1, 2014
Abstract
Shrimp industries have to deal with shell solid waste. On the other hand, this shell solid waste can be utilized
to produce citin and citosan. One of the beneficiations of citosan is for food preservation. This ability is based
on the existence of poly cation with positive charge that is responsible for the inhibition of bacteria growth.
In this study, NaOH was varied to produce citosan from shrimp shell resulting rendemen and deasetilation
degree. Deproteination of the shrimp shell was done using NaOH (3,5% b/v) for 2 hours, at temperature of 65C,
while demineralization was conducted using HCl 1 N (1 gram of sample: 15 mL of HCl) for 1 hour at room
temperature. Deasetilation was done by heating citin in NaOH with concentration of 30%, 40%, 50%, and 60%
b/v for 4 hours at temperature of 100C. Further, observation on the ability of resulted citosan as food
preservation was conducted. Chicken meat was choosen as sample to represent the abundance restaurants selling
these product.
It has been found that citosan from shrimp shell solid waste can be utilized as food preservation agent for
chicken meat without changing the taste and texture of the meat. The optimum condition is 45 minutes with
citosan concentration of 2% with deasetilation degree of 70,34%.
Keywords: citosan, shrimp shell solid waste, food preservation, fried chicken.
Abstrak
Industri pengolahan udang banyak menimbulkan hasil samping berupa limbah kulit udang yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini menyebabkan limbah kulit udang kurang memiliki nilai ekonomis
dibanding dengan mengolahnya menjadi kitin dan kitosan. Kitosan banyak digunakan di berbagai industri antara
lain sebagai bahan pengawet pengganti formalin. Bahan pengawet merupakan bahan tambahan makanan yang
dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan
harapan konsumen. Kemampuan kitosan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki
polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang.
Dalam penelitian ini akan dilakukan pembuatan kitosan dengan variasi konsentrasi NaOH, sehingga akan
diperoleh variasi rendemen dan derajad deasetilasi. Kulit limbah udang mengalami proses deproteinasi dengan
larutan NaOH (3,5% b/v) selama dua jam pada suhu 65C dan proses demineralisasi dalam larutan HCl 1 N (1
gram sampel : 15 mL larutan HCl) selama satu jam pada suhu kamar. Proses deasetilasi dilakukan dengan
memanaskan kitin dalam larutan NaOH (30%, 40%, 50%, dan 60% b/v) selama 4 jam pada suhu 100C.
Selanjutnya dilakukan pengamatan pengaruh derajad deasetilasi terhadap kemampuan kitosan sebagai bahan
pengawet. Pengamatan ini dilakukan dengan mengaplikasikan kitosan dalam pengawetan daging ayam. Dipilih
daging ayam karena sekarang ini banyak sekali dibuat ayam goreng yang dijual dalam gerobak-gerobak di
pinggir jalan yang menggunakan bahan kimia berbahaya sebagai pengawetnya.
Kitosan yang berasal dari limbah kulit udang dapat digunakan sebagai bahan pengawet daging ayam, tanpa
mengubah rasa dan aroma khas daging ayam. Waktu perendaman terbaik adalah 45 menit pada kitosan 2%.
Sedangkan aplikasi kitosan sebagai bahan pengawet diperoleh kondisi terbaik pada derajad deasetilasi 70,34%.
menghasilkan limbah yang banyak sekitar depigmentasi ini dapat dilakukan dengan
250.000 ton per tahunnya, mengingat hasil mengekstrak endapan hasil demineralisasi
samping produksi yang berupa kepala, kulit, dengan aceton dan dibleaching dengan 0,315
ekor, dan kaki sekitar 35%-50% dari berat awal. NaOCl* (w/v)* selama 5 menit pada suhu kamar.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan Perbandingan solid:solven 1:10* (w/v)*
udang, pengalengan udang, dan pengolahan (Hargono dkk., 2008). Tahap ini dapat dilewati
kerupuk udang berkisar 30%-75% dari berat karena sangat dipengaruhi oleh jenis udang,
udang (Rekso, 2001). apabila produk yang dihasilkan pada tahap
Limbah udang ini dapat mencemari demineralisasi sudah mengalami penghilangan
lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu warna akibat dari proses pemisahan mineral oleh
dimanfaatkan. Berdasarkan berbagai penelitian HCl. Penghilangan warna ditunjukkan dengan
yang telah dilakukan limbah udang ini memiliki adanya perubahan warna dari merah oranye
potensi yang besar sebagai penghasil kitin mendekati warna putih. Untuk mengubah kitin
(Synowiecki dkk., 2003). Kitin dapat diisolasi menjadi kitosan, dilakukan deasetilasi (Emma
dan diubah menjadi kitosan melalui proses dkk., 2010).
deasetilasi (Cervera, 2004). Kitin dan kitosan Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan
banyak diaplikasikan dalam bidang industri dimaksudkan untuk memutus ikatan antara gugus
maupun kesehatan. Beberapa aplikasinya antara asetil dengan atom nitrogen, sehingga berubah
lain industri tekstil, fotografi, kedokteran, menjadi gugus amina(-NH2).
fungisida, kosmetik, pengolahan pangan dan
penanganan limbah.
Kitosan diperoleh dengan cara mengkonversi
kitin, sedangkan kitin dapat diperoleh dari kulit
udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam
tiga tahap, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan
depigmentasi. Sedangkan kitosan diperoleh
dengan deasetilasi kitin dengan larutan basa
konsentrasi tinggi. Deproteinasi menggunakan
basa dengan konsentrasi tinggi dan
Gambar 1. Mekanisme Reaksi Pembentukan Chitosan
demineralisasi menggunakan asam (Muminah, dari Chitin (Suhardi, 1993)
2008).
Tahap deproteinasi adalah proses Derajad deasetilasi kitosan ditentukan dengan
penghilangan protein yang terdapat pada limbah Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR)
udang, yang mana kadar protein dalam udang dengan panjang gelombang 4000 cm-1 sampai
sekitar 21% dari bahan keringnya (Solomon, 600 cm-1. Derajad deasetilasi ditentukan dengan
1980). Makin kuat basa dan suhu yang digunakan metode base line yang dirumuskan oleh Baxter.
proses pemisahannya semakin efektif (Karmas, Derajad deasetilasi dihitung dari perbandingan
1982). Berdasarkan hasil penelitian yang telah antara absorbansi pada 1655 cm-1 dengan
dilakukan Emma dkk., kondisi optimum untuk absorbansi pada 3450 cm-1.
proses ini adalah dengan menggunakan larutan Pengukuran derajad deasetilasi berdasarkan
NaOH 3,5% (b/v) pada suhu 65C selama 2 jam kurva yang tergambar oleh spektofotometer.
dengan perbandingan 1 gram : 10 mL antara Puncak tertinggi (Po) dan puncak terendah (P)
serbuk udang dan volume larutan NaOH (Emma dicatat dan diukur dengan garis dasar yang
dkk., 2010). dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan
Tahap demineralisasi bertujuan untuk rumus:
menghilangkan senyawa anorganik yang terdapat
pada limbah udang, misalnya CaCO3 dan (1)
Ca2(PO)4. Kondisi optimum pada tahap ini Po : P adalah perbandingan absorbansi pada
dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1 N 1655 cm-1 dengan absorbansi 3450 cm-1 . Dengan
secara perlahan pada suhu kamar dengan mengukur absorbansi pada puncak yang
perbandingan 1 gram sampel : 15 mL larutan HCl berhubungan, nilai N-deasetilasi dapat dihitung
1 N selama satu jam (Emma dkk., 2010). dengan rumus:
Tahap depigmentasi, yaitu tahap penghilangan
warna terjadi setelah tahap demineralisasi. Hasil - - (2)
dari proses depigmentasi disebut kitin. Tahap
14 Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 8, No. 1, 2014
Pembuatan kitosan
Gambar 2. Spektra IR kitosan (Kimura 2001) - Deproteinasi
Pada tahap ini protein dari limbah udang
Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dipisahkan dengan cara memasukkan 100
dalam pengawetan makanan yaitu molekul gram sampel limbah udang kering yang sudah
kitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dibersihkan dan dihaluskan kedalam 1000 mL
dengan senyawa pada permukaan sel bakteri larutan NaOH 3,5% (b/v) dan dipanaskan
kemudian teradsorbsi membentuk semacam layer pada suhu 65C selama 2 jam sambil terus
(lapisan) yang menghambat saluran transportasi diaduk menggunakan pengaduk magnetik.
sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi Selanjutnya campuran ini didinginkan dan
untuk berkembang dan mengakibatkan matinya disaring dengan penyaring kain/kertas. Residu
sel. Selain telah memenuhi standar secara yang telah disaring, dicuci dengan air sampai
mikrobiologi, ditinjau dari segi kimiawi juga netral kemudian dibilas dengan aquades.
aman karena dalam prosesnya kitosan cukup Residu netral yang merupakan kitin kasar,
dilarutkan dalam asam asetat encer (1%) hingga dikeringkan dalam oven dengan suhu 65oC
membentuk larutan kitosan homogen yang relatif selama 24 jam dan ditimbang.
aman (Wardaniati, 2009).
- Demineralisasi
Metode Penelitian Endapan hasil deproteinasi dimasukkan
Bahan ke dalam larutan HCl 1 N secara perlahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pada suhu kamar dengan perbandingan 1
penelitian ini adalah kulit udang, NaOH, HCl, gram sampel : 15 mL larutan HCl 1 N
Asam asetat, aquadest, daging ayam, tepung, dan selama 1 jam. Proses pengadukkan
minyak untuk menggoreng. dilakukan menggunakan pengadukan
magnetik. Hasil reaksi disaring dengan
Rangkaian alat penelitian menggunakan kain. Residu yang disaring
Keterangan gambar: dicuci dengan air sampai netral kemudian
1. Statif dan Klem
dibilas dengan menggunakan aquades.
2. Termometer Residu dikeringkan dalam oven 65C
3. Beaker Glass selama 24 jam dan ditimbang.
4. Magnetic Stirer dan
Pemanas
- Deasetilasi
Endapan hasil demineralisasi dimasuk-
Gambar 3. Rangkaian alat deproteinasi, demineralisasi,
dan deasetilasi kan ke dalam larutan NaOH 10% (b/v)
selama 4 jam pada suhu 100C dengan
Pelaksanaan Penelitian perbandingan 1:10 (b/v). Campuran
tersebut diaduk dengan menggunakan
Pelaksanaan penelitian ini meliputi dua
pengaduk magnetik. Hasilnya disaring
tahapan, yaitu pembuatan kitosan dari kulit udang
dan penerapan kitosan sebagai pengawet daging
menggunakan penyaring kain. Residu
ayam. yang merupakan kitosan, dicuci dengan
Secara garis besar pembuatan kitosan air sampai netral dan dibilas
meliputi: cangkang udang basah dicuci dan menggunakan aquades. Kitosan
dikeringkan diblender deproteinasi dikeringkan dalam oven dengan suhu 65C
Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 8, No. 1, 2014 15
Tabel 3. Analisa blangko pada daging ayam segar Pada saat penambahan kitosan 3%, ternyata
(pemotongan pada jam 05.00 pagi) aroma bau kitosan sangat menyengat yang
Pengamatan Jam Jam Jam Jam Setelah mempengaruhi aroma khas daging ayam segar,
08.00 12.00 16.00 20.00 24 jam
sehingga dipilih penambahan konsentrasi 2%
Warna 9 7 6 5 3 untuk percobaan selanjutnya.
Kekenyalan 9 7 6 4 2 Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi
Bau 9 6 5 4 2
Rasa 9 7 5 4 2 NaOH pada proses deasetilasi terhadap daya
Lendir 9 7 5 4 2 simpan ayam goreng dilakukan percobaan pada
kondisi perendaman 45 menit dengan konsentrasi
Tabel 4. Analisa blangko pada daging ayam goreng penambahan kitosan 2%. Hal ini dilakukan untuk
Pengamatan Hari Hari Hari semua variasi derajad deasetilasi. Daging ayam
ke-1 ke-2 ke-3 segar yang sudah direndam, dilumuri tepung
Warna 8 6 4 berbumbu kemudian digoreng. Selanjutnya
Kekenyalan 8 6 4 dibiarkan dalam udara terbuka untuk diamati
Bau 8 5 3 perubahan fisiknya.
Rasa 8 5 2
Lendir 8 5 2
Pada ayam goreng yang direndam kitosan
selama 45 menit dalam kitosan 2% dengan
Hasil uji organoleptik terhadap daging ayam derajad deasetilasi 70,34 % dapat bertahan pada
segar yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan ambang kewajaran selama 7 hari dalam udara
bahwa pada jam ke-11 (jam 16.00) setelah terbuka.
pemotongan ayam, telah mengalami perubahan Pembusukan pada daging ditandai dengan
terhadap warna, kekenyalan, bau, rasa, dan semakin kecilnya angka hasil uji organoleptik.
lendir. Bahkan apabila ditinjau dari segi bau, Pembusukan merupakan gejala yang terlihat dari
rasa, dan lendir daging ayam sudah tidak layak aktivitas mikroorganisme dengan perubahan bau,
dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena rasa atau penampilan daging yang menyimpang.
penurunan konsistensi otot daging, Pembusukan dapat dikatakan juga sebagai
penyimpangan bau, dan berair. kerusakan daging oleh kerja mikroorganisme
Tabel 4 menunjukkan analisa blangko untuk yang merusak struktur daging menjadi produk
ayam goreng yang digoreng tanpa perendaman yang sangat lunak dan berair. Daging merupakan
kitosan terlebih dahulu. Hasil uji organoleptiknya sumber makanan yang baik bagi mikroorganisme
sama dengan hasil uji organolpetik pada waktu untuk berkembang biak secara cepat dan
perendaman kitosan 15 menit yang disajikan mengakibatkan terjadi pembusukan dalam waktu
pada Tabel 2. Ayam goreng yang dibiarkan pada yang singkat. Hal ini dapat dilihat pada hasil
udara terbuka tidak layak dikonsumsi pada hari pengaatan Tabel 3, dimana pembusukan mulai
kedua. terjadi 11 jam setelah pemotongan hewan.
Semakin meningkatnya derajad deasetilasi
Tabel 5. Optimasi konsentrasi larutan kitosan (waktu menyebabkan semakin banyaknya gugus asetil
rendaman 45 menit pada derajad deasetilasi yang terlepas atau semakin banyaknya gugus
67,29%) aktif amida bebas (-NH2) yang terdapat dalam
Konsentrasi Pengamatan Hari Hari Hari molekul kitosan yang memberikan efek
kitosan ke-1 ke-2 ke-3 antimicrobial karena dapat membentuk polikation
1% Warna 9 7 6 yang memiliki afinitas yang kuat terhadap sel
Kekenyalan 9 6 5
Bau 8 6 5 bakteri (Rabea dkk., 2003)
Rasa 8 6 5 Faktor yang berpengaruh terhadap
Lendir 8 6 4 kemampuan kitosan sebagai pengawet makanan
2% Warna 9 8 7 adalah banyaknya gugus amina yang terkandung
Kekenyalan 9 8 7
Bau 8 7 6
dalam senyawa kitosan. Banyaknya gugus amin
Rasa 8 7 6 tergantung pada gugus asetil yang terambil.
Lendir 8 7 6 Banyaknya gugus asetil yang terambil disebut
3% Warna 9 sebagai derajad deasetilasi. Sehingga semakin
Kekenyalan 9 tinggi derajad deasetilasi maka kemampuan
Bau 5
Rasa 8
kitosan sebagai bahan pengawet makanan
Lendir 8 semakin bagus.
18 Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 8, No. 1, 2014
Tabel 6. Hasil uji organoleptik pengaruh derajad deasetilasi terhadap daya simpan ayam goreng (waktu rendaman
45 menit dan konsentrasi kitosan 2%)
Derajad Pengamatan Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
Deasetilasi ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7
30,52 % Warna 9 9 8 6 5
kekenyalan 9 9 8 6 5
Bau 8 8 7 6 5
Rasa 8 7 7 5 4
Lendir 8 8 7 6 5
47,51 Warna 9 9 8 7 5
kekenyalan 9 9 8 6 5
Bau 8 8 8 6 5
Rasa 8 8 7 5 4
Lendir 8 8 7 5 5
67,29 % Warna 9 9 8 7 7 6 5
kekenyalan 9 9 8 7 7 6 5
Bau 8 8 8 7 6 5 4
Rasa 8 8 7 7 6 5 4
Lendir 8 8 7 7 6 5 4
70,34 % Warna 9 9 8 8 7 7 6
kekenyalan 9 9 8 8 7 7 6
Bau 8 8 8 7 7 6 5
Rasa 8 8 7 7 7 6 5
Lendir 8 8 7 7 7 6 5
Rekso, G. T., 2001. Pemanfaatan Limbah Perikanan, Synowiecki, J., dan Al-Khateeb, N. A., 2003.
Jakarta: Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi Production, Properties, and Some New
(P3TIR), Badan Teknologi Nasional. Applications of Chitin and its Derivaties, Critical
Solomons, Graham T. W., 1980. Organic Chemistry, Reviews in Food Science and Nutrition, 43 (2),
2nd ed., John willey & Sons Inc., New York. 145-171.
Suhardi, 1993. Kitin dan Kitosan, Pusat Antar Wardaniati, R. A dan Sugiyani S., 2009. Pembuatan
Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya dalam
Mada, Yogyakarta. Pengawetan Bakso. Makalah Penilitian Online
(http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_peneliti
an_fix.pdf).