LP Stepan Jonson
LP Stepan Jonson
B. Etiologi
Penyebab Steven Johnson ini paling banyak dipicu oleh penggunaan obat-
obatan atau dengan kata lain, penyebab Steven Johnson ini adalah karena alergi
obat-obat tertentu, biasanya adalah penggunaan obat antibiotik. Selain alergi obat
penyebab lainnya adalah karena adanya infeksi virus, bakteri, atau jamur tertentu,
karena makanan seperti coklat, ketidak cocokan lingkungan misal udara dingin,
panas matahari dan bahkan bisa juga dipicu oleh penyakit keganasan lainnya misal
kanker. Sebenarnya, penyebab pasti dari Steven Johnson ini idiopatik atau tidak
selalu diketahui secara pasti, tapi yang paling banyak terjadi adalah karena reaksi
berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh.
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri),
antipiretik (penurun demam) sekitar 45%, golongan karbamazepin sekitar 20% dan
sisanya adalah jenis jamu-jamuan.
Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
- Penisilline dan semisentetiknya
- Sthreptomicine
- Sulfonamida
- Tetrasiklin
- Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol)
- Kloepromazin
- Karbamazepin
- Kirin Antipirin
- Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (udara dingin, sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5. Makanan
C. Manifestasi Klinis
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Trias Steven Johnson (Hudak & Gallo, 2010. Hlm: 601) adalah :
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi
purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran.
Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas
dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen,
perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek
antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas
sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.
Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-
sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan
sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000:
72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T
penghasil limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel
ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
E. Komplikasi
Steven Johnson syndroom sering menimbulkan komplikasi pada mata
berupa simblefaron dan ulkus kornea. komplikasi lain adalah timbulnya sembab,
demam atau hipotermia.
Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :
Bronkopneumonia (80%)
Sepsis (infeksi sistemik)
Kehilangan cairan/darah
Gangguan keseimbangan elektrolit
Syok
Kebutaan gangguan lakrimasi
Kutaneus (timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan laboratorium (selain biopsi) yang dapat membantu dokter
dalam menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
3. Determine renal function and evaluate urine for blood.
4. Pemeriksaan elektrolit.
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan.
7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.
9. Tes lainya :
Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma
Adanya mikrosis sel epidermis
Infiltrasi limposit pada daerah ferivaskulator
G. Penatalaksanaan
Khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS, seluruh pengobatan
harus dihentikan. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan
luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena)
dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi
sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin,
namun tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang
menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala.
Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan
antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic
intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam
bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya
penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi
setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan
tindakan live-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak
timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan
elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi
hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet
tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.
Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang
dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan
dosis 2 x 80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan atau elektrolit dan nutrisi penting
karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa
5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari,
maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-
turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg
intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1. Data Subyektif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan
nyeri tenggorokan atau sulit menelan.
2. Data Obyektif
- Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi
erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
- Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
- Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis.
3. Data Penunjang
- Laboratorium : leukositosis atau eosinefilia
- Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,
spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
- Imunologi : deposit IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
- Riwayat kesehatan : riwayat latergi, reaksi alergi terhadap makanan,
obat serta zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
b. Kerusakan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit
karena destruksi lapisan kulit
c. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan
dari intravaskuler ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara
evaporasi, rusaknya jaringan kulit akibat luka.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kesulitan menelan.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
f. Resiko Infeksi berhubungan dengan hilangnya barier atau perlindungan kulit
g. Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi,
kecacatan, kejadian traumatik
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
Tujuan : Nyeri dapat dikontrol atau hilang
Kriteria hasil :
Klien melaporkan nyeri berkurang
Skala nyeri 0-2
Klien dapat beristirahat
Ekspresi wajah rileks
RR : 16 - 20 x/menit
TD : 100-130/60-90 mmHg
N : 60 90 x/menit
No Intervensi Rasional
No Intervensi Rasional
No Intervensi Rasional
No Intervensi Rasional
No Intervensi Rasional
1 Monitor tanda-tanda vital Perubahan tanda vital merupakan
komplikasi lanjut untuk terjadinya
infeksi
2 Observasi keadaan luka setiap hariUntuk mengidentifikasi adanya
penyembuhan
3 Jaga agar luka tetap bersih atauMenurunkan resiko infeksi dan
steril untuk mencegah terjadinya
kontaminasi silang
4 Lakukan perawatan luka setiapUntuk mempercepat penyembuhan
hari (kompres luka dengan NaCl)
dan bersihkan jaringan nekrotik
5 Berikan perawatan pada mata Mata dapat membengkak oleh
drainase luka
6 Tingkatkan asupan nutrsisi Nutrisi mempengaruhi sintesis
protein dan fotositosis
7 Batasi pengunjung dan anjurkanUntuk mencegah terjadinya
pada keluarga/pengunjung untukkontaminasi silang
mencuci tangan sebelum kontak
langsung dengan klien
8 Pantau hitung leukosit, hasilPeningkatan leukosit menunjukkan
kultur dan tes sensitivitas infeksi, pemeriksaan kultur dan
sensitivitas menunjukkan
mikroorganisme yang ada dan
antibiotic yang tepat diberikan
9 Kolaborasi berikan antibiotik Mengurangi jumlah bakteri
No Intervensi Rasional
1 Kaji makna kehilangan/perubahanTraumatik mengakibatkan
pada pasien/orang terdekat perubahan tiba-tiba
2 Terima dan akui ekspresi frustasi,Penerimaan perasaan sebagai
ketergatnungan, marah, kedukaan.respons normal terhadap apa
Perhatikan perilaku menarik diriyang terjadi membantu
dan penggunaan penyangkalan perbaikan
3 Bersikap realistis dan positif selamaMeingkatkan kepercayaan dan
pengobatan, pada penyuluhanmengadakan hubungan antara
kesehatan dan menyusun tujuanpasien dan perawat
dalam keterbatasan
4 Berikan harapan dalam parameterMeningkatkan perilaku positif
situasi individu dan memberikan kesempatan
untuk menyusun tujuan dan
rencana untuk masa depan
berdasarkan realita
5 Berikan penguatan positif terhadapKata-kata penguatan dapat
kemajuan dan dorong usaha untukmendukung terjadinya perilaku
mengikuti tujuan rehabilitasi koping positif
6 Dorong interaksi keluarga danMempertahankan /membuka
dengan tim medis rehabilitasi garis komunikasi dan
memberikan dukungan terus-
menerus pada pasien dan
keluarga
Daftar Pustaka
Mansjoer, A. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. Jakarta: Fakultas
kedokteran Indonesia
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
http://yudicks.blogspot.com
http://s2.wp.com
http://wwwdianhusadabambang.blogspot.com
http://yhanis-almaqdisi.blogspot.com