Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui
pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan tejadi
dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa
menit atau beberapa jam. Dalam kasus tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah
membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu
menentukan beberapa hal seperti saat kematian dan penyebab kematian.
Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-tanda dan
gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa hal diantarannya
umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya maupun penyebab kematian.
Salah satu penyebab kematian adalah terjadinya gangguan pertukaran udara
pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen berkurang. Hal ini sering dikenal dengan
istilah asfiksia, Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter,
hal tersebut menempati urutan ketiga setelah kecelakaan lalu lintas dan traumatik mekanik.
Pada berbagai kasus asfiksia, ditemukan tanda-tanda kematian yang berbeda. Hal ini
sangat tergantung dari penyebab kematian. Untuk itu kita perlu memahami lebih lanjut
tentang penyebab asfiksia tersebut.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
a. Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan medikolegal di
RSUD Achmad Mucthar BukitTinggi.
b. Menjelaskan pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta memahami gambaran
post mortem pada berbagai kasus asfiksia.

1.3. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase forensik dan medikolegal mengenai
asfiksia yang meliputi: pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta gambaran post mortem
pada berbagai kasus asfiksia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASFIKSIA
2.1.1. Defenisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia
sering disebut anoksia atau hipoksia.
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron
yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.

2.1.2. Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan
seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

2.1.3. Patofisiologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer ( akibat langsung dari asfiksia )
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.

2
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh )
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan ( Traumatic
asphyxia ). Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan.

2.1.5. Gejala Klinis


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan
pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude
dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah
cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.

3
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan
menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan
terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
secara mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4
menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu
kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

Skema 1. Proses terjadinya asfiksia

4
Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum.

Tardieus spot
Bintikperdarahanpadajantung

2. Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin.
5
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia

Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya
kapiler.

6
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam ( Autopsi ) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.2. Klasifikasi Asfiksia


Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)

7
Perbedaan jenis-jenis strangulasi :

Dilihat
NO PENCEKIKAN GANTUNG PENJERATAN
dari
Penekanan leher dan Peristiwa dimana Penekanan leher dengan
jalan napas dengan seluruh atau menggunakan
menggunakan tangan sebagian dari pita/tali/bahan sejenis
atau lengan bawah/ berat badan yang dikencangkan
1. Definisi alat (tongkat atau seseorang secara paksa dengan
bambu pada kasus ditahan di bagian kekuatan jerat berasal
bansdola). lehernya oleh tali dari tarikan pada kedua
sehingga daerah ujungnya
itu tertekan
Hampir selalu kasus Sebagian besar Sebagian besar
2. Jenis kasus
pembunuhan bunuh diri pembunuhan
Melintang, berupa Oblik, tidak Jejas horizontal di leher,
lingkaran utuh yang berupa lingkaran mirip dengan jejas akibat
melingkari seluruh utuh yang gantung tetapi pada
bagian leher, letaknya melingkari leher, penjeratan letaknya lebih
dibawah atau tepat letaknya diatas rendah.
Jejas pada pada kartilago tiroid. kartilago tiroid
3.
leher Kuku-kuku jari yang
digunakan untuk
mencekik leher dapat
meninggalkan luka-
luka lecet berbentuk
bulan sabit kecil.
Memar lebih banyak Memar lebih Memar lebih sedikit
4. Otot leher
sedikit
Jaringan di Lunak dan kemerahan Putih, keras, dan Putih, keras
5.
bawah jejas berkilat
Sering mengalami Bisa mengalami Lebih banyak vena yang
kerusakan kerusakan pada terkena
Arteri penggantungan
6.
karotis yang dijatuhkan
dari tempat
tinggi.
Patah os. Dapat dijumpai Sering dijumpai Jarang dijumpai
7.
Hyoid
Leher tidak berubah Tertarik dan Tidak berubah
8. Leher menjadi lebih
panjang

8
Tanda Lebih jelas Tidak begitu Lebih jelas
9.
asfiksia jelas

2. Sufokasi
Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai,
seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan
banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang
yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya
ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada
peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO2, hawa panas
dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.

Gambar 1. Sufokasi

3. Pembekapan (Smothering)
Definisi
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam
mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung
dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau
seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang
dibekap masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.

9
Gambar 2. Pembekapan

Gambaran Post Mortem Pembekapan


1. Pemeriksaan Luar Jenazah
a. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan
dan kekuatan menekan.
b. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,
yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
c. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat
bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat
mengalami memar atau cedera.
d. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada
pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan. Memar
atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam. Pada pembekapan dengan
mempergunakan bantal, bila tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang
yang dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan
tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke
bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri. Pada anak-anak oleh karena
tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya
minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir bagian dalam yang
berhadapan dengan gigi dan rahang.
e. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain menekan
kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus pencekikan dengan
satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar pada otot leher bagian
10
belakang, yang untuk membuktikannya kadang-kadang harus dilakukan sayatan
untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi
daerah tersebut. Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.
f. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun
pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku
korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.

2. Pemeriksaan Dalam Jenazah


a. Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena
cepatnya proses kematian
b. Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan
banyak darah.
c. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematian
yang berhubungan dengan hipoksia.
d. Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages)
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura visceralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam
terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis. 16
e. Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.

4. Penyumpalan ( CHOKING DAN GAGGING )


Definisi
Sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara masuk ke
paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking
sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring.

11
Gambar 3. Chocking dan gaging

Gambaran Post Mortem Penyumpalan


Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan
luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut ( orofaring atau laringofaring )
ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan
pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari
kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.

5. Tenggelam (Drowning)
Definisi
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas (asfiksia)
disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Istilah tenggelam harus pula
mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan
kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa.
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air.
Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal itu sudah cukup
memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam.

