OLEH :
AGUSTINA JUHARDIANA
FARADHIBA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya.
Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam
diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi,
bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang
dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as bisa merasakan kelonggaran syariat
berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu
keturunan. Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam
menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif
dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan
syariat Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik
manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syariat) yang bisa diterima oleh
semua kalangan.
1.3 Tujuan
- Agar dapat mengetahui dan paham akan tujuan ditetapkannya syariat islam.
- Agar dapat mengetahui dan paham akan fungsi syariat islam dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat
dipisahkan. Imam al-Ghazaliyang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga
kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian
dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: Hal ini
(maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum
yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih). (Al-
Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: Bahwa Shariat hadir
untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan. (Majmu Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap
menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan
kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta
menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan
(prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat
(Maqashid al-Syariah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah
seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip)
maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan. (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: Adapun nas yang secara transmisi dan makna qathiy tidak
mungkin bertabrakan dengan maslahah qathiyah. Karena sesama qathiyyat tidak mungkin
berlaku kontradiksi . Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani
mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat
sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari
ini telah ditepis oleh banyak penulis. Said Ramadan al-Buti menjelaskan bahwa salah satu
unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya
hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan
kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip
keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syariah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat,
menyatakan: Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas
dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak
sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya:
bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu
wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan
penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah
wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil. (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin
Abdul Hamid, 2:209)[8]
Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-
syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri.
Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap
syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep
ampunan dari ahli waris konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong
tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri
karena keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan
adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina, dan ini teramat sulit dipenuhi.
Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan
pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan
hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu
alam bil-shawab.[9]
Tujuan dari syariah adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan kehidupan kita. Paling tidak ada 8
tujuan .
1. Memelihara Kemaslahatan Agama (hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak
merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih
agama, seperti ayat Al-Quran: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).. QS. Al-
Baqarah:256.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah Ku. QS Adz-
Dzariyaat : 56.
Selain itu, manusia juga sebagai khalifah di muka bumi, maka ia memiliki tugas untuk
melaksanakan amanat Allah sesuai dengan firmanNya :
Sesungguhnya telah kami amanatkan kepada langit, bumi, gunung-gunung namun mereka
enggan untuk memikulnya, maka manusia menyanggupi untuk memikulnya amanat tersebut
tetapi mereka berbuat aniaya dan berbuat bodoh. QS. Al-Ahzab : 33.
Oleh sebab itu maka supaya manusia menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi
maka Allah telah menurunkan syariat Islam yang berguna untuk mengantarkan manusia guna
mendapat ridhoNya supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki sesuai dengan ayat Al-Quran
tersebut di atas. Adapun ringkasnya fungsi tersebut di atas adalah untuk membuat kehidupan
yang marufat (kebaikan) serta mewujudkan keadilan sesuai dengan firmanNya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. QS. An-Nahl : 90.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-syariat-islam.html#.UJSpO2M0_qA
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-
tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin21.05 01/ november 2012
http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html01 november
2012
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-
tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin. 21.05 / 01 November 2012
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-
syariah/#ixzz2BXl2KqoQ 20.40 / 8 november 2012