbaikan-perbaikan.

2.10.1 Tenaga kefarmasian


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa pengertian Tenaga
Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknik Kefarmasian.
1. Apoteker Pengelola Apotek (APA)
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
No.1332/MenKes/SK/X/2002 Bab I pasal 1 yang dimaksud dengan Apoteker
Pengelola Apotek adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Surat Izin
Apotek (SIA) yaitu surat izin yang diberikan oleh menteri kesehatan kepada
apoteker atau apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana untuk
menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Tata cara pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Apoteker diatur juga lebih lanjut oleh menteri
kesehatan berdasarkan Permenkes No. 922/Menkes/Per/X/1993 Bab III pasal
5 menyatakan bahwa untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Ijazahnya telah terdaftar pada departemen kesehatan.
b. Telah mengucapkan sumpah/Janji sebagai Apoteker.
c. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan.
d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk
melaksanakan tugasnya sebagai apoteker.
e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi apoteker
pengelola di apotek.

Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan pekerjaan kefarmasian


di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian
bekerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tentang
Pekerjaan Kefarmasian. SIPA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. SIPA
bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker
pendamping. SIK bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di
fasilitas kefarmasian diluar apotek dan instalasi farmasi rumah sakit. SIK bagi
tenaga teknis kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada
fasilitas kefarmasian.
Seorang apoteker pengelola apotek bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup dan seluruh kegiatan apotek. Apoteker pengelola apotek
harus mampu mengkoordinasikan segala kegiatan apotek mulai perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengontrolan dan melakukan evaluasi
seluruh kegiatan di apotek. Selain itu, apoteker pengelola apotek dapat
melakukan sebagian pekerjaan administrasi, terutama kegiatan pembukuan
keuangan apotek dan pengembangan apotek dengan mengingkatkan
pelayanan dan penyediaan obat yang lengkap, tepat waktu, tepat isi, dan tepat
guna. Pengawasan terhadap pelayanan resep dan mutu obat yang dijual juga
harus dilaksanakan dengan baik sebab berhubungan langsung dengan
kesembuhan pasien. Apoteker pengelola apotek harus mampu memberikan
pelayanan obat secara maksimal dan memberikan KIE kepada pasien yang
membutuhkan. Pelaporan narkotika dan psikotropika juga merupakan
tanggung jawab seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA).
Sedangkan tugas seorang APA dalam PerMenKes No.
922/MenKes/Per/X/1993 Bab VI dan VII yang meliputi pengelolaan apotek
dan pelayanan, yaitu:
a. Berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan
perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahan terjamin.
b. Melakukan pemusnahan obat dan perbekalan farmasi karena tidak dapat
lagi digunakan/dilarang digunakan sesuai dengan aturan yang ditetapkan
dan dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang
wajib dibuatkan berita acaranya, untuk pemusnahan narkotika wajib
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. APA bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelayanan resep dan wajib
melayaninya sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang
dilandasi pada kepentingan masyarakat.
d. APA tidak diijinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis dalam
resep dengan obat paten.
e. Jika pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep maka
APA wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan yang tepat.
f. APA wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan obat yang
diserahkan dan penggunaan obat secara tepat, aman, rasional, atas
permintaan masyarakat.
g. Bila apoteker menganggap dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan
resep yang tidak tepat maka harus diberitahukan pada dokter penulis
resep.
h. Apoteker wajib menandatangani salinan resep.
i. Dapat menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib
Apotek (OWA) tanpa resep.

2. Apoteker pendamping dan apoteker pengganti


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/Menkes/SK/X/2002 yang dimaksud dengan Apoteker pendamping
adalah Apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola
Apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka
apotek.
Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker
Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada di
tempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus menerus, telah memiliki Surat Izin
Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai apoteker pengelola di apotek lain.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1332/Menkes/SK/X/2002 pasal 19 disebutkan bahwa:
1. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya
pada jam buka apotek maka apoteker pengelola apotek harus
menunjuk apoteker pendamping.
2. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping
berhalangan hadir maka apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker
pengganti.
3. Penunjukan apoteker pendamping dan apoteker pengganti harus
dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan
menggunakan contoh formulir model APT-9.
4. Apoteker pengelola apotek yang berhalangan melakukan tugasnya
lebih dari 2 tahun secara terus menerus maka Surat Izin Apotek atas
nama apoteker tersebut akan dicabut.
3. Tenaga Teknis Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa pengertian Tenaga
Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analisis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
Adapun tugas dan kewajiban seorang Asisten Apoteker berdasarkan
keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/Menkes/SK/X/2002 adalah:
1. Melayani masyarakat dibidang kesehatan mulai dari penerimaan resep
sampai menyerahkan obat yang diperlukan, baik pelayanan langsung
maupun melalui telepon/faximile.
2. Memerisa kelengkapan dan kebenaran resep, meracik resep, memberi
etiket, salinan resep dan bila perlu kwitansi.
3. Mengatur dan mengawasi kelengkapan obat-obatan yang dibutuhkan
oleh masyarakat, mengontrol barang di gudang dan menuliskan
permintaan barang pada buku defecta. Apabila obat habis maka harus
dengan segera dipesan.
4. Menyusun obat-obat dan mencatat serta memeriksa keluar masuknya
obat dengan menggunakan kartu stok.
5. Memelihara kebersihan ruangan apotek beserta alat-alatnya, lemari
obat serta obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, agar
lingkungan apotek tetap higienis dan indah untuk dipandang.
6. Mengatur dan mengawasi penyimpanan obat-obatan berdasarkan
syarat teknis farmasi agar mudah dijangkau dan diawasi untuk
kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan.
7. Mengerjakan pembuatan sediaan obat sehari-hari menyangkut
peracikan obat, pengemasan obat, penulisan etiket dan pembuatan
salinan resep.
8. Memeriksa kembali resep-resep yang telah dilayani dan nota-nota
penjualan obat bebas serta laporan-laporan obat yang harus
ditandatangani oleh APA.
9. Menyusun dan merapikan obat-obatan berdasarkan penggolongannya.
10. Mengatur daftar giliran dinas, pembagian tugas dan tanggung jawab.
11. Menuliskan dan menyerahkan surat pemesanan kepada PBF yang
sebelumnya telah mendapatkan persetujuan dan ditandatangani oleh
Apoteker.
2.10.2 Tenaga Non Kesehatan
1. Tenaga Admnistrasi
Tugas dari tenaga administrasi adalah:
a. Mencatat pembelian tunai dan kredit.
b. Mencatat penjualan tunai dan kredit.
c. Membukukan penagihan penjualan kredit.
d. Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika, dan
dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
e. Membantu tugas asisten apoteker dalam pengarsipan resep.
f. Pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring
penggunaan obat.
g. Membukukan faktur pembelian dan faktur penjualan.
h. Membuat pembukuan tentang perhitungan rugi dan laba.
i. Membukukan faktur pajak.
2. Kasir
Kasir bertanggung jawab atas kebenaran jumlah uang yang
dipercayakan kepadanya dan bertanggung jawab langsung kepada pengelola
apotek. Tugas kasir adalah:
a. Menerima pembayaran atas penjualan tunai di apotek.
b. Memberi nomer urut resep dan menyerahkan resep pada bagian peracikan
untuk disiapkan obatnya.
c. Mencatat semua hasil pembelian obat bebas.
d. Menyerahkan hasil penjualan barang-barang bebas dan resep tunai pada
pengelola apotek.
3. Bagian Umum
Tugas bagian umum adalah:
a. Bertanggung jawab atas kebersihan apotek.
b. Mengantarkan obat ke alamat pasien bagi apotek yang menawarkan jasa
antar obat ke rumah pasien.

2.11 Perbekalan Apotek


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:
922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin
Apotik yang dimaksud dengan perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat,
obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (bahan obat
tradisional), alat kesehatan dan kosmetika.
Adapun penggolongan obat tersebut, antara lain :
2.11.1 Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter
(disebut obat OTC = Over the Counter) dan dijual secara bebas karena aman
untuk pengobatan sendiri, biasanya digunakan untuk pengobatan penyakit
ringan, misalnya diare. Obat bebas ditandai dengan lingkaran hijau bergaris
tepi hitam.

Gambar 2.1 Logo obat bebas

2.11.2 Obat bebas terbatas atau obat daftar W (waarschuwing)


Obat bebas terbatas adalah obat-obatan yang dalam jumlah tertentu
masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai tanda lingkaran biru
bergaris tepi hitam.

Gambar 2.2 Logo obat bebas terbatas


Pada kemasan obat ini harus tertera peringatan yang bertanda kotak
kecil berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam. Tanda
peringatan tersebut adalah sebagai berikut :

Gambar 2.3 Tanda peringatan obat bebas terbatas

2.11.3 Obat keras atau obat daftar G (gevaarlijk= berbahaya)


Obat keras yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya
harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah, bergaris tepi
hitam, dengan tulisan huruf K didalamnya. Obat ini bila dipakai melebihi
dosis dapat menyebabkan keracunan dan kematian.

Gambar 2.4 Logo obat keras


2.11.4 Obat Narkotika
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Berdasarkan undang-undang tersebut terdapat 3 golongan narkotika
antara lain sebagai berikut:
a. Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.

Gambar 2.5 Logo narkotika


2.11.5 Obat Psikotropika
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika Bab I, pasal 1 yang dimaksud dengan psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Dalam undang-undang ini dijelaskan terdapat 4 golongan psikotropika,
antara lain sebagai berikut:
a. Psikotropika golongan I
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III
Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Gambar 2.6 Logo obat psikotropika

2.11.6 Obat generik


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan
Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, obat generik
adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN)
yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk
zat berkhasiat yang dikandungnya.

2.10.7 Obat Generik Berlogo (OGB)


Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
05417/A/SK/Xll/89 tentang Tata Cara Pendaftaran Obat Generik Berlogo
yang dimaksud dengan Obat Generik Berlogo (OGB) adalah obat jadi dengan
nama generik yang diedarkan dengan mencantumkan logo khusus pada
penandaannya.

2.11.8 Obat paten


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan
Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, obat paten adalah
obat yang masih memiliki hak paten.
2.11.9 Obat Wajib Apotek (OWA)
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 347/
Menkes/Sk/VII/1990 tentangObat Wajib Apotek yang dimaksud dengan
OWA (Obat Wajib Apotek) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa
resep dokter oleh apoteker di apotik.
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 924/


Menkes/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 dapat dilihat Obat
keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotik (Obat
Wajib Apotik No. 2), yaitu :
No Nama Generik Jumlah maksimal tiap Pembatasan
Obat jenis obat per pasien
1. Albendazol Tab 200 mg, 6 tab
Tab 400 mg, 3 tab
2. Bacitracin 1 tube Sebagai obat luar
untuk infeksi pada
kulit
3. Benolirate 10 tablet
4. Bismuth subcitrate 10 tablet
5. Carbinoxamin 10 tablet
6. Clindamicin 1 tube Sebagai obat luar
untuk obat acne
7. Dexametason 1 tube Sebagai obat luar
untuk obat acne
8. Dexpanthenol 1 tube Sebagai obat luar
untuk obat acne
9. Diclofenak 1 tube Sebagai obat luar
untuk obat acne
10. Diponium 10 tablet
11. Fenoterol 1 tabung Inhalasi
12. Flumetason 1 tube Sebagai obat luar
untuk inflamasi
13. Hidrocortison 1 tube Sebagai obat luar
butyrate untuk inflamasi
14. Ibuprofen Tab 400 mg, 10 tablet
15. Isoconazol 1 tube Sebagai obat luar
untuk infeksi jamur
local
16. Ketokonazole Kadar 2 % : Sebagai obat luar
- Krim 1 tube untuk infeksi jamur
- Scalp sol. 1 botol local
17. Levamizole Tab 50 mg, 3 tab
18. Methylprednisolon 1 tube Sebagai obat luar
untuk inflamasi
19. Niclosamide Tab 500 mg, 4 tab
20. Noretisteron 1 siklus
21. Omeprazole 7 tablet
22. Oxiconazole Kadar < 2%, 1 tube Sebagai obat luar
untuk infeksi jamur
local
23. Pipazetate Sirup 1 botol
24. Piratiasin 10 tablet
Kloroteofilin
25. Pirenzepine 20 tablet
26. Piroxicam 1 tube Sebagai obat luar
untuk inflamasi
27. Polymixin B 1 tube Sebagai obat luar
Sulfate untuk infeksi jamur
lokal
28. Prednisolon 1 tube Sebagai obat luar
untuk inflamasi
29. Scopolamin 10 tablet
30. Silver Sulfadiazin 1 tube Sebagai obat luar
untuk infeksi bakteri
pada kulit
31. Sucralfate 20 tablet
32. Sulfasalazine 20 tablet
33. Tioconazole 1 tube Sebagai obat luar
untuk infeksi jamur
lokal
34. Urea 1 tube Sebagai obat luar
untuk hyperkeratosis

2.11.10 Obat mitu/obat me too


Obat mitu atau obat me-too adalah obat yang telah habis masa
patennya yang diproduksi dan dijual pabrik lain dengan nama dagang yang
ditetapkan pabrik lain tersebut, di beberapa negara barat disebut branded
generic atau tetap dijual dengan nama generik.

