Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan
di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data
Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit
penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5

Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus


DBD, antara lain:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,


2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol


vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal
pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat
penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.
Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien.

4
BAB II

PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue

A. Definisi

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.2

B. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk
betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat
penampungan air lainnya).2,3

5
C. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah
dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak.6,7,12

D. Patofisiologi

Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody


dependent enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi
semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag
dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine,
dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi
kebocoran cairan intravaskular ke ruang ekstravaskular. Konsekuensinya, terjadi
hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral.
Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu
sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel. Akan tetapi
pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi.

Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan sebagai


berikut :

6
Gambar 1. Homologous Antibodies Form Non-Infectious Complexes

Manusia yang pernah terinfeksi demam berdarah akan membuat serum antibodi
yang dapat menetralkan virus dengue yang serotipenya sama (homolog).

Gambar 2. Heterologous Antibodies Form Infectious Complexes

Dalam infeksi berikutnya, antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya


membentuk kompleks dengan serotipe virus baru yang menginfeksi, tetapi tidak
menetralkan virus baru.

7
Gambar 3. Heterologous Complexes Enter More Monocytes, Where Virus
Replicates

Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana strain tertentu dari virus


dengue, bergabung dengan antibodi non-penetral, menginisiasi munculnya monosit
yang lebih banyak, sehingga meningkatkan produksi virus.

Monosit yang terinfeksi melepaskan mediator vasoaktif, mengakibatkan


permeabilitas pembuluh darah meningkat dan manifestasi perdarahan yang menjadi
ciri DBD dan DSS.(11, 14,15)

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah kebocoran
plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit
yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output dan
hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi pendarahan massive,
trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan kematian pasien. Adapun
tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel dan
lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kompartemen
perivaskular, dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik di intra dan
ekstravaskular.

8
Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular
mengejar makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat dimengerti
terjadi leukopenia pada DBD.

Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa


penyebab:

1. terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di


permukaan trombosit;
2. kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi
trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi
trombosit;
3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi
trombosit;
4. manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit.
Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit
pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan
didestruksi dengan adanya antibodi antitrombosit.
Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi tidak ada
manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis (hari V-VII),
dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis, dan
hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis perhatikan bahwa
pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin
meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-
rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni mendahului plasma
leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari kelima, karena disitu
kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedangkan
pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sampai dengan hari keempat,
kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu
dengan ELISA dan rapid test. Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi

9
membutuhkan waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test
hanya mebutuhkan waktu 5 menit.(8,9)

F. Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:2,5,9

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

10
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 4. Derajat DBD

Pemekrisaan Penunjang

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit
dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran
limfosit plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes

11
serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody
total, IgM maupun IgG.

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :

1. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
2. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
3. Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
4. Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
5. Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
6. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
7. Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
8. Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
9. Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi
darah atau komponen darah.
10. Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
11. Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

Pemeriksaan Radiologi

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua

12
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.

G. Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.


Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif
perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring
(pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya
perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol
pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti
5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut:

13
Gambar 5. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5

Gambar 6. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 7. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5

14
Gambar 8. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5

15
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue : pertama adalah jenis cairan dan kedua
adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan
adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik
kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan.
WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis
cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi,
tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1-3

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid
memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan
RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume
vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh
kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan

perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5
ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang
interstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan
penggunaan kristaloid antara lain

mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi


plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi
anafilaktik.

15,16

16
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu:
pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang
mungkin didapatkan7 dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).15,16
Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue
(DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam
pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan,
dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari
banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih
akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk
kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan
50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24
jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih
perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak
stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10
mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan
dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7).

17
Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi
hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

18
BAB III
KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 23 Tahun
Alamat : Desa kalukubula
Tanggal Pemeriksaan : 03 Oktober 2016
Ruangan : Rajawali Bawah

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien laki-laki usia 23 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam 6

hari SMRS, demam dirasakan terus menerus selama 6 hari baik pagi, siang

ataupun malam hari, demam disertai menggigil. klien juga mengeluhkan sakit

kepala, tidak nafsu makan dan rasa lemas. batuk (-), nyeri menelan (-), nyeri

ulu hati (+), mual (+), muntah (+), nyeri sendi sendi (+) BAK dan BAB

biasa (tdk ada riwayat berak darah ataupun diare), riwayat perdarahan gusi (-

). Pasien menyangkal pernah bepergian ke daerah daerah yang endemis

malaria ataupun leptospirosis,.