Jenis-Jenis Tenggelam
Jenis-jenis tenggelam antara lain: (buku UI)
1. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam.
12
2. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk kedalam saluran pernapasan, akibat spasme
laring.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air)
dan korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal.
Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

Sebab Kematian
Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan diantaranya oleh:
1. Vagal Reflex
Peristiwa tenggelam yang mengakibatkan kematian karena vagal reflex disebut
tenggelam tipe I.
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post-mortem tidak ditemukan
adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga sering disebut
tenggelam kering (dry drowning).
2. Spasme Laring
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi.
Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada
pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya
tidak didapati adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini juga disebut
tenggelam tipe I.

Pemeriksaan Post Mortem


Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar
mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam
keadaan membusuk.
Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah:
1. Menentukan identitas korban
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:
o Pakaian dan benda-benda milik korban
o Warna dan distribusi rambut dan identitas lain
13
o Kelainana atau deformitas dan jaringan parut
o Sidik jari
o Pemeriksaan gigi
o Teknik identifikasi lain
2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam
Pada mayat masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup atau sudah
meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil pemeriksaan :
a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih hidup waktu
tenggelam adalah pemeriksaan diatom
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar elektrolit
magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai
membusuk. Demikian juga dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara
fisika dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban tenggelam mepunyai
nilai bermakna.
e. Pada beberapa kasus ditemukannya kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan tipe drowning
dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau kekerasan lain.
4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian
Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian misanya kekerasan, obat-obatan,
alkohol dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam saluran nafas,
maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat membantu
menentukan apakah korban tenggelam ditempat itu atau tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian
Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk ke air,
maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke
dalam saluran pernafasan. Pada immersion, kematian terjadi dengan cepat, hal
ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu
14
cairan melalui saluran nafas bagian atas. Beberapa korban yang terjun dengan
kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke
hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang
keracunan alkohol.
Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung berarti kematian terjadi
seketika akibat spasme glottis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.
Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari keadaan
sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan yang bersangkutan,
keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran
pernapasan.

Gambaran Post Mortem Kasus Tenggelam


Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-
benda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam dalam
air.
b. Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah.
c. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang pendarahan atau perbendungan.
Cutis anserina
d. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh terutama pada ekstremitas
akibat kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya
air. Gambaran kutis anserina kadangkala dapat juga akibat rigor mortis pada
otot tersebut.

Kutis anserina
e. Washer womans hand dimana telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan biasanya
membutuhkan waktu lama.

15
f. Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban
berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja seperti rumput atau
benda-benda lain dalam air.

Cadaveric spame
g. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan pada
benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur dasar waktu
terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post mortal akibat benda-benda atau
binatang dalam air.
Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran
pernafasan.
b. Paru-paru mebesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama terjadi
pada kasus tenggelam di laut.
c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum interalveolar.
Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat
robeknya penyekat alveoli (Polsin).
d. Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan merupakan
tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh usaha respirasi.
e. Dapat juga ditemukan paru-paru yang normal karena cairan tidak masuk ke
dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah 9melalui proses
imbibisi), ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
f. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan
g. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan mungkin juga terdapat
dalam usus halus.

16
6. Crush asphyxia (Traumatik asfiksia)
Crush Asphyxia disebabkan oleh karena dada dan perut mendapat tekanan secara
bersamaan oleh suatu kekuatan yang menyebabkan dada terfiksasi sehingga diafragma tidak
dapat bergerak. Hal tersebut kemudian menimbulkan gangguan gerak pernapasan sehingga
udara yang masuk ke dalam atau keluar paru terhambat, misalnya tertimbun pasir, tanah
longsor, runtuhan tembok, pohon yang tumbang atau tebing yang runtuh.
Crush Asphyxia juga dapat terjadi karena berdesak-desakan keluar dari suatu ruangan
melalui pintu yang sempit. Akibat tekanan tersebut maka akan terjadi kompresi pada dada
dan perut sehingga diafragma dalam keadaan terfiksir. Akibatnya gerakan pernapasan tidak
mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Asfiksia traumatik tidak pernah terjadi
pada kasus bunuh diri, dan paling sering terjadi pada kecelakaan. Asfiksia traumatik dapat
juga terjadi pada kasus pembunuhan, sebagai contoh adalah kasus burking yang merupakan
kombinasi pembekapan dan tekanan dari luar pada dada. Pada burking korban dibuat tidak
berdaya, kemudian dilentangkan, diduduki atai berlutut di dada korban dengan satu tangan
menutup lubang hidung dan mulut korban, tangan lain menekan rahang bawah korban ke arah
atas. Korban cepat mati dengan cara ini dan meninggalkan tanda kekerasan yang minimal
atau kadang tidak ada.
Pada pemeriksaan post mortem akan terlihat adanya tanda-tanda umum asfiksia; seperti
misalnya cyanosis, bintik-bintik perdarahan pada bagian atas dari tubuh, edema serta
pembengkakan pada bola mata dan kongesti pada tubuh sebelah atas akibat darah terdorong
ke atas oleh kompresi pada abdomen. Jika benda yang menekan itu sangat berat maka besar
kemunginan kematiannya bukan karena asfiksia, tetapi karena sebab lain; seperti misalnya
perdarahan karena hancurnya organ dalam.

17
BAB III

3.1. Kesimpulan

Asfiksia merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan
karbon dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi
kematian.

Asfiksia mekanik merupakan mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning).

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase,
yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul
sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase
dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalanhan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-
tanda asfiksia akan lebih jelas.

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata
berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
konvulsi.

Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan
sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih
gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit
kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan
dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring
terutama yang berhubungan dengan kekerasan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
2. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
3. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., SagungSeto., Jakarta: 2008.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
2007.
5. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus
Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai