Jbptitbpp GDL Fanjijuand 22660 3 2010ta 2 PDF
Jbptitbpp GDL Fanjijuand 22660 3 2010ta 2 PDF
GEOLOGI REGIONAL
Pulau Sumatra merupakan pulau keenam terbesar di dunia. Secara ekspresi fisiografi,
pulau ini memiliki orientasi berarah baratlaut-tenggara (Gambar 2.1). Luas area dari pulau ini
435.000 km2, dengan panjang terhitung 1650 km dari Banda Aceh di bagian utara hingga
Tanjungkarang di bagian selatan. Lebar yang terhitung sekitar 100-200 km di bagian utara dan
sekitar 350 km di bagian selatan. Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat
membagi pantai barat dan timur Pulau Sumatra. Lereng yang berarah Samudera Hindia pada
umumnya curam sehingga menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa pegunungan
dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang memiliki lebar 20 km. Sabuk
bagian timur pada pulau ini ditutupi oleh formasi Tersier dan dataran rendah aluvial (Darman
dan Sidi, 2000).
Pulau Sumatra merupakan bagian Sundaland yang terletak di bagian baratdaya. Oleh
karena itu, teori tentang pembentukan Sumatra tidak terlepas dengan sejarah pembentukan
Sundaland itu sendiri (Darman dan Sidi, 2000).
Lokasi penelitian
(sumber: Id.wikipedia.org/wiki/berkas_sumatra
topografi.png)
9
Terdapat beberapa teori tentang sejarah pembentukan Pulau Sumatra, yaitu:
1. Pulau Sumatra sebagai model jalur subduksi yang berkembang semakin muda ke baratdaya-
selatan dan ke arah utara (Katili, 1978).
2. Pulau Sumatra sejak awal merupakan bagian dari benua asia (Kuliah Geologi Indonesia, 2009).
3. Pulau Sumatra sebagai produk amalgamasi unsur-unsur dari Benua Asia dan Gondwana
(Pulunggono dan Cameron 1984, Barber 1985 dalam Darman dan Sidi, 2000).
Dari ketiga teori di atas, yang paling banyak diterima ialah teori ketiga yaitu Pulau Sumatra
merupakan produk amalgamasi unsur Asia dan Gondwana. Hal ini dapat terlihat pada gambar
2.2.
Jalur Suture
Gambar 2.2. Produk amalgamasi antara unsur Gondwana dan unsur Asia pada
Pulau Sumatra.
10
Pada masa sekarang salah satu proses aktif yang masih berlangsung pada Pulau Sumatra
ialah proses subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Subduksi ini
memiliki kecepatan antara 6 hingga 7 cm per tahun dan berarah N20E. Beberapa tatanan
tektonik terbentuk akibat proses subduksi ini, yakni (Darman dan Sidi, 2000) (Gambar 2.3):
Palung Sunda.
(sumber : http://en.wikibooks.org/wiki/Image:Sumatra_map.jpg)
11
Berdasarkan 5 tatanan tektonik yang disebutkan sebelumnya, wilayah tatanan tektonik yang
memiliki potensi sebagai reservoir yang baik ialah cekungan belakang busur. Pada Pulau
Sumatra terdapat 3 cekungan belakangan busur, yakni Cekungan Sumatra Utara, Cekungan
Sumatra Tengah , dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 2.3). Lapangan Delima merupakan
lapangan migas yang terletak pada Cekungan Sumatra Utara.
Secara fisiografis, daerah Langkat merupakan bagian dari Cekungan Sumatra Utara
bagian selatan. Cekungan Sumatra Utara dibatasi oleh Pegunungan Bukit Barisan di bagian
barat, Paparan Malaka di bagian timur, Lengkungan Asahan di bagian selatan, Laut Andaman di
bagian Utara (Gambar 2.3). Pada gambar 2.4 dapat terlihat penampang yang berarah baratdaya-
timur laut yang memperlihatkan bagaimana pengaruh subduksi yang mengontrol tatanan
tektonik setting dari Cekungan Sumatra Utara.
)
Cekungan Sumatra Utara merupakan backarc basin yang memiliki orientasi baratlaut-
tenggara, mengikuti sistem Cekungan Neogen. Cekungan ini yang terbentuk akibat tumbukan
Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Cekungan Sumatra Utara terdiri dari
beberapa subcekungan, yaitu:
Legenda:
: Subcekungan Aceh
: Subcekungan Aru
: Subcekungan Langkat
Gambar 2.5. Subcekungan Sumatra Utara yang mengikuti sistem Cekungan Paleogene Sumatra
(Darman dan Sidi, 2000).
Pada gambar 2.5 dapat terlihat ketiga subcekungan Sumatra Utara. Ketiga subcekungan ini
mengikuti sistem Cekungan Paleogene Sumatra yang berarah utara-selatan. Subcekungan ini
dipisahkan oleh tinggian-tinggian dan dalaman-dalaman setempat, seperti Tinggian Sigli,
Dalaman Jawa, Tinggian Tinggian Arun-Lhok Sukon, Dalaman Tamiang, Tinggian Hyang
Besar, Pakol Horst Graben, dan Glaga Horst Graben. Lokasi penelitian pada tugas akhir ini
berada di Langkat yang merupakan bagian dari Tinggian Hyang Besar.
13
2.2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatra Utara
Pembentukan stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara dimulai sejak proses sedimentasi
pada kala Tersier. Cekungan Sumatra Utara secara litostratigrafi tersusun atas 8 unit
litostratigrafi seperti yang dilihat pada gambar 2.6 (Indonesia Basin Summaries, 2006).
14
2.2.1.1.1 Batuan Dasar
Batuan Dasar pada cekungan Sumatra Utara terdiri dari batupasir, batugamping atau
dolomit. Batuan ini padat dan terdapat banyak rekahan. Batuan ini tidak mengalami perubahan
alterasi. Dari beberapa contoh core yang diambil, lapisan batuan ini sulit untuk dikenali sebagai
batuan dasar.
15
2.2.1.4 Formasi Bampo (Oligosen Awal - Oligosen Akhir)
Fase transgresi awal ditandai dengan pengendapan Formasi Bampo yang diendapkan
pada lingkungan marine/lacustrine. Formasi Bampo diendapkan selaras di atas Formasi Parapat.
Akan tetapi, sebagian Formasi Bampo mempunyai umur yang sama dengan Formasi Parapat.
Litologinya didominasi oleh batulempung berwarna abu-abu gelap-hitam, batulumpur dan lanau
serta banyak ditemukan nodul-nodul karbonat. Formasi ini mempunyai umur yang berbeda-beda.
Di Aceh berumur Oligosen Akhir tetapi di daerah timur mempunyai umur Miosen Awal.
Ketebalan Formasi ini di bagian selatan antara 0-120 m, di timur antara 220-550 m, di utara 2400
m. Formasi ini diendapkan pada lingkungan yang berbeda-beda untuk daerah yang berbeda-beda,
di sebelah utara lingkungannya adalah neritik luar sampai batial atas, di lain tempat umumnya
formasi ini diendapkan di lingkungan dangkal.
16
2.2.1.7 Formasi Baong (Miosen Tengah)
Pada saat pengendapan Formasi Baong banyak ditemukan kumpulan fauna yang
menunjukkan adanya puncak transgresi. Litologinya terdiri atas batulempung abu-abu sampai
hijau dan napal yang kadang-kadang mengandung tufa. Pada tengah-tengah formasi terdapat
lensa-lensa batupasir. Napal dan batulumpur diendapkan di neritik dalam-luar dan batial atas.
Penentuan ketebalan formasi telah dilakukan oleh Kamili dan Naim (1973) menghasilkan 1750
meter, sedangkan menurut Mulhadiono dan Marinoadi (1977) adalah 2500 meter.
Bagian bawah formasi ini merupakan batuan sumber hidrokarbon. Hidrokarbon tersebut
bermigrasi akibat adanya struktur diapir. Penekanan batuan sedimen yang jenuh akan air
kemudian menekan hidrokarbon dan terperangkap pada lapangan batupasir yang terdapat di
tengah-tengah formasi. Sebagai contohnya Lapangan Aru. Formasi Baong juga ditemukan di
Bukit Barisan yang mempunyai ketebalan sampai 2000 m. Batupasir pada formasi ini
diendapkan dari tepi cekungan-cekungan utama.
17
2.2.1.10 Formasi Julurayeu (Pliosen Akhir)
Formasi ini diendapkan di lingkungan fluviatil hingga litoral. Litologi Formasi Julurayeu
adalah lempung dan konglomerat di bagian bawah formasi yang kemudian semakin ke atas
meningkat menjadi batupasir tufaan yang lunak. Ketebalan dari formasi ini adalah 400-600 m
dengan umur adalah Plio-Plistosen.
Penelitian tentang stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara sudah dilaksanakan sejak
tahun 1880an, yaitu semenjak ditemukannya minyak di Telaga Tiga (1883) dan Telaga Said
(1885). Pada saat ini sudah banyak perkembangan tentang pembagian stratigrafi pada Cekungan
Sumatra Utara (gambar 2.7). Terminologi stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara yang dipakai
saat ini dapat dilihat pada gambar 2.7
Milsom, 2005
Tektonostratigrafi (gambar 2.8) pada Cekungan Sumatra Utara dibagi menjadi 4 fase,
yaitu (Darman dan Sidi, 2000):
Syn-orogenic
Stage
Late Syn-rift
Stage
Early Syn-rift
Stage
Pre-rift
Sedimen Tersier yang paling awal terendapkan pada Pulau Sumatra merupakan sedimen
endapan laut dangkal pada batas kontinen (Shallow water continental margint sedimen). Hal ini
sesuai dengan konfigurasi cekungan pada saat Eosen yang dapat dilihat pada gambar 2.9.
Gambar 2.9 Konfigurasi Cekungan Sumatra Utara saat Eosen (satyana, 2008)
Sedimen laut dangkal ini terendapkan di atas basement Sundaland berumur pra-Tersier yang
tererosi. Sedimen ini membentuk Formasi Tampur di Cekungan Sumatra Utara (gambar 2.6).
Berdasarkan penelitian Van Bemmelen tahun 1949, ditemukan singkapan batugamping di aliran
Sungai Tampur dan di dalamnya terdapat Laminasi alga, koral dan sisa-sisa coaly plants. Hal ini
membuktikan bahwa batugamping ini terendapkan pada lingkungan sub-litoral hingga laut
terbuka. Umur dari Formasi Tampur ini diperkirakan berumur Eosen hingga Oligosen Akhir
berdasarkan posisi stratigrafi dan korelasi regional (Bennet dkk. 1981c dalam Barber, Crow, dan
Milsom, 2005).
20
2.2.2.2 Fase Early syn-rift (Eosen Akhir-Oligosen).
Fase early syn-rift yang terjadi pada Cekungan Sumatra Utara diawali dengan adanya
tumbukan yang terjadi antara Benua India dengan Lempeng Eurasia pada Eosen Akhir.
Tumbukan ini menghasilkan aktifasi 2 sesar utama, yakni Sesar Sumatra dan Sesar Malaka yang
merupakan sesar mendatar dextral. Aktifitas dari kedua sesar inilah yang membentuk horst-
graben pada Cekungan Sumatra Utara (Gambar 2.10). Pada saat ini juga terjadi transgresi
regional (Darman dan Sidi, 2000).
Gambar 2.10. Struktur horst-graben yang merupakan produk konvergensi Benua India dengan Lempeng Euarasia
Horst graben ini merupakan pull-apart basin dengan arah orientasi utara-selatan. Struktur
horst graben ini mengubah bentukan morfologi dan sedimentasi pada Pulau Sumatra. Bentuk
awal Pulau Sumatra yang berupa dataran (peneplain) berubah menjadi pegunungan dengan
dalaman-dalaman yang terisolasi. Proses sedimentasi dikontrol oleh sesar dan didominasi oleh
proses fluviatil dan lacustrain yang sumber sedimennya berasal dari tinggian setempat. Hal ini
dapat dianalogikan dengan proses sedimentasi yang terjadi pada rift valley di bagian Afrika
Timur saat ini. Pada Cekungan Sumatra Utara, formasi yang terendapkan pada tahapan ini ialah
Formasi Bruksah dan Bampo (Gambar 2.6) (Cameron dkk. 1980 dalam Barber, Crow, dan
21
Milsom 2005). Pada beberapa tatanan stratigrafi yang ada, Formasi Bruksah disamakan dengan
Formasi Parapat (gambar 2.7).
Pada saat Oligosen Akhir, tektonik regime pada Cekungan Sumatra Utara mulai berubah.
Subsiden regional akibat fase sagging terjadi pada saat itu. Pada saat yang bersamaan, sistem
busur Sumatra mulai terbentuk sehingga mulailah dikenal dengan terminologi cekungan
depan busur, cekungan belakang busur, dan busur magmatik. Busur magmatik yang terbentuk
ialah Bukit Barisan yang memiliki orientasi baratlaut-tenggara. Kehadiran Bukit Barisan ini
sangat penting karena Bukit Barisan merupakan sumber suplai sedimen penting untuk
cekungan depan busur dan cekungan belakang busur pada saat itu. Cekungan Sumatra Utara
terletak dekat dengan Bukit Barisan sehingga suplai sedimen pada cekungan ini berasal dari
Bukit Barisan dengan sistem pengendapan berupa sistem alluvial. Subsiden terus terjadi
sehingga lingkungan pengendapan mulai berubah menjadi laut terbuka, diawali dengan
ditemukannya beberapa pengendapan delta dan terumbu secara lokal. Formasi yang
terendapkan pada Cekungan Sumatra Utara pada fase ini ialah Formasi Peutu dan Formasi
Belumai. Formasi Peutu merupakan formasi yang terendapkan pada fase awal transgresi
dengan lingkungan berupa fluviatil. Formasi Belumai merupakan formasi yang terendapkan
pada fase akhir transgresi sehingga lingkungan pengendapan formasi ini ialah delta bergradasi
menjadi laut litoral dan paparan.
Fase maksimum transgresi yang terjadi pada Miosen Tengah sebenarnya bukan salah satu
dari pembagian tektonostratigrafi, tetapi biasanya fase ini dijadikan indikasi oleh beberapa
peneliti sebagai suatu fase terjadinya pengendapan maksimum dari marine shale dan
minimum influx klastik. Pada saat ini Bukit Barisan hampir seluruhnya mengalami
penenggalaman. Formasi yang terendapkan pada fase ini ialah Formasi Baong (gambar 2.6).
22
Formasi Baong merupakan formasi yang sangat baik sebagai seal untuk lapisan reservoir
dibagian bawahnya karena formasi ini memiliki shale yang cukup tebal.
Pada saat Miosen tengah, sagging yang terjadi pada Cekungan Sumatra Utara mulai
melambat. Bukit Barisan pada fase ini uplift dan muncul kembali sehingga menjadi sumber
sedimen penting pada Cekungan Sumatra Utara. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Morton dkk., 1994, yang melakukan studi provenance pada Formasi Keutapang
(Miosen Akhir) dan menyimpulkan bahwa sedimen pada Formasi Keutapang berasal dari arah
barat atau baratlaut (Bukit Barisan terletak barat laut dari Cekungan Sumatra Utara).
Pada Miosen Akhir hingga Plio-Pleistosen, proses tektonik kompresi mulai mendominasi
pada Cekungan Sumatra Utara. Proses kompresi ini disebabkan oleh adanya aktifitas Sesar
Sumatra dan pemekaran Laut Andaman (Asikin, 2009). Proses-proses kompresi ini dibantu
dengan proses subduksi yang terjadi pada Palung Sunda sehingga membuat Bukit Barisan
mencapai puncaknya saat Plio-Pleistosen. Formasi yang terendapkan pada Cekungan Sumatra
Utara saat fase regresi ini ialah Formasi Keutapang, Formasi Seureula, dan Formasi Julurayeu.
Formasi Keutapang merupakan formasi yang menandakan awal pengendapan deltaic pada
Cekungan Sumatra Utara (Darman dan Sidi, 2000).
23
2.2.3 Sistem Petroleum Cekungan Sumatra Utara
24
2.2.3.2 Batuan Reservoar
Salah satu batuan reservoir yang berpotensi pada Cekungan Sumatra Utara adalah
batupasir Formasi Belumai yang sampai saat ini umumnya berproduksi dalam closure struktur,
namun pada salah satu sumur yang ada pada PERTAMINA terlihat adanya peran stratigrafi
dalam pembentukan perangkap pada batupasir Formasi Belumai. Minyak yang terperangkap
dalam perangkap ini diperkirakan langsung dari Formasi Baong Bawah/Belumai (Kjellgren dan
Sugiharto dalam PERTAMINA, 2008).
Batupasir yang terendapkan selama transgresi pada Formasi Keutapang dan batupasir
Formasi Baong juga merupakan reservoar yang cukup potensial. Minyak bermigrasi dari serpih
Formasi Baong melalui sesar tumbuh yang berkembang di daerah ini. Selain itu, batupasir intra
Formasi Baong dan reef pada Miosen Awal juga berpotensi sebagai reservoar.
Tektonik Plio-Pleistosen menyebabkan reaktifasi sesar dan lipatan pada batuan sedimen
tersier yang terbentuk di Cekungan Sumatra Utara. Batuan induk yang berasal dari serpih
Formasi Baong Bawah menghasilkan hidrokarbon dan memigrasikan ke dalam reservoir
batupasir Formasi Belumai Tengah dan Formasi Keutapang pada perangkap antiklin yang ada.
25
2.2.3.4 Batuan Tudung (seal)
Batuan tudung yang berfungsi sebagai penyekat bagian atas suatu reservoir baik
struktural maupun stratigrafi terdapat di beberapa level, yaitu untuk level reservoir Basal
sandstone diperkirakan batuan tudungnya adalah serpih dari Formasi Parapat atau dari serpih
anggota bawah dari Formasi Belumai. Untuk level reservoir dari Formasi Belumai, batuan
tudungnya adalah serpih dari anggota atas Formasi Belumai itu sendiri atau serpih dari Formasi
Baong Bawah.
Untuk reservoir dari Formasi Baong Tengah diperkirakan batuan tudungnya ialah dari
serpih Formasi Baong bagian atas yang secara dominan memang tersusun oleh serpih. Adapun
untuk level reservoir dari Formasi Keutapang diperkirakan batuan tudungnya ialah anggota
serpih dari Formasi Keutapang itu sendiri yang secara litologi Formasi Keutapang tersusun oleh
perselingan batupasir dan serpih dari bagian bawah hingga bagian atas.
2.2.3.5 Perangkap
Perangkap minyak dan gas pada daerah Cekungan Sumatra Utara umumnya merupakan
perangkap kombinasi struktural dan stratigrafi.
26
Gambar 2.11. Sistem petroleum Cekungan Sumatra Utara (Satyana, 2008) 27
2.3 Geologi Lapangan Delima
Berdasarkan data pengeboran sumur DIA 4, terdapat 6 unit formasi yang tertembus bor
pada daerah penelitian (gambar 2.12), yaitu (dari tua ke muda):
28
2.3.1.1 Basal sandstone
Litostratigrafi ini terletak pada kedalaman 2570 m(MD). Formasi ini merupakan bagian
dari Formasi Bruksah. Bagian bawah dari formasi ini tersusun oleh batupasir, batulanau, dan
serpih dengan basal konglomerat pada bagian bawah. Batupasir berwarna putih kadang-kadang
abu-abu hingga coklat kemerahan, ukuran butir halus hingga sedang, bentuk butir menyudut
tanggung-membulat tanggung, sortasi sedang, agak keras hingga keras, dominan kuarsa,
feldspar, serta kadang-kadang karbonan, porositas sangat jelek, dan tidak ada menunjukkan
kehadiran hidrokarbon. Serpih berwarna merah, getas, non karbonatan. Batulanau coklat gelap
dan agak keras. Basal konglomerat berwarna abu-abu kecoklatan, mengandung fragmen kuarsit
dan batulempung, ukuran butir dari kerikil hingga kerakal, bentuk butir membulat hingga
menyudut tanggung, sortasi jelek, non karbonatan, keras hingga sangat keras, dan matrik
berukuran lempung hingga pasir.
Bagian atas dari Formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir dengan sisipan tipis
serpih pada bagian tengah. Batupasir ini berwarna putih, kadang-kadang abu-abu dan coklat
kemerahan, ukuran butir halus hingga sedang, bentuk butir menyudut tanggung-membulat
tanggung, sortasi sedang, agak keras hingga keras, dominan kuarsa, feldspar, serta kadang-
kadang karbonan, dan porositas buruk hingga sedang. Serpih berwarna coklat gelap hingga abu-
abu gelap, keras hingga getas, sedikit karbonatan.
Formasi ini berada pada kedalaman 2370 m (MD). Bagian bawah secara umum tersusun
oleh batupasir, batulanau, dan serpih dengan streaks batugamping. Batupasir berwarna abu-abu
cerah hingga putih keabu-abuan, ukuran butir halus hingga sangat halus, agak keras hingga
keras, sortasi sedang hingga buruk, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung,
karbonatan, dominan kuarsa, glaukonitan, porositas sedang, dan tidak menunjukkan adanya
kenampakan hidrokarbon. Batulanau abu-abu cerah kadang-kadang abu-abu gelap, agak keras
hingga getas, dan sedikit karbonatan. Adanya streaks batugamping dan hadirnya batupasir yang
29
bersih menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan dari formasi ini ialah inner sublitoral.
Berdasarkan data biostratigrafi, formasi ini diendapkan pada waktu Miosen Awal.
Bagian tengah formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir, serpih, dan batulanau.
Batupasir berwarna abu-abu cerah, ukuran butir halus, agak keras, sortasi buruk, bentuk butir
menyudut tanggung-membulat tanggung, karbonatan, dominan kuarsa, glaukonitan, dan
porositas sedang. Serpih berwarna abu-abu, agak keras hingga getas, karbonatan. Batulanau
berwarna abu-abu cerah, agak keras, dan karbonatan.
Bagian atas dari formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir dengan batugamping
dengan sisipan tipis batulanau (kontak litologi antara Formasi Belumai dan bagian bawah
Formasi Baong ditunjukkan oleh perubahan litologi dari serpih ke batugamping). Batupasir
berwarna abu-abu cerah, ukuran butir halus, agak keras, sortasi sedang, bentuk butir menyudut
tanggung-membulat tanggung, karbonatan, dominan kuarsa, glaukonitan, porositas sedang, dan
tidak menunjukkan adanya kenampakan hidrokarbon. Batugamping berwarna putih keabu-abuan
cerah, ukuran butir halus-sangat halus, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung,
keras, dan glaukonitan. Batulanau abu-abu gelap, agak keras, karbonatan.
Di atas dari Formasi Belumai terdapat zona transisi yang berada pada kedalaman 2240 m.
Zona ini tersusun oleh perselingan batupasir, serpih, dan batugamping.
Formasi ini terletak pada kedalaman 1540 m (MD). Bagian bawah dari formasi ini secara
umum tersusun oleh serpih dan batulanau dengan sisipan batupasir dan batugamping. Serpih
abu-abu cerah, agak keras, fissile, sedikit karbonatan. Batulanau abu-abu gelap, karbonatan, dan
lempungan. Batupasir berwarna abu-abu cerah, porositas buruk, ukuran butir sangat halus sortasi
sedang, butiran membulat tanggung, agak keras, karbonatan, lempungan, dan dominan kuarsa.
Batugamping kuning cerah, agak keras, dan porositas buruk.
Bagian tengah dari formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir dan serpih dengan
sisipan batulanau. Batupasir berwarna abu-abu cerah hingga putih, ukuran butir sangat halus,
30
agak keras, sortasi buruk, bentuk butir membulat , karbonatan, glaukonitan, karbonatan, dan
porositas sedang. Serpih abu-abu cerah, agak keras, dan fissile. Batulanau berwarna abu-abu
kecoklatan, agak keras, dan karbonan.
Bagian atas formasi ini secara umum tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau dan
batupasir. Serpih berwarna abu-abu cerah lunak, fissile, fossiliferous. Batulanau berwarna abu-
abu cerah hingga kecoklatan, lunak hingga getas, karbonatan, karbonan, dan lempungan.
Batupasir berwarna abu-abu cerah hingga putih, ukuran butir halus hingga sangat halus, agak
keras, sortasi buruk, bentuk butir membulat tanggung hingga membulat , karbonatan, dominan
kuarsa, glaukonitan, karbonatan, dan porositas sedang.
Formasi ini berada pada kedalaman 360 m (MD). Bagian bawah secara umum tersusun
oleh serpih dengan sisipan batulanau dan batupasir pada bagian tengah. Serpih abu-abu gelap,
agak keras hingga getas, dan fissile. Batulanau berwarna abu-abu cerah, lunak hingga getas.
Batupasir abu-abu cerah, ukuran butir halus hingga sedang, sortasi sedang, bentuk butir
menyudut tanggung hingga membulat tanggung, agak keras, karbonatan, glaukonitan, dominan
kuarsa, dan kadang-kadang mengandung mineral mafik.
Bagian atas dari formasi ini tersusun oleh batupasir dengan perselingan serpih dan
batulanau. Batupasir berwarna abu-abu hingga abu-abu cerah, porositas sedang, ukuran butir
halus hingga sedang, bentuk butir menyudut hingga membulat tanggung. Agak keras, kadang-
kadang karbonatan, mengandung fragmen cangkang, dan kuarsa. Serpih abu-abu, lunak hingga
getas, dan sedikit karbonatan. Batulanau abu-abu, lunak hingga getas, dan sedikit karbonatan.
31
Formasi ini diendapkan pada lingkungan inner-outer sublitoral berdasarkan kehadiran
batupasir pada bagian atas formasi dan adanya serpih yang mengandung sedikit fosil. Formasi ini
diendapkan pada waktu Miosen Akhir berdasarkan data biostratigrafi yang ada.
Formasi ini merupakan formasi termuda yang berada di lapangan penelitian. Bagian
bawah formasi ini tersusun oleh batupasir dan serpih dengan perselingan batulanau. Batupasir
berwarna abu-abu, ukuran butir halus hingga sangat halus, sortasi buruk, bentuk butir menyudut
tanggung hingga membulat tanggung, friable hingga agak keras, karbonatan, mengandung
fragmen cangkang, dan fossiliferous. Serpih berwarna abu-abu hingga abu-abu kehijauan, lunak
hingga agak keras, karbonan, dan terdapat fragmen cangkang. Batulanau berwarna abu-abu,
lunak hingga agak keras, dan karbonatan.
Bagian atas formasi ini tersusun oleh batupasir dengan sisipan serpih dan batupasir
konglomeratan. Batupasir berwarna putih hingga abu-abu cerah, ukuran butir sedang hingga
kasar, bentuk butir menyudut tanggung hingga membulat tanggung, lepas-lepas, kadang-kadang
mengandung fragmen cangkang, kuarsa, streaks batubara. Serpih berwarna abu-abu kehijauan,
lunak hingga agak keras. Batupasir konglomeratan berwarna abu-abu cerah hingga putih, ukuran
butir kerikil hingga kerakal, bentuk butir menyudut tanggung hingga membulat tanggung, lepas-
lepas, didominasi oleh kuarsa dan fragmen vulkanik.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan inner sublitoral berdasarkan kehadiran material-
material karbonan dan adanya fragmen-fragmen cangkang pada formasi ini. Berdasarkan data
biostratigrafi yang ada, formasi ini diendapkan pada waktu Pliosen.
32
2.3.2 Struktur Lapangan Delima
Closure yang berkembang pada Lapangan Delima merupakan kombinasi antara struktur
sesar dan lipatan relatif landai (gambar 2.14). Struktur sesar yang berkembang ialah sesar naik
yang berarah baratlaut-tenggara dan NNE-SSW. Hal ini dapat dilihat pada gambar peta struktur
kedalaman dengan interval SB1 (gambar 2.13) yang terletak di halaman berikutnya.
Berdasarkan data seismik (gambar 2.14), dapat terlihat bahwa sesar yang ada merupakan
sesar naik yang mengalami perubahan gerakan secara gradasi ke atas hingga level interval
penelitian (Formasi Keutapang). Kombinasi struktur dan sesar dan lipatan ini diperkirakan
terbentuk setelah terendapkan Formasi Julurayeu. Hal ini diindikasikan dengan terpotongnya
Formasi Julurayeu oleh sesar-sesar tersebut. Formasi Julurayeu menurut tatanan stratigrafi
regional berumur Pliosen Akhir, sehingga deformasi dari struktur ini berumur Plio-Pleistosen
Hal ini sesuai dengan geologi regional pada Cekungan Sumatra Utara, yaitu pada saat Pliosen
Akhir terjadi fase kompresi sehingga menghasilkan struktur-struktur yang berfungsi sebagai
perangkap di Cekungan Sumatra Utara (Barber, Crow, dan Milsom, 2005).
Pada Lapangan Delima terdapat 8 sumur dan 3 sumur diantaranya berhasil menemukan
hidrokarbon. Hidrokarbon minyak ditemukan pada sumur DIA-1 dan DIA-2A dengan lapisan
reservoir berupa batupasir yang berada pada Formasi Belumai. Gas ditemukan pada sumur DIA-
5 dengan lapisan reservoir berupa batupasir yang berada pada Formasi Keutapang. Penelitian ini
difokuskan pada Formasi Keutapang untuk rencana pengembangan cadangan gas.
33
A
B
Closure
34
Gambar 2.13. Peta struktur kedalaman interval SB 1 Lapangan Delima.
A B
Legenda:
: Sesar : FS C
: MFS 1 : MFS
: SB 1 : SB 2
: Fs B
Gambar 2.14. Penampang seismik pada lintasan A dan B yang menunjukkan adanya sesar naik pada lapangan penelitian
35