Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis yang bersifat tahan asam, sebagian besar (80%)
menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif,
berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikopida serta lilin
(wax) yang sulit ditembus zat kimia (Dipiro et al., 2008).
Pada tahun 2011 kasus TBC meledak dari 8,3-9 juta jiwa. Kasus terbanyak di
Asia (59%), Afrika (26%), Mediterania (7,7%), Eropa (4,3%) dan Amerika (3%).
Dilihat dari gambar dibawah yang merupakan data penyebaran TBC bulan Juli 2012,
Indonesia terdapat urutan ke- 6.

(WHO, 2012)
Sejak tahun 1995, pemerintah mulai mengadopsi program penanggulangan
TBC nasional yaitu strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
direkomendasi oleh WHO. Strategi dalam penanggulangan ini telah terbukti
memberikan suatu hasil yang baik, dapat dilihat di Tabel 1.1 dibawah ini.

1
Tabel 1.1 diatas memperlihatkan estimasi prevalensi, insidens, dan mortalitas
TB di Indonesia yang dinyatakan dalam 100.000 penduduk tahun 1990 dan 2011
berdasarkan hasil perhitungan WHO dalam WHO Report 2011 Global Tuberculosis
Control. Angka insidens tahun 2011 sebesar 189 per 100.000 penduduk mengalami
penurunan dibanding tahun 1990 (343 per 100.000 penduduk), angka prevalensi
berhasil diturunkan hampir setengahnya pada tahun 2011 (423 per 100.000
penduduk) dibandingkan dengan tahun 1990 (289 per 100.000 penduduk). Sama
halnya dengan angka mortalitas yang berhasil diturunkan lebih dari separuhnya pada
tahun 2011 (27 per 100.000 penduduk) dibandingkan tahun 1990 (51 per 100.000
penduduk) (Anonim, 2012).
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait
seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan anggota
keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll.
Sedangkan masalah perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan,
batuk sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak
seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara lain menyangkut
ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu pelayanan kesehatan.
Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah adalah adanya resistensi dari
kuman yang disebabkan oleh obat (multidrug resistent organism) (Anonim, 2002).

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. A. Etiologi dan Patogenesis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis, yang umumnya menyerang paru dan sebagian kecil
organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus yakni tahan asam dan
pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga
disebut sebagai Basil Tahan asam (BTA). Bakteri ini cepat mati jika terkena langsung
dengan matahari tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB
timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbnyak diri di dalam sel fagosit
(Thomason dan Warren, 2005).

B. Penyebaran dan Penularan


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif .Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam.Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam
saluran pernafasan.Setelah masuk ke dalam tubuh, bakteri tersebut dapat menyebar
dari paru-paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

3
C. Patofisiologi
Proses awal terjadi TB diakibatkan adanya infeksi primer yang dinisiasi oleh
implantasi organisme di alveolar melalui droplet yang sangat kecil untuk menghindari
sel epithelial siliari dari saluran pernapasan atas. Bila terimplantasi mikobakterium
tuberculosis melalui saluran nafas mikroorganisme akan membelah diri dan dicerna
oleh makrofag pulmoner, dimana pembelahan diri ini akan terus berlangsung.
Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus limpe dapat
terjadi yang akan menghasilkan pembentukan radio dense area menjadi kompleks
Ghon. Makrofag yang teraktivasi dalam jumlah besar akan mengelilingi daerah yang
ditumbuhi Mycobacterium tuberculosis dimana makrofag ini akan membentuk
granuloma yang mengandung organisme sebagai bagian dari imunitas yang di
mediasi oleh sel (Yulinah Elin., et al, 2009).
Proses menghambat pertumbuhan mycobacterium tuberculosis membutuhkan
aktivasi dari limfosit CD4 yang dikenal sebagai sel TH1 yang dapat mengaktivasi
makrofag melalui sekresi dari inerferon . Sekitar 90% pasien yang pernah menderita
penyakit primer tidak memiliki manifestasi klinis lain selain uji kulit yang positif.
Sekitar 5% (biasanya anak-anak, orang tua, atau penurunan sistem imun) mengalami

4
penyakit primer yang berkembang pada daerah infeksi primer (lobus paling bawah)
dan lebih sering dengan inseminasi yang menyebabkan terjadinya infeksi meningitis
dan biasanya juga melibatkan lobus paru paling atas. Sekitar 10% dari pasien
mengalami reaktivasi, terjadi penyebaran organisme melalui darah. Penyebaran
melalui darah ini menyebabkan pertumbuhan cepat, penyebaran penyakit secara luas
dan pembentukan granuloma yang disebut tuberculosis miliary (Yulinah Elin., et al,
2009).

D. Gejala

Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan


berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk
darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun,rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam, walaupun tanpa kegiatan,demam meriang lebih
dari sebulan (WHO, 2004).
Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum, meliputi :
1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak
naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
2. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atauinfeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
3. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering didaerah
leher, ketiak dan lipatan paha.
4. Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari, tanda cairan di dada
dan nyeri dada.
Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam
abdomen. Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya :

5
1. TB kulit atau skrofuloderma
2. TB tulang dan sendi, meliputi :
a. Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
b. Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul
c. Tulang lutut: pincang dan atau bengkak
3. TB otak dan saraf
Meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun.
4. Gejala mata
a. Conjunctivitis phlyctenularis
b. Tuburkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
Seorang anak juga patut dicurigai menderita TB apabila:
1. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam 3-7hari)
(WHO, 2004).

6
Alur Deteksi dan Rujukan TBC Anak (Konsensus Nasional TBC Anak)

7
E. Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik
Suara khas pada pertusi dada, bunyi dada dan peningkatan suara yang bergetar
lebih sering diamati pada auskulasi (Mangunnegoro H dan Suryatenggara W, 1993).

2. Diagnosis TB Paru
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan
3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada
hari kedua.
P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan di lab pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis
TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA) (Mangunnegoro H dan Suryatenggara W, 1993).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang

8
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan
radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (WHO,2004).

3. Uji Tuberkulin (Mantoux)


Uji ini dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan dengan cara intra kutan).
Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB
aktif pada anak. Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan
anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif, dan lain-lain).
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian
atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
a. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada
infeksi Mycobacterium tuberculosis.
b. Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca
vaksinasi BCG.
c. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
4. Reaksi Cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberkulosa (Mangunnegoro H dan Suryatenggara W, 1993).

5. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi


Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lansung pada anak biasanya dilakukan
dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan serologis
seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih

9
lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Mangunnegoro dan Suryatenggara,
1993).

6. Foto Roentgen Dada


Gambar rontgen TBC Paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto
pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto roentgen
yang dicurigai TBC adalah :
a. Millier
b. Atelektasis/kolaps konsolidasi
c. Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
d. Konsolidasi (lobus)
e. Reaksi pleura dan atau efusi pleura
f. Klasifikasi
g. Bronchiectasis
h. Kavitas
i. Destroyed lung
Bila ada diskongruensi antara gambaran klinis dan gambaran roentgen, harus
dicurigai TBC. Foto roentgen dada sebaiknya dilakukan PA (Posterior-Anterior) dan
lateral, tetapi jika tidak mungkin PA saja. Umumnya diagnosis TBC Paru dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, namun pada kondisi
tertentu perlu dilakukan pemeriksaan roentgen (Mangunnegoro dan Suryatenggara,
1993).
Gambaran non-spesifik yang ditemukan pada foto roentgen dada pada seorang
penderita yang diduga infeksi paru lain dan tidak menunjukkan perbaikan pada
pengobatan dengan antibiotik, ada kemungkinan penyebabnya adalah TBC
(Mangunnegoro dan Suryatenggara, 1993).

10
F. Klasifikasi Penyakit
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak
termasuk pleura (Selaput Paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru
dibagi dalam:
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif
a. Sekurang-kurang 2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif
b. 1 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menujukkan gambar tuberkulosis aktif.
2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA Negatif
Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk
berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan
gambar kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced atau millier)
dan atau keadaan umum penderita buruk.
3. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar lymfe, tulang
persendian, kulit , usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain TBC
ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :
a. TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar Limphe, Pleuritis eksudativa unilateral tulang
(kecuali tulang belakang), sendi , dan kelenjar adrenal.
b. TBC Ekstra Paru Berat
Misal meningtis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex,
TBC tulang belakang, TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.
4. Tuberkulosis Organ Tersendiri
Tuberkulosis organ tersendiri merupakan penyakit ekstra pulmonal yang
disebabkan oleh penananam hematogen dari sistem organ tertentu, terutama

11
sistem saraf pusat, perikardium, saluran genitourinarius, lomfonodi perifer.
Tidak jarang suatu masa laten tanpa gejala (selama bertahun-tahun) menyertai
penanaman sistem organ ekstrapulmonal secara hematogen (David S., 1987).
a. Meningitis Tuberkulosis
Penyakit ini terjadi akibat pecahnya tuberkel ke dalam ruang
subaraknoid, dengan terjadinya meningitis granulomatosa pada dasar otak.
Demam ringan, nyeri kepala dan status mental berubah pada penderita dengan
bukti klinik tuberkulosis terutama lesi milier pada rontgen dada memberikan
kesan meningitis tuberkulosa (David S., 1987).
b. Perikarditis tuberkulosa
Penyakit ini terjadi akibat pecahnya lomfonodi berkeju pada hilus atau
mediastinum ke dalam ruangan perikardium. Efusi perikardium dapat atau
dapat disertai gejala infeksi (demam, nyeri perikardial). Organisasi fibrosa
dari efusi dapat menuju ke konstriksi perikardium dan gagal jantung (David
S., 1987).
c. Tuberkulosisi ginjal
Penyakit ini menggambarkan perluasan fokus infeksi korteks ke
medula, dimana lingkungan hipertonik menghambat imunitas selular. Bentuk
Tuberkulosis ini khusus mempunyai periode laten yang lama, umumnya lebih
dari 5 tahun. Basilurian tuberkulosis menimbulkan sistitis, dan gejala-gejala
serta tanda-tanda saluran kensing lokal, sering termasuk disuria dengan
hematuria dan piuria. Jaringan parut tuberkulosis ginjal kronik dapat
menimbulkan uropati obstruktif (David S., 1987).
d. Limfadenitis tuberkulosis
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah
bening. Sementara limfadenitis TBC atau TBC kelenjar getah bening
termasuk penyakit TBC di luar paru (Tb extra paru). Penyakit ini disebabkan
mikobakterium tuberkolosis. Hal ini, kemungkinan bermula dari kebiasaan

12
menyantap susu segar tanpa dimasak lebih dulu, atau mengkonsumsi sayuran
mentah (David S., 1987).
Kebanyakan terjadi pada individu sehat yang lain, limfadenitis
tuberkulosis pada mulanya tampak sebagai pembesaran cepat, limfonodi
keras, yang kemudian mengalami nekrosis perkejuan dapat melunak dan
menjadi keriput dan membentuk fistula yang mengalir (David S., 1987).
e. Tuberkulosis tulang
Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan
destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara
hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru.
Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca
primer. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak. Area predileksi yang
utama adalah tulang belakang, pinggul, lutut, kaki, siku, tangan, dan bahu.
Rahang bawah (mandibula) dan sendi temperomandibular adalah daerah yang
paling sedikit kejadiannya. Frekuensi tuberculosis tulang yang paling tinggi
adalah pada tulang belakang, biasanya di daerah vertebra torakal atau vertebra
lumbal, dan jarang terdapat di darah vertebra servikalis (David S., 1987).
Pada trthritis Tuberkulosa berlangsung lambat, kronik dan biasanya
hanya mengenai 1 sendi, keluhan biasanya ringan dan makin lama makin
berat disertai perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris, penurunan
berat badan. Keluhan yang lebih berat seperti panas tinggi, malaise, keringat
malam, anoreksia biasanya bersamaan dengan tuberculosis milier. Di Negara
berkembang diagnosis tuberkulosis tulang dan sendi dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan klinik dan radiologic (David S., 1987).
f. Tuberkulosis Payudara
TB payudara adalah suatu penyakit non-neoplasma. Jarang ditemukan
tetapi kadang-kadang sukar dibedakan dengan kanker payudara terutama pada
pemeriksaan frozen section, potong beku yang dilakukan pada saat operasi.

13
Bila hasilnya keganasan akan dilanjutkan dengan mastektomi radikal dan bila
tidak luka operasi ditutup (David S., 1987).
G. Faktor Resiko
1. Orang dari negara yang prevalensi TB tinggi, lebih besar dari 40/100.000
penduduk, dinyatakan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI).
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
2. Alkoholik dan pengguna obat dengan sediaan injeksi
3. Faktor resiko medis yaitu terapi dengan kortikosteroid jangka panjang
4. Faktor lain yaitu konsentrasi percikan di udara, lamanya menghirup udara,
daya tahan tubuh
5. Risiko tertular tergantung dari tingkat paparan dengan percikan dahak.
6. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
7. Tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif Pekerjaan kesehatan
yang merawat Pasien TB. Pasien-pasien dengan dahak yang positif pada
hapusan langsung (TB tampak di bawah mikroskop) jauh lebih menular,
karena mereka memproduksi lebih banyak TB dibandingkan dengan mereka
yang hanya positif positif pada pembiakan. Makin dekat seseorang berada
dengan pasien, makin banyak dosis TB yang mungkin akan dihirupnya.
8. Gizi Buruk , terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk
mengurangi daya tahan terhadap penyakit ini. Faktor ini sangat penting pada
masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak. Kompleks
kemiskinan seluruhnya ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi
penyakit. Namun anak dengan status gizi yang baik tampaknya mampu
mencegah penyebaran penyakit tersebut di dalam paru itu sendiri.
9. Orang Berusia Lanjut atau Bayi Pengidap Infeksi HIV/AIDS. Pengaruh
infeksi HIV/AIDS mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh,
sehingga jika terjadi infeksi seperti tuberculosis maka yang bersangkutan akan

14
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC akan meningkat,
dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula
(Zubaidi, Y., 1995).

H. Penanganan Non Farmakologi


Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor
resiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan
lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya
matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk,
menghindari meludah sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan
yang bergizi yang baik dan seimbang (WHO, 2003).
Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah penyuluhan.
Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perlaku
masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB. Pencegahan TB bisa
dilakukan dengan cara pemberian vaksinasi BCG pada bayi. Selain itu, olahraga dan
istirahat yang cukup dapat mencegah faktor resiko terjadinya penyakit TB (WHO,
2003).
I. Penanganan Secara Farmakologi
Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar
tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah:
1. Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi
2. Menghilangkan atau megurangi faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
penularan
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara,
yang utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup serta dipakai
dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Terapi atau pengobatan TB
dimaksudkan untuk:

15
1. Menyembuhkan penderita sampai sembuh
2. Mencegah kematian
3. Mencegah kekambuhan
4. Menurunkan tingkat penularan (WHO, 2003).
Prinsip Pengobatan
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah:
1. menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan
dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah
timbulnya kekebalan terhadap OAT.
2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukian dengan pengawasan langsung oleh seorang pengawas penelan obat.
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan
(WHO, 2003).
Tahap Intensif
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tesebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan (WHO, 2003).
Tahap Lanjutan
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai obat yang
digunakan tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang

16
digunakan tidak adekuat, bakteri TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung Directly Observed Treatment (DOT) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

2HRZE/4H3R3
Katergori 1 2HRZE/4HR
2HRZE/6HE
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 2
2HRZES/HRZE/5HRE
2HRZ/4H3R3
Kategori 3 2HRZ/4HR
2HRZ/6HE

a. Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )


Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita baru TBC Paru BTA Positif
2. Penderita TBC Paru BTA negatif rontgen positif
3. Penderita TBC Ekstra Paru berat
Obat yang diberikan adalah :
1. Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE ).
2. Tahap lanjutan terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3 ).

17
Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 1
Bobot Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
(tiap hari selama 56 hari) (3 x seminggu selama 16 minggu)
RHZE(150/75/400/275) RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

b. Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )


Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita kambuh (relaps)
2. Penderita Gagal ( failure)
3. Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)
Obat yang diberikan adalah :
1. Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H) , Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari.
2. Tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam
seminggu.

18
Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 2
Tahap Intensif (tiap hari) Tahap Lanjutan
Bobot Badan RHZE(150/75/400/275) + S (3 x seminggu)
RH (150/150) + E (275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Strep inj. + 2 tab Etambutol
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Strep inj. + 3 tab Etambutol
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Strep + 4 tab Etambutol
inj
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Strep + 5 tab Etambutol
inj

c. Kategori 3 (2HRZ / 4H3R3)


Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
2. Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis
eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan
kelenjar aderenal.
Obat yang diberikan adalah :
1. Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
2. Tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu
(4H3R3).
Dosis untuk Panduan OAT untuk Kategori 3
Bobot Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
(tiap hari selama 60 hari) (3 x seminggu selama 18 minggu)
RHZ(450/300/500) RH (450/300)
30 50 kg 1 tablet RH + 3 tablet Z 1 tablet R dan 2 Tablet H

19
d. OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari
selama 1 bulan.
Dosis untuk Panduan OAT Sisipan
Bobot Badan Tahap Intensif (tiap hari selama 30 hari)
RHZE(450/300/500/250)
30 50 kg 1 tablet RH + 3 tablet ZE

Pengobatan TB pada Anak


Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa,
tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian:
1. Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap
hari.
2. Dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak.
Susunan panduan obat TB anak adalah 2HRZ/4HR. Tahap intensif terdiri
dari isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan
setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Dosis untuk Panduan Anak-anak
Berat Badan Jenis Obat
Isoniasid Rifampisin Pirasinamid
< 10 kg 50 mg 75 mg 150 mg
10 20 kg 100 mg 150 mg 300 mg
20 - 33 kg 200 mg 300 mg 600 mg
Sumber : WHO, 2003

20
J. Perhatian Khusus Untuk Pengobatan
1. Wanita hamil
Prinsipnya pengobatan TBC pada wanita hamil tidak berbeda dengan
pengobatan TBC pada umumnya Semua Jenis OAT aman untuk wanita hamil
kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada wanita hamil karena
bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini akan
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkannya. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil
bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran
dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya terhindar dari
kemungkinan penularan TBC (Krueger KP, et al., 2005).
2. Ibu menyusui dan bayinya
Prinsipnya pengobatan TBC pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui seorang
ibu menyusui yang menderita TBC harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TBC kepada bayinya ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus menyusui, pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya. Namun dari beberapa pendapat, ibu
sebaiknya tidak menyusui atau mengurangi menyusui agar mempercepat
penyembuhan ibu tersebut (menyusui mengurangi nutrisi ibu, sedangkan nutrisi
sangat dibutuhkan untuk sistem imunitas) (Krueger KP, et al., 2005).
3. Wanita Penderita TBC pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal ( pil KB. Sntikan
KB, Susuk KB ), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang wanita penderita TBC seyogyanya menggunakan kontrasepsi non
hormonal atau kontrasepsi yang mengandyng estrogen dosis tinggi ( 50 mcg)
(Krueger KP, et al., 2005).

21
4. Penderita TBC dengan infeksi HIV/AIDS
Prosedur pengobatan TBC pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah
sama seperti penderita TBC lainnya.. Obat TBC pada penderita HIV/AIDS sama
efektifnya (Krueger KP, et al., 2005).
5. Penderita TBC dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada penderita TBC dengan hepatitis akut dan atau Klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan karena
sebagian besar OAT bersifat hepatotoksik (terutama INH dan Rifampisin). Pada
keadaan dimana pengobatan TBC sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin
(S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hapatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan (Krueger KP,
et al., 2005).
6. Penderita TBC dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati. Dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan TBC kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
OAT harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat
diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita dengan kelainan hati, Pirasinamid
(Z) tidak boleh digunakan Paduan obat yang dapat dianjurkan adalah 2 RHRS/
6RH atau 2 HES/10 HE (Krueger KP, et al., 2005).
7. Penderita TBC dengan gangguan ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawasenyawa yang tidak toksik OAT jenis
ini dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-penderita dengan
gangguan ginjal streptomisin dan etambutol diekskresi melalui ginjal. Oleh karena
itu hindari penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Paduan OAT
yang paling aman untuk penderita dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR.
Apabila sangat diperlukan, etambutol dan streptomisin tetap dapat diberikan dosis
yang sesuai faal ginjal dengan pengawasan fungsi ginjal (Krueger KP, et al.,
2005).

22
8. Penderita TBC dengan Diabetes Melitus
Diabetesnya harus dikontrol, perlu diperhatikan bahwa penggunaan
rifampisin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonilurea)
sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan Etambutol,
karena mempunyai komplikasi terhadap mata (Krueger KP, et al., 2005).
9. Penderita penderita TBC yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadan khusus yang membahayakan
jiwa penderita seperti :
1) Meningitis
2) TBC miller dengan atau tanpa gejala-gejala meningitis
3) TBC Pleuritis eksidativa
4) TBC Perikarditis konstrikiva
Prednison diberikan dengan dosis 30 40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap 5-10 mg. Lama pemberian disesusikan dengan jenis
penyakit dan kemajuan pengobatan (Krueger KP, et al., 2005).

K. Pencegahan Penularan TB
Bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberculosis. Adapun usaha
yang dapat dilakukan adalah :
1. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan melakukan imunisasi BCG (Bacilli
Calmette Guerini) pada bayi dan mengkonsumsi nutrisi bergizi dan sehat. Vaksin
BCG merupakan biakan hidup pilihan yang dilemahkan dari basil calmette
gurein mycobacterium tuberculosis. Diberikan pada bayi sebelum berusia 2
bulan. Vaksin ini memberikan mekanisme imunisasi aktif dimana pemberian
vaksin akan merangsang pembentukan antibodi tubuh secara alamiah terhadap
bakteri penyebab TBC.
2. Memelihara kebersihan lingkungan dan membangun rumah dengan konstruksi
yang sehat seperti pengaturan udara yang baik dengan ventilasi, cukup terkena

23
sinar matahari, dll. Terutama apabila ada anggota keluarga ataupun tetangga
yang terinfeksi TBC.
3. Tidak melakukan kontak yang terlalu dekat dan terlalu lama dengan penderita.
4. Membiasakan diri untuk tidak meludah sembarangan.
5. Apabila anggota keluarga terserang TBC, maka lakukan :
a. Sterilisasi dahak, seprai, sarung bantal, dsb, dengan cara :
1) Sinar matahari langsung membunuh bakteri TBC dalam waktu 5 menit.
Menjemur di udara dan dibawah sinar matahari semua bahan-bahan
seperti selimut, wol, katun dan sebagainya. Merupakan metode yang baik
dan sederhana, terutama di daerah tropis.
2) Sodium Hipoklorit (1%) melarutkan dahak dan membunuh bakteri TBC
dengan cepat, tetapi harus digunakan di wadah gelas. Tambahkan
hipoklorit dua kali volume dahak (bakteri TBC dapat bertahan selama
beberapa jam dalam fenol 5%).
3) Panas : bakteri TBC dimusnahkan dalam waktu 20 menit pada suhu 60C
dan dalam 5 menit pada suhu 70C. Tisu harus dibakar selekas mungkin
sesudah digunakan.
b. Memberikan pengarahan pada penderita agar tidak meludah sembarangan
dan menutup mulut apabila batuk.
c. Melakukan pemeriksaan kesehatan bagi semua anggota keluarga penderita
dan diberikan INH untuk pencegahan terutama pada individu yang rentan
(anak-anak) (Anonim, 2002).

L. Terapi Dan Pengobatan


1. Strategi Pemberantasan TBC
Pemerintah melakukan penanggulangan dengan strategi DOTS dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi
DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost-effective.
Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas 5 komponen, yaitu :

24
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas menelan obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TBC (Anonim, 2002).
2. Pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Pengobatan penderita dengan menggunakan OAT memiliki beberapa
tujuan yaitu :
a. Menyembuhkan penderita
b. Mencegah kematian
c. Mencegah kekambuhan
d. Menurunkan tingkat penularan
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk
kuman persisten) dapat dibunuh. Prinsip dasar dalam pemberian OAT yang harus
diperhatikan adalah :
1. Resistensi terhadap OAT
2. Populasi bakteri
3. Persisten
4. Compliance
5. Mekanisme kerja obat-obatan
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai obat yang
digunakan tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang
digunakan tidak adekuat, bakteri TBC akan berkembang menjadi kuman kebal
obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung Directly Observed Treatment

25
(DOT) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Adapun obat obat yang
digunakan dalam pengobatan TBC adalah sebagai berikut:
a. Obat pilihan pertama (first line drug)
1) Isoniazid (INH)
2) Rifampisin
3) Etambutol
4) Streptomisin
5) Pirazinamid
b. Obat pilihan kedua :
1) Etionamid
2) Para amino salisilat
3) Sikloresin
4) Kanamisin (WHO, 2003)
Peningkatan prevalensi bakeri patogen yang resisten saat ini semakin
banyak, terutama karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional baik oleh
petugas kesehatan maupun penderita sendiri. Hal ini menyebabkan beberapa orang
telah mulai diidentifikasi resisten terhadap obat antituberkulosis yang ada.
Memang belum banyak dilakukan penelitian tentang resisensi ini, namun telah
terjadi di beberapa Negara, termasuk di Indonesia. Temuan tentang resistensi
terhadap INH dan Rifampisin, yang cukup tinggi seperti yang dilaporkan WHO,
menuntut penggunaan obat anti tuberkulosis generasi kedua ( Second lines anti-
tuberculosis drugs)

26
Karena jarang dipakai, maka obat ini tidak diuraikan lengkap seperti obat
generasi pertama (WHO, 2003).
3. Obat-obat tersendiri
a. Isoniazid
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat menumbuhkan 90 %
populasi kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu bakteri yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB sedangkan untuk
pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
Mekanisme kerja isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat,
komponen terpenting pada dinding sel bakteri (Lacy CF, et al., 2009).
b. Rifampisin
Bersifat bakterisid, dapat membunuh bakteri semi-dormant (persisten) yang
tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. Mekanisme kerja

27
rifampisin menghambat aktivitas polymerase RNA yang tergantung DNA pada
sel-sel yang rentan terhadap isoniazid (Lacy CF, et al., 2009).
c. Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog pirazin dari nikotinamid yang bersifat
bakteriostatik atau bakteris terhadap mycobacterium tuberculosis tergantung pada
dosis pemberiannya. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
Mekanisme kerja belum diketahui (Lacy CF, et al., 2009).
d. Etambutol
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/hari BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg BB. Mekanisme kerja etambutol menghambat sintesis minimal 1 metabolit
yang menyebabakan kerusakan pada metabolisme sel, menghambat multiplikasi
dan menyebabkan kematian sel pada bakteri (Lacy CF, et al., 2009).
e. Streptomisin
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk
berumur 60 tahun keatas diberikan 0,50 mg/hari. Mekanisme kerja sterptomisin
membunuh bakteri dengan mempengaruhi sintesa protein (Lacy CF, et al., 2009).

J. Masalah Terapi Obat


Dengan berkembangnya kebutuhan akan keamanan pemakaian obat, timbul
pergeseran paradigma pelayanan Farmasi yang telah berkembang sejak tahun 90an
di Amerika Serikat yang kini telah diikuti oleh banyak Negara di dunia, termasuk
Asia. Paradigma tadi adalah pelayanan farmasi yang dulu berorientasi kepada
produk bergeser menjadi berorientasi kepada penderita. Konsep ini dinamakan
Pharmaceutical Care. Dalam praktek, konsep ini ditandai diantaranya oleh :
1. Apoteker terlibat langsung dalam pelayanan Farmasi

28
2. Fokus kepada Penderita, bukan hanya kepada produknya
3. Ada interaksi langsung antara Apoteker dengan Penderita
4. Apoteker memastikan bahwa terapi obat sesuai indikasi, efektif, aman.
5. Apoteker memperhatikan peningkatan kualitas hidup penderita
6. Apoteker berupaya dan memperhatikan outcome yang pasti dari terapi
7. Semua proses harus terdokumentasi
8. Mengidentifikasi, mencegah dan memonitor masalah terapi obat (DTP= Drug
Therapy Problems)
Dalam mengimplementasikan konsep Pharmaceutical Care, Apoteker
mempunyai tanggung jawab sebagai berikut :
1. Memastikan bahwa terapi obat penderita sesuai indikasi, paling efektif, paling
aman, dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan
2. Mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah masalah terapi obat yang akan
mengganggu .
3. Memastikan bahwa tujuan terapi penderita tercapai dan hasil yang optimal
terealisasi.
Masalah terapi obat adalah hal-hal berikut ini :
1. Indikasi yan tidak tepat
a. Membutuhkan tambahan terapi obat
b. Tidak memerlukan terapi obat
2. Terapi obat yang tidak efektif
a. Minum obat yang salah
b. Minum obat dengan dosis terlalu kecil
3. Terapi obat tidak aman
4. Minum obat dengan dosis terlalu besar
5. Mengalami adverse drug reaction: alergi, idiosinkrasi, toksisitas, interaksi obat,
makanan
6. Tidak taat minum obat (Krueger KP, et al., 2005)

29
N. Interaksi Obat
Salah satu masalah terapi obat OAT yang cukup penting adalah interaksi
obat. Interaksi obat dengan OAT dapat menyebabkan perubahan konsentrasi dari
obat-obat yang diminum bersamaan dengan OAT tersebut. Hal tersebut dapat
menyebabkan toksisitas atau berkurangnya efikasi dari obat tersebut. Secara relatif
hanya sedikit interaksi yang mempengaruhi konsentrasi OAT. Rifampisin adalah
suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,
mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh
isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama
pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan.
Obat-obatan yang berinteraksi diantaranya protease inhibitor, antibiotika
makrolid, levotiroksin , noretindron, warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil,
diltiazem, digoxin, teofilin, nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam,
triazolam dan beberapa obat lainnya. Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk
cytochrome P-450 isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A.
Pemakaian Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan
meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.
Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh
oleh isoniazid. Efek rifampisin lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek
keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya
konsentrasi dari obat-obatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin (Hansten
PD dan Hom JR, 2002).

30
O. Efek Samping Obat TBC
1. Efek samping ringan

2.Efek samping berat

(Anonim, 2002)

31
Apoteker mempunyai banyak kesempatan berperan dalam pemberantasan
TB. Peran tersebut adalah mengedukasi penderita tentang :
1. Pentingnya adherence, motivasi agar penderita patuh, efek samping, perilaku
hidup sehat dll
2. Peran dalam mendeteksi penderita TB
3. Peran dalam memantau adherence penderita, adanya efek samping , adanya
interaksi dengan obat lain.
4. Peran secara keseluruhan, apoteker harus berperan secara aktif mencegah
terjadinya resistensi, kekambuhan, kematian (Nichols G dan Poirier S., et al,
2000).

P. Terminologi Medik
1. Adekuat : memenuhi persyaratan
2. Adherence : keterlibatan penuh pasien dalam penyembuhan dirinya baik
melalui kepatuhan atas instruksi yang diberikan untuk terapi, maupun dalam
ketaatan melaksanakan anjuran lain dalam mendukung terapi.
3. Alveolar : sebuah sel di paru-paru yang menelan bakteri dan benda asing dan
menghasilkan enzim untuk melindungi paru-paru
4. Ateletaksis : pengkerutan paru-paru
5. Bakteriostatik : istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu zat yang
menghentikan pertumbuhan bakteri
6. BCG : vaksin untuk tuberkulosis yang dibuat dari baksil tuberkulosis
(Mycobacterium bovis) yang dilemahkan dengan dikulturkan di medium buatan
selama bertahun-tahun.
7. Bronkiektasi : penyakit saluran napas kronik denga karakteristik dilatasi
abnormal yang permanen disertai rusaknya dinding bronkus.
8. Conjunctivitis phlyctenularis : kemerahan dan peradangan dari selaput-
selaput conjuctiva yang menutupi putih-putih dari mata-mata pada bagian
dalam dari kelopak mata.

32
9. Destroyed lung : gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru
10. Destruktif : kerusakan yang diakibatkan oleh banyak faktor.
11. Disuria : buang air kecil sulit atau menyakitkan
12. Eksudatif : akumulasi cairan akibat proses inflamasi di dalam rongga serosa
ditandai perubahan permeabilitas membran pada permukaan pleura
13. Granuloma : histopatologi yang mengacu pada koleksi kecil sel-sel makrofag
yang terbentuk ketika sistem imun mencoba untuk menyekat zat-zat.
14. Hematogen : adalah infeksi yang menyebar melalui aliran darah dan menempel
di mata
15. Hematuria : kehadiran sel-sel darah merah (eritrosit) dalam urin. Ini mungkin
idiopatik dan / atau jinak, atau dapat menjadi tanda bahwa ada batu ginjal atau
tumor dalam saluran kemih (ginjal, ureter, kandung kemih, prostat, dan uretra),
mulai dari yang sepele hingga yang mematikan.
16. Hepatotoksik : kelainan pada hepar yang disebabkan oleh obat.
17. Hilus : permulaan terbentuknya butir tepung sedangkan lamella adalah garis-
garis halus yang mengelilingi hilus.
18. Hipertonik : suatu larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi (tekanan
osmotik yang lebih tinggi) dari pada yang lain sehingga air bergerak ke luar sel.
19. Hormonal : pembawa pesan kimiawi antar sel atau antarkelompok sel.
20. Imunitas : penurunan kerentanan terhadap penyakit tertentu.
21. Imunosupresif : faktor yang menekan/mendepresi respon pertahanan tubuh.
22. Infiltrat : gambaran akibat adanya dahak (mucus) diparu-paru.
23. Inisiasi : masuk atau permulaan,
24. Intermitten : kondisi medis yang ditandai dengan rasa gatal atau nyeri kram
pada tungkai ketika berjalan
25. Kolaps : kekambuhan
26. Kombipak : kemasan obat anti TB berisi satu paket pengobatan untuk intensif
dan tahap lanjutan.

33
27. Kompleks Ghon : Lesi primer paru dinamakan fokus ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi prime
28. Konsolidasi : peradangan yang diakibatkan karena cairam masuk kedalam
rongga alveoli paru.
29. Kontrasepsi : usahausaha untuk mencegah terjadinya kehamilan.
30. Laten : infeksi yang tidak aktif di dalam tubuh untuk beberapa bulan atau tahun
tetapi dapat muncul kembali
31. Makrofag : sel fagosit besar seri mononuklear yang ditemukan dalam jaringan
32. Malnutrisi : kekurangan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan kebutuhan energi tubuh.
33. Mastektomi : operasi pengangkatan payudara.
34. Mediasi : memicu terjadinya suatu reaksi
35. Multidrug : kemampuan organisme penyebab-penyakit untuk bertahan atas
obat atau bahan kimia yang dibuat untuk melawan organisme
36. Nekrosis : kematian sel
37. Ototoksik : gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena
efek samping dari konsumsi obat-obatan.
38. Overdiagnosis : pemeriksaan berlebih.
39. Patogenesis : menggambarkan asal-usul dan perkembangan penyakit dan
apakah akut, kronis atau berulang
40. Persisten : menetap
41. Piuria : kehadiran nanah dalam urin, biasanya merupakan indikasi infeksi
ginjal atau infeksi saluran kemih.
42. Resisten : perlawanan yang terjadi ketika bakteri, virus dan parasit lainnya
secara bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat yang sebelumnya
membunuh mereka.
43. Rontgen : penunjang dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit
44. Spesimen : sebagian atau kuantitas bahan untuk digunakan dalam pengujian,
pemeriksaan, atau belajar

34
45. Superfisialis : vena yang terletak dekat dengan permukaan kulit dan tidak
terletak dekat dengan arteri yang sesuai.
46. Toksik : zat yang bila dapat memasuki tubuh dalam keadaan cukup dan secara
konsisten dapat menyebabkan fungsi tubuh menjadi tidak normal.
47. Tuberkulosis Miliari : jenis tuberculosis yang bervariasi dari infeksi kronis,
progresif lambat sehingga penyakit fulminan akut, ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa terinfeksi kedalam
aliran darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip benih
padi.
48. Uropati : sebuah kondisi di mana penyumbatan pada saluran kemih tidak
memungkinkan urin untuk mengalir dengan baik
49. Vaksin : bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh
infeksi oleh organisme.

Q. Studi Kasus
Nona EP umur 17 tahun mengeluhkan batuk berdahak sejak 5 bulan, lemas,
pusing, sesak, keringat di malam hari dan demam sejak 1 bulan. Dilihat dari data
laboratorium yang menunjang yaitu TD menurun, nadinya cepat, WBC meningkat,
dan SGOT meningkat. Dilakukan pemeriksaan sputum ternyata hasilnya BTA
positif, dan dilakukan foto rontgen yang menunjukkan TB millier. Dari hasil
pemeriksaan dokter menyimpulkan bahwa pasien menderita penyakit TB millier.
Pembahasan kasus
1. Subjektif
Batuk sejak 5 bulan, lemas, pusing, sesak, keringat dimalam hari dan demam
sejak 1 bulan.
2. Objektif
TD menurun, nadinya cepat, WBC meningkat, dan SGOT meningkat. BTA (+),
Rontgen TB millier.

35
3. Pembahasan
Dilihat dari riwayat pasien yaitu mengalami batuk berdahak selama 5 bulan
dan setelah dilakukan pengecekan sputum, ternyata hasilnya BTA positif dan
dilakukan rontgen yang hasilnya menunjukkan TB milliar. Tuberkulosis miliar
terjadi akibat penyebaran kuman M. tuberkulosis secara akut dan masif melalui
aliran darah sistemik (Syamsuri W dan Aarsyad Z., 1998). Hal ini ditunjukkan
WBC dan SGOT meningkat karena adanya infeksi. Pasien juga mengalami demam
selama 1 bulan, nadi cepat dan tekanan darah menurun menunjukkan tanda-tanda
SIRS. Umumnya hal ini terjadi pada penderita-penderita yang memiliki
kemampuan pertahanan tubuh yang tidak adekuat dalam menghadapi infeksi
kuman M. Tuberkulsosis (Over RA., 1994).
Secara keseluruhan, sekitar 80% penderita TB milier memperlihatkan
gambaran foto thorak milier, yaitu berupa nodul-nodul kecil dan halus dengan
diameter < 2 mm yang tersebar merata di kedua lapangan paru. Namun demikian,
karena nodul-nodul yang terjadi terlalu kecil untuk di lihat, kadang-kadang kesan
foto torak seperti normal (Depkes, 2006).
4. Terapi Pengobatan
a. 4 FDC atau 2HRZE/4H3R3 (INH 75 mg, Rifampisin 150 mg, Pirazinamid
400 mg, Etambutol 275 mg)
b. Sistenol (3x1 kaplet) prn
c. Ranitidin (2x150 mg) prn
d. Methylprednisolon 3x8 mg
e. D5NS
5. Terapi non Farmakologi
a. Bed Rest
b. Menjaga sanitasi lingkungan
c. Menjaga kebersihan makanan
d. Ketika batuk hendaknya ditutup dengan tisu atau sapu tangan
e. Dilarang meludah sembarangan

36
f. Mengikuti penyuluhan tentang TBC
6. Peran Apoteker
Apoteker mempunyai banyak kesempatan berperan dalam
pemberantasan TB. Peran tersebut adalah mengedukasi penderita tentang :
a. Pentingnya adherence, motivasi agar penderita patuh, efek samping, perilaku
hidup sehat.
b. Peran dalam mendeteksi penderita TB
c. Peran dalam memantau adherence penderita, adanya efek samping , adanya
interaksi dengan obat lain.
d. Peran secara keseluruhan, apoteker harus berperan secara aktif mencegah
terjadinya resistensi, kekambuhan, kematian dengan penyuluhan.
e. Melakukan pharmaceutical care secara intensif (Anonim, 2002).

37
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002,Standar Pengawasan Program Bidang Kesehatan Penanggulangan


Tuberkulosis, Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta, 2002, hal 6-16.
Anonim, 2012, Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberculosis di Indonesia,
Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
David S., , Tuberculosis of Bones and Joints, A Text Book of Radiology and
Imaging, Ed. 4 Vol.1, London, 1987 : 253-257.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Cetakan kedelapan. Jakarta, 2002.
Depkes RI, 2006,Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan
Pertama, Departemen kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th Edition. The McGraw-
Hill Companies, Inc. : United States.
Hansten PD, Horn JR, Managing Clinically Important Drug Interactions. St.Louis:
Facts and Comparisons aWolters Kluwer Company; 2002: 2-474
Krueger KP, Felkey BG, Berger BA. The Pharmacists Role in Treatment Adherence.
US Pharmacist 2005; 5:62-66
Lacy CF, Amstrong LL, Goldman NP, Lanco LL. 2009. Drug Information Handbook
18th Edition. USA: Lexi-Comp, Inc.
Mangunnegoro Hardiarto, Suryatenggara Wibowo. Pedoman Praktis dan Penata
Pelaksanaan Tuberkulosis Paru. Jakarta : IDI, 1993.
Nichols G, Poirier S. Optimizing Adherence to Pharmaceutical Care Plans. J Am
Pharm Assoc. 2000; 40(4): 475-485
Syamsuri, Wizhar & Aarsyad, Zulkarnain, 1998,Tuberkolosis Millier, Majalah
Kedokteran Andalas, Padang
Thomason AR, Warren EI. Tuberculosis: A Clinical Rreview. US Pharmacist.2005; 7:
Hs-14-HS-22
WHO, 2003, Treatment of Tuberculosis Guidelines for National Programmes, Third
edition, World Health Organization, Geneva, page 47-52.
WHO, 2004, Tuberculosis Indonesia Facts, TB Program Progress Report.
WHO, 2012, Global Tuberculosis Report, WHO Library Cataloguing-in-Publication
Data.

38
Yulinah, Elin., Retnosari Andrajadi., Joseph IS., I Ketut., AA prayitno., dan
Kusnandar., 2009, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, Hal 918-
919.
Zubaidi Yusuf, Tuberkulostatik dan Leprostatik, dalam Farmakologi dan Terapi,
edisi 4, Sulistia G. Ganiswarna, bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hal 597-610.

39

Anda mungkin juga menyukai