Anda di halaman 1dari 17

2 I II SK REVISI

Sajian Kasus Kepada Yth


Karina Faisha
14 Januari 2016
KF-20150107

Diagnosis dan Tata Laksana Krisis Adrenal pada Hiperplasia Adrenal Kongenital

H
iperplasia adrenal kongenital (HAK) adalah kelainan bawaan yang mengenai
sistem hormon anak ginjal dan diturunkan secara autosomal resesif, dengan
insidens kasus sebesar 1:10.000-20.000 kelahiran hidup. Hiperplasia adrenal
kongenital terjadi akibat defisiensi salah satu enzim yang diperlukan dalam jalur biosintesis
steroid pada korteks adrenal, dan lebih dari 90% kasus HAK disebabkan oleh defisiensi
enzim 21-hidroksilase (21-OHD). Defek pada enzim ini menyebabkan berkurangnya
kemampuan sintesis hormon kortisol dan aldosteron, serta meningkatnya produksi androgen
secara berlebihan. Produksi androgen yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
virilisasi pada janin perempuan sehingga lahir dengan genitalia ambigu.1,2

Gejala klinis HAK tergantung pada derajat defek enzimatik yang terjadi. Kelainan ini dapat
diklasifikasikan menjadi tipe klasik (salt wasting dan simple virilizing) dan non-klasik.1-3
Hiperplasia adrenal kongenital akibat defisiensi enzim 21-OHD tipe salt wasting (75% kasus)
dapat menyebabkan krisis adrenal yang dapat berujung pada kematian jika tidak ditata
laksana dengan baik.3 Gejala yang timbul pada krisis adrenal yaitu mual, muntah, hipotensi,
dehidrasi akut hingga syok.

Penegakan diagnosis dini pada pasien HAK sangat diperlukan untuk mencegah kematian
akibat krisis adrenal, mendapatkan tata laksana jangka panjang yang adekuat, memiliki
tumbuh kembang yang normal, dan mengurangi beban psikologis akibat kebingungan
gender.4,7 Sajian kasus ini bertujuan untuk mengetahui diagnosis dan tata laksana pasien
bayi/anak dengan HAK, khususnya pada kondisi krisis adrenal sehingga resiko kematian
dapat dicegah.
ILUSTRASI KASUS
Seorang bayi perempuan berusia 19 hari dibawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (IGD RSCM) pada tanggal 29 November 2015 pukul 19.30 WIB
dengan keluhan utama muntah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien didapatkan keterangan pasien terdapat muntah
setiap setelah menyusu sejak dua minggu SMRS. Jumlah muntah yang dikeluarkan yaitu 10-
20 ml, warna putih seperti susu. Pasien tidak terdapat keluhan batuk dan pilek. Pasien juga
tidak terdapat sesak dan demam.

Satu hari SMRS, pasien terdapat muntah, sebanyak 2 kali volume kurang lebih 20 ml, warna
putih. Setelah muntah, pasien terdapat sesak. Pasien juga terdapat demam, demam dirasakan
naik turun, namun suhu tidak diukur. Menurut ibu, pasien juga menjadi kurang aktif dan
malas menyusu. Pasien tidak ada buang air besar (BAB) cair. Pasien segera dibawa ibu ke
Rumah Sakit Sari Asih untuk ditangani namun karena ketersediaan NICU tidak ada, pasien
dirujuk ke RSCM dengan diagnosa bronkopneumonia dan sepsis. Saat tiba di IGD RSCM,
pasien tampak sesak dan letargis.

Saat lahir pasien terdapat genitalia ambigu. Saat itu pasien dibawa ke RS untuk dilakukan
pemeriksaan. Pasien dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen dengan hasil
kesan terdapat gangguan perkembangan sistem reproduksi, tidak tampak struktur testikel
intrakavum skrotalis maupun intraabdomen yang tervisualisasi dan suspek struktur uterus di
kavum pelvis. Hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan buli-buli normal. Pasien
tidak dilakukan pemeriksaan darah tambahan dan tidak ada obat yang diberikan saat itu.

Pasien lahir cukup bulan secara spontan ditolong dokter. Berat lahir 3700 gram dengan
panjang lahir 50 cm. Selama kehamilan tidak didapatkan riwayat infeksi, diabetes maupun
hipertensi pada ibu. Ibu juga tidak mengkonsumsi obat-obatan dan jamu. Ibu belum pernah
menjalani USG fetomaternal, kontrol kehamilan teratur di bidan, dan mengkonsumsi vitamin
dari bidan. Pasien saat ini sudah mendapatkan imunisasi hepatitis B1 dan polio 0. Pasien
mendapatkan air susu ibu (ASI) sejak lahir.

Pasien merupakan anak ke-3. Kakak pertama pasien adalah perempuan, berusia 9 tahun dan
sehat. Kakak kedua adalah laki-laki berusia 8 tahun dan sehat. Di lingkungan keluarga pasien
tidak terdapat keluhan kelainan kelamin. Riwayat kosanguitas di keluarga pasien disangkal.

2
Keluarga pasien berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Ayah pasien berusia
36 tahun, bekerja sebagai wiraswasta, pendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA),
dengan penghasilan 3,5 juta per bulan. Ibu pasien berusia 32 tahun, ibu rumah tangga.
Pernikahan saat ini adalah pernikahan pertama untuk keduanya. Penanggung biaya untuk
perawatan pasien saat ini adalah badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS).

Pemeriksaan fisis saat awal masuk di IGD RSCM adalah pasien tampak letargis, sesak, tidak
ada sianosis. Frekuensi nadi 164 kali/menit, teratur, isi lemah. Frekuensi napas 58 kali/menit,
tidak teratur, cepat dan dalam disertai retraksi epigastrium dan suprasternal tanpa napas
cuping hidung, suhu aksila 38,8 derajat celcius. Berat badan pasien 3060 gram dan panjang
badan 52 cm. Berat badan pasien turun 600 gram dari berat badan lahir. Pada pemeriksaan
antropometri didapat BB/TB -3 < z score < -2, BB/U z score > -1, TB/U 1< z score < 2.
Kesan secara klinis dan antropometris adalah gizi kurang dengan perawakan normal.

Pemeriksaan kepala didapatkan lingkar kepala (LK) 35 cm sesuai dengan normosefal, ubun-
ubun besar (UUB) terbuka dan cekung, mata tampak cekung dengan produksi air mata masih
ada, tidak pucat maupun ikterik dengan pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm, terdapat
refleks cahaya langsung dan tidak langsung. Mukosa mulut tidak tampak sianosis. Bunyi
jantung I dan II normal, tidak terdapat bising ataupun irama derap. Suara napas vesikular,
tidak terdapat ronki ataupun mengi. Abdomen datar, lemas, bising usus normal, hepar dan
lien tidak teraba membesar, turgor kulit kembali lambat. Akral pasien dingin dengan
capillary refill time (CRT) > 3 detik. Kulit tampak hiperpigmentasi. Genitalia eksterna
tampak klitoromegali panjang 3-4cm, labia berugae, tidak teraba testis .

Pasien didiagnosis distress pernapasan et causa tersangka sepsis neonatorum awitan lama,
tersangka HAK dengan syok hipovolemik. Pasien diberikan oksigenasi adekuat dengan
continous positive airway pressure (CPAP) dengan positive end expiratory pressure (PEEP)
5, fraksi oksigen (FiO2) 21 %. Pasien diberikan loading cairan 10 ml/kgBB dengan NaCl
0,9%. Pasca loading, kesan terdapat respon, frekuensi nadi 135 kali/menit, teratur, isi cukup,
capillary refill time < 3 detik, akral teraba hangat sehingga loading cairan ditambah 10
ml/kgBB. Setelah pemberian loading cairan selesai, nadi pasien 130 kali/menit isi cukup
kuat, akral hangat dan capillary refill time < 3 detik. Status hidrasi baik. Pasien diberikan
nutrisi parenteral total, diberikan antibiotik ampicillin sulbactam dengan dosis 50
mg/kgBB/kali dan gentamycin dosis 5 mg/kgBB/kali.

3
Pasien diperiksa laboratoriun darah perifer lengkap (DPL), analisis gas darah (AGD), gula
darah sewaktu (GDS), elektrolit, bilirubin total, direk, indirek, ureum, kreatinin, SGOT, dan
SGPT. Hasil didapatkan normoglikemia 100 mg/dl, hiponatremia 130 mEq/L (132-147
mEq/L), hiperkalemia 10,08 mEq/L ( 3,3 5,4 mEq/L), dan normokloremia 98 mEq/L. Hasil
AGD didapatkan kesan normal yaitu pH 7,43,0, pCO2 27,3 mmHg, pO2 57,8 mmHg, HCO3
10,3 mEq/L dan base excess -6,3. Kesan AGD Dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
tidak didapatkan aritmia maupun T tall. Pasien diberikan koreksi natrium. Koreksi
hiponatremia sebelum ada line sentral dikoreksi dengan maintainance tinggi 4 meq/kgBB.
Hiperkalemia dikoreksi dengan inhalasi salbutamol per 4 jam. Pasien direncanakan untuk
pemeriksaan 17-hidroksi progesterone (17-OHP), kortisol, testosteron, analisa kromosom dan
USG testis. Pasien mendapat hidrokortison suksinat (Solucortef ) dengan dosis 10 mg/hari
(50 mg/m2/hari) intravena, dan diberikan terbagi dalam 4 dosis.

Pasien dilakukan pemeriksaan 17-OH-progesteron meningkat yaitu 51,9 nmol/L.


Pemeriksaan testosteron dan kortisol menunjukan hasil normal, yaitu 356,1 ng/dl dan 16,14
g/dl. Hasil Sex Hormone binding Globulin (SHBG) 76,69 nmol/L dengan nilai normal 14,5-
48,4 nmol/L. Hasil indeks testosteron bebas 16,11% dengan nilai normal 33,8-106%.
Pemeriksaan USG testis didapatkan tidak tampak gambaran testis bilateral pada inguinalis
dan skrotum bilateral. Pemeriksaan analisa kromosom pada pasien ini didapatkan hasil
46,XX.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, pasien didiagnosis distress
pernapasan et causa tersangka sepsis neonatorum awitan lama, HAK dengan syok
hipovolemik, genitalia ambigu. Pasien dirawat selama 6 hari dan kondisi klinis pasien sudah
tidak muntah, intake per oral dan pengobatan hidrokortison sudah diberikan dalam dosis
stress selama 4 hari dilanjutkan dengan pemberian hidrokortison rumatan. Pasien juga
diberikan NaCl per oral sebanyak 1 gram/hari. Pada perawatan ke 6 pasien sudah tidak ada
muntah, demam dan sesak. Hasil eletrolit perbaikan yaitu natrium saat pulang 313 mmmol/L,
hipokalium 5,7 mmol/L, 103 mmol/L, pasien direncanakan untuk pengobatan rawat jalan.

