Anda di halaman 1dari 59

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kebijakan Publik


2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh


Pemerintah untuk menata kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Melalui
kebijakan publik, Pemerintah memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur
masyarakat dengan segala ketentuan hukum yang berlaku. Banyaknya persoalan
pokok yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tidak terlepas oleh adanya
kebijakan publik, dimana persoalan-persoalan tersebut terjadi sedemikian
kompleks sehingga memerlukan perhatian dan penanganan oleh Pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya kebijakan publik sangat mempengaruhi
proses kehidupan masyarakat di suatu Negara. Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah tentunya dapat dinilai berhasil dan tidak berhasil
oleh sebagian besar masyarakat. Pada dasarnya lingkup kebijakan publik
sangatlah luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang pembangunan. Di
samping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional,
regional, maupun lokal, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Keputusan
Bupati/Walikota

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981:1).(dalam Subarsono,


2015:02) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do).
Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak
dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi
kebijakan publik oleh Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa (1)
kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta;
(2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak

1
2

dilakukan oleh badan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat


program baru atau tetap pada status quo.

Nugroho (2009:11) (dalam Eko Handoyo, 2013:06-07) mengartikan


kebijakan publik sebagai salah satu komponen negara yang tidak boleh diabaikan.
Negara tanpa komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan
bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang bekerja
seperti tiran, dengan tujuan untuk memuaskan kentingan diri atau kelompok saja.
Kebijakan publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara (governance),
mengatur interaksi antara negara dengan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul
adalah sejauh mana signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara.
Setiap pemegang kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan dengan
menjadikannya lebih bernilai. Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara,
tidak hanya mengendalikn arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola negara
agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan kebijakan publik.

Rusli (2013:9) mendefinisikaan kebijakan publik sebagai alat untuk


mencapai tujuan publik, bukan tujuan orang perorang atau golongan dan
kelompok. Meskipun sebagai alat (tool) keberadaan kebijakan publik sangat
penting dan sekaligus krusial. Kebijakan publik dianggap penting karena
keberadaannya sangat menentukan tercapainya sebuah tujuan, meskipun masih
ada sejumlah prasyarat atau tahapan lain yang harus dipenuhi sebelum sampai
pada tujuan yang dikehendaki. Krusial karena sebuah kebijakan yang termuat
diatas kertas telah dibuat melalui proses yang baik dan isinya juga berkualitas,
namun tidak secara otomatis dapat dilaksanakan kemudian mampu mendapatkan
hasil yang sesuai dan selaras dengan apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Juga krusial karena sebuah kebijakan bisa seringkali terjadi diperlakukan seolah
lebih penting atau sejajar dengan tujuan yang hendak dicapai.

Definisi lain mengenai kebijakan publik yang dipaparkan oleh James


Anderson (dalam Budi Winarno, 2013:21) bahwa menurutnya, kebijakan
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
3

aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Menurut Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunayai beberapa
implikasi, yakni Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan
publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara
serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan
sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang
terlibat dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan
yang dilakukan oleh Pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan
tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan Pemerintah
dalam mengatur Negaranya. Keempat, kebijakan publik memiliki sifat yang
memaksa, hal ini berarti kebijakan publik menuntut ketaan yang luas dari
masyarakat.

Jelas bahwa Kebijakan Publik adalah suatu proses atau tahapan yang
dilakukan pemerintah dalam bertindak sesuai dengan kebijakan yang telah
disusun secara legal untuk menghadapi persoalan dan permasalahan yang ada di
lingkungan masyarakat. Pada dasarnya kebijakan publik merupakan hubungan
antara Negara, Pemerintah, serta masyarakat. Kebijakan publik sangat erat
kaitannya dengan peraturan yang disusun oleh Pemerintah sebagai aktor pembuat
kebijakan, kebijakan tidak terlepas dari Bagaimana kinerja Pemerintah.
Pemerintah berkewajiban dalam menangani segala persoalan yang terjadi pada
kehidupan masyarakatnya. Masyarakat sendiri merupakan pihak yang dianggap
penting dari proses berjalannya suatu kebijakan publik. Suatu proses kebijakan
dapat terlaksana jika ada dukungan dari masyarakat untuk menyetujui dan
mengendaki munculnya kebijakan publik yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah.
Namun sebaliknya, kebijakan publik tidak dapat terlaksana jika masyarakat
menolak adanya kebijakan tersebut atau bisa dikatakan masyarakat tidak
menghendaki adanya proses kebijakan yang telah diatur oleh aktor-aktor pembuat
kebijakan.

2.1.2 Tahap-Tahap Perumusan Kebijakan Publik


4

Munculnya kebijakan publik tidak terlepas dari adanya tahap-tahap


perumusan kebijakan yang dirancang oleh para pembuat kebijakan. Aktor-aktor
dalam perumusan kebijakan merupakan siapa saja yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan. Siapa saja aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik akan
menentukan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan.
Sementara itu, aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat
dibedakan menjadi aktor-aktor resmi dan aktor-aktor tidak resmi. Aktor-aktor
resmi meliputi: Presiden (eksekutif), legislatif, yudikatif, dan agen-agen
pemerintah (birokrasi). Mereka dikatakan resmi karena mempunyai kekuasaan
yang secara sah diakui oleh Konsitusi dan mengikat. Sebaliknya, aktor-aktor yang
lain dikatakan tidak resmi karena tidak mempunya wewenang yang sah, seperti
misalnya partai-partai politik, warga negara, induvidu dan kelompok-kelompok
kepentinga. (Budi Winarno 2013:145).

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan merupakan ciri khusus


dari munculnya kebijakan publik. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan David Easton dalam Budi
Winarno (2013:23) bahwa penguasa dalam suatu sistem politik, yaitu para
sesepuh tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif,
administrator, penasihat, raja dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini
merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sitem
politik, diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik, mempunyai tanggung
jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang
diterima secara mengikat dalam waktu panjang oleh sebagian terbesar anggota
sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang
diharapkan.Para pembuat kebijakan memiliki wewenang dalam menyusun
kebijakan dan bertindak sesuai dengan kebijakan tersebut. Tindakan tersebut
dapat mencakup persetujuan, pengubahan, atau bahkan penolakan kebijakan yang
telah diputuskan. Pada dasarnya kebijakan publik dapat diterima secara sah sesuai
dengan standar yang berlaku, sehingga oleh masyarakat keputusan yang dibuat
dianggap memiliki sifat yang mengikat pada seluruh komponen yang
5

bersangkutan. Ada empat tahap dalam merumuskan kebijakan publik yang


disampaikan oleh Budi Winarno (2013:123-125), empat tahap perumusan
kebijakan tersebut diantaranya;

1. Tahap Pertama: Perumusan Masalah (Defening Problem).


Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-
masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan
publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam
masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh
kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat di
lingkungan masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik. Apakah
pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada
ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Winarno (2007)
(dalam Eko Handoyo, 2013:31) mengklarifikasikan masalah publik dalam
tiga bentuk, yaitu masalah distributif, masalah regulasi, dan masalah
redistributif.

Masalah distributif mencakupi sejumlah kecil orang yang dapat


ditangani satu persatu. Masalah regulasi mendorong timbulnya tuntutan yang
diajukan dalam rangka membatasi tindakan pihak lain. Masalah regulasi ini
berkaitan dengan peraturan yang bertujuan untuk membatasi tindakan
tertentu. Masalah redistributif menyangkut masalah yang menghendaki
perubahan sumber-sumber untuk kelompok atau kelas dalam masyarakat.
James Anderson (1979:23-24) (dalam Subarsono, 2015:12)
mengklarisikasikan formulasi masalah diantaranya; Apa masalahnya? Apa
yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah
tersebut dapat masuk ke dalam agenda pemerintah?

2. Tahap Kedua: Agenda Kebijakan.


Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tesebut
mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan
6

penanganan yang harus segera dilakukan? Masalah publik yang telah masuk
ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh perumus kebijakan. Widodo
(2007) (dalam Eko Handoyo, 2013:34-37) dengan mengutip pendapat
Anderson menyebutkan lima langkah dalam penyusunan agenda, yaitu (1)
private problems, masalah yang mempunyai akibat yang terbatas,atau hanya
menyangkut satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung. (2)
publik problems, masalah-masalah yang mempunyai akibat lebih luas
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-orang yang secara tidak
langsung terlibat. (3) issues, ruang lingkup dan kemungkinan dukungan
terhadap masalah publik. (4) systemic agenda, isu dirasakan oleh semua
warga masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu
tersebut berada dalam yurisdiksi kewenangan pemerintah dan (5) institusional
agenda, serangkaian isu yang secara tegas membutuhkan pertimbangan yang
aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritatif.

3. Tahap Ketiga: Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah.


Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para
perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam
agenda kebijakan, maka langkah selanjunya adalah membuat pemecahan
masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-
alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah
tersebut. Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada
pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan
kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan
didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang
berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

4. Tahap Keempat: Tahap Penetapan Kebijakan.


Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil
sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap yang paling
akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan-kebijakan
yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
7

Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari


berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan
tersebut. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang,
yurisprudensi, keputusan presiden; keputusan-keputusan menteri dan lain
sebagainya.

Sedangkan tahap kebijakan publik lainnya yang dikemukakan oleh Ripley


(dalam Subarsono, 2015:11-12), bahwa perumusan kebijakan publik terdiri dari 4
tahapan, diantaranya:

1. Penyusunan Agenda;
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan
yakni; (1) membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena
benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh
sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian
masyarakat dianggapp yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai
masalah; (2) membuat batasan masalah; dan (3) memobilisasi dukungan agar
batasan masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi
dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok
yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui
media masa dan sebagainya. Menurut Michael Howlet dan M. Ramesh (dalam
Subarsono, 2015:13) apa yang dimaksud dengan penyusunan agenda (agenda
setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapatkan perhatian dari
pemerintah.

2. Formulasi dan Legitimasi Kebijakan;


Menurut Howlet dan Ramesh (dalam Subarsono, 2015:13), formulasi
kebijakan merupakan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh
pemerintah. Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analisis kebijakan
perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan
masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif
8

kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negosiasi sehingga sampai pada


sebuah kebijakan yang dipilih.

3. Implementasi Kebijakan;
Pada tahap ini perlu dukungan sumberdaya, dan penyusunan organisasi
pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme intensif
dan sanksi agar implementasi suatu kebijakan mampu berjalan dengan baik.
Implementasi kebijakan sendiriri menurut James Anderson (dalam
Subarsono,2015:13) merupakan Siapa yang terlibat dalam implementasi
kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? dan Apa dampak dari isi kebijakan?
Sedangkan Howlet dan Ramesh (dalam Subarsono, 2015:13) menyatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil.

4. Evaluasi Terhadap Implementasi, Kinerja, dan Dampak Kebijakan;


Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, dan
proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak
kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang lebih
baik. Howlet dan Ramesh (dalam Subarsono, 2015:14) mendefinisikan evaluasi
kebijakan sebgai proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja
kebijakan. Apa yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan oleh James Anderson
(dalam Subarsono, 2015:13) merupakan Bagaimana tingkat keberhasilan atau
dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi
dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan
atau pembatalan?

2.1.3 Analisis Kebijakan Publik

Kebijakan publik pada umumnya mencakup tahap-tahap perumusan


masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Sementara
itu, analisis kebijakan berhubungan dengan penyelidikan dan deskripsi sebab-
sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik. Budi Winarno (2013:34)
9

menjelaskan bahwa ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis
kebijakan publik, yakni: Pertama, fokus utamanya adalah mengenai penjelasan
kebijakan publik bukan mengenai anjuran kebijakan yang pantas. Kedua,
sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan publik
diselidiki dengan teliti dan dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ketiga,
analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat
diandalkan tentang kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya, sehingga
dapat diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang-bidang kebijakan yang
berbeda.

Dunn (2003) (dalam Eko Handoyo, 2013:61) menjelaskan bahwa analisis


kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya
bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif. Oleh karena itu, agar analisis
kebijakan dapat menghasilkan informasi dan argumen yang masuk akal, maka
analisis harus dapat menyawab tiga pertanyaan. Pertama, nilai yang
pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah masalah telah
teratasi. Kedua, fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai. Ketiga, tindakan yang dapat menghasilkan pencapaian
nilai-nilai. Dalam menghasilkan informasi dan argumen yang masuk akal
mengenai tiga macam pertanyaan di atas, seorang analisis dapat memakai satu
atau lebih dari tiga pendekatan analisis, yaitu empiris, valitif, dan normatif.
Dengan demikian, analisis kebijakan dapat bersifat ilmiah dan relevan bagi
masalah-masalah politik dan sosial sekarang ini.

Selanjutnya untuk mengetahui efektivitas kebijakan dapat pula dijelaskan


dari segi prosesnya, maksudnya keberhasilan suatu kebijakan ditentukan atau
dipengaruhi pula oleh proses kebijakan itu sendiri. Adapun proses kebijakan
dimaksudkan sebagai rangkaian kegiatan di dalam menyiapkan, menentukan,
melaksanakan dan mengendalikan suatu kebijakan. Jones (1984: 27-28 dalam
Tachjan. 2006:20), mengemukakan sebelas aktivitas yang dilakukan oleh
pemerintah dalam kaitan-nya dengan proses kebijakan yaitu:
Perception/definition, Aggregation, Organization, Representation, Agenda
10

Setting, Formulation, Legitimation, Budgeting, Implementation, Evaluation,


and Adjusment/Termination.

Pada garis besarnya siklus kebijakan tersebut terdiri dari tiga kegiatan
pokok, yaitu : (1) perumusan kebijakan, (2) implementasi kebijakan, dan (3)
pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan (Mustopadidjaja, 1988
: 25 dalam Tachjan,2006:21). Jadi dilihat dari prosesnya, efektivitas kebijakan
publik akan ditentukan/dipengaruhi oleh pertama, proses perumusan
kebijakannya; kedua oleh proses implementasinya atau pelaksanaannya; dan
ketiga, oleh proses evaluasinya. Ketiga tahapan kebijakan tersebut mempunyai
hubungan kausal dan siklikal.Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan
analisis kebijakan dengan maksud untuk memperoleh informasi sebagai bahan
dalam pembuatan kebijakan. Analisis implementasi kebijakan dimaksudkan
untuk memperoleh informasi mengenai sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan
kebijakan publik melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

Tabel 1.1

Tahap Analisis Kebijakan Publik

Tahap Karakteristik

1. Perumusan Masalah. Memberikan informasi mengenai


kondisi-kondisi yang menimbulkan
masalah.
11

2. Forecasting (Peramalan). Memberikan informasi mengenai


konsekuensi di masa mendatang dari
diterapkannya alternatif kebijakan,
termasuk apabila tidak membuat
kebijakan.

3. Rekomendasi Kebijakan. Memberikan informasi mengenai


manfaat bersih dari setiap alternatif, dan
merekomendasikan alternatif kebijakan
yang dapat memberikan manfaat bersih
paling tinggi.

4. Monitoring Kebijakan. Memberikan informasi mengenai


konsekuensi sekarang dan masa lalu
dari diterapkannya alternatif kebijakan
termasuk kendala-kendalanya.

5. Evaluasi Kebijakan. Memberikan informasi mengenai


kinerja atau hasil dari suatu kebijakan.

Sumber: Analisis Kebijakan Publik, AG. Subarsono.

2.2 Implementasi Kebijakan Publik


2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan publik tidak akan pernah terlepas dari adanya proses


implementasi kebijakan, implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses
perumusan suatu kebijakan yang apabila keberhasilan suatu kebijakan dapat
ditentukandengan bagaimana pelaksana dapat mengimplementasikan
kebijakannya dengan baik di lapangan. Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah
penetapan undang-undang. Selain itu, implementasi mempunyai makna
pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor,organisasi,prosedur dan
12

teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya guna


meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.

Pada dasarnya implementasi kebijakan merupakan fenomena yang


kompleks karena dipahami sebagai suatu proses, keluaran, dan kemudian
menghasilkan suatu dampak. Bukan jaminan bahwa suatu kebijakan yang telah
dibuat dapat berhasil dalam implementasinya, ada banyak variabel yang dapat
berpengaruh terhadap keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Implementasi
dari suatu program tentunya melibatkan upaya-upaya yang dilakukan oleh
pembuat kebijakan untuk mempengaruhi perilaku pelaksana agar bersedia
memberikan pelayanan dan mengatur perilaku suatu kelompok
sasaran.Keberhasilan suatu proses implementasi bukan sekedar ditunjukkan oleh
banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses
implementasi yang dipengaruhi oleh beberapa variabel, masing-masing variabel
saling berinteraksi satu sama lain. Untuk dapat lebih memahami implementasi
kebijakan, maka ada beberapa teori tentang implementasi kebijakan
yangdikemukanoleh beberapa ahli, diantaranyaadalahsebagaiberikut:

Implementasi dapat dipahami sebagai suatu proses, keluaran


(output),maupun sebagai suatu dampak (outcome). Implementasi
dikonseptualisasikan sebagai suatu proses,atau serangkaian keputusan
dan tindakan yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima
oleh lembaga legislatif bisa dijalankan (Budi Winarno 2013:147).

Ripley dan Franklin dalam buku Kebijakan Publik yang ditulis oleh Budi
Winarno (2013:148) juga berpendapat bahwa, implementasi adalah apa yang
terjadi setelahundang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas
programkebijakan,keuntungan(benefit),atau suatu jenis keluaran yang nyata
(tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang
mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang
diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-
tindakan oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk
13

membuat program berjalan. Lebih jauh menurut mereka, implementasi kebijakan


mencakup banyak macam kegiatan;

Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang


dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber
yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi
personil, peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan di atas semuanya
adalah uang. Kedua, badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran
dasar menjadi arah-arahan konkret, regulasi, serta rencana-rencana dan desain
program. Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-
kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk
mengatasi beban kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan
atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka
juga memberikan pelayanan atau pembayaran atau batas-batasan tentang kegiatan
atau apapun lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud keluaran yang nyata dari
suatu program. Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan salah satu
tahap dari sebuah proses kebijakan publik, karena implementasi dianggap penting
dan berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program kebijakan.

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan publik akan lebih mudah dipahami apabila


menggunakan suatu model atau kerangka pemikiran tertentu. Suatu model akan
memberikan gambaran kepada kita secara bulat lengkap mengenai sesuatu objek,
situasi, atau proses. Komponen-komponen apa saja yang terdapat pada objek,
situasi, atau proses tersebut. Bagaimana korelasi-korelasi antara komponen-
komponen itu satu dengan yang lainnya.Komponen-komponen model sistem
implementasi kebijakan publik, terdiri atas : (1) program (kebijakan) yang
dilaksanakan; (2) targetgroups, yaitu kelompok masyarakatyang menjadi sasaran,
dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau
peningkatan; (3) unsur pelaksana (implementor), baik organisasi atau perorangan,
yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan dari
14

proses implementasi tersebut; dan (4) faktor lingkungan (fisik, sosial, budaya dan
politik).Model implementasi kebijakan publik itu tidak hanya satu, ada berbagai
macam sesuai dengan kerangka berfikir pembuat model tersebut (Tachjan,
2006:37)

Terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai


implementasi kebijakan, diantaranya:

1. Teori Van Meter dan Van Horn


Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno, 2013:149) membatasi
implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu
atau kelompok, pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya.
Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn (dalam Eko
Handoyo, 2013:105) mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan
secara linier dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik.
Beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan publik yaitu: aktivitas
implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik agen pelaksana,
kondisi ekonomi, sosial dan politik serta kecenderungan pelaksana.
Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2015:99), ada lima
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni; (1) standar dan sasaran
kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan
politik.
a. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi
multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen
implementasi.

b. Sumberdaya.
15

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya


manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human
resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah.

c. Hubungan antar organisasi.


Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan
koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan
kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

d. Karakteristik agen pelaksana.


Yang dimaksud dengan karakteristik agen pelaksana adalah mencakup
birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam
birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu
program.

e. Kondisi sosial, politik, ekonomi.


Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-
kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
karakteristik partisipan yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat
opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.

f. Disposisi implementor.
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respon
implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap
kebijakan; (c) intensitas disposisi implementator, yakni prefrensi nilai yang
dimiliki oleh implementor.

2. Teori Marilee S. Grindle


Grindle (dalam Budi Winarno, 2013:149) memberikan pandangannya,
bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan
(linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan
16

sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas
implementasi mencakup terbentuknya a policy delivery system, dimana
sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada
tujuan-tujuan yang diinginkan. Menurut Grindle (dalam Subarsono, 2015:93)
keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi
kebijakan (conten of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation. Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana
kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi
kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) sejauh
mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak
sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementornya secara rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh
sumberdaya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan
mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan,kepentingan, dan strategi yang
dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2)
karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan
dan responsivitas kelompok sasaran.

3. Teori Mazmaniar dan Sabatier


Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2011:94) ada
tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi,
yakni karakteristik dari masalah (tracbility of the problems),karakteristik
kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation), dan
variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). Eko
Handoyo (2013:106) menjelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh Mazmaniar dan Sabatier terdiri dari tiga variabel di
dalamnya, yaitu;
a. Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan,
berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan,
keragaman objek, dan perubahan yang dikehendaki.
17

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk


menstruktur proses implementasi dengan indikator kejelaasan dan
konsistensi tujuan, digunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber
dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan
pelaksana dari lembaga pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar,
serta variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan
teknologi, dukungan publik, sikap konstituen, dukungan pejabat yang
lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat
pelaksana.
c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan
lima tahapan, yakni pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana,
kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan
akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat
mendasar.

Mulyono (2008) menjelaskan peran penting dari analisis implementasi


kebijakan negara dari model implementasi Mazmaniar dan Sabatier ialah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel
tersebut dapat diklarifikasikan menjadi 3 katagori, yaitu:

a. Mudah tidaknya masalah dikendalikan, hal ini mencakup; kesukaran-


kesukaran teknis, keragaman perilaku yang akan di atur,
prosentaseTotalitaspenduduk yang tercakupdalamkelompoksasaran,
Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki.
b. Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi, terdiri dari;
kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan
dicapai, keterandalan teori kausalitas yang dipergunakan,
ketepatanalokasi-sumber-sumberdana, keterpaduan hierarki didalam
lingkungan dan diantara lembaga-lembaga/instansi pelaksana, aturan-
18

aturan pembuatan keputusan dari badan-badan pelaksana, kesepakatan


para pejabat terhadap tujuan yang termatup dalam undang-
undang/peraturan, akses formal pihak-pihak luar.
c. Variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi,
mencakup; kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap
dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok sasaran,
kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

4. Teori George C. Edwards


Menurut Edwards (dalam Budi Winarno, 2013:177), studi implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy.
Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara
pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi
masyarakat yang dipengaruhinya. Edward (dalam Eko Handoyo, 2013:112-
123) mengemukakan, ada empat variabel yang berpengaruh dalam proses
implementasi kebijakan, yaitu:

a. Komunikasi.
Berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi
atau publik, ketersediaan sumber daya kebijakan, sikap dan respon dari
pihak yang terlibat dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
Menurut Edward (dalam Subarsono, 2015:90) keberhasilan implementasi
kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus
dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditrasnsmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan
mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh
kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari
kelompok sasaran.
19

b. Sumber daya.
Berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung utamanya sumber
daya manusia. Aspek sumber daya yang terpenting dalam hal ini adalah
kecakapan pelaksana kebijakan yang akan mengimplementasikan
kebijakan secara efektif. Pendapat Edward (dalam Subarsono, 2015:91)
mengenai variabel sumber daya yakni, walaupun isi kebijakan sudah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan
berjalan secara efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya
manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial.
Sumber daya adalah faktor terpenting untuk implementasi kebijakan agar
efektif.

c. Komitmen (disposisi).
Berkenaan dengan ketersediaan dan komitmen dari para implementator
untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Menurut Edward
(dalam Subarsono, 2015:91) disposisi adalah watak dan karakteristik yang
dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat
demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia
akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap
atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka prose
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur birokrasi.
Berkaitan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi pelaksana
implementasi kebijakan publik. Dalam hal ini yang perlu dijaga adalah
bagaimana agar dalam implementasinya tidak terjadi fragmentasi
birokrasi, karena struktur demikian akan menghambat pelaksanaan
kebijakan publik. Menurut pandangan Edward (dalam Subarsono,
2015:92) bahwa struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
20

kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah dengan adanya prosedur operasi yang standar (standard
operating procedures) atau SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor yang bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni
prosedure birokrasi yang rumit dan kompleks. Pada akhirnya akan
menimbulkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Dari beberapa teori mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan


oleh para ahli, maka model Implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
George C. Edward III dipilih karena lebih cocok diterapkan sesuai dengan kajian
penelitian ini. Model implementasi dari Edward III paling sering digunakan pada
konteks analisis implementasi kebijakan.

2.3 Pelaksanaan Kebijakan Pariwisata Melalui Perda Nomor 03 Tahun


2010 Tentang Kepariwisataan.

Peraturan Daerah merupakan salah satu produk perundang-undangan yang


diperuntukan kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
di daerahnya, oleh sebab itu dengan adanya peraturan daerah maka Pemerintah
daerah diberikan otonomi seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus
daerahnya sendiri, terkecuali untuk mengatur urusan Pemerintah Pusat yang
bukan menjadi wewenang bagi Pemerintah Daerah. Dalam menjalankan
otonominya maka Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah.
Adanya peraturan daerah merupakan pemberian wewenang kepada Kepala daerah
baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya sesuai
dengan asas otonomi daerah yang termuat dalam peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan peraturan
daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan
21

Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun


Kabupaten/Kota.

Definisi lain mengenai peraturan daerah menurut Zarkasi (2010:105), Perda


adalah semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah setempat untuk
melaksanakan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya. Zakarsi juga
menjelaskan materi peraturan daerah secara umum memuat antara lain:

1. Hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga daerah dan hal-hal yang
berkaitan dengan organisasi pemerintah daerah.
2. Hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan pembantuan (Mendebewindl dengan
demikian Perda merupakan produk hukum dari pemerintah daerah dalam
rangka melaksanakan otonomi daerah, yaitu melaksanakan hak dan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri
sekaligus juga Perda merupakan legilitas untuk mendukung Pemerintah
Provinsi sebagai daerah otonom).

Faktor terpenting di dalam penyelenggaraan kegiatan kepariwisataan adalah


dengan adanya kepastian hukum yang berlaku. Adanya peraturan hukum tentang
kepariwisataan sangat diperlukan untuk mengatur setiap peristiwa yang berkaitan
dengan aktivitas perjalanan seseorang dalam melakukan wisata maupun semua
komponen yang terlibat di dalam menjalankan kegiatan kepariwisataan itu sendiri.
Hukum kepariwisataan sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan di bidang
kepariwisataan. Istilah kebijakan di dalam bidang Kepariwisataan sebenarnya
selalu dihubungkan dengan hukum Kepariwisataan, atau dalam Bahasa Inggris
dikenal dengan istilah tourism law dan hospitality law.

Menurut Basuki Antariksa (2016:09) Istilah tourism law sendiri merujuk


pada segala macam peraturan perundang-perundang-undangan yang berkaitan
dengan aktivitas perjalanan seseorang, termasuk dibidang angkutan udara, sistem
lisensi, warisan budaya, perlindungan lingkungan hidup, perlindungan konsumen,
persaingan usaha, dan sebagainya. Sementara itu, hospitality law didefinisikan
sebagai segala macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
22

industri yang terlibat dalam penyediaan makanan, fasilitas akomodasi, perjalanan


dan hiburan (entertaiment) bagi wisatawan, sedangkan Pendapat Barth dan Hayes
(2009:7) (dalam Basuki Antariksa 2016) menyebutkan beberapa alasan mengapa
peraturan hukum sangat penting bagi pelaksanaan kegiatan Kepariwisataan:

Pertama: Bagi kalangan usaha jasa pariwisata, pemahaman mengenai hukum


Kepariwisataan dan implementasinya yang memadai dapat membantu
meningkatkan citra positif di hadapan publik dan memperkecil kerugian
materil dan non-materil disebabkan oleh tuntutan hukum yang diajukan
wisaawn yang merasa dirugikan,misalnya karena kehilangan barang
berharga di dalam kamar hotel, mengalami kecelakaan dan meninggal
dunia, serta lain sebagainya.
Kedua: Hukum memberikan jaminan bahwa kepentingan masyarakat lokal
yang tinggal di destinasi pariwisata tidak akan diabaikan. Kepentingan
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tidak menjadi korban eksploitasi;
2. Jaminan akan kestabilan struktur kehidupan sosial masyarakat
(misalnya untuk menghindari konflik antara generasi muda yang
memiliki kompetensi lebih baik daripada golongan senior yang
kurang memiliki keahlian,antara wanita dan pria,dan sebagainya);
3. Jaminan tidak terjadinya dampak negatif pemanfaatan elemen-
elemen kebudayaan secara komersial;
4. Jaminan tidak terjadinya matrealisme dan individualisme yang
berlebihan;
5. Jaminan tidak hilangnya akses terhadap sumber daya alam;
6. Jaminan keamanan dan kenyamanan (misalnya tidak terganggu
atau terusir oleh para pendatang,tidak terjadi peningkatan
prostitusi,penggunaan obat-obatan terlarang dan sebagainya).

Ketiga: Hukum dapat melindungi berbagai kepentingan yang lebih luas yang
bersifat jangka panjang dan mendukung konsep kepariwisataan yang
berbasis prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
23

Perlu dipahami bahwa istilah hukum kepariwisataan merujuk pada


setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan aktivitas
wisata. Oleh karena itu,Undang-Undang Kepariwisataan hanya
merupakan salah satu dari sekumpulan peraturan perundang-undangn
yang mempengaruhi aktivitas wisatawan.

Pada dasarnya Peraturan Daerah merupakan produk hukum yang dibuat


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan
mempertimbangkan segala aspek hukum dan politis. Peraturan daerah sendiri
sangat berpengaruh terhadap kebijakan suatu daerah. Oleh sebab itu, diharapkan
dengan adanya Peraturan Daerah maka kebijakan yang diberlakukan Pemerintah
Daerah kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik tanpa adanya gejolak
maupun ketimpangan yang justru dapat berpengaruh terhadap kemajuan suatu
daerah. Peraturan daerah yang berperan dalam mengatur pelaksanaan kebijakan
pariwisata di Kota Semarang adalah Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2010
tentang Kepariwisataan. Sebagaimana yang dimaksud dalam Perda Nomor 03
Tahun 2010 bahwa kegiatan kepariwisataan daerah merupakan suatu kegiatan
yang memiliki fungsi strategis dan bersifat multidimensional serta melibatkan
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan pariwisata sendiri memiliki fungsi
sebagai penggerak seluruh potensi yang dimiliki oleh daerah dan menjadi pemicu
pengembangan bagi kegiatan lain secara terpadu, khususnya perencanaan kegiatan
pariwisata, pengawasan mutu produk, pembinaan, perizinan dan pengembangan
pariwisata daerah yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Kebijakan pariwisata daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah


Nomor03 Tahun 2010 Tentang Kepariwisataan bertujuan sebagai upaya untuk
mengatur pelaksanaan kegiatan pariwisata dan untuk meningkatkan daya saing
Kota Semarang sebagai pengembangan pariwisata daerah. Dengan dibentuknya
peraturan daerah tersebut, maka kegiatan pariwisata daerah diharapkan mampu
berkembang secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung
jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama dan
budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan
24

hidup.Pelaksanaan kebijakan kepariwisataan daerah Kota Semarang diatur sesuai


dengan prinsip penyelenggaraan Kepariwisataan yang telah tercantum dalam
Peraturan Daerah Pemerintah Kota Semarang Nomor 03 Tahun 2010 tentang
Kepariwisataan pada pasal 5, hal tersebut diantaranya;

a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan


dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan
hubungan antara manusia dan lingkungan.
b. Menjunjung tinggi hak manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.
c. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan
proporsionalitas.
d. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup.
e. Memberdayakan masyarakat setempat.
f. Menjamin keterpaduan antara sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah
yang merupakan satu kesatuan sistematik dalam kerangka otonomi daerah,
serta keterpaduan antar pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan.
g. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional
dalam bidang pariwisata sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
h. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelaksanaan kebijakan pariwisata sesuai dengan Perda nomor 03 Tahun


2010 Tentang Kepariwisataan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kota
Semarang pada dasarnya telah tertuang secara rinci mengenai Hak dan Kewajiban
Pemerintah Daerah dalam mengatur kegiatan pariwisata di wilayah Kota
Semarang. Adapun Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
kebijakan pariwisata daerah diuraikan dalam bab VIII mengenai Hak, Kewajiban
dan Larangaan diantaranya:

Bagian Pertama mengenai Hak Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan


kebijakan pariwisata pada pasal 19 bahwa Pemerintah Daerah berhak:
25

a. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pemerintah Daerah berhak mendapatkan data dan informasi kegiatan usaha
pariwisata yang dilakukan oleh Badan Usaha dan perorangan;

Bagian kedua tentang Kewajiban Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan


kebijakan pariwisata pada pasal 24 bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban:

a. Memberikan pelayanan dan kemudahan atau fasilitas kepada para pengusaha


pariwisata secara optimal;
b. Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, keamanan, dan
keselamatan kepada pengusaha dan wisatawan;
c. Menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata;
d. Memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset-aset daerah yang
menjadi daya tarik wisata, dan aset-aset potensial yang belum tergali.
e. Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka
mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas;
f. Memberikan penghargaan kepada warga masyarakat dan dunia usaha yang
berprestasi sesuai dengan bidangnya;
g. Memberikan perlindungan dan memfasilitasi terhadap pengembangan karya
seni budaya yang merupakan daya tarik wisata;
h. Menyelenggarakan promosi investasi pengembangan pariwisata; dan
i. Menyelenggarakan diseminasi informasi dalam rangka meningkatkan sadar
wisata.

2.4 Pariwisata dan Kepariwisataan


2.4.1 Pengertian Pariwisata dan Kepariwisataan
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan Pariwisata merupakan salah
satu kelompok industri terbesar dan memiliki prospek jangka panjang bagi
kemajuan suatu negara. Kegiatan Pariwisata sendiri tidak terlepas dari adanya
istilah Kepariwisataan. Pemahaman mengenai pariwisata dan kepariwisataan
perlu diperjelas lebih dalam karena kedua istilah tersebut memiliki definisi yang
26

berbeda. Oleh sebab itu berbagai definisi dari muncul untuk menjelaskan arti
dari kedua istilah pariwisata dankepariwisataan. Tentunya istilah
pariwisata dan kepariwisataan bukan hanya diperuntukan bagi induvidu
maupun kelompok yang terlibat langsung dalam penanganan industri pariwisata,
namun penjelasan tersebut dimungkinkan untuk menghindari perbedaan
pemahaman yang terjadi pada masyarakat awam. Berikut adalah beberapa
definisi dari pariwisata dan kepariwisataan.
Definisi pariwisata secara umum merupakan perjalanan yang dilakukan
seseorang untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ke
tempat yang lain dengan meninggalkan tempat semula melalui sebuah
perencanaan dan bukan maksud untuk mencari nafkah ditempat tersebut, namun
semata-mata hanya untuk menikmati kegiatan bertamsya sesuai dengan
keinginan perjalanan yang beraneka ragam. Kemudian definisi lain yang termuat
dalam Undang-Undang Kepariwisataan yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 bahwa Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Sedangkan Kepariwisataan adalah
keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi
serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan
negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama
wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Pariwisata sendiri tidak terlepas dari adanya istilah wisata. Istilah
wisata sendiri merupakan padanan dari kata tour (dalam bahasa Inggris). Secara
etimologi tour berasal dari kata torah (dalam bahasa Ibrani). Berikut adalah
pengertian mengenai wisata dari beberapa sumber yang dirangkum dalam
Hand Out-Perusahaan Perjalanan Wisata (Sebuah Pengantar) yang ditulis
oleh Mengku Mahendri dosen STEPARI Semarang Tahun 2009 :
1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
27

wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (UU No.10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan.)
2. Wisata merupakan bentuk perjalanan yang direncanakan dan disusun oleh
perusahaan perjalanan dengan waktu seefektif mungkin dengan
menggunakan fasilitas-fasilitas pendukung wisata lain, guna membuat
peserta tour merasa senang dan puas. (Kesrul)
3. Wisata adalah perjalanan dan persinggahan yang dilakukan oleh manusia
diluar tempat tinggalnya untuk berbagai maksud dan tujuan, tetapi bukan
untuk tinggal menetap atau melakukan pekerjaan di tempat tersebut untuk
mendapatkan upah. (Kodhyat)
4. Wisata merupakan sebuah perjalanan yang dilakukan seseorang, yang dalam
perjalanannya singgah sementara di beberapa tempat dan akhirnya kembali
lagi ke tempat asal ia mulai melakukan perjalanannya. (Hornby As)

Sebenarnya di dunia Barat istilah pariwisata dan kepariwisataan


hanya dikenal dengan satu istilah saja yaitu tourism. Tourism sendiri
didefiniskan oleh Richard R Goeldner dan J.R Brent Ritchie (dalam Basuki
Antariksa 2016:16) sebagai: the processes, activities, and autocomes arising
from the relationship and the interactions among tourists, tourism suppliers,
host government, host communities, and surrounding environments that are
involved in the attracting and hosting of visitors. Bahwa tourism diartikan
sebagai proses, aktivitas dan segala hasil yang muncul dari hubungan antar
pemangku kepentingan dibidang pariwisata, termasuk wisatawan itu sendiri.
Dengan demikian, kepariwisataan dikatakan meliputi berbagai aspek kehidupan
manusia jika ada kaitannya dengan aktivitas perpindahan mereka dari satu
tempat ke tempat lain kemudian fenomena ini dapat menjadi peluang untuk
berbagai aktivitas ekonomi selama kegiatan tersebut berkaitan dengan industri
pariwisata.

2.4.2 Komponen Pendukung Kegiatan Kepariwisataan


Aktivitas kepariwisataan tidak akan pernah berjalan jika tidak adanya
orang yang melakukan perjalanan keluar dari lingkungan tempat tinggalnya yang
28

biasanya untuk sementara waktu mengunjungi tempat lain yaitu dengan adanya
wisatawan. Industri pariwisata memiliki karakteristik yang unik karena dilihat
bukan berdasarkan dari produk pariwisata itu sendiri, melainkan adanya
konsumen atau biasa disebut dengan wisatawan. Wisatawan merupakan orang
yang melakukan perjalanan pariwisata. Ada dua kategori wisatawan,yaitu
wisatawan luar negeri dan wisatawan dalam negeri. Tidak hanya dengan adanya
wisatawan, dalam melakukan perjalanan wisata, wisatawan sendiri memerlukan
berbagai kebutuhan mulai dari saat keberangkatan hingga kepulangan wisatawan
dari aktivitas pariwisata. Berbagai komponen perjalanan wisata merupakan
sebuah upaya untuk memuaskan kebutuhan dan selera wisatawan yang terus
diperhatikan oleh para penggerak sektor pariwisata. Persiapan atas jasa dan
produk wisata harus sesuai dengan tuntutan kebutuhan wisatawan. Menurut
Gamal Suwantoro (2004), sarana wisata dapat dibagi dalam tiga unsur pokok
yaitu:
1. Sarana pokok kepariwisataan (main tourism superstructure), terdiri dari:
a. Biro perjalanan umum dan agen perjalanan.
b. Transportasi wisata baik darat, laut, maupun udara.
c. Restoran (catering trades).
d. Objek wisata, antara lain: keindahan alam dan ciptaan manusia.
e. Atraksi wisata (tourist attraction)berupa: kesenian, festival, upacara
tradisional, dan lain-lain.
2. Sarana pelengkap kepariwisataan (suplementing tourism superstructure):
a. Fasilitas rekreasi dan olahraga seperti, gold course, tennis court,
pemandian, photography, dan sebagainya.
b. Prasarana umum seperti, jalan raya, jembatan, listrik, lapangan udara,
telekomunikasi, air bersih, pelabuhan, dan lain sebagainya.
3. Sarana penunjang kepariwisataan (supporting tourism superstructure):
a. Nightclub dan steambath.
b. Casino dan Entertaiment.
c. Souvenir shop, mailing service, dan sebagainya.
29

Unesco Office Jakarta (2009:04-10) dalam Jurnal Panduan Dasar


Pelaksaan Ekowisata menjelaskan bahwa kegiatan pariwisata harus didukung
oleh berbagai komponen wisata, kompenen-komponen pariwisata tersebut terdiri
dari:
1. Obyek dan daya tarik wisata
Ada banyak alasan mengapa orang berwisata ke suatu daerah. Beberapa
yang paling umum adalah untuk menikmati keindahan alam dan budaya suatu
daerah tersebut. Obyek dan daya tarik wisata disebut juga atraksi wisata. Atraksi
wisata mencakup atraksi alam,misalnya iklim,pantai dan laut,flora dan
funa,gua,air terjun,sert hutan yang indah. Atraksi budaya misalnya arsitektur
rumah tradisional di desa,situs arkeologi,benda-benda seni dan kerajinan,ritual
atau upacara,festival budaya dan atraksi buatan misalnyaacara
olahraga,berbelanja pameran dan konferensi.

2. Transportasi dan infrastruktur


Wisatawan memerlukan alat transportasi baik itu transportasi
udara,laut,dan darat untuk mencapai daerah wisata yang menjadi tujuannya.
Tersedianya alat transportasi adalah salah satu kunci sukses kelancaran aktivitas
pariwisata. Komponen pendukung lainnya adalah infrastruktur yang secara tidak
langsung mendukung kelancaran kegiatan pariwisata misalnya: air, jalan,listrik,
pelabuhan, bandara, pengolahan limbah dan sampah.

3. Akomodasi (Tempat Penginapan)


Akomodasi adalah tempat dimana wisatawan bermalam untuk sementara
waktu di suatu daerah wisata. Sarana akomodasi umumnya dilengkapi dengan
sarana untuk makan dan minum. Sarana akomodasi yang membuat wisatawan
betah adalah akomodasi yang bersih dengan pelayanan yang baik,harga yang
pantas sesuai dengan kenyamanan yang diberikan serta lokasi yang relatif
mudah di jangkau.
30

4. Usaha makanan dan minuman


Usaha makanan dan minuman di daerah tujuan wisata merupakan salah
satu komponen pendukung penting. Usaha ini termasuk diantaranya adalah
restoran, warung atau cafe. Wisatawan akan kesulitan apabila tidak menemui
fasilitas ini pada daerah yang mereka kunjungi. Sarana akomodasi umumnya
menyediakan fasilitas tambahan dengan makanan dan minuman untuk
kemudahan para tamunya. Selain sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, makanan adalah nilai tambah yang dapat menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan. Banyak wisatawan tertarik untuk mencoba makanan
lokal bahkan datang ke daerah wisata hanya untuk mencicipi makanan khas
daerah tersebut sehingga kesempatan untuk memperkenalkan makanan lokal
sangat terbuka lebar. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengelola makanan
dan minuman adalah jenis dan variasi hidangan yang disajikan,cara penyajian
yang menarik,kebersihan makanan dan minuman yang disajikan,serta kualitas
pelayanan dan lokasi.

5. Jasa pendukung lainnya.


Jasa pendukung adalah hal yang mendukung kelancaran berwisata
misalnya biro perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan,penjualan cindera
mata,informasi,jasa pemandu,kantor pos,bank,sarana penukaran mata
uang,internet,penjualan pulsa,minimarket,dll. Dari berbagai jasa pendukung,
informasi dan jasa pemandu merupakan salah satu faktor penting dalam
mendukung kesuksesan suatu daerah tujuan wisata. Wisatawan bisa memperoleh
informasi wisata baik melalui penjelasan langsung maupun bahan cetak. Jasa
pendukung lainnya yang sangat penting adalah jasa pemandu. Pemandu harus
memahami informaasi mengenai daerah wisata.
Komponen pendukung pariwisata yang terpenting tidak terlepas dari
adanya sumber daya pariwisataDalam konteks pariwisata, sumber daya diartikan
sebagai segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk dikembangkan guna
mendukung pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung.Menurut
Pitana dan Diarta (2009) Sumber daya merupakan atribut alam yang bersifat
31

netral sampai ada campur tangan manusia dari luar untuk mengubahnya agar
dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan manusia. Sumber daya yang terkait
dengan pengembangan pariwisata umunya beruba sumber daya alam, sumber
daya budaya, sumber daya minat khusus, di samping sumber daya manusia.

2.4.3 Konsep Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan

Kegiatan pariwisata tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya


kebijakan dalam mengatur aktivitas kepariwisataan, baik dalam hal pembangunan
maupun pelaksanaan. Dengan demikian setiap instansi yang bertugas di dalam
industri pariwisata baik dari pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menyusun dan
mengimplementasikan kebijakan yang bermanfaat bagi kegiatan pariwisata itu
sendiri beserta seluruh komponen yang ikut serta di dalamnya. Kebijakan
pembangunan kepariwisataan pada umumnya secara otomatis akan memfokuskan
perhatiannya kepada aktivitas pariwisata. Dengan memahami kebijakan di bidang
kepariwisataan, peran serta setiap instansi diharapkan mampu menjalankan
kebijakan pada industri pariwisata dengan baik, karena pada dasarnya industri
pariwisata menyangkut banyak kepentingan umum yang jauh lebih luas tidak
hanya terhadap pelaku industri pariwisata namun juga terhadap pelayanan
masyarakat dan evaluasi mengenai dampak adanya kegiatan pariwisata terhadap
kehidupan masyarakat lokal yang berada di area destinasi pariwisata.

Menurut Pitana dan Diarta (2009:106) istilah kebijakan dan perencanaan


berkaitan erat. Perencanaan menyangkut strategi sebagai implementasi dari
kebijakan. Perencanaan merupakan prediksi dan oleh karenanya memerlukan
beberapa perkiraan persepsi akan masa depan. Walau prediksi dapat diturunkan
dari observasi dan penelitian, namun demikian juga sangat tergantung pada tata
nilai. Perencanaan seharusnya mengandung informasi yang cukup untuk
pengambilan keputusan. Perencanaan merupakan bagian dari keseluruhan proses
perencanaan-pengambilan keputusan pelaksanaan. Umumnya menurut Pitana dan
32

Diarta (2009:109), perencanaan strategis dalam pariwisata terdiri dari beberapa


tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Menentukan bisnis/usaha apa yang akan dimasuki, yang biasanya dicirikan


oleh misi organisasi yang tergantung pada jenis usaha yang dimasuki. Misi
organisasi mungkin dapat dilihat dan diketahui dengan mudah tetapi misi
organisasai terkadang tidak dapat secara eksplisit dikenali.
2. Menentukan tujuan organisasi yang akan dicapai, yang merupakan tujuan
utama organisasi, seperti penguasaan pasar yang melibatkan pengenalan
produk baru.
3. Mengumpulkan informasi dan pengetahuan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan. Kualitas keputusan organisasi yang diambil sangat bergantung
pada kualitas informasi yang dikumpulkan.
4. Menganalisis informasi, terutama yang brkaitan dngan kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan dari organisasi. Biasanya informasi yang dikumpulkan
dan dianalisis dapat dikelompokkan menjadi dua: (a) informasi yang
berkaitan dngan kondisi dan keadaan masa kini, baik yang menyangkut
organisasi itu sendiri mapun lingkungan di luar organisasi yang dapat
mempengaruhi kehidupan organisasi, dan; (b) informasi yang dapat
membantu perencanaan memberikan perkiraan masa depan, misalnya dengan
menggunakan analisis SWOT.
5. Menentukan tujuan khusus yang menentukan aktivitas yang diperlukan dalam
rangka mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan.
6. Menentukan strategi dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan.
7. Mendistribusikan sumber daya ke masing-masing program aksi untuk
memberikan dampak pada strategi yang diambil
8. Mengimplementasikan rencana.
9. Mengontrol dan memonitor hasil dan membuat perbaikan jika diperlukan.

Lebih lanjut, proses implementasi kebijakan pariwisata memerlukan


beberapa tahap, Pitana dan Diarta (2009:110) mengklarifikasi tahapan tersebut
diantaranya:
33

1. Mengevaluasi pasar.
2. Pilih lokasi yang cocok.
3. Identifikasi pemain kunci (stakeholders).
4. Lakukan studi fisibilitas pasar dan keuangan.
5. Rencanakan dan buat desain konsep.
6. Buat dan dokumentasikan proposal.
7. Konsultasi dengan masyarakat.
8. Ikuti proses perjanjian.
9. Lengkapi proses investasi.
10. Persiapkan dokumentasi bangunan oleh arsitek.
11. Fase kontruksi dan pembangunan.
12. Sediakan rencana operasional.

Kegiatan pariwisata mencakup proses pertukaran antara pembeli dan


penjual. Kebutuhan pariwisata dengan sendirinya akan sangat menentukan.
Namun demikian pihak swasta, bila tanpa dukungan pemerintah, mungkin akan
gagal karena adanya berbagai faktor eksternal yang merugikan. Oleh sebab itu
sering kali masih diperlukan campur tangan pemerintah untuk memperbaiki pasar
dan menjamin bahwa pasar akan secara cermat penuh mampu menanggapi
keinginan konsumen. (Hartley dan Hooper, 1993 dalam Gamal Suwantoro, 2004).

Menurut UN-WTO (dalam Pitana dan Diarta,2009:113), peran pemerintah


dalam menentukan kebijakan pariwisata sangat strategis dan bertanggung jawab
terhadap beberapa hal berikut:

1. Membangun kerangka (framework) operasional di mana sektor publik dan


swasta terlibat dalam menggerakan denyut pariwisata.
2. Menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan legislasi, regulasi, dan kontrol
yang diterapkan dalam pariwisata, perlindungan lingkungan, dan pelestarian
budaya serta warisan budaya.
3. Menyediakan dan membangun infrastruktur trasnportasi darat, laut, dan udara
dengan kelengkapan prasarana komunikasinya.
34

4. Membangun dan memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya manusia


dengan menjamin pendidikan dan pelatihan yang profesional untuk
menyuplai kebutuhan tenaga kerja di sektor pariwisata.
5. Menerjemahkan kebijakan pariwisata yang disusun ke dalam rencana
kongkret yang mungkin termasuk di dalamnya.

Untuk mencapai kesuksesan dalam pembangunan pariwisata diperlukan


pemahaman baik dari sisi pemerintah selaku regulator maupun dari sisi pngusaa
slaku plaku bisnis. Pemerintah tentu harus memperhatikan dan memastikan bahwa
pembangunan pariwisata itu akan mampu memberikan keuntungan sekaligus
menekan biaya sosial ekonomi serta dampak lingkungan sekecil mungkin. Di sisi
lain, pembisnis yang lebih terfokus dan berorientasi keuntungan tentu tidak bisa
seenaknya melakukan segala sesuatu demi mencapai keuntungan, tetapi harus
menyesuaikan dengan kebijakan dan regulasi dari pemerintah. Misalnya melalui
peraturan tata ruang, perijinan, lisensi, akredibilitas, dan perundang-undangan.

Pemerintah dalam membuat kebijakan yang tidak merugikan kepentingan


masyarakat untuk jangka panjang, maka pemahaman yang dimaksud adalah suatu
kebijakan pariwisata harus dibuat dengan memperhatikan perencanaan mengenai
dampak negatif dan dampak positif yang dapat ditimbulkan akibat adanya
kegiatan pariwisata. Kebijakan pariwisata dengan menjamin perlakuan yang tidak
membeda-bedakan semua pihak yang terlibat di dalamnya hendaknya
direncanakan secara cermat dengan mempertimbangkan hak dan kebutuhan,
termasuk hak dan kebutuhan bagi wisatawan dan masyarakat di sekitar objek
pariwisata.

Suwantoro (20044) menjelaskan mengenai dampak negativ dari adanya


kegiatan pariwisata, terutama terhadap kelestarian lingkungan dan warisan budaya
nasional, adalah hal-hal yang banyak digunakan sebagai alasan campur tangan
pemerintah. Misalnya, pasar wisata sering terdapat di daerah yang memiliki
keunggulan kompetitif karena keindahan alamnya. Daerah tersebut mampu
menarik kunjungan wisatawan dan akan menimbulkan kemacetan lalu lintas,
35

polusi dan kerusakan terhadap lingkungan yang sebenarnya merupakan


keunggulan bagi daerah wisata tersebut. Pihak swasta dengan hak kepemilikan
swasta dapat memecahkan masalah ini dengan menarik biaya dari para wisatawan
yang datang ke objek wisata dan memanfaatkannya sebagian pendapatannya
untuk menjaga nilai pasar tersebut. Namun sebagian besar pasar wisata adalah
milik publik atau umum. Aset seperti ini seringkali masih dianggap sebagai aset
alamiah yang tidak perlu dipelihara. Dengan kata lain, pasar wisata dicirikan
dengan adanya hak kepemilikan yang salah didefinisikan, tidak dapat
dilaksanakan atau tidak layak untuk dilaksanakan dan diberi kebijaksanaan.
Dalam situasi ini, masyarakat setempat seringkali memerlukan tindakan kolektif
pemerintah sebagai pilihan yang paling nyata dan populer. Tindakan kolektif
demikian dapat menjadi kontroversial karena cenderung membeda-bedakan
individu atas dasar kemampuannya membayar.

Konsep kebijakan pembangunan pariwisata juga tidak terlepas dari adanya


pengembangan kawasan wisata oleh stakeholders. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam mengembangkan pembangunan pada kawasan wisata.
Beberapa hal tersebut dijelaskan oleh Nandi (2008) diantaranya adalah sebagai
berikut:

1. Percepatan pemulihan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri sehingga


diharapkan dapat menghapus stigma keberadaan teroris di Indonesia. Hal ini
akan berpengaruh terhadap menguatnya tingkat kepercayaan kepariwisataan
nasional. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan daya tarik bagi
wisatawan maupun investor lokal/mancanegara untuk berkunjung atau
menanamkan modalnya dalam sektor pariwisata di Indonesia.
2. Sektor pariwisata merupakan sektor tersier dimana prefensi wisatawan sangat
ditingkatkan oleh tingkat kenyamanan, maka dukungan sarana dan prasarana
untuk meningkatkan aksesibilitas ke lokasi objek wisata mutlak dibutuhkan.
Pengembangan jaringan transportasi nasional, wilayah, dan lokal untuk
mendukung pengembangan pariwisata terutama terkait dengan arahan
36

pengembangan jaringan transportasi darat, laut, dan udara, termasuk juga


arahan pengembangan alokasi bandara dan pelabuhan.
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia sebagai pelaku
kebijakan dalam bidang kepariwisataan melalui jenjang pendidikan yang
bersifat formal maupun non formal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
system dan mekanisme pendidikan dan latihan (diklat) perlu didesain secara
baik, sehingga dapat menjawab tantangan kebutuhan di masa yang akan
datang, khususnya tuntutan menciptakan aparatur yang memiliki keunggulan
kompetitif, bersih dan wibawa, handal serta efektif dan efesien.
4. Mengembangkan kemitraan dengan lembaga pendanaan (bank maupun non-
bank) baik lembaga pemerintah maupun swasta untuk menciptakan investasi
baru dalam rangka mengembangkan daerah tujuan wisata.
5. Untuk mencapai keberhasilan pengembangan kegiatan pariwisata, harus
dilakukan secara koordinatif dan terpadu antar semua pihak yang terkait
sehingga terwujud keterpaduan lintas sektoral dan menghindari terjadinya
konflik antar sektor. Peningkatan keterkaitan fungsi pengembangan kegiatan
pariwisata yang baik dengan sektor lainnya untuk memberikan nilai efesiensi
yang tinggi dan percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pengembangan
pariwisata harus dikaitkan dengan pengembangan ekonomi nasional, wilayah
dan lokal. Pada tingkat nasional sektor pariwisata harus berperan sebagai
primer mover dan secara interaktif terkait dengan pengembangan sektor-
sektor lainnya. Pengembangan pariwisata harus diupayakan dapat melibatkan
seluruh stakeholder. Dalam konteks ini peran masyarakat terlibat dimulai
sektor hulu (memberikan kegiatan produksi yang ekstraktif) sampai dengan
kegiatan hilir (kegiatan produksi jasa).
6. Peningkatan peran serta masyarakat dalam mengembangkan pariwisata dan
pelaksanaan pembangunan. Dalam menyelenggarakan pariwisata harus
melibatkan masyarakat setempat, sehingga manfaatnya dapat dirasakan
langsung oleh masyarakat.
37

7. Melaksanakan program-program promosi yang efektif secara


berkesinambungan, untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata baik
wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal.

Basuki Antariksa (2016:13-14) menjelaskan bahwa konsep kebijakan


pembangunan pariwisata harus didasarkan oleh beberapa aspek. Jika ditinjau dari
aspek kebutuhan praktis, pembuatan kebijakan di lingkungan birokrasi seharusnya
menjadi perhatian yang serius, baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah. Pertama, kepariwisataan tidak sekedar merupakan masalah
sederhana yang berkaitan dengan aktivitas pemasaran. Kepariwisataan berkaitann
dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang bersifat strategis, maka
diperlukan suatu kebijakan dengan pendekatan yang bersifat holistik (secara utuh)
dan konsisten. Kedua, sebagian besar kebijakan dibidang kepariwisataan
menyangkut masalah penyusunan dan penegakan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai hukum dan implementasi hukum
seharusnya menjadi prioritas perhatian birokrasi dalam penyelenggaraan
kepariwisataan yang berbasis pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, keberhasilan kepariwisataan di masa depan sangat bergantung pada
kualitas kebijakan dibidang kepariwisataan pada hari ini.

Kebijakan-kebijakan pariwisata haruslah mempertimbangkan banyak


faktor. Tanpa tujuan dan sasaran yang jelas justru akan mengakibatkan
perencanaan pengembangan pariwisata nampak seperti tanpa koordinasi dan tidak
akan memberikan hasil yang memuaskan. Ada beberapa area penting menurut
Suwantoro (2004) yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan
pariwisata antara lain sebagai berikut:

1. Pengembangan pariwisata dilakukan oleh Pemerintah atau Swasta.


2. Pariwisata Internasional atau Domestik.
3. Skala pengembangan pariwisata.
4. Pariwisata terbuka atau tertutup.
38

Menurutnya, selain area kebijakan pariwisata adanya pengoptimalan


kontribusi pariwisata yang berhubungan dengan kebutuhan sasaran
pengembangan untuk sektor pariwisata dan formulasi kebijakan untuk
menetapkan sasaran-sasaran tersebut. penyusunan kebijakan pariwisata
mengikutsertakan intervensi Pemerintah. Hal tersebut tidak berarti bahwa sektor
swasta tidak diikutsertakan dalam penentuan kebijakan, tetapi lebih pada sasaran
tertentu.

Dengan demikian, sebuah paradigma yang sangat keliru jika dikatakan


bahwa menetapkan kebijakan dibidang kepariwisataan yang berorientasi jangka
panjang sebagai suatu aktivitas yang tidak berguna atau terlalu berlebihan.
Pembangunan pariwisata memerlukan dukungan kebijakan pariwisata yang tepat
dan mampu dijadikan pijakan serta panduan bagi tindakan strategis di masa
mendatang. Hal tersebut sangat penting bagi pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan. Perlu diingat bahwa kegiatan pariwisata lebih dari sekedar aktivitas
perekonomian. Pada dasarnya, di dalam menjalankan aktivitas pariwisata maka
terjadi interaksi yang begitu besar pada pihak-pihak yang terkait, baik pada
masyarakat, ketergantungan pelayanan dalam skala luas, fasilitas, dan masukan-
masukan yang mendorong dan tantangan terhadap suatu daerah untuk
mengembangkan kegiatan kepariwisataan.

2.4.4 Manajemen Pariwisata

Pengelolaan pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang


menekankan pada nilai-nilai kelestarian lingkungan, komunitas lokal, dan nilai-
nilai sosial daerah tersebut sehingga wisatawan menikmati kegiatan wisatanya
serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitar daerah pariwisata.
Kegiatan pariwisata pada dasarnya dapat dipadu dalam satu jaringan kegiatan
kerja yang diawali oleh adanya kegiatan manusia yang melakukan perjalanan di
darat, di laut dan di udara. Kegiatan wisatawan dalam mengunjungi objek wisata
(Alam, budaya maupun minat khusus) pada daerah tujuan wisata dipengaruhi oleh
adanya promosi wisata, kemudahan transportasi, restorasi, akomodasi serta
39

pelayanan pemandu wisata.Pengelolaan (manajemen), menurut Leiper dalam


Pitana dan Diarta (2009), merujuk kepada seperangkat peranan yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang, atau bisa juga merujuk pada fungsi-fungsi
yang melekat pada peran tersebut. Fungsi-fungsi manajemen tersebut sebagi
berikut : Planning (perencanaan), Directing (mengarahkan). Organizing
(koordinasi), Controling (pengawasan) Menurut Pitana dan Diarta (2009:86),
tujuan dari pengelolaan atau manajemen pariwisata adalah untuk
menyeimbangkan pertumbuhan dan pendapatan ekonomi dengan pelayanan
terhadap wisatawan serta perlindungan terhadap lingkungan dan keragaman
budaya. Menurut Coxdalam Pitana (2009) pengelolaan pariwisata harus
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata haruslah didasarkan pada


kearifan local dan special local senseyang merefleksikan keunikan
peninggalan budaya dan keunikan lingkungan.
2. Preservasi, proteksi, dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi
basis pengembangan kawasan pariwisata.
3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah
budaya lokal.
4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis kepada keunikan budaya dan
lingkungan lokal.
5. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan
pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya
mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika
melampui ambang batas lingkungan alam atau akseptabilitas sosial walaupun
di sisi lain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Adanya petunjuk pengembangan (guidelines) juga sangat penting dalam
memberikan arah perencanaan dan manajemen pengelolaan pariwisata. Salah satu
petunjuk pengembangan pengembangan yang bisa dipakai adalah Code for
Environmentally Responsible Tourism yang dikeluarkan oleh Pacific Asia Travel
Association (PATA), yang menyebutkan bahwa:
40

Recognize the necessity to ensure a sustainable future, meets th needs


of the tourism industry today, and does not compromise the ability of
this and future generations to conserve the environment (PATA: Liu,
1994:14 dalam Pitana dan Diarta, 2009:84)
Berdasarkan guidelines PATA ini dapat ditarik tiga subtansi pokok
mengenai etika pengelolaan pariwisata yang bertanggung jawab, yaitu (1)
keuntungan dan kemanfaatan jangka panjang (long term profitability); (2)
keberlanjutan produk pariwisata (product sustainability); dan (3) keadilan
antargenerasi (equity from one generation to the next).
Secara lebih detail, Liu (1994:6) dan Western (1993:9) dalam Pitana dan
Diarta (2009:84-85) menyatakan bahwa pengelolaan pariwisata dapat berperan
strategis untuk fungsi-fungsi berikut:
1. Perlindungan terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
2. Keberlanjutan ekonomi.
3. Peningkatan integrasi budaya.
4. Nilai pendidikan dan pembelajaran.

Petunjuk PATA mengenai pengembangan pariwisata merefleksikan filosofi


bahwa pariwisata diakui mempunyai dampak terhadap lingkungan pada semua
bentuk dan aspek pengembangannya. Oleh karena itu, pariwisata sua seharusnya
ikut brtanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di mana dia
berada.Tanggung jawab ini bukan berarti pengembangan pariwisata tidak boleh
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan, tetapi adanya pengakuan
bahwa kegiatan pariwisata dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan
secara komplementer dapat digunakan secara bertanggung jawab. Implementasi
tanggung jawab ini adalah dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
di bawah ambang batas alamiah ekosistemnya.
Menurut Richardon dan Fluker (2004:178 dalam Pitana dan Diarta,
2009:86), yang harus dicakup dalam manajemen pariwisata paling tidak terfokus
pada konsep values tourism yang diluncurkan tahun 1995 oleh PATA, yaitu:
1. Memenuhi kebutuhan wisatawan,
41

2. Meningkatkan kontribusi ekonomi bagi ekonomi nasional negara


bersangkutan,
3. Meminimalisir dampak pariwisata terhadap lingkungan,
4. Mengakomodasi kebutuhan dan keinginan negara tuan rumah yang menjadi
tujuan wisata,
5. Menydiakan pengembalian finansial yang cukup bagi orang-orang yang
berusaha di pariwisata.

Sedangkan nilai-nilai yang harus dipertimbangkan menyangkut konsumen,


budaya dan warisan budaya, ekonomi, ekologi, finansial, sumber daya manusia,
peluang masa depan, politik, dan sosial. Tujuan dari pengelolaan atau manajemen
pariwisata adalah untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan pendapatan ekonomi
dengan pelayanan kepada wisatawan serta perlindungan terhadap lingkungan dan
pelestarian budaya. Oleh karena itu diperlukan keterlibatan semua pemangku
kepentingan di bidang pariwisata untuk mengintegrasikan kerangka pengelolaan
pariwisata. Pemangku kepentingan memiliki harapan dan nilai yang berbeda yang
perlu dikelola sedemikian rupa agar diadopsi dan terwakili dalam perencanaan,
pengembangan, dan operasionalnya.Pemangku kepentingan (stakeholder) yang
dimaksud menurut Pitana dan Diarta (2009:86) yaitu:
1. Staff dari industri pariwisata.
2. Konsumen.
3. Investor dan developer.
4. Pemerhati dan penggiat lingkungan.
5. Pemerhati dan penggiat warisan dan pelestari budaya.
6. Masyarakat tuan rumah.
7. Pemerintah.
8. Pelaku ekonomi lokal dan nasional.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengelola


pariwisata, beberapa hal tersebut terdiri dari unsur pokok yang harus mendapat
perhatian guna menunjang perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan daerah
tujuan wisata. Menurut Suwantoro (2004), beberapa hal tersebut meliputi:
42

1. Objek dan daya tarik pariwisata.


Daya tarik pariwisata harus dirancang dan dikelola secara profesional
sehingga mampu menarik kunjungan wisatawan. Dalam membangun objek dan
daya tarik wisata maka diperlukan rancangan sedemikian rupa berdasarkan
ketentuan tertentu. Umumnya objek dan daya tarik wisata berdasar pada:
a. Adanya sumber daya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman
dan bersih.
b. Adanya aksesbilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya.
c. Adanya ciri khusus yang bersifat langka.
d. Adanya sarana/prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan.
e. Objek wisata alam yang mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam
seperti pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan dan sebagainya.
f. Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai
khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara adat, dsb.
Selain itu, Menurut Suwantoro (2004) pembangunan suatu objek wisata harus
dirancang dengan bersumber pada potensi daya tarik yang dimiliki objek
tersebut dengan mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang
meliputi berbagai kelayakan. Diantaranya:
a) Kelayakan finansial.
b) Kelayakan sosial ekonomi regional.
c) Kelayakan teknis.
d) Kelayakan lingkungan.

2. Sarana dan prasarana.


Sarana dan prasarana wisata merupakan kelengkapan bagi daerah tujuan
wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati
perjalanan wisatanya. Pembangunan sarana dan prasarana wisata harus
disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Sarana dan prasarana wisata secara kuantitatif menunjuk pada jumlah
sarana dan prasarana wisata yang harus disediakan, sedangkan secara kualitatif,
menunjuk pada mutu pelayanan yang diberikan bagi kepuasan wisatawan. Dalam
43

hubungannya dengan jenis dan mutu pelayanan di daerah tujuan wisata telah
disusun sesuai standar wisata yang baku, baik secara nasional maupun
internasional.

3. Tata laksana/infrastruktur.
Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasarana
wisata, baik berupa sistem pengaturan maupun bangunan secara fisik seperti:
a. Sistem pengairan.
b. Sumber listrik dan jaringan energi.
c. Sistem jalur transportasi.
d. Sistem komunikasi.
e. Sistem keamanan.

4. Masyarakat/lingkungan.
Daerah tujuan wisata yang memiliki berbagai objek dan daya tarik wisata
tentunya akan mengundang kehadiran wisatawan.
a. Masyarakat
Masyarakat disekitar objek wisata perlu mengetahui berbagai jenis dan
kualitas layanan yang dibutuhkan oleh wisatawan. Dalam hal ini, pemerintah
melalui instansi-instansi terkait telah menyelenggarakan berbagai penyuluhan
kepada masyarakat. Salah satunya adalah membentuk bina masyarakat sadar
wisata.
b. Lingkungan.
Lingkungan alam disekitar objek wisata perlu diperhatikan secara seksama
agar tak rusak dan tercemar. Oleh sebab itu, maka diperlukan upaya menjaga
kelestarian lingkungan melalui penegakan berbagai aturan dan persyaratan
dalam pengelolaan suatu objek wisata.
c. Budaya.
Lingkungan masyarakat dalam lingkungan alam disuatu objek wisata
merupakan lingkungan budaya yang menjadi pilar penyangga kelangsungan
hidup suatu masyarakat. Oleh karena itu lingkungan budaya inipun
kelestariannya tak boleh tercemar oleh budaya asing, namun harus lebih
44

ditingkatkan kualitasnya. Masyarakat yang memahami, menghayati dan


mengamalkan Sapta Pesona Wisata di daerah tujuan wisata menjadi harapan
semua pihak untuk mendorong pengembangan pariwisata yang pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, diantara
lain sebagai berikut:
1. Penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Anindita Yuniarti (2011) berjudul
Studi Implementasi Kebijakan dalam Pengembangan dan Pengelolaan
Sektor Pariwisata di Kota Semarang (Studi Kasus Taman Margasatwa
Wonosari Kota Semarang) lebih membahas mengenai implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Semarang dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata dengan
menggambil objek penelitian Taman Margasatwa Wonosari Kota Semarang
dan meneliti dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar objek wisata
tersebut. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan sifat
penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode
wawancara berstruktur dan kusioner dimana data yang diperoleh dijabarkan
dan dianalisis agar memberikan gambaran yang jelas mengenai implementasi
kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan sektor pariwisata di Kota
Semarang khususnya Taman Margasatwa dan dampak yang dirasakan
masyarakat sekitar obyek wisata.
2. Selanjutnya yang dilakukan oleh R. Harley Desmond D.P berjudul
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sungai Banjir Kanal Barat Atau
Kaligarang. berupaya untuk mengkaji pemahaman tentang implementasi
kebijakan pengelolaan Sungai Banjir Kanal Barat/Kaligarang di Kota
Semarang dan melihat suatu perencanaan sebuah landasan yang bersifat
operasional, perencanaan, dan perancangan Sungai Banjir Kanal Barat yang
representatif untuk dapat menjunjang operasional dan fungsi kawasan
tersebut sehingga dapat memberikan manfaat lebih bagi lingkungan sekitar
45

serta sebagai destinasi wisata baru di Kota Semarang (Riverpark).


Penelitiannya menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu menjabarkan
atau menganalisis, yang mana sifat dari penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif analisis bertujuan untuk mendiskriptifkan/
menggambarkan suatu keadaan yang di dalamnya terdapat upaya deskriptif,
pencatatan dan analisis.
3. Revita, Son Haji, dan Kustiawan (2017) berjudul Implementasi Kebijakan
Peraturan Daerah Kabupaten Lingga Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Kepariwisataan (Studi Kasus Pengembangan Objek Wisata
Batu Ampar Kecamatan Singkep Tahun 2015). Penelitian yang dilakukan
oleh mereka bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah implementasi
Pemerintah Daerah Kabupaten Lingga Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Kepariwisataan khususnya dalam mengembangkan Objek
Wisata Batu Ampar Kecamatan Singkep tepatnya di Desa Batu Kacang. Jenis
penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif. Konsep oprasional yang
digunakan yaitu menurut Edward III bahwa variabel keberhasilan sebuah
implementasi adalah: Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, dan Struktur
Birokrasi. Tujuan dan kegunaan dari penelitian ini yaitu untuk menilai
pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Lingga Nomor 13 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan dan juga ingin mengetahui kendala
dari sebuah implementasi Peraturan Daerah tersebut, serta dapat dijadikan
sebagai bahan informasi dan juga masukan untuk Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata dan juga masyarakat yang menjadi sampel dari penelitian ini yaitu
Pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lingga, Pengelola
Objek Wisata Batu Ampar, serta masyarakat atau pengunjung objek wisata
Batu Ampar.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Kabuapten
Lingga Nomor 13 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan
di Kecamatan Singkep khususnya dalam mengembangkan Objek Wisata
Batu Ampar belum terlaksana secara maksimal, karena masih banyak
peraturan Daerah yang tidak berjalan optimal atau sebagaimana yang
46

direncanakan, mengingat masih belum meratanya sosialisasi yang dilakukan


pihak-pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kepada masyarakat dalam
mengembangkan Objek Wisata Batu Ampar.
4. Agus Suwandi (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Implementasi
Peraturan Daerah Kabupaten Lingga Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Kepariwisataan (Studi Kasus di Kecamatan Singkep) Jenis
penelitian tersebut adalah deskripstif dengan menggunakan konsep
operasional menurut Edward III bahwa variabel keberhasilan impementasi
yaitu : Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi dan Struktur Birokrasi. Sama
dengan penulisan skripsi ini, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai
pelaksanaan peraturan daerah Kabupaten Lingga Nomor 13 Tahun 2011
tentang Penyelenggaran Kepariwisataan dan mengetahui kendala
implementasi peraturan tersebut, yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan
informasi dan masukan untuk Dinas Pariwisata dan masyarakat Kecamatan
Singkep, Kabupaten Lingga. Sample yang diambil sebagai subjek penelitian
adalah pegawai Dinas Pariwisata dan masyarakat sebagai pengelola.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Lingga Nomor 13 Tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan belum terlaksana secara
maksimal, karena masih banyak peraturan daerah yang tidak berjalan secara
optimal sebagaimana mestinya. Mengingat masih belum meratanya sosialisasi
yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kepada masyarakat.
5. Ummi Zakiyah (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Implementasi
Kebijakan Pembangunan Pariwisata Daerah Kabupaten Bangka Barat Tahun
2010-2011 (Studi Kasus Dinas Perhubungan Pariwisata dan Informatika Kab.
Bangka Barat.) melakukan penelitian di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dengan objek penelitian Dinas Perhubungan, Pariwisata dan
Informatika Kabupaten Bangka Barat. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pemerintah Kabupaten Bangka Barat membuat kebijakan
pembangunan pariwisata yang berbasis budaya dan sejarah. Pemerintah
47

Kabupaten Bangka Barat ingin memajukan wisata sejarah sebagai wisata


andalan. Dalam upaya pembangunan wisata sejarah, Pemerintah Kabupaten
Bangka telah membuat program pengembangan destinasi pariwisata dan
pengelolaan kekayaan budaya. Dalam proses implementasi kebijakan terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi dan menjadi faktor pendukung serta
penghambat. Adapun yang menjadi faktor pendukung adalah aspek sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan yang menjadi faktor penghambat
adalah aspek komunikasi, sumber dana yang terbatas, fasilitas, sarana dan
prasarana yang masih belum maksimal.
6. Hasil penelitian Stavenson, N., Airey, D., Miller, G (2008) yang berjudul
Tourism Policy Making: The Policy Makers Perspectives. Mereka
melakukan penelitian dengan menganalisis salah satu kota di Inggris yang
bernama Leeds. Leeds merupakan salah satu kota di Inggris yang berhasil
menarik kunjungan wisatawan. Di Leeds kebijakan pariwisata mencakup
berbagai bidang dan organisasi, namun pada dasarnya, kebijakan pariwisata
di Leeds tidak memiliki kejelasan status dan terjadi dalam lingkungan yang
dinamis. Karena terlalu bersifat kompleksitas, maka tidak mudah untuk
membongkar komponen yang paling penting dalam kemajuan pariwisata di
Leeds. Penelitian ini dikembangkan dari perspektif bahwa isu-isu pemahaman
kompleks kebijakan dapat ditingkatkan dengan membangun studi spesifik
kaya konteks yang memiliki resonansi dengan salah satu diantaranya.
Sementara temuan langsung pada konteks tertentu, mereka menyediakan
lapisan lain untuk pemahaman yang kompleks mengenai fenomena sosial
yang terkait dengan pembuatan kebijakan. Hasil akhir dari penelitian
mengharuskan untuk memberikan ide-ide dan konsep agar membantu para
pembuat kebijakan menjadi lebih berpengaruh dalam mengembangkan dan
membangun lingkungan pariwisata yang dinamis.
7. Sefira Ryalita, Mardiyono, dan Riyanto dalam hasil penelitian mereka yang
berjudul Analisis Strategi Pengembangan Pariwisata Daerah (Studi pada
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Nganjuk) dengan
memfokuskan penelitian terhadap strategi yang dilakukan Dinas Kebudayaan
48

dan Pariwisata Daerah Kabupaten Nganjuk dalam mengembangkan


pariwisata daerah serta menganalisis faktor pendorong dan faktor penghambat
yang mempengaruhi perkembangan pariwisata di Kabupaten Nganjuk. Jenis
penelitian yang mereka gunakan sama dengan penelitian ini, yaitu adalah
metode penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Persamaannya adalah, di sini peneliti bermaksud menggambarkan analisis
strategi pengembangan di sektor pariwisata daerah beserta hambatan dalam
pengembangan pariwisata di daerah.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Novitasari (2014) yang berjudul
Analisis Kebijakan Terhadap Pengembangan Pariwisata di Kecamatan
Wonosalam Jombang. Mendeskripsikan lebih rinci mengenai analisis
kebijakan dalam mengembangkan pariwisata di Kecamatan Wonosalam
Jomblang. Penelitian ini menggunakan instrumen kebijakan yaitu piranti
hukum, tatanan kelembagaan, dan mekanisme operasional. Piranti hukum
merupakan aspek legal/hukum yang mendukung perkembangan pariwisata.
Terdapat persamaan terhadap penggunaan piranti hukum pada penulisan
skripsi ini sebagai dukungan pengembangan pariwisata. Subjek penelitian
yang dilakukan Dian Novitasari adalah pada lembaga yang berperan penting
dalam pengembangan pariwisata di Jombang, yaitu DISPORABUDPAR
sedangkan pada penelitian ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata merupakan
subjek penting dalam penelitian. Hasil penelitian tentang analisis kebijakan
terhadap pengembangan pariwisata di Kecamatan Wonosalam Kabupaten
Jombang, maka dapat diambil kesimpulansebagaiberikut:
1) Dilihat dari sudut pandang teori dengan menggunakan 3 instrumen yaitu
piranti hukum, tatanan kelembagaan dan mekanisme operasional dapat
disimpulkan bahwa pengembangan pariwisata di Kecamatan Wonosalam
sudah cukup baik;
2) Dalam pelaksanaan pengembangan pariwisata, DISPORABUDPAR selalu
berusaha dalam mengembangkan pariwisata di Kecamatan Wonosalam yaitu
dengan melakukan program promosi pariwisata, program pengembangan
destinasi pariwisata dan program kemitraan pariwisata.
49

3) Program promosi pariwisata dilakukan dengan penyelenggaraan festival


kenduren atau kenduri durian selain promosi pariwisata melalui internet.
Sedangkan program kemitraanpariwisata, DISPORABUDPAR melakukan
kerjasama dengan beberapa instansi terkait untuk membantu mengembangkan
pariwisata di KecamatanWonosalam.
9. Hasil penelitian berikutnya dilakukan oleh Bryan H. Farrell dan Dean Runyan
(1991) yang berjudul Ecology and Tourism;Public sector priorities and
policies related to natural resource management are,and will increasingly be,
crucial to tourism development. Many tourism resources in The United
States, such as national parks, government facilities on shorelines and in other
recreation resource areas, and many historic features and attractions, are
either in public ownership or are heavily influenced by government
regulations. Penelitian yang dilakukan oleh Farrel dan Runyan mencoba
untuk mengidentifikasi perspektif disiplin dan metodologi terpadu yang
merupakan bagian dari studi mengenai kepariwisataan. Sektor prioritas dan
kebijakan yang terkait dengan manajemen sumber daya alam sangat
diperlukan dalam pengembangan pariwisata. Penelitian tersebut menjelaskan
bahwa banyak sumber daya pariwisata di Amerika Serikat, seperti Taman
Nasional, rekreasi daerah, daan banyak fitur-fitur bersejarah serta atraksi
budaya baik milik umum, kepemilikan pribadi dan semuanya yang telah
difasilitasi oleh pemerintah serta dipengaruhi oleh peraturan pemerintah.
10. Dianne Dredge (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Policy
Networks and The Local Organisation of Tourism . Dredge menyatakan
hasil penelitiannya bahwa jaringan yang mencakup sektor publik dan sektor
swasta dirasa sangat penting bagi pembentukan perencanaan pembangunan
pariwisata. Hubungan formal dan informal antara Pemerintah dengan sektor
industri memiliki tujuan yang besar yaitu dengan memanfaatkan kapasitas
publik. Melalui studi kasusnya di Lake Macquaire, New South Wales,
Australia, Dredge menyelidiki hubungan antara pemerintah dan industri
swasta, mendiskusikan secara kritis peran jaringan kemitraan publik dan
menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pembinaan
50

lingkungan yang inovatif. Negara memerlukan kehati-hatian dalam


manajemen jaringan pariwisata dengan melibatkan peran aktif masyarakat
yang lebih luas dalam keberhasilan pembangunan pariwisata secara eksplisit.
11. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan Glendon (1998) Application Of
Leisure Motivation Scale To Tourism. merupakan laporan analisis yang
bersumber dari leisure motivation (skala motivasi bebas) yang diterapkan
terhadap 1,127 perajin wisata di Inggris sebagai sampel. Keseluruhan skala
faktor-faktor dari penelitian asli sebelumnya diterapkan kembali dengan versi
parafrase untuk kemudian digunakan sebagai penyesuaian analisis hal-hal
yang dianggap penting dan pendapat mereka mengenai hari libur, karena hari
libur merupakan atribut berharga dari kegiatan pariwisata. Analisis penelitian
mereka menggunakan angka dan data statistik mengenai tingkat motivasi
seseorang untuk melakukan kegiatan wisata.
12. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Rachel Dodds dan Richard Butler
(2010) yang berjudul Barriers to Implementing Sustainable Tourism Policy
in Mass Tourism Destinations. adalah mengidentifikasi hambatan bagi
keberhasilan pelaksanaan kebijakan pariwisata berkelanjutan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan ekplorasi dan deskriptif dari literatur yang sesuai
dengan bidang penelitian tersebut dengan mengambil responden dari dua
lokasi yaitu di Mediterania- Malta dan Calvia. Penelitian tersebut menemukan
hasil bahwa, meskipun responden sadar akan pelaksanaan pariwisata yang
berkelanjutan, namun masih banyak ditemukan ekploitasi sumber daya oleh
kelompok atau individu untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Hal
tersebut menyebabkan kerugian yang besar dan kerusakan sumber-sumber
daya pariwisata. Tentunya dengan adanya permasalahan tersebut justru akan
memberi sedikit motivasi bagi masing-masing aktor (apakah Pemerintah,
pejabat terpilih, atau individu operator) untuk berinvestasi dan terlibat dalam
perlindungan atau konservasi bagi kegiatan pariwisata yang berkelanjutan.
13. Penelitian yang dilakukan oleh Isabel Rodriguez, Allan M. Williams, dan C.
Michael Hall (2014) berjudul Tourism Innovation Policy: Implementation
and Outcomes.membuka kotak hitam mengenai inovasi kebijakan
51

pariwisata yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bisnis Spanyol dengan


menganalisis pelaksanaan program inovatif yang tertanam dalam kelompok
bisnis tersebut menggunakan model analisis berkolaborasi hibrida top down-
bottom up. Penelitian ini berfokus pada tiga isu utama: yaitu proses
pelaksanaan kebijakan, jenis inovasi yang muncul, hambatan dan hasil dari
adanya kebijakan. Temuan dari penelitian tersebut menunjukkan kontradiksi
dari adanya model implementasi hibrida, hasil dari campuran kolaborasi
tersebut nyatanya sukses dan seluruh program kebijakan pariwisata
cenderung terdorong untuk berinovasi. Adanya hambatan yang muncul akan
saling memperkuat pelaksanaan kebijakan yang bersifat polisentris. Pada
akhirnya penelitian mereka digunakan sebagai saran oleh Pemerintah dalam
memperbaiki inovasi kebijakan pariwisata di masa depan secara efektif.
14. Rachel Doods (2007) dalam Sustainable Tourism and Policy
Implementation Lesson from The Case of Calvia, Spain. Menurut
penelitiannya saat ini ada banyak literatur yang mengidentifikasi kebutuhan
pariwisata yang berkelanjutan dan kebijakan untuk mengatasi kebutuhan
tersebut. Penelitian ini berfokus pada tingkat operasional kebijakan dalam
rangka memberikan solusi dari munculnya hambatan pelaksanaan kebijakan
pariwisata berkelanjutan. Penelitian ini difokuskan pada salah satu resort dan
wisata laut populer di Mediterania bernama Calvia yang berlokasi di
Mallorca, di pulau Baleric, Spanyol. Calvia adaah salah satu contoh dari
destinasi pariwisata. Sejak akhir tahun 1980, Calvia pernah menghadapi
masalah kemorosotan ekonomi dan lingkungan sosial yang cukup signifikan.
Dengan mengambil pendekatan dan kolaboratif terpadu untuk menerapkan
kebijakan pariwisata berkelanjutan menggunakan proses partisipasi dari
Agenda Lokal 21 (LA21). Calvia telah menerima banyak pujian di mata
Internasional. Kasus ini secara deskriptif memiliki motivasi untuk
mempelajari bentuk dari sebuah kebijakan dibidang pariwisata dengan
menganalisis proses kebijakan, keberhasilan, dan hambatan yang muncul.
Penelitian ini menguraikan sejumlah kebijakan yang berkesinambungan
dalam evaluasi pembangunan pariwisata. Diharapkan studi kasus ini dapat
52

memberikan rekomendasi dan bertujuan untuk bekerja menuju tujuan wisata


yang berkelanjutan.
15. Chui-Hua Liu, Gwo-Hshiung Tzeng, Ming-Huei Lee (2012) dalam
penelitian mereka yang berjudul Improving Tourism Policy Implementation:
The Use of Hybrid MCDM Models. untuk mengatasi permasalahan di bidang
industri pariwisata, mereka menggunakan metode MCMD Hibrida untuk
menganalisis pengambilan keputusan dengan memeriksa hubungan
ketergantungan antara berbagai kriteria dimensi kebijakan dari dinas
pariwisata Taiwan. Penelitian ini digunakan untuk memberikan saran dalam
memperbaiki rencana kebijakan di bidang pariwisata secara optimal.
Penggunaan model analisis kebijakan tersebut sangat berguna dalam
mengidentifikasi sebuah jaringan yang menjadi urutan prioritas atau kriteria
dimensi terkait dengan kebijakan pariwisata.
16. Cevat Tosun (1999) dalam penelitiannya yang berjudul Limits to
Community Participation in The Toursim Development Process in
Developing Countries. Studinya memaparkan konsep normatif melalui
perkembangan partisipatif, yang berasal dari perkembangan dunia. Dalam hal
tertentu, dia mampu menganalisis dan menjelaskan tentang batasan dari
perkembangan pariwista yang partisipatif melalui konteks pendekaan negara
berkembang. Penelitian ini beroperasi pada organisasi dan budaya untuk
menyatukan partisipasi diberbagai negara berkembangan walaupun mereka
tidak selalu ada di setiap destinasi pariwisata. Bahkan, batasan tersebut
cenderung memamerkan intensitas yang tinggi dan kegigihan dalam
perkembangan dunia dibanding dunia yang sudah berkembang. Mereka
muncul untuk menjadi panutan di bidang sosial, ekonomi, dan organisasi
budaya di banyak negara berkembang. Di samping itu, temuan ini juga
membahas batasan yang jauh berbeda dalam segi waktu, skala, dan tingkatan
dari perkembangan pariwisata. Tetap tersedianya pasar dan alat budaya dari
pihak lokal akan menjadi fenomena skala pariwisata yang sudah berkembang
diluar kontrol organisasi lokal. Kesimpulannya, bahwa rumus dan
implementasi dari partisipatif perkembangan pariwisata membutuhkan
53

perubahan total dibidang sosial politik, peraturan, administratif, dan struktur


ekonomi dari kolaborasi dengan kerjasama antar lembaga penyumbang
utama.
17. Rodger, Moore, and Newsome (2009) dalam penelitian mereka yang
berjudul Wildlife Tourism, Science And Actor Network Theory.
Berpendapat bahwa wisata alam liar adalah salah satu bagian penting dari
wisata di seluruh dunia. Namun, adanya banyak spesies tidak banyak
diketahui dampak yang mungkin ditimbulkan dari interaksi pariwisata alam
liar. Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi batas permasalahan, tetapi
ilmu tentang pengaruh dari wisata alam liar masih sangat jarang dipahami.
Teori pelaku jaringan, dengan perhatian terhadap pelaku dan hubungan yang
membuat ilmu pengetahuan telah digunakan untuk menjelaskan dan
menganalisis permasalahan mengenai wisata alam liar terhadap melemahnya
efek dari perkembangan wisata alam liar di Antartika. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa teori pelaku-jaringan memberikan penjelasan yang kuat
dari peran komplek dan penempatan keilmuan tentang wisata alam liar.
Sementara pada saat yang sama, penelitian ini menyarankan perhatian lebih
lanjut kepada pelaku yang berwenang dan ilmuan mendasari dibidang analisis
penelitian ini.
18. Maksimilianus Maris Jupir (2013) dalam penelitiannya yang berjudul
Implementasi Kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus
Kabupaten Manggarai Barat). bahwa implementasi kebijakan pariwisata
berbasis lokal di Kabupaten Manggarai dilihat dari beberapa segi, yaitu
partisipasi masyarakat dalam mengembangkan, melestarikan dan
melaksanakan kearifan lokal. Struktur kelembagaan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Pengalokasian Sumber daya (aktor,
finansial, organisasi, fasilitas), komunikasi dan koordinasi; kondisi sosial,
ekonomi dan politik, serta kepentingan dari stakeholder. Dalam
penelitiannya, Maksimilianus menyimpulkan bahwa terdapat beberapa
masalah mengenai pengembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai,
diantaranya;
54

a. Implementasi kebijakan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat lebih


cenderung menggunakan top-down. Akibatnya ruang partisipasi bagi
masyarakat terbatas.
b. Jejaring dalam mempromosikan pariwisata berbasis kearifan lokal di
Kabupaten Manggarai Barat sangat terbatas.
c. Kinerja implementator/agen kebijakan belum optimal
d. Terbatasnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang tersedia.
e. Ego sektoral yang masih sangat kuat, sehingga koordinasi dan komunikasi
tidak berjalan efektif.
f. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politi yang membungkus sirkulasi
kehidupan masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat cenderung
manghalangi terjadinya implementasi kebijakan efektif.
Permasalahan mengenai kebijakan pengembangan pariwisata yang diteliti
oleh Maksimilianus hampir sama dengan permasalahan yang dipaparkan pada
penelitian ini, Maksimilianus lebih memfokuskan penelitiannya terhadap
analisis karakteristik permasalahan yang terjadi dalam proses implementasi
kebijakan bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat dan
pada akhirnya, penelitian tersebut akan menghasilkan upaya untuk menindak
lanjuti permasalahan yg terjadi terhadap proses implementasi bagi kemajuan
pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat berbasis kearifan lokal.
19. Nurul Sholeha (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kebijakan
Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Kepulauan Selayar. bertujuan
untuk mengetahui dan menganalisis pengembangan potensi pariwisata dan
kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi
Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik
wawancara, studi dokumen, dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap
responden yang berasal dari instansi pemerintah daerah Kabupaten
Kepulauan Selayar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) sama halnya dengan
penelitian pada skripsi ini, anggota DPR komisi C bagian Pembangunan,
pengelola tempat wisata. Informan dipiIih secara sengaja dengan
memperhatikan keterlibatan mereka dalam proses pengembangan
55

pembangunan pariwisata di Kabupaten Kepulauan Selayar. Hasil penelitian


menunjukkan bahwa Potensi Obyek wisata (bahari, budaya dan alam) di
Kabupaten Kepulauan Selayar, perlu ditingkatkan karena Obyek wisata yang
dikelola langsung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya obyek wisata
bahari Pantai Pabaddilang yang bekerjasama dengan masyarakat sekitar
dalam pemungutan retribusinya. Obyek wisata alam Gua Tajuiya hanya
dijadikan masyarakat sekitar sebagai tempat mengambil air bersih karena di
dalam gua tersebut terdapat mata air dan wisata budaya Gong Nekara yang
mengelola adalah masyarakat sekitar obyek wisata yang dibawahi langsung
oleh cagar budaya Makassar. Adapun kebijakan pembangunan pariwisata di
Kabupaten Kepulauan Selayar belum menjadi prioritas utama. Pemerintah
daerah Kabupaten Kepulauan Selayar tidak memiliki Visi Misi khusus
tentang pembangunan pariwisata sehingga dalam pembangunan pariwisata
belum menjadi prioritas utamanya. Meskipun demikian pemerintah daerah
khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata akan selalu mengembangkan
dan melakukan promosi dalam rangka meningkatka pariwisata di Kabupaten
Kepulauan Selayar.
20. Temuan yang dihasilkan oleh penelitian Hendri Adji Kusworo dan Janianton
Damanik (2000) dalam jurnal yang berjudul Pengembangan SDM
Pariwisata Daerah: Agenda Kebijakan Untuk Pembuat Kebijakan.
Menunjukan bahwa secara umum sumber daya di sektor pariwisata nasional
dan lokal masih banyak mengalami kelemahan. Kesamaan penelitian ini
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendri Adji dan Janianto adalah
penelitian bertujuan untuk menganalisis kemampuan birokrasi dalam
menangani urusan kepariwisataan guna mencari penyebab dari permasalahan
yang muncul dalam bidang kepariwisataan. Pada dasarnya kemampuan
birokrasi dalam menangani urusan pariwisata terbukti belum memadai karena
masih terbatasnya kemampuan birokrasi dalam memfasilitasi
penyelenggaraan pariwisata daerah.
21. Annisa Azwar Kuniati, dkk (2015) Analisis Kinerja Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Semarang Studi Kasus UPTD Kampoeng Wisata Taman
56

Lele. melakukan penelitian di Kampoeng Wisata Taman Lele yang belum


optimal, dilihat dari dimensi kualitas layanan yaitu ketersediaan sarana
prasarana atau fasilitas rekreasi yang masih kurang. Responsivitas yang
masih kurang dilihat dari belum adanya wadah pengaduan.
Responsibilitas dilihat dari belum adanya prosedur terkait dengan
standarisasi usaha taman rekreasi. Akuntabilitas masih ada kendala yaitu
belum tercapainya target kinerja organisasi, Efektivitas juga masih ada
kendala yaitu belum tercapainya target jumlah pendapatan dan jumlah
kinjungan wisatawan. Efisiensi juga masih ada kendala yaitu jumlah
anggaran untuk operasional dan perawatan yang masih sangat terbatas serta
jumlah sumber daya manusia yang masih kurang, terutama untuk petugas
keamanan dan petugas kebersihan.Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan
permasalahan pencapaian kinerja organisasi UPTD Kampoeng Wisata
Taman Lele yang belum optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan dan menganalisis kinerja organisasi pada UPTD
Kampoeng Wisata Taman Lele dilihat dari dimensi kualitas layanan,
responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi.
Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan subjek yang
ditentukan secara snowball dan accidental sampling. Teknik pengambilan
data yang digunakan yaitu wawancara dan analisis data yang digunakan
yaitu triangulasi sumber.
22. . Tri Yuniningsih (2015) yang berjudul Analisis Kebijakan Pengelolaan
Objek Wisata Taman Margasatwa Mangkang Semarang bahwa pengelolaan
Taman Margasatwa Mangkang Kota Semarang belum maksimal untuk
meningkatkan daya tarik wisata. Gejala ini dapat dilihat dari minimnya
koleksi hewan yang ada, sarana prasarana taman ini juga tidak layak.
Kurangnya pengelolaan sarana dan prasarana kandang misalnya masih
terdapat kondisi kandang yang sudah mengalami karatan, infrastruktur yang
kurang diperhatikan menyebabkan kerusakan, kurangnya kebersihan di dalam
areal Taman Margasatwa, masih ditemukan banyaknya pengunjung yang
membuang sampah sembarangan terutama sampah plastik yang dapat
57

membahayakan hewan dan merusak lingkungan. Oleh karena itulah untuk


mengatasi hal tersebut dibutuhkan suatu kebijakan pengelolaan tempat wisata
yang mampu memajukan Taman Margasatwa.Tujuan dari penelitian ini
adalah : Mengidentifikasi masalah yang ada di obyek wisata Taman
Margasatwa Mangkang kota Semarang terutama yang berkaitan dengan
aspek fisik; Merumuskan alternatif kebijakan mengenai permasalahan fisik
yang dihadapi obyek wisata Taman Margasatwa Mangkang kota Semarang;
dan Memberikan rekomendasi terhadap alternatif kebijakan yang tebaik dan
menguntungkan.
Keterkaitan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian
relevan yang telah diuraikan di atas dapat dilihat dari persamaan yang ditemui,
yaitu dalam mengkaji dan menganalisis kebijakan yang dilakukan Pemerintah
terhadap perkembangan sektor kepariwisataan. Sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis, penelitian-penelitian tersebut menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian ditekankan pada proses analisis implementasi
kebijakan pariwisata terhadap aset yang menjadi daya tarik wisata suatu daerah
beserta kinerja dari lembaga maupun organisasi (stakeholders) yang terlibat di
dalamnya, bermula dengan adanya permasalah dan dampak yang timbul dari
adanya kebijakan tersebut. Penelitian difokuskan kepada objek tertentu dengan
menggunakan berbagai prespektif teori sesuai dengan kajian penelitian untuk
mengetahui bagaimana implementasi kebijakan tersebut berjalan dan faktor-faktor
apa saja yang berpengaruh. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan
prespektif teori yang dikemukakan oleh Edward C. George dan memfokuskan
penelitiannya pada Bagaiman jalannya implementasi kebijakan peraturan daerah
terhadap pengembangan daya tarik wisata budaya berserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, yaitu faktor penghambat dan faktor pendorong implementasi
kebijakan tersebut.

2.6 Kerangka Berfikir


58

Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan pariwisata


Pemerintah Kota Semarang terhadap pengembangan aset yang menjadi daya tarik
pariwisata. Sebagai stakeholder, Pemerintah Daerah Kota Semarang melimpahkan
kewenangan Otonomi Daerah di bidang kepariwisataan dan kebudayaan kepada
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. Dari penelitian ini akan dapat
diketahui seberapa jauh usaha yang dilakukan dalam mengimplementasikan
kebijakan pariwisata dan menangani permasalahan yang muncul di dalam
pengembangan dan pengelolaan Taman Budaya Raden Saleh. Taman Budaya
Raden Saleh merupakan salah satu warisan budaya lokal yang hendaknya
diemban dengan berbagai upaya pelestarian serta pemanfaatan yang positif.
Objek wisata budaya sendiri merupakan salah satu daya tarik wisata yang dapat
menarik minat wisatawan untuk berkunjung sehingga mampu memberikan
kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Untuk menganalisa proses keberhasilan implementasi kebijakan pariwisata


terhadap pengembangan Taman Budaya Raden Saleh yang mengacu pada Perda
Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kepariwisataan dan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhinya, maka digunakanlah teori analisis implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh George C. Edward, penggunaan teori tersebut sesuai dengan
kajian penelitian yang dibahas dan akan memudahkan penulis dalam melakukan
anilisis implementasi kebijakan terkait dengan kajian penelitian ini. Model
analisis implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward mengarahkan
pemahaman tentang hubungan antara beberapa variabel dengan proses
keberhasilan implementasi kebijakan. Variabel tersebut diantara lain adalah
komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap pelaksana) dan struktur birokrasi,
secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Komunikasi: Keberhasilan implementasi kebijakan terhadap pengembangan


Taman Budaya Raden Saleh ditunjang dari kelancaran dan kejelasan proses
komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan sasaran kebijakan.
b. Sumber Daya: Tersedianya sumber daya yang memadai akan mendukung
jalannya proses keberhasilan implementasi kebijakan dalam mengembangkan
59

Taman Budaya Raden Saleh yang nantinya dapat tercapai tujuan yang
diinginkan.
c. Disposisi (Sikap Pelaksana): Keberhasilan pelaksanaan kebijakan dalam
mengembangkan Taman Budaya Raden Saleh dipengaruhi oleh sikap
pelaksana dalam menjalankan tugas.
d. Struktur Birokrasi: Struktur Birokrasi yang tidak kondusif pada kebijakan
yang tersedia, akan menyebabkan sumber daya menjadi tidak efektik dan
dapat menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan. Maka, diperlukan
kejelasan standar prosedur operasional dan kejelasan pembagian tanggung
jawab terhadap pihak terkait.

Anda mungkin juga menyukai