TINJAUAN PUSTAKA
Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah
susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok
orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan
dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan
produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari
kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum
di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi
(Hardinsyah, et al. 2002)
Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Ketersediaan pangan, jenis,dan
jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya
berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila
pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2)
Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih
pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi,
bagaimana cara pengolahanya, penyalurannya, penyiapannya, dan
penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor
penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok
orang.
Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange),
dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 1989
diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 1992). Analisis Swift difokuskan pada
peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan
rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah
tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka
kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan,
dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah
tangga pada masa krisis.
10
pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada
Gambar3.
sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama
dengan 8500 orang per km2.
b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah
memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99
persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah
tangga tani kurang dari 5.
c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan
dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan.
d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Daerah yang tidak
memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas
perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut
dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1,
dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut
serupa dengan memiliki.
e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan
apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan.
Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah
perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau
lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan.
Ketersediaan Pangan
Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun
1997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan
ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup,
mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap
individu (Suryana 2001).
Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua
komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses
terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat
bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan
pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk
akses pangan
Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976.
Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga
dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989).
Diantara rantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut
14
DKP (2006) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1)
produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan.
Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang
besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga
dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak
mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor
pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari
produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka
harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai
swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara
mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi
dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 2004 diacu dalam Amadona 2003).
Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang
salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap
konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang
tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak
menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada
variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat.
Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh
wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah.
Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin
perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat
miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di
perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada
ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 1986 diacu dalam Braun,et al.1993).
Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin
perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan
pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan.
Daya Dukung Pangan Wilayah
Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum
populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa
mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama
pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia.
Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan
15
Dimana:
K = daya dukung lahan (orang/ha)
ASi = luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)
Ysi = produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)
Csi = tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan
dalam menu penduduk (%kkal/tahun)
R = kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)
Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human
carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity.
Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang
dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa
penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical
carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial
termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard 2002 diacu
dalam Absari 2007).
Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat
menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun
kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus
dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi
matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan
bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obat-
obatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga
dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan
mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat
kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode
yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi
pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola
konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar
minyak (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007).
17
peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang
harus dipenuhi kebutuhan pangannya.
Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah
yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh
pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan
mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink
1998 diacu dalam Sulistiyowati 2005).
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang
sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang
harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu
keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari
keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada
keluarga besar tersebut (Suhardjo 1989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster
dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup
nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi
penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong
untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi
pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan.
Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa banyaknya
populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan
yang diperoleh oleh penduduk.
Faktor Ekonomi
a. Tingkat Kemiskinan
Bappenas (2004) diacu dalam Harniati (2008) mendefinisikan kemiskinan
sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat
desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan
maupun laki-laki.
Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan
Bentaya (2005) yang digunakan untuk menentukan ketahanan pangan dan gizi
19
pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis
kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan
pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan
menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya
beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber
daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap
pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan
merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati
2008). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat
mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,
kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan
public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan
terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah,
kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 1981; Sahdan 2007 diacu dalam
Ulfani 2010).
Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan
absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah
garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam
Ulfani 2010). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan
biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan
bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat
miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian
pendapatannya (Gerster dan Bentaya 2005).
b. Pendapatan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran
kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu.
PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS
2005).
PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan
sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang
laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB
berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: 1) pertanian, 2)
pertambangan dan penggalian, 3) industri pengolahan, 4) listrik, gas dan air
20