4
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Insiden
Hiperplasia Adrenal Kongenital (HAK) atau congenital adrenal hyperplasia (CAH) adalah
suatu kelainan metabolik bawaan yang bersifat autosomal resesif yang disebabkan oleh
defisiensi pada salah satu dari lima enzim yang diperlukan dalam jalur biosintesis steroid
pada korteks adrenal yakni enzim 21-hidroksilase, 11--hidroksilase, 17-hidroksilasi, 3--
hidroksilasi dan 18-hidroksilase. Penyebab tersering terjadinya HAK sampai dengan lebih
dari 90% kasus HAK adalah defisiensi enzim 21-hidroksilase (21-OHD). 1-5 Angka kejadian
HAK berkisar antara 1:10.000-20.000 kelahiran hidup. HAK dapat terjadi pada semua ras,
dan perbandingan kejadian pada anak lelaki dan perempuan sama besar.1-7 Pasien yang terdata
di register HAK Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) sejak tahun 2009 hingga 2014 adalah sebanyak 363 pasien, dan 97 pasien diantaranya
pernah dikonsultasikan dan menjalani terapi di Klinik Rawat Jalan Endokrinologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Patofisiologi
Kelenjar adrenal memiliki fungsi endokrin menghasilkan tiga hormon steroid penting yaitu,
kortisol (glukokortikoid) yang berfungsi menanggulangi keadaan stres emosi dan fisik serta
mengontrol kadar gula darah, aldosteron (mineralokortikoid) yang berfungsi dalam regulasi
garam dalam tubuh, dan androgen adrenal, yang berfungsi mengontrol tanda-tanda seks
sekunder saat pubertas.1,8,9

Sintesis kortisol di kelenjar adrenal melibatkan 5 enzim utama.1 Pada individu dengan HAK
21-OHD, terjadi defek pada enzim 21 hidroksilase, menyebabkan menurunnya kemampuan
sintesis hormon kortisol dan aldosteron sehingga kelenjar adrenal bekerja lebih keras untuk
meningkatkan kadar hormon kortisol yang sulit untuk terjadi, dan justru terjadi peningkatan
produksi testosteron yang berlebihan.1 Akibat dari defisiensi kadar hormon kortisol yang
terjadi menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif yang merangsang
hipotalamus meningkatkan sekresi corticotrophin-releasing hormone (CRH) dan merangsang
hipofisis meningkatkan sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) secara berlebihan.1,5

5
Proses ini akan menyebabkan hiperplasia kelenjar adrenal dan peningkatan stimulasi
pembentukan steroid di adrenal sehingga terjadi penumpukan prekursor hormon seks, yakni
androgen.1,5 Hormon androgen (testosteron) yang berlebihan inilah yang mengakibatkan
virilisasi pada janin perempuan saat di dalam kandungan, sehingga lahir dengan genitalia
ambigu. Kadar androgen yang tinggi dalam kandungan juga dapat mengganggu
perkembangan karakteristik seksual anak perempuan dengan genotip 46,XX menjadi lebih
maskulin. Sedangkan pada anak lelaki, hormon testosteron yang berlebihan menyebabkan
terjadinya pubertas prekoks.6,9,10

Gambar 1. Algoritma biosintesis steroid adrenal1


CYP21=sitokrom P450c21, 17-OH progesterone= 17-hidroksi progesteron

6
Normal HAK 21-OHD
Hipotalamus

Hipofisis

Kortisol Kortisol

Adrenal

Androgen Androgen

Gambar 2. Perbandingan regulasi sekresi hormon kortisol dan androgen21


CRH= corticotropin-relasing hormone, ACTH= adrenocorticotropic hormone

Selain itu defisiensi enzim yang terjadi pada HAK juga menyebabkan gangguan sintesis
aldosteron, sehingga kadar aldosteron menjadi rendah dan menyebabkan sekresi natrium
melalui urin menjadi meningkat akibat tidak dapat meretensi ion natrium. Hal ini
menyebabkan terjadinya hiponatremia, hiperkalemia, hipereninemia dan hipotensi, yang
dikenal sebagai krisis adrenal.1,5

Diagnosis dan manifestasi klinis


Gejala klinis yang timbul dari kelebihan androgen dapat menyebabkan bayi perempuan lahir
dengan genitalia ambigu yang bervariasi. Kelainan ini dapat disertai dengan gambaran sinus
urogenital, skrotalisasi dan labia mayora, fusi labia atau klitoromegali. 1 Klasifikasi pada
genitalia ambigu dibagi berdasarkan berat virilisasi yang terjadi dan diklasifikasikan menurut
stadium Prader. Pada stadium 1, terdapat hipertrofi klitoris (klitoromegali) tanpa disertai fusi
labia. Stadium 2, terdapat klitoromegali dengan jarak sinus urogenitalis, vagina dan uretra
berdekatan, disertai fusi labia posterior. Stadium 3, klitoromegali yang lebih berat, sinus
urogenitalis dangkal, dan fusi labia yang hampir sempurna. Stadium 4, terdapat phallus
dengan meatus urogenital kecil pada pangkal klitoris dan fusi labia sempurna. Stadium 5,
fenotip genitalia lelaki normal tanpa adanya gonad yang dapat diraba.7

7
Normal Stage I Stage II Stage III Stage IV Stage V

Gambar 3. Derajat virilisasi sesuai stadium Prader7

Selain stadium Prader, terdapat penilaian lain yang lebih memberikan perbedaan dan
penilaian yang objektif pada genitalia eksterna yaitu external masculinization score (EMS).
Dengan sistem ini, maskulinisasi genitalia eksternal diukur dengan menetapkan skor untuk
fusi labioskrotal, microphallus, lokasi meatus uretra, dan kehadiran dan lokasi gonad. Nilai
skor yang didapat antara 0 hingga 12.22

Pada insufisiensi adrenal didapatkan hiperpigmentasi kulit dan genitalia yang merupakan
tanda adanya peningkatan hormon ACTH. Tanda androgenisasi pada anak lelaki dan
perempuan di antaranya terjadi pembesaran penis dan klitoris, timbul jerawat, hirsutisme
(pertumbuhan dini rambut pubis dan aksila), pertumbuhan cepat dan pubertas prekoks.
Pubertas prekoks disebabkan oleh paparan jangka panjang terhadap androgen dengan kadar
tinggi sehingga mengaktifkan aksis hipotalamus-hipofisis-gonad. Pertumbuhan somatik
berlangsung dengan cepat, usia tulang lebih dewasa sehingga penutupan epifisis terjadi lebih
cepat.1,4

Gambar 4. External Masculinisation Score22

8
Tipe HAK dibagi menjadi dua, yakni bentuk klasik dan non-klasik. Tanda dan gejala
klinisnya bergantung dengan derajat keparahan defek enzim 21-hidroksilase yang terjadi.
HAK tipe klasik merupakan bentuk yang berat dan muncul saat lahir atau pada minggu
pertama setelah lahir. Virilisasi pada wanita dapat timbul sejak lahir. Pada tipe klasik dibagi
menjadi dua, tipe yakni tipe salt losing/salt wasting (SW) dan tipe virilisasi sederhana atau
simple virilizing (SV). Pada tipe SW terdapat defisiensi total atau hampir total dari enzim 21-
OH, ditemukan pada sekitar 70% tipe HAK klasik dan merupakan bentuk paling berat dari
HAK klasik.1-4,8

Manifestasi klinis dari tipe salt wasting timbul akibat kurangnya sekresi kortisol dan
aldosteron. Gejala yang timbul meliputi menurunnya napsu makan, muntah, letargi, gagal
tumbuh, syok, hipoglikemia, hiponatremia, hiperkalemia dan asidosis. Semua gejala ini
menunjukkan kegagalan fungsi korteks adrenal, dan dikenal sebagai krisis adrenal. Krisis
adrenal dapat timbul pada minggu kedua sampai minggu ketiga kehidupan. Seringkali gejala-
gejala yang ditemukan dianggap sebagai bagian dari intoleransi formula, kolik, sepsis,
asidosis tubuler renal, ataupun stenosis pilorus sehingga dapat menyebabkan keterlambatan
diagnosis dan tata laksana.1,11-13

Pada HAK tipe SV hanya menunjukkan adanya virilisasi tanpa adanya gejala salt wasting.
Tipe ini menunjukkan adanya virilisasi pada berbagai tingkatan, tanpa disertai terjadinya
kehilangan garam. Keterlambatan diagnosis HAK pada tipe SV sering terjadi pada pasien
lelaki. Pada anak lelaki dengan HAK mengalami diferensiasi seksual yang normal dan
sebagian besar tidak memperlihatkan tanda kelebihan androgen yang jelas pada saat baru
lahir, sehingga dapat meninggal akibat krisis adrenal yang tidak terdetaksi. Pada lelaki tipe
SV, biasanya baru teridentifikasi apabila ditemukan pubertas yang abnormal dan perawakan
pendek.1,4

Pada tipe HAK tipe non-klasik, defisiensi enzim 21-OH yang terjadi hanya parsial, sehingga
gangguan produksi kortisol dan aldosteron yang terjadi parsial. Hal ini hanya menyebabkan
penurunan kadar kedua hormon tersebut, namun tidak seberat pada tipe klasik. Gejala yang
timbul pada HAK non-klasik ringan atau bisa tanpa gejala, sehingga pasien HAK tipe ini
pada umumnya terdiagnosis pada usia yang lebih besar. Sebagian anak HAK tipe ini tumbuh
lebih cepat dari anak seusianya atau memiliki usia tulang yang lebih dewasa, dan pada
sebagian kasus ditemukan pertumbuhan prematur rambut pubis atau aksila.1-4

9
Diagnosis HAK tipe klasik ditegakkan berdasarkan usia awitan saat terdiagnosis, gejala
klinis, laboratoris, dan aktivitas enzim 21-hidroksilase yang terjadi. Pada HAK, terdapat
peningkatan kadar 17-hidroksiprogesteron (17-OHP) plasma yang dapat mencapai lebih dari
300 nmol/L ( 10.000 ng/dl) sedangkan bayi normal mempunyai kadar di bawah 100 ng/dL
(3 nmol/L). dan terdapat penurunan kadar aldosteron plasma dan urin, hiponatremia,
hiperkalemia dan hipereninemia. Uji stimulasi ACTH dilakukan sebagi uji baku emas yang
dapat membedakan jenis defisiensi enzim.1-4

Krisis adrenal dapat dikenali dengan keadaan yang mengancam nyawa yang terjadi antara
usia 6 dan 14 hari, kadang bisa baru terjadi pada usia 3 sampai 8 minggu. Terdapat dua
bentuk manifestasi klinis yang mengancam hidup pada bayi, bentuk tersering yang pertama
adalah letargi, mual, muntah, diare, tidak napsu makan (tidak mau menetek), penurunan berat
badan, turgor kulit menurun, dehidrasi, sesak napas, keringat berlebihan terutama di muka
dan telapak tangan, dan hipotensi yang disertai hemokonsentrasi, natriuresis, hiponatremia,
hiperkalemia, asidosis renal, peningkatan urea nitrogen darah dan hipoglikemia. Bentuk
kedua yang jarang terjadi adalah kematian mendadak tanpa gejala dehidrasi dan gagal
sirkulasi akibat aritmia dan henti jantung akibat hiperkalemia. Diagnosis krisis adrenal pada
bayi sulit, hal ini disebabkan gejalanya yang tidak spesifik. Kecurigaan harus lebih
ditingkatkan jika menemukan bayi dengan genitalia ambigus dan tidak teraba testis, terutama
dengan adanya pigmentasi yang meningkat dari puting susu, genitalia dan/atau lipatan kulit.2,8
Tabel 1. Gambaran klinis dan hormonal pasien HAK 21-OHD1

Klasifikasi klinis
Salt-wasting Simple virilizing Nonklasik
Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan
Usia saat Neonatus Neonatus 2-4 tahun Neonatus-2 Anak-dewasa Anak-dewasa
diagnosis sampai 6 sampai 1 tahun
bulan bulan
Genitalia Normal Ambigu Normal Ambigu Normal Biasanya
eksterna normal,
terkadang
klitromegali
Aldosteron Rendah Rendah Normal
Renin Tinggi Pada beberapa kasus tinggi Normal
Kortisol Rendah Rendah Normal
17-OH- Basal > 20.000 ng/dL Basal > 10.000-20.000 Stimulasi ACTH 1500- 10.000
Progesteron ng/dL ng/dL
Testosteron Tinggi pada Tinggi Tinggi pada Tinggi Tinggi, Tinggi,
prepubertas prepubertas bervariasi bervariasi
pada
prepubertas
Terapi Glukokortikoid, Glukokortikoid (+ Simptomatik : glukokortikoid
mineralokortikoid (+ garam) mineralokortikoid)

10
Tinggi -1 sampai -2 SD -1 sampai -2 SD Normal sampai -1 SD
Insidens 1:15.000 1:60.000 1:1000
Persentase 0 1-2 20-50
aktivitas 21-
hidroksilase

Diagnosis dini HAK dapat ditegakkan saat intrauterin dan/atau pasca-natal. Diagnosis pra-
natal antara lain pemeriksaan genetika molekuler cairan amnion, biopsi vili korionik, human
leukocyte antigen (HLA), karyotyping, dan deteksi mutasi gen CYP21. Tujuan dari
pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui kemungkinan tipe HAK yang terjadi, agar tata
laksana yang adekuat dapat segera dimulai dan mencegah tejadinya virilisasi pada janin
perempuan serta mencegah gejala salt wasting setelah janin lahir. Diagnosis HAK pasca-natal
adalah ditemukan adanya insufisiensi adrenal/hipokortisolisme, hipoaldosteronisme, virilisasi
dan peningkatan kadar 17-OHP.5-7

Tata Laksana
Tata laksana pada HAK meliputi terapi hormonal, terapi pembedahan, konseling psikiatri dan
genetik. Pada tatalaksana medikamentosa hanya bertujuan untuk memperbaiki komplikasi
yang terjadi akibat HAK, seperti mengoreksi kadar kortisol dan kadar aldosteron untuk
mencegah terjadinya insufisiensi adrenal. Pada anak perempuan penderita HAK, perlu
menjadi perhatian penetapan jenis kelamin dan koreksi genitalia eksternanya.4,13,14

Terapi medikamentosa yang diberikan terdiri dari glukokortikoid dan/atau mineralokortikoid.


Pemberian glukokortikoid bisa dengan hidrokortison yang merupakan terapi pilihan dengan
dosis rumatan sebesar 10-15 mg/m2 dibagi menjadi 3 dosis.2 Pada krisis adrenal, dosis
diberikan hingga maksimal 100 mg/m2/hari pada neonatus, dan 6-8 mg/m2/hari pada anak dan
remaja. Sedangkan pemberian mineralokortikoid biasanya pada kasus HAK dengan tipe salt
wasting, dengan fluodrokortison per oral 0,1-0,2 mg/hari sebagai terapi substitusi. Namun
pemberian fluodrokortison harus dipantau karena pada dosis tinggi dapat menyebabkan
hipertensi, bradikardia, penurunan kadar renin dan retardasi pertumbuhan.1,8,15 Selain itu
pemantauan efek samping juga perlu dilakukan pada pemberian hidrokortison, karena dapat
terjadi sindrom Cushing iatrogenik seperti penambahan berat badan dengan cepat, hipertensi,
striae dan osteopenia. Evaluasi terhadap pola pertumbuhan pasien, usia tulang, kadar 17-
OHP, androstenedion, dan testosteron dalam serum juga perlu dilakukan secara berkala.3,4,16,17

Pada keadaan gawat darurat (penanganan krisis adrenal) yang disertai dengan syok atau
dehidrasi berat, dengan menjaga jalan napas, dan sirkulasi dapat diberikan cairan kristaloid

11
isotonis sampai sirkulasi teratasi.8 Bila syok dan dehidrasi teratasi berikutnya cairan rumatan
yang diberikan adalah garam fisiologis dalam dektrosa 5%. Jika terdapat dehidrasi ringan
atau tanpa dehirasi dapat diberikan cairan yang diberikan dalam 24 jam adalah 1,5 kali
kebutuhan rumatan. Pemberian bolus dektrosa 10% dapat diberikan sebanyak 3 ml/kgBB jika
terdapat hipoglikemia. Diberikan bolus hidrokortison parenteral sampai 50-75 mg/m 2 yang
dilanjutkan dengan 50-75 mg/m2/hari yang dibagi dalam 4 dosis.2,8 Dosis dapat diturunkan
jika kondisi sudah stabil, dan dapat diganti dengan pemberian per oral. Apabila preparat
hidrokortison injeksi tidak tersedia, maka dapat diberikan jenis steroid yang lain dengan dosis
yang disesuaikan kekuatannya terhadap hidrokortison, seperti deksametason 1,5-2 mg/m2 dan
metil prednisolon10-15 mg/m2 Bila ditemukan hiponatremia dan hiperkalemia maka perlu
dilakukan koreksi.2,8

HAK yang tidak dalam pengobatan akan menyebabkan produksi androgen berlebih dan
berdampak maturasi tulang yang cepat sehingga terjadi perawakan pendek, pertumbuhan dini
rambut tubuh dan jerawat serta kegagalan feminisasi normal pada wanita. Pada HAK tipe
simple virilizing, baik lelaki maupun perempuan akan mengalami maskulinisasi progresif.3,18

Terapi pembedahan dilakukan untuk mengkoreksi genitalia ambigu yang terjadi pada anak
perempuan dengan HAK. Hal ini merupakan salah satu pendekatan terkini dari tata laksana
kasus HAK. Prosedur bedah dapat dikerjakan pada pasien HAK perempuan dengan stadium
Prader diatas tiga saat masih bayi. Prosedur ini terdiri dari klitoroplasti, rekonstruksi perineal
dan vaginoplasti. Terapi medikamentosa, pembedahan dan konseling yang baik pada pasien
dan keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.8,9,18,19

Prognosis
Pada HAK dengan tipe salt wasting dapat terjadi kematian setelah lahir akibat krisis adrenal
yang tidak terdiagnosis dan telat diberikan terapi. Kematian dini bisa terjadi bila pasien
dengan HAK tidak diberikan dosis tambahan saat sakit, trauma dan saat kondisi stress
(pembedahan). Pada HAK yang tidak diterapi akan menyebabkan produksi androgen berlebih
sehingga terjadi maturasi tulang yang cepat, timbul perawakan pendek saat dewasa,
pertumbuhan dini rambut tubuh dan jerawat dan kegagalan feminisasi normal pada wanita. 1

ANALISIS KASUS
Pada kasus di atas, seorang bayi lelaki berusia 19 hari didiagnosis dengan Hiperplasia
Adrenal Kongenital (HAK). Berdasarkan anamnesis, pasien terdapat muntah dan terdapat

12
genitalia ambigu. Pada pemeriksaan fisik, genitalia eksterna didapatkan klitoromegali dengan
panjang 3 cm (phallus), tidak teraba testis dan terdapat labia. Pada pemeriksaan USG
abdomen didapatkan hasil organ internal reproduksi (uterus dan ovarium) belum dapat
tervisualisasi dan hasil USG testis didapatkan tidak tampak gambaran testis bilateral pada
inguinalis dan skrotum bilateral. Genitalia ambigus merupakan salah satu gejala klinis yang
memberikan indikasi adanya Disorders of Sex Development (DSD) walaupun tidak semua
DSD akan bermanifetasi sebagai genitalia ambigus. Genitalia ambigus merupakan
penampilan atau fenotip genitalia eksterna yang tidak khas sehingga ragu untuk
menggolongkan sebagai laki-laki atau perempuan.7 Genitalia eksterna pasien yang
menyerupai penis merupakan klitoromegali yang disebabkan dari hasil virilisasi yang terjadi
sejak dalam kandungan. Beratnya derajat virilisasi digambarkan menggunakan External
Masculinisation Score. Pasien ini menunjukkan klitoromegali dengan EMS 3, yaitu tidak
terdapat fusi dari skrotal, tidak terdapat mikropenis dan tidak teraba gonad di kanan dan kiri.
Dengan sistem Prader, pasien termasuk dalam prader 3 yaitu , klitoromegali yang lebih berat,
sinus urogenitalis dangkal, dan fusi labia yang hampir sempurna. Pada pasien juga
diperiksakan analisa kromosom untuk menentukan jenis kelamin pasien, namun sampai saat
ini belum didapatkan hasil.1,7

Pasien dari awal telah diketahui adanya genitalia ambigu, namun telat didiagnosis dari awal
sehingga pasien timbul gejala terdapat gejala muntah, disertai kondisi anak yang letargi dan
syok. Pemeriksaan elektrolit pasien didapatkan hasil natrium 130 mEq/L dan kalium 10,8
mEq/L menandakan adanya hiponatremia dan hiperkalemia. Pada pasien dapat dipikirkan
terdapat insufisiensi adrenal. Semua gejala tersebut dapat terjadi akibat kegagalan fungsi
korteks adrenal dan dikenal sebagai krisis adrenal. Hal ini disebabkan adanya defisiensi
aldosteron yang mengakibatkan ginjal tidak mampu menahan garam sehingga timbul gejala
muntah, letargi, gagal tumbuh, hiponatremia, hiperkalemia, hipoglikemia, dan asidosis yang
dapat berakibat timbulnya syok hingga kolaps kardiovaskuler. Gejala dan tanda pada pasien
sesuai dengan HAK tipe salt wasting. Pada hiperplasia adrenal kongenital klasik tipe salt
wasting terdapat defisiensi enzim 21-OHD total atau hampir total sehingga menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengkonversi progesteron menjadi deoksikortikosteron sehingga
aldosteron tidak terbentuk.1-6,8 Pemeriksaan tambahan untuk mendiagnosis HAK dilakukan
pemeriksaan kadar 17 hidroksi progesterone (17-OHP) dan hasilnya akan meningkat. Pada
pasien ini diagnosis semakin kuat pada HAK klasik tipe salt wasting dengan didapatkan
kadar 17-OHP meningkat yaitu 51,9 nmol/L.

13
Gambar 4. Diagnosis HAK8

Krisis adrenal pada HAK dapat terjadi akibat keterlambatan pengobatan, dosis obat tidak
adekuat, ketidakteraturan dalam meminum obat dan keadaan stres/sakit (demam, muntah,
nyeri, hipoglikemia, hipotermia, operasi, zat anestesi contohnya etomidate). Krisis adrenal
juga dapat terjadi pada pasien HAK yang telah mendapatkan pengobatan glukokortikoid
dengan dosis yang sesuai tetapi tidak mendapatkan mineralokortikoid atau mendapatkan
mineralokortikoid dengan dosis yang tidak sesuai.1-5 Pada pasien ini terdapat keterlambatan
diagnosis, genital ambigu sudah diketahui sejak lahir dan orang tua sudah berobat ke RS
namun tidak ada tindak lanjut dari dokter. Diagnosis yang terlambat menyebabkan
pengobatan yang terlambat juga, sejak awal tidak diberikan obat-obat glukokortikoid dan
mineralokortikoid untuk menghindari terjadinya krisis adrenal serta orangtua tidak mengerti
mengenai kondisi pasien.

Krisis adrenal yang terjadi pada pasien ini ditandai dengan adanya syok dan gangguan
elektrolit berupa hiponatremia dan hiperkalemia. Pasien datang dengan keadaan lemah dan
letargik. Pasien terdapat riwayat muntah sebelumnya. Pasien dengan krisis adrenal umumnya
mengalami syok yang membutuhkan resusitasi cairan segera. Diperlukan pemberian cairan
NaCl fisiologis 0,9% sebanyak 10-20 mL/kg. Resusitasi cairan diberikan dalam 1 jam
pertama. Rehidrasi dapat diulang hingga dehidrasi teratasi dan cairan dinilai cukup.. Pada
pasien ini tatalaksana awal diberikan loading cairan NaCl fisiologis 0,9% 20 mL/kg. Tanda
vital respon terhadap pemberian cairan. Pada kondisi krisis adrenal perlu segera diberikan
hidrokortison suksinat dosis stres. diberikan dengan dosis inisial 50-75 mg/m2 bolus intravena

14
dilanjutkan dengan dosis 50-75 mg/m2 per hari intravena dibagi menjadi 4 dosis. Pada pasien
diberikan hidrokortison 50 mg/m2/hari yaitu 10 mg pada dosis inisial dan dilanjutkan
pemberian (Solucortef) 4 x 2,5 mg intra vena diberikan sampai dengan hari ketiga
perawatan. Keadaan dengan hiperkalemia juga merupakan keadaan gawat darurat pada krisis
adrenal yang harus ditangani segera. Hiperkalemia terjadi disebabkan oleh kekurangan
kortisol. Pada pasien ini, diberikan inhalasi salbutamol tiap 4 jam untuk mengatasi
hiperkalemia. Salbutamol dapat menurunkan tingkat kalium serum oleh aktivasi selektif beta
2 reseptor melalui induksi ADP - AMP dan serta membuka pompa natrium-kalium.

Terapi rumatan pilihan anak adalah hidrokortison dosis 10-15 mg/m 2 per hari dibagi menjadi
3 dosis. Pada pasien diberikan hidrokortison 3 x 0,7 mg per oral (mulai dari 10 mg/m 2). Dosis
ini melebihi sekresi fisiologis kortisol (6-7 mg per m2 pe hari) tetapi merupakan dosis
minimum yang efektif untuk mengontrol kadar hormon steroid dan memungkinkan
pertumbuhan yang normal. Pemantauan terhadap tanda-tanda sindrom Cushing iatrogenik
seperti kenaikan berat badan yang cepat, hipertensi, striae, dan osteopeni dilakukan secara
berkala. Terapi mineralokortikoid diperlukan pada pasien dengan HAK tipe salt wasting.1
Pada pasien diberikan diberikan fludrokortison 0,1 mg/hari. Suplementasi garam/natrium
klorida diberikan 5-10 mEq/kgBB/hari. Pada pasien NaCl capsul diberikan 2x 500 mg
sebesar 16 mEq dapat diberikan sampai usia sekitar 2 tahun.

Pada pasien ini, prognosis quo ad vitam adalah bonam karena pasien telah mendapat tata
laksana akhir yang sesuai saat mengalami krisis adrenal dan saat ini telah diberikan
hidrokortison dan fludrokortison secara rutin walaupun pasien pada awalnya telat didiagnosis
dan pengobatannya. Prognosis quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena dengan
terapi yang diberikan pasien kondisi pasien akan tetap tumbuh dan berkembang seperti anak
normal lainnya. Dengan kemajuan teknologi dan modalitas terapi yang berkembang saat ini
serta dukungan keluarga, dapat meningkatkan kesembuhan pasien agar seperti anak normal
lainnya serta diharapkan hal tersebut dapat mengatasi kesulitan dalam pengobatan pasien.
Prognosis quo ad sanactionam adalah dubia ad malam karena kejadian krisis adrenal masih
mungkin dapat terulang apabila terdapat faktor pencetus tanpa disertai peningkatan dosis
steroid yang dikonsumsi atau bila pasien putus obat.

Summary

15
A case of nineteen days girl with congenital adrenal hyperplasia (CAH) complicated by
adrenal crisis has been presented. Diagnosis of CAH was based on ambiguous genitalia,
hyperpigmented skin in neonates with increasing of 17-OHP level. Because of late diagnose
and treatment previously, the baby suffered from adrenal crisis by developing vomiting. Early
diagnosis and proper treatment by giving intravenous fluid to correct dehydration, metabolic
acidosis, electrolit imbalance and steroid replacement using hydrocortisone and
fludrocortison will come to better prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pulungan AB, Siregar CD, Aditiawati, Soenggoro EP, Triningsih E, Suryawan IWB, dkk.
Korteks adrenal dan gangguannya. Dalam: Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB,
penyunting. Buku ajar endokrinologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010. h.251-95.
2. Nurharjanti S, Tridjaja B. Krisis adrenal pada bayi dengan hiperplasia adrenal kongenital.
Sari Pediatri. 2007;9:191-5.
3. Shulman DI, Palmert MR, Kemp SF. Adrenal insufficiency: still a cause of morbidity and
death in childhood. Pediatrics. 2007;119:484-94.
4. Speiser PW, White PC. Congenital adrenal hyperplasia. N Eng J Med. 2003;349:776-88.
5. White PC, Speiser PW. Congenital adrenal hyperplasia due to 21-hydroxylase deficiency.
Endocr Rev. 2000;21:245-91.
6. Speiser P, Azziz R, Baskin L, Ghizzoni L, Hensle TW, Merke DP, dkk. Congenital adrenal
hyperplasia due to steroid 21-hydroxylase deficiency: an Endocrine Society clinical
practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2010;95:4133-60.
7. Marumudi E, Khadgawat R, Surana V, Shabir I, Joseph A, Ammini AC. Diagnosis and
management of classical congenital adrenal hyperplasia. Steroids. 2013;78:741-6.
8. Tridjaja B. Disorders sex development. Dalam: Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB,
penyunting. Buku ajar endokrinologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010. h.43-70.
9. Forrest MG. Recent advances in the diagnosis and management of congenital adrenal
hyperplasia due to 21-hydroxylase deficiency. Hum Reprod Update. 2004;10:469-85
10. Trapp CM, Speiser PW, Oberfield SE. Congenital adrenal hyperplasia: an update in
children. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes. 2011;18:16670
11. Section on endocrinology and committee on genetics. Technical report: congenital adrenal
hyperplasia. Pediatrics. 2000;106:1511-18.
12. Arlt W, Allolio B. Adrenal insufficiency. The Lancet. 2003;361:1881-3.

16
13. Auron M, Raissouni N. Adrenal insufficiency. PIR. 2015;36:92-103.
14. Warne GL. Hiperplasia adrenal kongenital. Jakarta: Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2009. h.1-17.
15. Riepe FG, Sippell WG. Recent advances in diagnosis, treatment, and outcome of
congenital adrenal hyperplasia due to 21-hydroxylase deficiency. Rev Endocr Metab
Disord. 2007;8:349-63.
16. Omori K, Nomura K, Shimizu S, Omori N, Takano K. Risk factors for adrenal crisis in
patients with adrenal insufficiency. Endocrine Journal. 2003;50:745-52.
17. Torresani T, LauberB A. Congenital adrenal hyperplasia: diagnostic advances. J Inherit
Metab Dis. 2007;30:563-75.
18. Ogilvie CM, Crouch NS, Rumsby G, Creighton SM, Liao LM, Conway GS. Congenital
adrenal hyperplasia in adults: a review of medical, surgical and psychological issues. Clin
Endocrinol. 2006;64:2-11.
19. Krone N, Arlt W. Genetics of congenital adrenal hyperplasia. Best Pract Res Clin
Endocrinol Metab. 2009;23:181-92.
20. Merke DP. Bornstein SR, Avila NA, Chrousos GP. NIH conference: future directions in
the study and management of congenital adrenal hyperplasia due to 21-hydroxylase
deficiency. Ann Intern Med. 2002;136:320-34.
21. Moshiri M, Chapman T, Fechner PY. Evaluation and Management of Disorders of Sex
Development: Multidiciplinary approach to a complex disease. RSNA.2012:6: 1599-1618

17

Anda mungkin juga menyukai