Riwayat Penyakit Dahulu :

19
- Pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan nyeri ulu hati
(maag) 2 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit dengan keluhan dan gejala
klinis yang sama dalam keluarga

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang / Compos Mentis / Gizi baik
BB :50 kg
TB :162cm
IMT :19,05

Tanda vital :
TD : 100/70 mmHg Pernapasan : 22 kali/menit
Nadi : 94 kali/menit Suhu : 38,50C

Kepala :
Wajah : Pucat (-), Sianosis (-), Berkeringat (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, rontok (-), tidak mudah dicabut
Mata : - Konjungtiva: anemis (-)
- Sklera : ikterus (-)
- Pupil : isokor
Mulut : Hiperemis (-), Ulkus (-), Lidah kotor (-)

Leher :

20
KGB : Limfadenopati (-)
Tiroid : Simetris, mengikuti gerakan menelan, pembesaran (-)
JVP : Normal
Massa Lain : Tidak ada
Dada :
Paru-paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, Retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa (-)
- Perkusi : Redup pada apex paru dextra
- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi : - Batas kanan atas SIC II linea parasternalis dextra.
- Batas kanan bawah SIC IV Linea parasternalis dextra.
- Batas kiri atas SIC II linea parasternalis sinistra.
- Batas kiri bawah SIC IV linea midclavicula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, Murmur (-), Gallop (-).

Perut :
- Inspeksi : Datar
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Tympani
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)

Anggota gerak :
- Atas : Dalam batas normal, tidak ada hambatan gerak, udem -/-
- Bawah : Dalam batas normal, tidak ada hambatan gerak, udem -/-

21
D. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN


(03 Oktober 2016)
WBC 4,1 x 103/mm3 4,8-10,8
RBC 5,9 x 106/mm3 4,7-6,1
PLT 143 x 103/mm3 150-450
HCT 47,9% 42-52
MCV 80,9fl 80-99
MCH 28,5 pg 27-31
MCHC 35,3 g/dl 33-37

DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN


(04 Oktober 2016)
WBC 2,4 x 103/mm3 4,8-10,8
RBC 5,74 x 106/mm3 4,7-6,1
PLT 118 x 103/mm3 150-450
HCT 48,7% 42-52
MCV 85 fl 80-99
MCH 28,6 pg 27-31
MCHC 33,7 g/dl 33-37

22
DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN
(05 Oktober 2016)
WBC 2 x 103/mm3 4,8-10,8
RBC 5,6 x 106/mm3 4,7-6,1
PLT 38 x 103/mm3 150-450
HCT 45% 42-52
MCV 80,1fl 80-99
MCH 28,8 pg 27-31
MCHC 36 g/dl 33-37

DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN


(06 Oktober 2016)
WBC 3,8 x 103/mm3 4,8-10,8
RBC 5,9 x 106/mm3 4,7-6,1
PLT 38 x 103/mm3 150-450
HCT 47,3% 42-52
MCV 79,6fl 80-99
MCH 28,1 pg 27-31
MCHC 35,3 g/dl 33-37

Foto Thorax
-
E. Resume
Anamnesis :

23
Pasien laki-laki usia 23 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam 6

hari SMRS, demam dirasakan terus menerus dan disertai menggigil. klien juga

mengeluhkan sakit kepala, tidak nafsu makan dan rasa lemas. nyeri ulu hati (+),

mual (+), muntah (+), nyeri sendi sendi (+) BAK dan BAB biasa (tdk ada

riwayat berak darah).

Pemfis :

TD : 100/70 mmHg Pernapasan : 22 kali/menit


Nadi : 94 kali/menit Suhu : 38,50C

Pemeriksaan Penunjang

PLT Hari 1 : 143 x 103/mm3

PLT Hari 2 : 118 x 103/mm3

PLT Hari 3 : 38 x 103/mm3

PLT Hari 4 : 38 x 103/mm3

E. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis Kerja : Susp DBD Derajat II + Dispepsia
DD : 1. Demam Tyfoid
2. Malaria
3. Leptosirosis

F. Penatalaksanaan:
Non Medikamentosa:
Istarahat cukup

24
Medikamentosa:
IVFD RL guyur 10 ml/kg BB selama 30 menit jika membaik dilanjutkan dengan
5 ml/kgBB/jam
Ranitidine injeksi 1amp/12jam
Parasetamol (3 x 1)

G. Anjuran Pemeriksaan:
1. IgG
2. IgM
3. Tes Widal
4. Tes Kultur urin
5. Uji serologi

H. Diagnosis Akhir:
DBD derajat II + Dispepsia

K. Prognosis
Bonam

25
BAB IV

PEMBAHASAN

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Pada pasien ini didapatkan
manifestasi klinis berupa demam, nyeri kepala, nyeri sendi sendi, mual dan juga
muntah.

Salah satu pemeriksaan yang penting pada kasus ini adalah pemeriksaan
Trombosit dan Hematokrit. Pada pasien ini didapatkan Tromobosit menurun hingga
38.000 mm3 dan hematokrit masih dalam batas normal.

Pada pasien ini diberikan IVFD RL untuk pengganti cairan tubuh yang hilang
akibat dari kebocoran plasma. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma
akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi.

Pada pasien ini juga diberikan terapi parasetamol. Parasetamol (asetaminofen)


merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis
prostaglandin terutama di sistem saraf pusat (SSP). Parasetamol (asetaminofen)
mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang
dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung.

26
Terapi lain yang diberikan adalah Ranitidine yang merupakan golongan
Antagonis Reseptor Histamin 2 dengan mekanisme kerja memblokir efek histamine
pada sel parietal sehingga tidak bisa dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.

27

Anda mungkin juga menyukai