Anda di halaman 1dari 23

Kelompok 14 : Anisa Meilia Ashoffi (150342605236)

Awalia Siska Puji Lestari (150342605762)

BAB I
KAJIAN GENETIK EKSPRESI KELAMIN

A. Ekspresi kelamin pada mahkluk hidup prokariotik


Watson dkk. (1987), menyatakan bahwa siklus kelamin E. coli memiliki ciri
yang berbeda. Dinyatakan pula bahwa seperti pada makhluk hidup tingkat tinggi ada
sel kelamin jantan dan betina, tetapi sel-sel itu tidak berfungsi sempurna, yang
memungkinkan kedua perangkat kromosom berbaur dan membentuk diploid utuh.sel
sel kelamin pada E. coli dikenal dengan ada atau tidaknya kromosom kelamin yang
tidak lazim (faktor F =fertility). Pada E. coli faktor F dpaat berupa suatu
badan/bentukan terpisah , ettapi dapta juga berada dalam keadaan terintegrasi dengan
kromosom sel.
Pada E. coli terdapat 2 jenis kelamin yang ditentukan oleh faktor F, yaitu F+ dan
F- dimana F+ mampu mentransfer komoponen F+ ke F-. F- tidak memiliki faktor F. F-
merupakan .
a. Sel-sel E. coli (F+)
Transfer materi genetik komoponen F+ ke F- daiawali proses konjugasi antara
ke 2 sel. Pasangan konjugasi terbentuk melalui perekatan suatu pilus kelamin
jantan pada permukaan suatu sel kelamin betina. Perekatan pilus tersebut
merangsang suatu rangkaian keajian dan mendorong terjadinya replikasi DNA
faktor F, selanjutnya menggiring transfer suatu DNA faktor F (hasil replikasi)
ke sel F- . dalam proses ini hanya DNA faktor F yang
ditransfer.

b. Sel E. coli berkelamin (Hfr)

faktor F dalam sel E. coli dapat juga berinteraksi ke dalam kromosom utama
sel. Proses tersebut melalui tahapan pindah silang. merupakan sel F+ yang
membawa faktor F yang terintegrasi dengan komponen utama.

Hfr mampu mentransfer bagian F+ ke F- namun sel tetangga cenderung


menempel yang menyebabkan F+ memiliki sifat baru sesuai dengan sifat sel
tetangga yang ikut. Saat proses konjugasi berlangsung terkadang dapat tiba-
tiba berhenti karena bebera faktor yaitu : suhu tinggi, di blender, dan
digoncangkan. Hal ini menyebabkan F- F+ karena hanya yang ditransfer.
Gambar 1.3 hal 4. Menjelaskan tentang skematik pasangan konjugasi antara
sel E. coli berkelamin jantan (F+) yang terbentuk karena pelekatan suatu pilus
dari sel berkelamin jantan ke permukaan sel berkelamin betina (F-)

B. Ekspresi kelamin pada mahkluk hidup eukariotik


a. Ekspresi kelamin pada tumbuhan eukariotik
Tumbuhan Eukariotik
a) Chlamydomonas Dibagi menjadi 5 valensi dalam 2 kelompok . pada
valensi 1-5 bisa kawin dengan 1-5 namun dengan jarak
yang terjauh
b) Saccharomyces Ekspresi kelamin yaitu a dan yang diatur oleh gen mat
dan Neurospora a dan . diatur oleh 1 gen monogenik
c) Kelas jamur Ekspresi kelamin ditentukan oleh keadaan bipolar dan
Basinomycetes tetrapolar. Bipolar = terdiri dari 2 alel (gen A = A,a)
sedangkan tetrapolar = ditentukan oleh gen A dan gen B
(A,a dan B,b)
Aa >< Bb
AB, Ab, aB, ab
AB kawin dengan ab, Ab kawin dengan aB
d) Lumut hati Memiliki 8 pasang kromosom dimana 7 pasang
kromosom merupakan autosom sedangkan yang 1 pasang
merupakan kromosom kelamin. Pada kromosom XY
salah satu pasti memiliki panjang yang lebih panjang
antara X atau Y diaman apabila X yang terpanjang makan
, dan apabila Y yang lebih panjang maka
e) Tumbuhan Spermathopyta sebagian besar berumah satu, namun
berumah satu dan terdapat perubahan sifat yang disebabkan oleh bawaan
dua alel mutan yang menyebabkan tanaman tersebut menjadi
berumah dua. (tabel 1.1)
f) Marga Penentuan jenis kelamin berdasarkan jumlah kromosom
melandrium x/y sedangkan jumlah pasang autosom tidak berpengaruh
pada penentuan jenis kelamin (tabel 1.2)

Tabel 1.1 berbagai fenotip dan genotip pada Zea mays terkait dengan gen ba dan ts

Tabel 1.2 perimbangan X/Y pada Melandrium serta fenotip kelaminnya yang terkait
b. Ekspresi kelamin pada hewan avertebrata
Hewan Avertebrata
a) Paramecium Paramecium memiliki 8 jenis kelamin (1-8). 1 akan
kawin dengan 2-8 namun 1 1
b) Ophryotocha Jenis kelamin berdasarkan ukuran tubuh, apabila kecil
maka dan apabila berukuran besar maka
c) cacing tanah Merupakan hemaprodit, namun tidak bias mengawini
dirinya sendiri karena meski memiliki gonad namun
kematangan masing-masing gonad berbeda
d) hemynoptera Saat sel telur difertilisasi = diploid, sel telur yang tidak
diferlisasi = haploid. Ratu koloni (fertil), pekerja
(steril) kedua hal ini ditentukan nutrisi saat larva. (gambar
1.10)
e) D. melanogaster Jenis kelamin ditentukan jumlah kromosom X dan jumlah
autosom. (tabel 1.3)
f) Boniella Saat di 1 populasi boniella tidak terdapat individu
maka beberapa akan berkumpul dan berdeferensiasi
menjadi .
Saat ada individu maka telur-telur dalam individu
akan berubah menjadi karena pengaruh hormone

Gambar 1.10 bagan persilangan Habrobracon junglandis

Tabel 1.3 Indeks kelamin numeric pada D.melanogaster


c. Ekspresi kelamin pada hewan vertebrata
Jenis
Vertebrata
Pisces Ikan budidaya memiliki tipe perkawinan gonochoristik.dimana
dibagi menjadi 2 tiope :
1. Spesies yang memiliki gonad yang belum berdeferensiasi :
pertama kali gonad tsb berkembang menjadi 1 gonad serupa
ovarium selanjutnya separuhnya menjadi individu jantan
separuhnya lagi menjadi individu betina
2. Spesies yang memiliki gonad yang telah bedeferensiasi :
gonad-gonad langsung berdeferensiasi menjadi testis atau
ovarium (tabel 1.5)
Amphibi Tidak ada keseragaman pola ekskresi kelamin.beberapa kelompok ada
yang memiliki kromosom kelamin (tipe XY-XX maupun tipe ZZ-ZW)
da nada beberapa yang tidak memiliki kromosom kelamin
Reptilian Terdapat 2 jenis individu yaitu :
1. Heterogametik berkelamin betina (ZW)
2. Homogametic berkelamin jantan (ZZ)
Beberapa reptile jenis kelamin ditentukan oleh suhu.
Aves Kromosom kelamin disimbolkan XX atau ZZ untuk jantan, XO, ZW,
ZO untuk betina
Mammalia dan
Tikus

Gambar 1.13 bagan perkembangan kelamin pada Mammalia dalam


hubungannya dengan waktu
Tabel 1.5 Jumlah kromosom (2n) serta macam kromosom kelamin pada ikan

BAB II

KROMOSOM KELAMIN
A. Sejarah penemuan kromosom kelamin
Ada sel yang membawa X body ada yang tidak. X body merupakan suatu kromosom yang
menentukan kelamin yang dikenal sebagai kromosom kelamin atau kromosom X.
terdapat kromosom homolog yang berpasangan dengan kromosom X namun berukuran
lebih kecil yang disebut kromosom Y. Zigot XX akan menjadi individu betina dan zigot
XZ akan menjadi individu jantan.

B. Evolusi kromosom kelamin


a. Evolusi Kromosom X Dan Y Pemula
Pemisahan kedua fungsi kelamin pada individu-individu terpisah (dioceus) bermula dari :
keadaan kelamin bergabung (cosexual) purba fungsi jantan dan betina diekspresikan
dalam tubuh individu yang sama.
Pola transisi paling sederhana yaitu dimana keadaan kelamin tergabung menuju kepada
suatu keadaan terpisah sempurna melalui kejadian mutase pada 2 lokus (lokus f yang
mengkontrol fungsi betina dan lokus m yang mengkontrol fungsi jantan).
Mekanisme mutase kedua lokus :
Diikuti proses seleksi dan pengurangan rekombinasi memunculkan kromosom proto X
maupun kromosom proto Y setelah terbentuknya kedua kromosom tersebut masih
terjadi seleksi lebih lanjut seleksi alela-alela yang menguntungkan pada individu jantan
namun merugikan pada individu betina.
b. Erosi Kromosom Y
Erosi kromosom Y merupakan kehilangan sebagian alel pada kromosom Y.
kromosom Y berukuran lebih pendek (selama evolusi lokus terkikis teori seleksi
diamana ada alel yang dipertahankan & dihilangkan)
c. Evolusi Determinasi Kelamin X/A Sistem Kromosom Kelamin XO
Gen Mf dan Ff saat kedua gen ini aktif akan menjadi individu jantan. Saat hanya gen Ff
saja yang aktif maka akan menjadi individu betina. Gen Ff termutasi sehingga berubah
menjadi Fs yang menyebabkan tidak bisa menghasilkan ovum atau dapat juga menjadi
jantan fertile atau steril.

C. Kebakaan Yang Terpaut Kelamin


Kebakaan yang terpaut kelamin dikontrol oleh gen yang terpaut pada kromosom
kelamin (Gardner dkk., 1991).
a. Penemuan Morgan Tentang Pautan Kelamin Pada Drosophila
Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, dan
gen terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X,
tepatnya pada lokus w (Gardner dkk., 1991). Persilangan berikut memperlihatkan hal tersebut
(Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Persilangan yang memperlihatkan kebakaan terpaut kelamin X (lokus w) pada D.
melanogaster (modifikasi dari Gardner dkk., 1991).

Pada persilangan tersebut terlihat bahwa seluruh turunan F1 bermata merah. Pada F2
75% turunan bermata merah, sedangkan 25% lainnya bermata putih. Ke 25% turunan F2
yang bermata putih itu berkelamin jantan. Terbukti pula 50% turunan jantan F2 bermata
merah, 50% lainnya bermata putih (ke 25% tersebut). Secara keseluruhan pada percobaan
persilangan itu, alel resesif diekspresikan hanya pada individu jantan. Atas dasar percobaan
persilangan itu disimpulkan bahwa gen warna mata tersebut terdapat pada kromosom kelamin
X sehingga kebakaan warna mata pada Drosophila terpaut kromosom kelamin (kromosom
X).

b. Pola-pola Kebakaan dari Gen-gen yang Terpaut Kelamin

Dikalangan makhluk hidup yang memiliki kromosom kelamin XX-XY (misalnya


pada manusia), gen yang terdapat pada kromosom kelamin X sebagian tidak ditemukan sama
sekali pada kromosom Y sehingga disebut terpaut kelamin lengkap (completely sex linked),
sebagian dapat berekombinasi melalui pindah silang (crossing over) dengan gen yang
terdapat pada kromosom Y, seperti layaknya gen pada autosom homolog (incompletely sex
linked/partially sex linked). Pada kromosom Y juga ditemukan gen yang tidak terdapat pada
kromosom X. Gen tersebut disebut terpaut seluruhnya pada kromosom Y(completely Y
linked) atau dikenal sebagai gen holandrik. Pewarisan sifat yang terpaut kromosom kelamin
X mengikuti pola crisscross pattern of inheritance (pola pewarisan menyilang) seperti yang
terlihat pada gambar 2.3 dan 2.4. Dalam hal ini suatu sifat fenotip yang ada pada induk betina
diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan, dan yang ada pada induk jantan diwariskkan
(tidak terekspresi) melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan.

Gambar 2.2 Bagan kromosom X dan Y yang memperlihatkan bagian


homolog dan nonmolog (Stansfield, 1983)

Gambar 2.3 Pola crisscross patern of inhentance Gambar 2.4 Pola crisscross pattern of inheritance
pada Drosophila dari induk jantan (Rothwell, 1983) pada Drosophila dari induk betina
Gambar 2.5 Pewarisan sifat (resesif) terpaut kromosom kelamin X dari induk jantan D. melanogaster
langsung kepada turunan jantan dan diekspresikan, akibat peristiwa gagal berpisah (primer) pada induk
betina (Ayala dkk., 1984)

Gambar 2.6 Pewarisan sifat (resesif) terpaut kromosom kelamin X dari induk betina D. melanogaster
langsung kepada turunan betina dan diekspresikan, akibat peristiwa gagal berpisah pada induk betina
(Rothwell, 1983).

c. Gen-gen yang Terpaut Kelamin pada Drosophila melanogaster

Pada Drosophila melanogaster gen yang terpaut kromosom kelamin X (ditunjukkan


dalam bentuk mutan) misalnya yellow, white, vermilion, miniature, dan rudimentary (Ayala
dkk., 1984). Gen yang tergolong terpaut kelamin tidak sempurna (incompletely sex linked
genes) pada Drosophila melanogaster antara lain bobbed bristles atau bb (tipe mutan), alela
tersebut terdapat pada kromosom X maupun Y tepatnya pada lengan pendek. Pada kromosom
Y telah ditemukan 7 gen holandrik yang bersangkut paut dengan ferlilitas jantan yaitu K1-1,
K-2, K-3, K-4, K-5 (semuanya lengan panjang) serta Ks-1 dan Ks-2 (masing-masing pada
lengan pendek).

d. Gen-gen yang terpaut kromosom Kelamin Z pada unggas

Pola pewarisan terpaut kelamin ZZ-ZW bersifat homozigot pada individu betina,
bukan jantan. Alela dominan terpaut Z disebut dengan S, dan alela alternatif s pada bulu
keemasan yang ditemukan pada ayam. Ayam memiliki alela S berbulu keperakan di saat
menetas dan dapat digunakan membedakan kelamin. Contohnya dalam individu betina
berbulu keperakan (SW) dan individu jantan berbulu keemasan (ss), terjadilah crisscross
inheritence yang memudahkan pembedaan fenotip kelamin. Dari persilangan itu diperoleh
turunan betina (semua) berbulu keemasan, sedangkan turunan jantan (semua) berbulu
keperakan

Gambar 2.7. Warna bulu ayam yang dikontrol oleh gen yang terpaut pada kromosom kelamin Z. Gen
dominan adalah untuk warna bulu keperakan, sedangkan gen resesif adalah untuk warna bulu
keemasan. Dari persilangan semacam ini terbukti warna bulu ayam dapat digunakan sebagai ciri
pembeda kelamin (Maxson dkk., 1985).

e. Sifat- sifat yang Terpaut Kromosom Kelamin X Pada Manusia

Pada manusia (dan beberapa spesies lain) ditemukan gen Tfm yang terpaut kromosom
kelamin X. Gen ini berfungsi untuk mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat
testosterone. Sebaliknya, pria yang memiliki gen Tfm akan mengidap sindrom testicular
feminization. Pada sindrom ini sel-sel embrio sama sekali tidak peka terhadap efek
maskulinisasi dari testosterone. Karakteristik kelamin sekunder luar janin berkembang lebih
ke arah betina, tetapi secara internal yang berkembang adalah testis; perkembangan uterus,
tuba fallopi, juga terhambat akibat sekresi hormon jantan lain (factor chi), sehingga
terbentuklah suatu vagina buntu. Pada pengidap sindrom tersebut, produksi antigen H-Y
berlangsung normal, selain itu terjadi degradasi saluran Muller seperti biasanya. Selain itu,
jaringan-jaringan tidak reseptif terhadap efek testosterone, yang menimbulkan dampak
berkelanjutan.
Pada manusia ditemukan lebih dari 200 sifat yang dinyatakan sebagai terpaut
kromosom kelamin X. Sifat-sifat itu antara lain: atrofi optic (degradasi syaraf mata),
glaucoma juvenile (penebalan bola mata), myopa (rabun dekat), defective iris, epidermil
cyst, distichasis (double eyelashes), white occipital lack of hair, mitral stenosis (abnormalitas
katup mitral jantung), dan beberapa bentuk keterbelakangan mental. Beberapa sifat memiliki
bentukan alternatif yang dikontrol oleh gen-gen yang terletak pada autosom. Contohnya
adalah presepsi warna tertentu, seperti merah dan hijau, presepsi warna biru merupakan sifat
yang terkait autosom. Presepsi warna bersangkut-paut dengan sel-sel berbentuk konus pada
retina mata. Sel konus mengandung protein penyerap warna (pigmen) yang mengindera suatu
bagian spesifik dari spectrum penyerapan warna.

Gambar 2.8. Spektrum-spektrum penyerapan


untuk ketiga macam protein yang terdapat pada
sel-sel konus dari retina mata manusia

(Gardner dkk., 1991)

Gen-gen pengkode protein menyerap spectrum cahaya itu telah diisolasi, dan urutan-
urutan nukelotidanya telah diidentifikasi. Protein penyerap spectrum cahaya itu sudah
diungkap asam-asam aminonya. Susunan asam-asam amino dari ketiga macam protein
pengemban fungsi yang sangat mirip tersebut, juga sangat mirip. Missal protein penyerap
spectrum cahaya hijau dan merah berbeda hanya pada sejumlah kecil asam amino.
Gambar 2.9. Perbandingan struktur protein penyerap
warna hijau dan merah yang terpaut kromosom
kelamin X pada mausia. Tiap lingkaran adalah satu
asam amino. Asam-asam amino yang berbeda antara
kedua macam protein penyerap waran itu ditunjukkan
sebagai lingkaran bertanda panah

(Gardner dkk., 1991)

Pada manusia identifikasi sifat-sifat yang terpaut kelamin didasarkan pada analisa
silsilah. Beberapa karakteristik untuk identifikasi sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin
X sebagai berikut:
1. Sifat tersebut lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding pada perempuan.
2. Sifat tersebut diwariskan dari seorang pria yang memiliki sifar itu (penderita) kepada
separuh cucu laki-laki melalui anak perempuannya.
3. Suatu alela yang terpaut X tidak pernah diwariskan langsung daru ayah kepada anak laki-
laki.
4. Semua wanita pemiliki sifat tersebut (penderita) mempunyai seorang ayah yang juga
pemiliki sifat itu (penderita) serta seorang ibu carrier atau juga merupakan pemiliki sifat
itu (penderita).
Khusus untuk sifat-sifat terpaut kromosom kelamin X yang dominan seperti tipe darah
yang jarang Xga, pria- pria penderita diharapkan akan mewariskan sifat tersebut kepada
semua anaka perempua mereka dan bukan kepada anak laki-laki. Sedangkan wanita
heterozigot akan mewariskan sifat itu kepada separuh anak mereka (laki-laki maupun
perempuan). Contoh cacat bawaan resesif yang sangat merugikan terpaut kromosom kelamin
X pada manusia antara lain:
1. Lesh-Nyhan Syndrome (Congential Hyperuricemia) penderita ini
memproduksi asam urat berlebih. Penderita ini mengalami defisiensi HPRT
(Hyposanthine Guanine Phophoribosyl Transferase), yang berperan pada biosintesis
nukleotida.
2. Duchene-type Muscular Dystrophy cacat ini dapat dilihat pada janin laki-laki
dengan cirri-ciri pada umur menginjak belasan tahun otot-otot kaki dan bahu kaku dan
lama-kelamaan akan menjadi lumpuh hingga dapat berakibat fatal yaitu matai pada umur
21 tahun. Sedangkan untuk anak perempuan akan terlahir menjadi ibu carrier.
3. Hunter Syndrome Cacat ini ditandai dengan keterbelakangan mental,
tampang kasar, hirsutism (abnormal hairness), serta tampilan wajah khas (hidung lebar,
lidah menjulur panjang).
f. Gen-gen yang Terdapat pada Kromosom Kelamin Y Manusia

Sifat-sifat pada manusia yang dikontrol oleh gen-gen holandrik hanya diwariskan dari
seorang ayah kepada semua anak laki-laki. Sifat pada manusia yang dikontrol oleh gen-gen
holandrik yang telah dilaporkan hanya sedikit. Terdapat pendapat yang menyimpulkan bahwa
kromosom Y manusia (bahkan Mamalia) memang hanya mengandung sedikit gen yang
memperlihatkan efek secara fenotif. Gen-gen holandrik pada manusia yang telah dilaporkan
antara lain h (hypertrichosis), hg (hystrixgravier), dan wt (untuk jari-jari berselaput). Gen-gen
holandrik lain pada manusia ialah H-Y dan TDF.
Gen h (resesif) menyebabkan hypertrichosis yaitu tumbuhnya rambut di bagian tertentu
di tepi daun telinga. Hypertrichosis ini dijumpa di India, Caucasia, Aborigin (Australia),
namun jarang ditemukan pada masyarakat Jepang dan Nigeria. Belum ada kepastian
mengenai latar belakang genetik hypertrichosis (dikontrol oleh gen-gen holandrik atau
autosomal). Gen hg (resesif) menyebabkan pertumbuhan rambut panjang dan kaku di
permukaan tubuh, sehingga menyerupai duri landak. Orang yang mengidap kelainan ini
dinamakan Porcupine Man. Ciri dari kelainan ini ialah kulit menguning yang perlahan-lahan
menjadi hitam dan mulai menebal, seluruh permukaan tubuh, kecuali telapak tangan, kaki,
kepala serta wajah tertutup oleh sisik kasar dan tajam, serta duri-duri silindris sepanjang
hampir 1 inci. Pendapat yang lebih definitif menyatakan bahwa gen yang bertanggung jawab
pada Porcupine Man tergolong gen autosomal dominan yang sangat jarang.
Gen wt (resesif) menyebabkan tumbuhnya kulit diantara jari-jari (tangan dan terutama
kaki) yang mirip dengan kaki katak atau burung air. Dinyatakan bahwa kulit itu tumbuh
serupa selaput antara jari kedua dan ketiga. Namun latar belakang genetik kelainan itu
(terpaut kromosom Y atau bukan) masih belum dapat dipastikan. Gen H-Y terletak pada
lengan pendek dar kromosom kelamin Y. Gen H-y (gen histocompatibilitas) bertanggung
jawab terhadap penentu atau pengenal antigen (antigenic determiners) pada jaringan individu
jantan. Pendapat lain menyatakan bahwa tampaknya antigen H-Y identik pada seluruh
vertebrata dalam kaitan dengan perilaku immunologis, bahkan antigen H-Y juga ditemukan
pada burung betina yang bersifat heterogametik. Antigen H-Y pertama kali ditemukan pada
tikus.
Gen TDF (Testis Determining Factor) bertanggung jawab terhadap perkembangan
testis dan berperan sebagai master regalator. Terdapat pula pendapat yang menyatakan
bahwa gen TDF dan mungkin gen-gen penentu sifat jantan yang lain pada kromoso kelaminY
memperlihatkan efek yang sangat dominan terhadap perkembangan fenotif kelamin,
diketahui bahwa sekalipun ada 3 atau lebih kromosom kelamin X, namun apabila terdapat
satu kromosom kelamin Y biasanya sudah cukup mendukung perkembangan testis maupun
karakter-karakter jantan.
D. SIFAT YANG TERPENGARUH KELAMIN
Gen pengontrol sifat yang terpengaruh kelamin dapat terletak pada autosom ataupun
pada bagian yang homolog dengan kromosom kelamin. Ekspresi dominan atau resesif oleh
alela dari lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan betina, terutama
berkaitan dengan perbedaan lingkungan internal yang disebabkan oleh hormon kelamin.
Berdasarkan hal tersebut maka:
a. Dominansi alela-alela pada keadaan heterozigot dapat berbeda pada kedua kelamin.
b. Gen yang terkait dengan dominansi yang dipengaruhi kelamin terletak pada autosom,
bukan padabagian nonhomolog kromosom kelamin.
E. SIFAT-SIFAT YANG TERBATAS KELAMIN
Sifat yang terbatas kelamin tidak sama dengan sifat yang terpengaruh kelamin, dan
bukan merupakan sifat yang terpengaruh dari kebakaan terpaut kelamin (bersangkut paut
dengan ekspresi gen yang berbeda pada setiap kelamin). Beberapa gen autosomal hanya
berekspresi pada saa satu kelamin (karena perbedaan hormonal dan anatomis). Hormon
kelamin merupakan faktor pembatas terhadap ekspresi beberapa gen. Contohnya keterbatasan
produksi susu pada sapi betina, bulu individu jantan pada berbagai unggas,
a. Rasio Kelamin (Kajian Pada Manusia)
Ekspresi kelamin pada manusia ditentukan oleh gen pada kromosom Y, dan karena
pria menghasilkan gamet-gamet pembawa kromosom X dan pembawa kromosom Y dalam
sejumlah yang hampir sama, maka sesuai hukum Mendel kedua kelamin harusnya berasio
1:1. Rasio kelamin primer (disaat konsepsi) sekitar 1,60 (jantan) : 1,00 (betina); sedangkan
pada rasio kelamin sekunder (orang kulit putih) sekitar 1.06 (jantan) : 1,00 (betina); dan rasio
kelamin tersier hampir sama antara jantan dan betina, tetapi semakin tua jumlah individu
berkelamin betina lebih banyak
.
BAB III
FENOMENA KOMPENSASI DOSIS DAN DIFERENSIASI KELAMIN
A. BADAN KROMATIN DAN KOMPENSASI DOSIS
a. Chroatin Body atau Barr Body
Sel-sel individu betina Mammalia dapat dibedakan dari sel-sel individu jantan.
Pembedaan itu didasarkan pada ada atau tidaknya struktur yang disebut Barr Body. Barr
Body adalah chromatin body yang pertama kali ditemukan oleh M.L. Barr pada sel-sel syaraf
kucing betina. Chromatin body dapat diperlihatkan melalui teknik pewarnaan yang tepat dan
tampak sebagai satu bentukan kecil gelap yang terdapat dalam inti sel-sel betina. Chromatin
body hanya ditemukan pada sel-sel betina manusia, demikian pula tidak ditemukan pada sel
jantan hewan Mammalia lain, tetapi hanya ditemukan pada sel betina. Barr body dapat juga
dimanfaatkan untuk diagnosis berbagai jenis abnormalitas kromosom kelamin. Individu yang
memiliki dua atau lebih kromosom kelamin X mempunyai mempunyai kromatin body yang
kurang dari satu, dari jumlah kromosom X yang ada. Pada sel individu betina yang memiliki
2 kromosom kelamin X, akan ditemukan satu (2-1) chromatin body dan dalam sel individu
jantan yang hanya memiliki 1 kromosom kelamin X tidak ditemukan chromatin body (1-1).
Sel individu betina yang memiliki 1 kromosom X (sindrom Turner) tidak mempunyai
chromatin body, dan sel individu jantan yang memiliki 2 kromosom X dan 1 kromosom
kelamin Y (sindrom Klinefelter) mempunyai 1 chromatin body. Hal ini karena jumlah
chromatin body adalah satu lebih sedikit daripada jumlah kromosom kelamin X. Sel individu
betina abnormal yang memiliki 3 kromosom kelamin X mempunyai 2 chromatin body.
b. Komposisi Dosis dan Hipotesis Lyon
Individu betina yang homozigot untuk gen-gen tertentu pada kromosom kelamin X,
tidak mengekspresikan suatu sifat secara lebih kuat daripada yang diekspresikan oleh
individu jantan homozigot. Atass dassar hal tersebut dinyatakan bahwa ada mekanisme
kompensasi dosis (dosage compensation), melalui mekanisme tersebut, dosis gen yang
efektif dari kedua kelamin dibuat sama, atau hampir sama. Adanya hipotesis yang
menyatakan bahwa kompensasi dosis bersangkut-paut dengan inaktivasi satu kromosom
kelamin X pada individu betina yang normal. Mary F. Lyon merumuskan secara rinci atas
dasar pengamatan sitologis dan studi genetik terhadap warna bulu pada tikus. Hipotesis Lyon
didasarkan atas pengamatan bahwa jumlah chromatin body pada sel-sel interfase individu
betina dewasa adalah jumlah kromosom kelamin teramati pada preparat metafase dikurangi 1.
Chromatin body adalah suatu kromosom kelamin X yang mengalami
heterokromatinisasi, jika hal ini benar maka hanya 1 kromosom kelamin X yang
dibutuhkan untuk metabolisme normal pada sel individu betina dan kromosom kelamin X
lainnya mengalami kondensasi menjadi heteropiknotik, yang tidak aktif secara genetik.
Inaktivasi salah satu kromosom kelamin X terjadi secara acak sehingga Individu betina
merupakan individu mosaik, sifat mosaik itu tampak dalam hubungannya degan alel (pada
kromosom X) yang heterozigot atau dengan kata lain beberapa bagian tubuhnya mempunyai
alel alternatif yang diekspresikan. Pada perempuan kembar bercak hitam adalah bagian kulit
yang tidak memiliki kelenjar keringat akibat ekspresi alel mutan. Pada bagian yang memiliki
kelenjar keringat/ tidak bercak, alel yang terkspresi pada bagian itu adalah alel wild type.
Akibat inaktivasi kromosom kelamin X yang bersifat acak, terdapat variasi fenotip pada
kedua perempuan kembar tersebut. Biasanya pada perempuan tersebut juga memperlihatkan
variasi pertumbuhan gigi pada rahang. Adapun ekspresi gen mutan tersebut pada pria antara
lain memunculkan para pria ompong.
Pada tikus, inaktivasi tampaknya terjadi di awal perkembangan, tetapi pada embrio
manusia chromatin body sudah teramati pada hari ke-16 masa kehamilan. Sifat manusia yang
dipengaruhi oleh kedua kromosom kelamin X selama 16 hari yang pertama dan setelah hari
ke 16 hanya 1 kromosom X yang fungsional di dalam tubuh. Inaktivasi kromosom kelamin X
hanya terjadi jika sekurang-kurangnya terdapat 2 kromosom kelamin X. Jika terdapat
beberapa kromosom kelamin X pada satu inti sel, hanya 1 kromosom kelamin X yang
mengalami inaktivasi, oleh karena itu, jumlah chromatin body setelah inaktivasis selalu satu
lebih sedikit daripada jumlah kromosom kelamin X pada sel yang mula-mula. Hipotesis Lyon
memperlihatkan adanya konsekuensi genetik gen tertentu pada Mammalia, diantaranya :
1. Kompensasi dosis untuk individu betina yang memiliki 2 kromosom X yang mengatur
aktivitas enzim hingga ke tingkat individu jantan yang hanya mempunyai 1 kromosom X.
2. Keanekaragaman ekspresi pada individu betina heterozigot karena inaktivasi acak salah
satu dari kedua kromosom kelamin X.
Hipotesis Lyon bersangkut paut dengan enzim dehidrogenase glukosa-6-fosfat (G-6-
PD) dalam sel individu betina Mammalia termasuk manusia. Dua alel pada lokus G-6-PD
yang menghasilkan 2 enzim yang secara elektroforetis berbeda (F dan S), diuji pada keadaan
heterozigot. Sel yang diisolasi dari beberapa biopsi kulit perempuat tersebut diklon dan setiap
klon mengandung enzim S atau F tetapi tidak pernah mengandung kedua enzim tersebut
sekaligus. Kromosom kelamin X (pada perempuan yang diuji) yang diwarisi dari ibu atau
ayah bersifat inaktif.
B. INAKTIVASI KROMOSOM KELAMIN X YANG REVERSIBEL
Inaktivasi satu dari kedua kromosom kelamin X pada individu mamalia betina
termasuk manusia harus bersifat reversible. Individu betina mewaiskan kromosom kelamin X
kepada turunannya dala keadaan fungsional. Turunan jantan bersifat hemizigot, menerima
salah satu dari kedua kromosom keamin X dari induk betina scara acak dan harus aktif.
Pengaktifan kembali kromososm kelamin X pada individu betina pada tahap sel germ ,
kelamin X betina aktif pada sel-sel oogonium sehinnga akan mewarisi kromososm kelamin
X.
C. KEGAGALAN PENGAKTIFAN KEMBALI KROMOSOM KELAMIN X
Pengaktifan kembali abnormal secara parsial dihubungkan dengan bentuk
keterbelakangan mental pada manusia atau fragile X syndrome dengan frekuensi 1 dalam
2000 3000 kelahiran. Kromosom tersebut mengandung tapak fragile di dekat ujung lengan
pajang terletak pada posisi Xq27 (daerah kromosom menempit). Sindrom fragail X tidak
tergantng hanya pada adanya tapak fragile Xq27 tetapi juga terantung pada kejadian yang
merangsang manifestasi kehadiran fragile ini,dan hanya dapat terjadi pada perempuan.
Perempuan pembawa sebuah kromososm frail X melahirkan turunan yang memiliki satu
kromosom X inaktif. Kromosom fragil X dapat dirubah pada prempuan bukan pada pria.
Ayah mewariskan krimosom fragile X kepada anak perempuan.
D. HORMON DAN DIFERENSIASI KELAMIN
Hormon yang mengatur lingkungan internal mahluk hidup., tidak mempengaruhi
secara langsung proses fundamental determinasi kelamin. Namun demikian, sistem hormon
penting untuk perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder.
BAB IV
HERMAPRODITISMA DAN BEBERAPA FENOMENA AKIBAT ANEUPLOIDI
KROMOSOM KELAMIN PADA MANUSIA
A. HERMAPRODITISMA SEJATI (TRUE HERMAPHRODITISM)
Tubuh individu sejati tersusun dari dua tipe sel yang memiliki kariotip berbeda, hal itu
dapat dijelaskan sebagai hasil mekanisme fusi sel. Individu hermaprodit sejati merupakan
hasil fusi sel pada awal perkembangan suatu embrio berkromosom kelamin XY atau XXY,
yang menghasilkan suatu mosaic dari galur-galur sel XO/XY, XX/XY, dan sebagainya.
Individu-individu hasil fusi semacam itu disebut chimera. Kebanyakan chimera ditemukan
karena zigot-zigot yang mengalami fusi berkelamin berbeda. Kariotip semacam itu adalah chi
46XX/46XY. Chimera yang terbentuk akibat fusi antara zigot-zigot yang berkelamin sama
lebih jarang ditemukan karena sulit dibedakan. Selain itu chimera juga dapat terbentuk ketika
polar body dibuahi oleh sperma pada waktu bersamaan saat sel telur dibuahi oleh sperma
yang lain. Kariotip chimera yang paling umun yaitu chi 46, XX/ 46, XY. Kariotip chimera
yang lain adalah
(a) chi 45, XO/46, XY
(b) chi 46, XX/47, XXY
(c) chi 45, XO/46, XY/47, XYY.
B. FEMINIZING MALE PSEUDOHERMAPHRODITISM
Feminizing male pseudohermaphroditism adalah pseudohermaphroditisma jantan
yang bersifat kebetinaan. Ada telaah yang menghubungkan feminisasi tersebut dengan suatu
gen mutan resesif yang terpaut kromosom kelamin X. Secara keseluruhan pengidap
feminizing male pseudohermaphroditism berfenotip perempuan, seringkali karakteristik
kelamin sekunder kurang berkembang. Kariotip pseudohermaphroditism ini adalah 46, XY,
ada pula yang 46, XY/45, X.
C. MASCULINIZING MALE PSEUDOHERMAPHRODITISM
Individu masculinizing male pseudohermaphroditism ini tidak jelas tampak sebagai
laki-laki ataupun perempuan yang ditandai dengan testis tidak sempurna, penis meragukan,
tetapi payudara tidak berkembang dan tubuh berambut seperti laki-laki. Kariotip
masculinizing male pseudohermaphroditism ini lebih sering adalah 46, XY atau mosaic 46,
XY/45, X.
D. GUEVODOCES
Di republik Dominika di temukan 24 individu pseudohermaprodit berkariotip 46, XY
(Maxson dkk, 1985) akibat perkawinan sedarah. individu pseudohermaproditmemiliki
scrotum tampak sebagailabia, ada kantung vagina buntu dan penis berupa clitoris. Pada
awalnya mereka berkembang menjadi gadis namun pada usia 12 tahun ke 24 individu
tersebut memperlihatkan virialisasi struktur kelamin sekunder eksternal. Suara menjadi
membesar, perkembangan otot bersifat maskulin dan clitoris membesar menjadi penis. Oleh
kerena itu disebut guevedoces. Kelainan yang diidap guevedoces deisebabkan adanya suatu
alela autosomal resesif yang mempengaruhi penggunaan testoteron. Testoteron secara
langsung bekerja atas saluran wolff,tetapi sebelum menyebabkan virilisasi alat-alat kelamin
eksternal, secara biokimiawi harus diubah menjadi suatu senyawa serumpun yaitu
dihydrotestoteron.
E. FEMALE PSEUDOHERMAPHRODITISM
Kariotip dari macam pseudohermaphroditisma adalah 46, XX (Burns, 1983) atas
dasar kariotip tersebut seharusnya individu tersebut berkelamin betina (perempuan), akan
tetapi tanda-tanda kelamin mengarah pada jantan (pria) .Penyebab pseudohermaphroditism
adalah proliferasi kelenjar adrenalin janin perempuan atau ketidak seimbangan hormonal ibu
sebelum kelahiran anak pseudohermaprodit. Penyebab lain menurut Stern (1973) bahwa
mengalami proliferasi atau pertumbuhan berlebih korteks kelenjar anak ginjal dan sebagai
akibatnya hormon laki-laki berlebihan. Pertumbuhan berlebih korteks kelenjar anak ginjal
tersebut akibat homozigositas gen-gen resesif, gen gen itu bertanggung jawab terhadap
enzim pada metabolisme steroid.
F. SINDROM TURNER
Sindrom turner terjadi karena aneuploidi pada kromosom kelamin. Frekuensi sindrom
turner adalah 1/5000 atau 1 didalam 5000 kelahiran. Kariotip sindrom turner adalah 45, XO
(Maxson dkk, 1985). Fenotipe yang bersangkutan betina (perempuan) tetapi ovarium kurang
berkembang, kelamin sekunder tidak berkembang sempurna, bertubuh pendek, leher
bergelambir, keterbelakangan mental. Individu betina (perempuan) pengidap sidrom turner
biasanya bersangkut paut dengan peristiwa gagal berpisah selama meiosis pada
gametogenesis (Maxson dkk, 1985).
G. SINDROM KLINEFELTER
Sindrom klinefelter terjadi karena aneuploidi kromosom kelamin. Frekuensi sindrom
klinefelter 1/500 atau satu diantara 500 pria yang lahir. Pengidap sindrom klinefelter pada
dasarnya berkelamin pria. Kariotip pengidap sindrom klinefelter yang umum trisomi adalah
47, XY. Akan tetapi konstitusi kromosom kelamin lain seperti XXYY (tetrasomi), XXXY
(tetrasomi), XXXXY (pentasomi) dan XXXXYY (heksasomi) juga dikaitkan dengan sindrom
klinifelter (Ayala dkk, 1984). Beberapa ciri kelamin sekunder, para pengidap sindrom
klinefelter mengalami feminisasi (Maxson dkk, 1985), mempunyai testis yang kecil, tidak
mampu mengalami spermatogenesis dan juga steril. Bahkan hampir seluruh pengidap
sindrom klinifelter mengalami keterbelakangan mental.
H. PRIA XYY
Sindrom ini terjadi karena aneuploidi kromosom kelamin. Frekuensi sindrom pria
XYY adalah satu dalam 1000 pria yang terlahir hidup. Fenomena ini mempunyai kariotip 47,
XYY. Penderita sindrom ini merupakan pria normal, fertil, cenderung lebih tinggi dari pria
normal umumnya, dan IQ agak rendah antara 85-90. Terkadang ditemukan kelainan alat
kelamin eksternal atau internal. Terdapat tanda-tanda bahwa pria ini cenderung bersifat
antisosial, agresif serta cenderung berbuat jahat dan suka melanggar hukum. Namun hal
tersebut belum terbukti secara pasti.
I. PEYIMPANGAN KARENA ANEUPLOIDI KROMOSOM KELAMIN YANG
LAIN
Penyimpangan lain karena aneuploidi adalah individu perempuan berkariotip 47,XXX
(trisomi), 48,XXXX (tetrasomi), dan 49,XXXXX (pentasomi). Individu perempuan ini
disebut betina super atau metafemales. Frekuensi kemunculan yaitu satu dalam 700
kelahiran perempuan. Secara keseluruhan individu ini biasanya mempunyai alat kelamin
yang kurang berkembang, kesuburan terbatas, dan keterbelakangan mental.

BAB V
PEMBALIKAN KELAMIN
A. PEMBALIKAN KELAMIN PADA RAGI

Kelamin (mating type) pada ragi dikenal sebagai a dan . Ragi tidak mempunyai
kelamin yang stabil sehingga cepat beralih antara kelamin a dan . Ragi homotalus , gen-gen
kelamin dari sel-sel haploid berubah jauh lebih cepat daripada yang dapat diantisipasi oleh
mekanisme yang mencakup mutasi spontan. Perubahan yang cepat tidak ditemukan pada
heterotalus. Sifat homotalus dan heterotalus ditentukan oleh alela Ho, yang terletak pada
kromosom 4. Pembalikan kelamin pada ragi berhubungan dengan alela MAT a dan MAT
yang terletak pada kromosom 3. Ada juga dua lokus kelamin (tidak terekspresikan) yang
terletak di sebelah kiri (HML) dan kanan (HMR) dari lokus MAT. Berkenaan dengan kerja
dari gen HML dan HMR a ini diketahui peranan dari gen SIR. Ada 4 macam gen SIR (SIR
1,2,3,4) yang tidar terletak pada kromosom 3. Jika salah satu gen SIR tidak bekerja maka gen
HML dan HMR a akan ditranskripsi dengan kecepatan yang sam dengan gen di lokus
MAT. Selain itu juga terdapat daerah E di dekat gen HML dan HMR a yang di dalamnya
terdapat pasangan-pasangan basa yang menjadi tapat tempat bekerjanya produk-produk SIR
sehingga gen HML dan HMR a tidak terekspresi. Diduga bahwa protein-protein SIR
bekerja dengan cara mempengarui struktur kromatin di dalam gen-gen gen HML dan HMR
a.

B. PEMBALIKAN KELAMIN PADA IKAN

Pada ikan laut protogybous individu betina yang matang secara reproduktif, berbalik
kelamin menjadi individu jantan yang fungsional secara reproduktif, terkait dengan
transformasi struktur dan fungsi hipofise maupun gonad. Begitupula species ikan yang secara
seksual bersifat dichromatis, mentransformasikan pola warna individu betina yang sedang
berbalik kelamin. Pada Labroides dimidiatus, jika individu jantan mati maka individu betina
yang dominan akan menolak individu jantan yang akan memasuki kelompoknya. Jika
berhasil maka individu betina akan berubah menjadi individu jantan, dlam jangka 2 minggu
sudah menghasilkan sperma fertil. Begitu pula pada ikan protandrous, bila satu ikan betina
dihilangkan maka satu ikan jantan akan berubah menjadi betina. Bukan hanya kematian
individu jantan atau betina yang menginisiasi pembalikan kelamin. Namun perubahan
fisiologis endogen yaitu ukuran tertentu, umur, tingkat perkembangan serta peningkatan rasio
kelamin.
Sedangkan pada ikan karang protogynous Anthias squamipinnis, saat individu betina
berbalik kelamin secara progressif meningkatkan laju performance maupun resepso ragam
perilaku yang membedakan kelamin, dia akan memperlihatkan ragam perilaku layaknya
individu jantan.Pada pembalikan kelamin menjadi jantan lebih rumit. Sekarang pembalikan
kelamin buatan pada ikan sudah banyak dilakukan dengan sex inducer berupa hormon
steroid, terdapat spesialisasi inducer jantan dan betina. Inducer jantan dengan androgen,
sedangkan betina dengan esterogen. Hormon steroid kelompok esterogen khususnya estrone
sudah terbukti menginduksi hermaproditisma sinkronius pada ikan.
C. PEMBALIKAN KELAMIN PADA BURUNG
Ayam betina yang sudah bertelur(ZW) bisa mengalami perubahan ciri ciri kelamin
sekunder seperti bulu jantan, kemampuan berkokok, serta menghasilkan sel sel sperma. Hal
tersebut terjadi akibat kerusakan jaringan ovarium karena penyakit, tanpa hormon kelamin
betina, jaringan testikuler rudimenter di tengah ovarium mengalami poliferasi. Individu
jantan baru tetap memiliki genotip ZW.
PERTANYAAN

AWALIA SISKA

1. Sebutkan karakteristik untuk identifikasi sifat-sifat yang terpaut kromosom


kelamin X!
Jawaban :
Sifat tersebut lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding pada
perempuan.
Sifat tersebut diwariskan dari seorang pria yang memiliki sifar itu (penderita)
kepada separuh cucu laki-laki melalui anak perempuannya.
Suatu alela yang terpaut X tidak pernah diwariskan langsung daru ayah kepada
anak laki-laki.
Semua wanita pemiliki sifat tersebut (penderita) mempunyai seorang ayah
yang juga pemiliki sifat itu (penderita) serta seorang ibu carrier atau juga
merupakan pemiliki sifat itu (penderita).
2. Apa fungsi gen Tfm dan bagaimana pria memiliki gen Tfm?

Jawaban : Gen Tfm berfungsi untuk mengendalikan pembentukan suatu protein


pengikat testosterone. Apabila seorang pria memiliki gen Tfm maka akan mengidap
sindrom testicular feminization. Pada sindrom ini sel-sel embrio sama sekali tidak
peka terhadap efek maskulinisasi dari testosteron. Karakteristik kelamin sekunder luar
janin berkembang lebih ke arah betina, tetapi secara internal yang berkembang adalah
testis; perkembangan uterus, tuba fallopi, juga terhambat akibat sekresi hormon jantan
lain (factor chi), sehingga terbentuklah suatu vagina buntu. Pada pengidap sindrom
tersebut, produksi antigen H-Y berlangsung normal, selain itu terjadi degradasi
saluran Muller seperti biasanya. Selain itu, jaringan-jaringan tidak reseptif terhadap
efek testosterone, yang menimbulkan dampak berkelanjutan.

ANISA MEILIA

1. Apabila terjadi pentransferan bagian F+ yang ke F- namun pada saat tersebut


terdapat sel tetangga yang ikut tertransfer apa yang akan terjadi ?
F- yang telah tertransfer F+ yang diikuti sel tetangga akan membuat sel baru tersebut
memiliki sifat baru sesuai sifat sel tetangga yang ikut.
2. Pada hemynoptera saat sel telur difertilisasi maka akan menjadi individu
diploid, sementara sel telur yang tidak diferlisasi akan menjadi haploid,
apakah selalu seperti itu ?
Tidak, karena heminoptera memiliki kromosom X dimana kromosom tersebut
memiliki 3 daerah (Xa, Xb, Xc) saat ketiga segmen gen tersebut tersusun berbeda
maka akan menjadi individu betina diploid. Sebaliknya, ketika gen tersebut tersusun
atas segmen gen yang sama maka akan menjadi individu jantan diploid

Anda mungkin juga menyukai