Globalisasi Produksi
Renny Candradewi 070810532 Ayu Mustika 070810150 Muflichah Tri Hayu W 070810513
rennycandradewi@yahoo.com aiu_sleeping@yahoo.co.id chessygirl@gmail.com
PENDAHULUAN
1. Globalisasi Produksi: pengertian dan implikasinya terhadap Ekonomi Politik
Internasional
Globalisasi produksi berasal dari integrasi dua terminologi, yakni globalisasi dan
produksi. Meminjam pengertian ekonomi oleh teori dualisme ekonomi, globalisasi
mengandung pengertian terjadinya integrasi ekonomi besar-besaran menggantikan ekonomi
tradisional (Gilpin, 1987). Sedangkan produksi mengandung pengertian segala hal yang
terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi (Anonim, 2009). Berdasarkan kedua
arti terpisah tersebut, mencoba mendeskripsikan globalisasi produksi sebagai terjadinya
integrasi ekonomi secara meluas pada sektor-sektor ekonomi yang mencakup seluruh proses
produksi, distribusi, dan konsumsi yang terjadi secara cross border.
Globalisasi produksi dalam dunia ekonomi melibatkan aktor ekonomi global yang
beroperasi secara transnasional. Karakter tersebut direpresentasikan dengan sangat baik oleh
MNC (Multinational Corporations). Eric Thun dalam tulisannya The Globalization of
Production menyebut MNC sebagai wajah globalisasi paling nyata (Thun, 2008:347). Hal
ini dikarenakan perusahaan ini bergerak dalam jangkauan yang sangat luas dan lintas negara
dengan efektivitas produksi besar dan efisiensi cost yang luar biasa.
MNC bertindak sebagai realisasi impian aliran liberalisasi ekonomi yang menginginkan
perekonomian yang lebih otonom. Hakekat berdirinya MNC merupakan sumber pengharapan
dan janji pada siapapun yang mencarinya untuk memanfaatkan peluang globalisasi ekonomi
demi tujuan kemajuan ekonomi dan power non-negara. Namun, MNC juga menjadi
pertentangan bagi siapapun yang melihat globalisasi sebagai ancaman. Posisi MNC yang
demikian esensial dan bergerak lintas negara tanpa disadari membawa nilai-nilai ekonomi
yang mengglobal (global value chains). Keberadaan MNC di lebih dari beberapa negara
membuat nilai global tersebut saling berkesinambungan dan mengikat hubungan kepentingan
negara satu dengan lainnya. Bahkan kelahiran MNC menjadi salah satu unsur penyusun
2
power suatu negara dalam dunia internasional yang semakin terstruktur oleh kepentingan-
kepentingan ekonomis (Mingst, 2009).
Dalam prosesnya, global value chains (selanjutnya disebut rantai nilai global) menjadi
determinan penting dalam menentukan siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana (Thun,
2008:347). Terdapat dua pandangan mengenai hal tersebut. Pertama dari perspektif negara
home, negara markas besar MNCs berada, akan muncul pertanyaan apa yang akan
tertinggal ketika produksi pindah ke luar negeri. Apabila hal tersebut terjadi makan akan
terjadi pula perpindahan akses pekerjaan, teknologi dan keuntungan yang lari ke negara host.
Kedua, dari persepktif negara hostnegara sasaranakan muncul pertanyaan apakah
negara-negara host mampu merebut aktivitas value-added (nilai tambah) yang tinggi atau
terjebak dalam hubungan yang bergantung (dependent) ketika mereka terbatas pada aktivitas
nilai tambah yang rendah. Kedua hal di atas menjadi tantangan baik bagi negara host dan
home untuk disiasati dan ditindaklanjuti melalui implementasi kebijakan-kebijakan
makroekonomi yang mesti menguntungkan.
2. Kemunculan Globalisasi Produksi
Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang makin penting bagi
korporasi multinasional (MNCs). Globalisasi menyebabkan negara berlomba-lomba
memanfaatkan dan menciptakan peluang. Negara-negara menggerakkan perekonomian
melalui pilihan-pilihan ekonomi yang ada salah satunya mengikuti tren ekonomi yang
diarahkan oleh institusi moneter internasional. Institusi moneter internasional sayangnya
bergerak demi menjamin ketahanan perekonomian kelompok negara tertentu. Keberadaan
institusi moneter internasional tersebut menyediakan sejumlah pilihan-pilihan dalam
kesepakatan. Salah satu kesepakatan fundamental ialah mengurangi hambatan perdagangan
(reducing trade and tariffs barriers). Pengurangan hambatan perdagangan dan biaya
transportasi memicu peningkatan perdagangan antara produsen di satu negara dan konsumen
di negara lain sekaligus katalisator utama globalisasi produksi.
Globalisasi produksi dicontohkan pertama kali pada Revolusi Rndustri I dan II (1850-
1914). Globalisasi produksi memacu peningkatan permintaan untuk bahan mentah (Thun,
2008: 348). Bahan baku diimpor dari negara negara pinggiran (periphery), kemudian
dilakukan proses pengolahan hingga menjadi barang jadi yang siap untuk dipasarkan, dan
terakhir barang jadi didistribusikan secara global (Thun, 2008: 348). Revolusi industri
3
merupakan suatu istilah yang menandai perubahan radikal dan cepat terhadap perkembangan
kemampuan manusia dalam menciptakan peralatan kerja untuk meningkatkan hasil produksi.
Sejak saat itupun produksi berlangsung secara lebih internasional.
Produksi Internasional bukanlah hal yang baru, namun yang baru adalah besarnya dan
derajat fragmentasi dalam mata rantai global (Thun, 2008: 349). Salah satu indikator
pertumbuhan produksi global adalah terjadinya peningkatan FDI dan outsourcing. Foreign
Direct Investment (FDI) ialah pemberian pinjaman atau pembelian kepemilikan perusahaan
di luar wilayah negaranya sendiri. FDI terjadi manakala bisnis melakukan investasi pada
fasilitas dan memasarkan suatu produksi di luar negeri. FDI tidak lain investasi langsung di
luar negeri. Jadi, FDI bukanlah ekspor maupun lisensi. Foreign Direct Investment melalui
pemasukan modal, teknologi baru dan hubungan pasaran ekspor merupakan pendorong
penting pertumbuhan dan pengembangan industri. Menurut data dari United Nations
Conference on Trade and development (UNCTAD) Worls Investment Report, dalam kurun
waktu tahun 1982 hingga tahun 2005 arus masuk FDI terus meningkat tajam.(Thun, 2008 :
349).
Setelah perang Dunia II, tren peningkatan ekonomi liberalisme dilanjutkan dengan round
penting dari GATT, dan hasilnya adalah perluasan cepat dari perdagangan dunia (Thun, 2008:
350). Ekspor dunia terus meningkat dan mencapai 8 persen per tahun antara tahun 1950 dan
1973, dan 5 persen untuk periode 25 tahun berikutnya. Pemerintah di negara negara
berkembang memanfaatkan ekspansi perdagangan global sebagai mesin pertumbuhannya.
Tidak ada kawasan yang lebih menguntungkan daripada kawasan Asia Timur. Tidak dapat
dipungkiri bahwa peningkatan produksi global merupakan hasil dari liberalisasi ekonomi,
kemajuan transportasi, dan kemutakhiran teknoogi.
Untuk memahami global value chains, maka harus melihat ke dalam dua dimensi global
value chains itu sendiri, yaitu governance dan location. Di dalam governance, yang menjadi
fokus adalah metode mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan saling ketergantungan, di mana
di satu sisi adalah hubungan murni antara pasar dengan perusahaan-perusahaan luar seperti
arms'-length trade relationship, di sisi lain adalah kontrol hierarkhis foreign operations
seperti FDI (Thun, 2008: 354).
4
hambatan masukan (input). Ketika hambatan masuk rendah, globalisasi yang meningkat
menyebabkan penurunan pendapatan karena persaingan menjadi lebih besar, sedangkan
ketika hambatan masuk tinggi, perusahaan dapat menentukan syarat (harga dan peran) di
dalam value chains. Kedua, governance of value chains merupakan faktor penentu penting
dalam peningkatan prospek. Peningkatan di sini umumnya didefinisikan sebagai peningkatan
daya saing dengan menerapkan sebagian value chain yang termasuk dalam aktivitas nilai
tambah yang tinggi. Ketiga, tata kelola global value chains memberikan wawasan tentang
tingkat pengaruh yang dimiliki aktor luar, di mana aktor di sini bisa berupa pemerintah,
organisasi internasional, atau NGO, dalam mempengaruhi perilaku perusahaan.
Dimensi yang kedua dalam global value chains adalah lokasi, fokus pada di mana
penempatan aktivitas. Untuk penempatan aktivitas ini perusahaan harus mempertimbangkan
harga produksi dan kekuatan persaingan, serta kelemahan negara dan wilayah (Thun, 2008:
361). Salah satu alasan kenapa value chain mengglobal adalah karena investasi luar negeri
dan offshoring adalah bagian dari proses evolusi (Thun, 2008: 358). Raymond Vernon (1971)
menyatakan bahwa setiap produk selalu mengalami siklus diawali oleh perkembangan,
proses pendewasaan, dan memuncak pada standardisasi. Siklus perkembangan inilah yang
menyebabkan semakin tingginya perkembangan dan inovasi produk suatu negara.
Salah satunya negara yang paling sukses adalah AS yang mempunyai keunggulan dalam
hal teknologi dan para pengusahanya. Perusahaan-perusahaan di sana mengembangkan
produk baru dan mulai rutin mengekspor untuk pasar luar negeri, dan pada akhirnya
pergerakan produksi ini dapat mencegah persaingan luar negeri dan praktek monopoli.
Perkembangan investasi luar negeri ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kawasan.
Struktur industri bergerak dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Negara
dengan perkonomian yang berkembang pada awalnya akan mengimpor produk industri dari
negara-negara yang lebih maju, imitasi dan substitusi impor akan mengarah pada
pengembangan industri pribumi, dan akhirnya industri pribumi akan maju ke titik di mana
juga akan mulai ekspor. Selain itu, alasan bagaimana lokasi menentukan produksi global juga
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan seperti sumber daya alam, pasar baru, tenaga
kerja, bahkan juga budaya, bahasa, atau politik suatu bangsa (Thun, 2008: 359).
4. China sebagai Pabrik Dunia
Pada era globalisasi ekonomi, China menjadi negara dengan tren karakteristik produksi
6
global. Kemajuan China sebagai kekuatan ekonomi internasional tumbuh menjadi refleksi
manufaktur globalisasi. Sejak China memulai transisi ekonomi pasar dalam tiga dekade ini,
dominasi industri manufaktur dunia dan dampak raksasa manufaktur ini sulit dihindari.
Ekonomi China berdampak pada harga global dengan indikasi pertumbuhan ekonomi yang
cepat (Thun, 2008). Seringkali China mendapat julukan seabgai negara pabrik dunia.
Perusahaan luar negeri yang beroperasi di wilayah China, biasanya dikuasai oleh kekuatan
perusahaan lokal melalui akuisisi sehingga setengah dari ekspor manufaktur China berasal
dari pabrik investasi asing dan 80 persen berupa teknologi ekspor (Rosen, 2003).
a. Lokasi dan Produksi Global
Pasca revolusi ekonomi China pada akhir 1970an, arus investasi China lebih mengarah
pada sistem produksi regional daripada sistem produksi nasional. Dengan menggunakan
investasi sektor-privat, dan pembelajaran teknik, dan kemampuan manajemen perusahaan
luar negeri yang berada disana. Kemudian dengan menerapkan sistem basis produksi
regional, China membangun zona ekonomi baru di Hongkong. Melalui intensifikasi pekerja,
perkembangan industri garmen dan tekstil di Taiwan sebagai komoditas ekspor terbesar
menjadi contoh suksesnya sistem ini (Gee & Kuo 1997: 52). Industri pakaian dan aksesoris
Taiwan sedang mencapai puncaknya di 1987 dan memulai adanya perpindahan perusahaan
manufaktur ke daerah yang lebih murah seperti China (Gerefii & Pan 1994: 130-131).
Gereffi dan Pan menamakan hal ini sebagai triangural manufacturing, arti dari triangural
manufactural sendiri adalah pembayaran luar negeri terhadap barang menggunakan sistem
hubungan jangka panjang; dimana perusahaan diluar wilayah mendapatkan ikatan dari
permintaan dan hubungan jangka panjang yang dibuat (Gerefii & Pan 1994: 127).
Hal yang terjadi di Taiwan, sesuai dengan keadaan Asia Timur yang sedang ramai
menjalin ekonomi regional dengan manufacturimg network lintas negara. Seperti halnya
China yang menggunakan local economic cluster di daerah Zhejiang, cluster ini biasanya
digunakan dalam operasionalisasi industri keramik dan barang rumah tangga.
b. Governance dan upgrading
Secara kuantitas, gelombang FDI China sangat berkembang meskipun diiringi kebijakan
kontroversial yang muncul. Pemerintah China meformasikan kebijakan Joint Venture (JV)
dengan perusahaan multinasional sebagai akses teknologi dan kemampuan manajerial.
Langkah lain yaitu melakukan kerjasama World Trade Organization (WTO), hal itu juga
7
Selain itu terdapat preferensi-preferensi yang mesti ditindaklanjuti oleh negara yang
mengingingkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi negara selain ditentukan oleh
Gross Domestic Product, meskipun sulit diukur, juga dihitung melalui investasi luar negeri
langsung (FDIinflow maupun outflow dengan selisih inflow lebih besar) dan outsourcing.
Pilihan-pilihan yang tersedia bagi perusahaan untuk membuat keputusan melakukan FDI
atau outsourcing terangkum dalam keadaan yang tersituasi inovasi teknologi, preferensi-
preferensi ekonomi (ketersediaan sumberdaya alam, pasar baru, tenaga kerja), serta prospek
keuntungan dan interests negara dan perusahaan. Peningkatan FDI terjadi manakala terdapat
kebutuhan urgen untuk ekspansi dalam usaha menyesuaikan dengan dinamika ekonomi yang
berkembang. Oleh karena itu, tidak jarang jika perjalanan korporasi multinasional (dalam
konteks ekonomi) ke tahap ekspansi produksi dan manufaktur seperti dijelaskan di atas
seolah dinilai sebagai siklus yang terjadi secara natural.
Perjalanan ekspansi korporasi multinasional tentu saja menjadi problematik ketika secara
ekonomi gagal dimanfaatkan oleh negara sasaran (target relokasi industri dan outsourcing
MNC) apalagi jika secara politis dinilai sebagai suatu bentuk ancaman kedaulatan dan
ekonomi domestik suatu negara. Tidak dapat dipungkiri, manifestasi kebijakan ekonomi
untuk menerima datangnya peluang ekonomi negeri asing tersebut mendatangkan berbagai
dampak sosio-ekonomi negatif maupun positif. Melalui sudut pandang kritis, dapat dilihat
bahwa dampak negatif tersebut lebih banyak berasal dari perspektif negara-negara kurang
berkembang. Di satu sisi, negara kurang berkembang mendapat lapangan pekerjaan dan FDI-
outflow, mereka mendapat bentuk ancaman dependensi. Dependensi tersebut mendatangkan
resiko apabila sewaktu-waktu (keadaan yang terkondisi misal kurang jaminan keamanan
akibat pergolakan politik, seperti di Thailand) mengakibatkan investor lari. Negara tersebut
bahkan sulit mengetahui sejak kapan mereka menyerahkan kedaulatan ekonomi mereka
kepada asing. Produksi global memang bukan ide yang benar-benar buruk secara ekonomis,
namun sangat berisiko apabila tidak disiasati dengan strategis. Oleh karena itu, meskipun
produksi globalisasi berlangsung demikian masif sehingga mudah menginvasi secara
transparan, peran pemerintah makin diperlukan dalam memperkuat fundamentalisme
perekonomian domestik agar tidak larut dalam euphoria globalisasi ekonomi dunia.
SUMBER
9
Gilpin, Robert., 1987. The Dynamics of Political Economy, ins: The Political Economy of
International Relations. Princeton: Princeton University Press. Ch. 3.
Mingst, Karen. 2009. The Essentials of International Relations. London: Norton Publishing.
Thun, Eric. 2008. The Globalization of Production dalam John Ravenhill, Global Political
Economy. Oxford: Oxford Press University