2.11.11 Obat tradisional


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
007 tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional yang dimaksud dengan
obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat (Menkes RI, 2012).
Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Kriteria dari masing-masing
golongan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Jamu (Empirical based herbal 1. Aman sesuai dengan
medicine) persyaratan yang ditetapkan.
2. Klaim khasiat dibuktikan
berdasarkan data empiris.
3. Memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku.

b. Obat Herbal Terstandar 1. Aman sesuai dengan persyaratan


(Scientific based herbal yang ditetapkan.
medicine) 2. Klaim kasiat dibuktikan secara
ilmiah/praklinik.
3. Telah dilakukan standardisasi
terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi.
4. Memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku.

c. Fitofarmaka (Clinical based 1. Aman sesuai dengan


persyaratan yang ditetapkan.
herbal medicine)
2. Klaim khasiat harus dibuktikan
berdasarkan uji klinik.
3. Telah dilakukan standarisasi
terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi.
4. Memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku.
Gambar 2.7 Logo obat tradisional

2.12 Pengelolaan Apotek


Pengelolaan apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:
922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin
Apotik pasal 10 ayat 1-3 dan pasal 11 adalah sebagai berikut:
a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk campuran,
penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi
lainnya.
c. Pelayanan informasi mengenai perbelakan farmasi mencakup:
1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang
diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun
kepada masyarakat.
2. Pengamalan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan,
bahaya dan atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya.
d. Pelayanan informasi yang dimaksud diatas wajib didasarkan pada
kepentingan masyarakat.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
A. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit,
pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
B. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan
Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
C. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
D. Penyimpanan
1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa.
2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
4. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out)
E. Pemusnahan
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat
selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin
praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan
oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara
Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota.
F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan
atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama Obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
G. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk
penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan
terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan
pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi
keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika
dan pelaporan lainnya.

2.13 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian Resep;
2. Dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. Konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
A. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
a. Kajian administratif meliputi:
1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf;
3. tanggal penulisan Resep.
b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. Bentuk dan kekuatan sediaan;
2. Stabilitas; dan
3. Kompatibilitas (ketercampuran Obat).
c. Pertimbangan klinis meliputi:
1. Ketepatan indikasi dan dosis Obat;
2. Aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
3. Duplikasi dan/atau polifarmasi;
4. Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat,
manifestasi klinis lain);
5. Kontra indikasi; dan
6. Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
B. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai
berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
d. Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
e. Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
Warna putih untuk Obat dalam/oral;
Warna biru untuk Obat luar dan suntik;
Menempelkan label kocok dahulu pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari
penggunaan yang salah. Setelah penyiapan Obat dilakukan hal
sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian
antara penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang
terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan Obat dan lain-lain;
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan
cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat
mungkin emosinya tidak stabil;
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya;
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau


pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien
yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan
Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

C. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan);
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi;
5. Melakukan penelitian penggunaan Obat;
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu


kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam dokumentasi Pelayanan Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data
Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

D. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan. Kriteria
pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Tahap kegiatan konseling:


a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three
Prime Questions, yaitu:
1. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan Obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dalam konseling.

E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,
meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan.
2. Identifikasi kepatuhan pasien.
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin.
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum.
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah.
F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan.

Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang
terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan riwayat
alergi, melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga
kesehatan lain.
c. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat
antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian Obat
tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis
terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak diinginkan atau
terjadinya interaksi Obat.
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
f. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait
untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi.

G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.

Kegiatan:
1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Faktor yang perlu
diperhatikan:
a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.13.2 Promosi dan edukasi


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut
membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur,
poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
2.13.3 Pelayanan residensial (home care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai