Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Demam Tifoid merupakan
penyakit infeksi yang di jumpai secara luas di daerah tropik dan subtropik terutama di
daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Penyakit Demam Tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhii, dan hanya didapatkan pada manusia. Penularan penyakit ini hampir selalu
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. 1,2

Demam Tifoid memang bukan penyakit remeh. Penyakit yang muncul karena
gaya hidup yang mengabaikan kebersihan ini bukan sekedar memicu diare, demam,
atau sakit kepala. Bila infeksi Salmonella typhii kuman penyebab Demam Tifoid,
dibiarkan merajalela tanpa pengobatan, Salmonella typhii akan leluasa merusak organ
penting seperti limpa, jantung, hati, dan otak, hingga menyebabkan kematian.
Penderita yang sudah sembuh pun masih berpotensi menyebabkan penyakit karena
Salmonella typhii yang kini makin kebal terhadap antibiotika itu mungkin hanya
pingsan dan masih ngendon di saluran pencernaan penderita. 3,4

Penyakit Demam Tifoid di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor


mikroorganisme yang terdiri jumlah mikroorganisme yang tertelan dan virulensi dari
serotipe dan strain yang tertelan. Yang kedua faktor penjamu hospes di lihat dari
keasaman lambung, motilitas saluran cerna, flora normal di usus kecil dan usus besar,
sistem imunitas humonal dan seluler, malnutrisi. Faktor metabolik dan nutrisi, umur,
jenis kelamin, penyakit lain, penggunaan antibiotika, vaksinasi, dan lamanya sakit.
Faktor yang ketiga yaitu faktor lingkungan. 4,5

Penyakit Demam Tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Prevalensi


Demam Tifoid di Indonesia diperkirakan 350 810 kasus per 100.000 penduduk
pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 1,5 juta kasus setiap tahun 80 90 %
dari angka di atas adalah anak berusia 2 19 tahun. Demam Tifoid menduduki tempat
kedua di antara penyakit usus setelah Gastroenteritis. Data yang di ambil dari bagian
Instalasi Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA RSCM) sejak
1992-1996 tercatat 550 kasus Demam Tifoid yang di rawat, dengan angka kematian
2,63 5,13% dan rata-rata terdapat kurang lebih 100 pasien per tahun, sejak 1985
1994 serta 4 pasien meninggal dalam perawatan pertahun.6

Endemik Demam Tifoid terjadi di Propinsi Jawa Tengah, dengan peningkatan


jumlah kasus Demam Tifoid selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 2003 jumlah
kasus 254, pada tahun 2004 naik menjadi 971 kasus, dan pada tahun 2005 naik lagi
menjadi 4817 kasus, sedang pada triwulan I tahun 2006 jumlah kasus 811 kasus pada
37 puskesmas di kota Semarang. 7

Kejadian Demam Tifoid di Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah (BP
RSUD) Kraton Kabupaten Pekalongan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2004 terdapat 78 kasus, pada tahun 2005 meningkat menjadi 187 kasus
dan pada tahun 2006 triwulan I bulan Maret ada 71 kasus penyakit Demam Tifoid
banyak terjadi pada usia dewasa.9

Tingkat pendidikan, pengetahuan, dan sikap dalam pencegahan Demam Tifoid


dapat di ukur atau di amati dari menurunnya angka kejadian Demam Tifoid. Usia
dewasa merupakan usia yang paling rentan untuk terkena Demam Tifoid yang dapat
menyebabkan menurunnya produktifitas seseorang. Hal ini dapat dikaitkan pada
tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap yang mana dapat berpengaruh dengan
kejadian Demam Tifoid dilakukan penelitian dengan cara wawancara langsung
dengan pasien.
Demam Tifoid terjadi pada berbagai golongan usia terutama pada usia produktif
sehingga akan mengakibatkan penurunan produktifitas / prestasi kerja dan prestasi
belajar. Penderita Demam Tifoid akan kehilangan masa produktivitasnya paling tidak
selama 4-6 minggu, dan akan lebih lama apabila di sertai dengan komplikasi
pendarahan atau perforasi usus. Hal ini sangat di pengaruhi oleh faktor karakteristik
seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan khususnya pada penderita Demam
Tifoid yang di rawat inap RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan pada tahun 2006. 5,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID

DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama
didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau
endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan
Peyers patch.1

EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju dan yang sedang berkembang.
Insiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid
terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun.5

Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika
Latin.

Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000
penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara
berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7 kasus per
100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000 penduduk di Eropa
Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 1,5
juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah
gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat
dengan angka kematian antara 2,63 5,13%.6

Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering merebak di daerah yang kebersihan
lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.7

ETIOLOGI

3
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella
paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan
yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam
lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8

Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk
batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-410C),
bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C
selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik
fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9

Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi
pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu
bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya
tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak
langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak
ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam
tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan
bermakna.10

Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:

- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.

- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang
lazim disebut aglutinin.

Ada 3 spesies utama yaitu :

- Salmonella typhosa (satu serotype)

- Salmonella choleraesius (satu serotype)

- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2

Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1

Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari
Salmonella enterica serotipe typhi ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai

4
usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel
mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat
potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam
folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada
keadaan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan
kelenjar limfe mesenterica.6

Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati,
dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian
dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan
menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum
terminal. Invasi kandung empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1 bakteri /ml
darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan
endotoksin namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti
inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1

PATOLOGI

Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila
tidak segera diberikan antibiotik yaitu :

Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid

Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan submukosa

Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan pendarahan

Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan terbentuknya struktur seperti pada
11
tuberkulosis bowel.

Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat
terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan
yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.11

PATOFISIOLOGI

Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah :

a. bacterial type III protein secretion system (TTSS)

b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins).

5
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang berperan penting dalam signalisasi yang
diperantarai LPS dalam makrofag

d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam

e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah menuju jaringan yang terinfeksi
bakteri.12

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi
yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah
kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9

Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman.
Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan
cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam
lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas
dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan
pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme
pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk
ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian
Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus
torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9

Kemudian kuman akan masuk kedalam organorgan system retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga
organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga
terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan
masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan
masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong
pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang
menimbulkan gejala peritonitis.1

Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan somatic antigen
(lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di
darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada
saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5

6
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada
penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler
dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas.

Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman,
limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering
didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.

Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan
ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar
dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan
pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2

Bagan Patofisiologi Demam Typhoid

KUMAN S. TYPHI

Makanan + Minuman

Lambung mati

Usus halus

Folikel getah bening


intestinum

Multiplikasi Sel PMN

Aliran getah bening Hidup dan Multiplikasi


Mesenterika Usus
Berkembang Biak Lokal

Airan Darah Aliran Darah


(Bakteremia Primer) ( Bakteremia Sekunder)

RES
Hati dan Limpa

7
GEJALA KLINIK
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis
sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan
(3) gangguan kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step
ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan
secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam
lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia,
letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan
manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang
tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih
jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada
anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80%
penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang,
namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat.
Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam,
yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil
dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu
penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari demam
tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada
sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%,
muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada
2,63% anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1

Anak usia sekolah dan remaja


Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun
diare berkonsistensi mungkin ada selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual
muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis

8
mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun
dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 0C.8
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali,
dan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.8

Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)


Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan malaise, salah interpretasi sebagai sindrom
virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid
daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
infeksi saluran pernafasan bawah.

Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam enterik selama kehamilan dapat
ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu
bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan
mungkin nyata.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam
terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi,
muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar
anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering
dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi

9
- Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
- Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
- Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi
usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas
pada abdomen.1

DIAGNOSIS BANDING
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan antara lain :2
# Bronkitis
# Influensa
# Bronkopneumonia
Pada stadium selanjutnya :
# Demam paratifoid # Meningitis
# Malaria # Endokarditis bakterial
# TBC milier # Rickettsia
# Pielitis
Pada stadium toksik :
# Leukemia
# Limfoma
# Penyakit Hodgkin
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan
tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu III.
2. Gangguan saluran cerna

10
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah
ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada
abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua
dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.

Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala
lain:
- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan
rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang
dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul
karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama
demam.
- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan
pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch).5,13

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan
asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan
gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.


a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan
sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini
sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi berguna untuk membuat
diagnosis yang cepat.5
Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan limfositosis
relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga
dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan
kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia

11
normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau
supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak termasuk
pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES
dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis
berkurang.5

2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa


a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum tulang, tinja,
urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media ( kultur). Pengetahuan mengenai
patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang
optimal.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu pertama
demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu pertama demam dan
pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat
diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita,
setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada
penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila
dibandingkan dengan kultur darah dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan
tidak dipengaruhi waktu pengambilan.2
Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3 sampai minggu ke-
5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur
tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan
ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi dapat dijumpai
1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2
demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3.
Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu berkisar
antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen
sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan
antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan
yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu
dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada

12
minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan
dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5

b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid
adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis
demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen
O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang
progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer
tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H
tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila
penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya
menunjukan virulensi dari kuman.5

Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari ke 6-
8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama dan 90%
penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3
dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan menetap
selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur darah sebelum
akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai
sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti H
menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat menimbulkan reaksi
anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna,
tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang
tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga
untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat
disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak
terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi buruk,
agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol
dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau
tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15

13
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa >
1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang
Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti
mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat
positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
-semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama
yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh
Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).
-semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
-titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak
selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada
umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan
untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak
muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan
gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O
bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi
antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella
lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk
mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari,
peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada
beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada
stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik
sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali
pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang
diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi
perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16

14
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penderita.

Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:


- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli patogen dlm
usus.
- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
- Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada keadaan infeksi.5

Pemeriksaan Penunjang Lain


Pemeriksaan antibodi
Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul pada awal
penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul lebih lambat
tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada
hari 10-12 dari onset penyakit.10
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka pemeriksaan
serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju pelacakan antibodi
terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih spesifik seperti:
# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi protein
spesifik pada membran luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa
ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih
baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang
dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial pemeriksaan ini
dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot dengan inaktivasi IgG dalam sampel
serum untuk menyingkirkan kemungkinan ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen
terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai Typhidot M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya
mendeteksi antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam.18
# Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah
molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi
ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe
memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman
dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid.

15
Oleh sebab itu target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi.
Penggandaan target DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara
ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi pada LPS antigen
Salmonella typhi.
Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil positif
tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat menunjukkan Salmonella
grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella
paratyphi A memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu singkat.10,18

KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih jarang.
Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau awal minggu ke-
3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat
b. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada ileum
terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa. Angka kejadian
antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati

16
menghilang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan
diafragma pada foto Rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.

c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan, penderita
nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut kembung, dinding
abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan darah menurun,
suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada pemeriksaan darah
tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat.

2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis
typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi
pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah
endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan
ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan
EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan
manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis. Glomerulonefritis,
pielonefritis, dan perinefritis.5,13

Bronkitis dan Bronkopneumonia


Bronkitis terjadi pada akhir minggu pertama dari perjalanan penyakit, pada kasus yang berat
bilamana disertai infeksi sekunder dapat terjadi bronkopneumoni.
Angka kejadian bervariasi antara 2,5-7%.

Kolesistitis

17
Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua dengan gejala
dan tanda klinis yang tidak khas.
Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.

Tifoid Ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa: kesadaran menurun,
kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan cairan otak masih dalam batas-batas normal.
Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%.
Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.

Meningitis
Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak, dengan gejala klinis sering tidak
jelas sehingga diagnosis sering terhambat.
Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella Oranenburg.
Gejala Klinis:
- Bayi tidak mau menetek
- Kejang
- Letargi
- Sianosis
- Panas
- Diare
- Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks grasp menurun,
reflex mengisap menurun.
Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa:
Efusi subdural Hidrosefalus
Ventrikulitis

Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinisnya tidak khas.
Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas serta sering terjadi pada minggu kedua dan
ketiga.
Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978)
- Irama mendua
- Takikardi yang menetap
- Bunyi jantung melemah

18
- Bising sistolik di apex
- Pembesaran jantung
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan
gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi.
Karier kronik
Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi
mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam
hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat
penting dalam hal menurunkan angka kematian.
Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang dewasa.
Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling sedikit diperlukan 3-6
kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan karier merupakan masalah yang
sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa
bersarang dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi antara
operasi dan obat-obatan.2

TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan dirawat
sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat

Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna
seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai
dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus
diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk
buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada
keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakitnya
berjalan.

Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang

19
diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi
penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan
penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan
aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun
mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya.
Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat
menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat
menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi
lain selama perawatan.

20
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara drastis(1-
4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim

21
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom
subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk
pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman
Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai
drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder
(1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih
cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan
kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik (depresi sumsum
tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah
50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonatus
sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3

Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya hampir
sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam turun setelah 5-
6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan,
sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.

Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial.
Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan
lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome, agranulositosis,
tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisiensi
G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral, selama
10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.

Ampisilin dan Amoksisilin

22
Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan adanya Salmonella
yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%).
Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan
peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan
lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dianjurkan:
Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari
Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan
keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.

Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol.
Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM,
sekali sehari, 5 hari.

Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.

# Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus
dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna
menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3

# Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan
lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah

23
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Bedah
Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.

Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi
lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan
di rumah.3

PENCEGAHAN
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama memutuskan
rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan
sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses,
pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,3
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57C beberapa menit atau
dengan proses iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau suatu daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta
tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.3

Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa
vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin demam tifoid
oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1

24
Vaksin Demam Tifoid Oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang
telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus
dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin
parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum
efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan
pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid
oral dikenal dengan nama Ty-21a. Penyimpanannya pada suhu 2C-8C. Kemasan dalam
bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin
dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih
dari 37C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan
utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak
boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif
terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari
interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah
pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun.
Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella sebaiknya
diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%,
maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan
dan minuman.

Vaksin Polisakarida Parenteral


Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu
2C-8C, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3 tahun.
Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi
ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak,
nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai.
Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria.
Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan
dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif. Daya proteksi 50-

25
80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada
makanan dan minuman.15

PROGNOSIS
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, mortalitas
pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan
2% yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang
berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:
- Hiperpireksia atau febris kontinua
- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
- Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan
penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.

2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.

3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.

4. NN. Mengenal demam typhoid. Available from :


http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html (updated 2008
November 1st, cited : 2009 July 28th).

5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.

6. NN. Demam typhoid. Available from : http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-


typhoid.html (updated 2008 November 13th, cited : 2009 July 28th).

7. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :


http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated 2008, cited :
2009 July 28th).

8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th
ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.

10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap berbagai
antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri. September
2006;8(2):118-121.

11. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid Fever in


Children. February 2002: p.157-159.

12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009 August
5th).

13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis &
treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.

14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid
Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.

27
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi di
Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005: h.173-4.

16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.

17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).

18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian
ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000: h.3-5.

19. Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from :


http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2008 December 3rd, cited :
2009 July 28th).

28

Anda mungkin juga menyukai