Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan
anak terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya derajat kesehatan yang tinggi,
pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan.1
Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun
menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program
imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu
telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada
bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali,
DPT 3 kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak
mendapat imunisasi secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya
difteri, tetanus, campak, polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus
diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi secara lengkap dapat
mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.2
Pemerintah telah memberikan berbagai upaya dan kebijakan dalam bidang
kesehatan untuk menekan angka kesakitan, namun masyarakat belum bisa
memanfaatkannya secara optimal karena ada sebagian ibu yang memiliki persepsi
bahwa tanpa imunisasi anaknya juga dapat tumbuh dengan sehat.3
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat
efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi
merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana
untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada
bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan yang luas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa
tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau
resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan
atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang
lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Vaksin adalah pemberian antigen yang dapat merangsang pembentukan imunitas
(antibodi) sistim imun didalam tubuh.

II. Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian


sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui
vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat
utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus
(diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua
kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang
berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam
hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi
terhadap penyakit tersebut.1

III. Manfaat Imunisasi

Adapun keuntungan yang didapat dari vaksinasi, yaitu : pertahanan tubuh


yang terbentuk oleh beberapa vaksin akan dibawa seumur hidup, cost-effective

2
karena murah dan efektif, dan tidak berbahaya (reaksi serius sangat jarang terjadi,
jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit
tersebut secara alami).
Selain keuntungan tersebut di atas, imunisasi juga memiliki dampak secara
individu, sosial, dan epidemiologi. Secara singkat, apabila anak telah
mendapatkan imunisasi maka 80-95% diantaranya akan terhindar dari penyakit
infeksi yang ganas. Kekebalan individu ini akan mengakibatkan pemutusan rantai
penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa yang hidup
bersamanya. Inilah yang disebut keuntungan sosial karena dalam hal ini 5-20%
dari anak-anak yang tidak diimunisasi juga akan terlindung, disebut herd
immunity (kekebalan komunitas). Maka mendeteksi daerah penularan penyakit
melalui program imunisasi sangat membantu mencari siapa target vaksinasi,
sehingga akan tepat sasaran dan lebih cepat menurunkan insidens penyakit. Upaya
tersebut disebut source drying.
Keuntungan lain, seiring angka kesakitan yang menurun, akan menurun
pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Selain itu, dengan mencegah
seorang anak dari penyakit infeksi yang berbahaya, berarti akan meningkatkan
kualitas hidup anak dan meningkatkan daya produktivitas di kemudian hari.

IV. Respon Imun

Sistem imun merupakan jaringan kerja kompleks dan interaksi berbagai sel tubuh
yang pada dasarnya bertujuan untuk mengenal dan membedakan antigen, serta
mengeliminasi antigen yang dianggap asing. Secara garis besar respon imun
dibedakan menjadi respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik (Gambar
2.1). Respon imun non-spesifik tidak ditujukan terhadap antigen tertentu
sedangkan respon imun spesifik ditujukan khusus untuk struktur antigen tertentu
dan tidak dapat bereaksi terhadap struktur antigen lain.
Respon imun non-spesifik (non-adaptif, innate immunity) diperankan oleh
sel makrofag, sel dendrit, neutrofil, dan polimorfonuklear lainnya, sel natural
killer, sel-sel jaringan tubuh (epitel, endotel, sel makrofag jaringan, fibroblast,

3
keratinosit, dll); serta berbagai produk seperti sitokin, interferon, kemokin, CRP,
komplemen, dan lain-lain. Respon imun non-spesifik dapat teraktivasi dalam
beberapa menit atau jam setelah infeksi dan pajanan antigen dan kemudian akan
mengaktivasi sistem imun spesifik dalam hitungan waktu lebih lama (Gambar
2.1).

Gambar 2.1 Respon imun innate dan respon imun adaptif

Respon imun terhadap mikroorganisme bermula pada jaringan non-limfoid


dengan pemeran utama makrofag dan sel dendrite. Aktivasi sel dendrit merupakan
pencetus awal yang menginisiasi respon imun primer. Selain mengikat antigen
dengan reseptor permukaan sel, sel dendrit juga secara aktif melakukan
pinositosis dan menangkap antigen soluble. Ikatan antara antigen dengan salah
satu atau beberapa reseptor sel dendrit menginisiasi tiga langkah awal respon
imun yaitu pemrosesan antigen (antigen processing), migrasi sel dendrit ke
kelenjar limfe, dan maturasi sel dendrit.
Apabila antigen dapat dieliminasi oleh innate immunity, maka respon imun
spesifik tidak perlu terlibat lebih jauh. Sinyal sistem imun non-spesifik tetap
disampaikan kepada sistem imun spesifik sehingga pada infeksi berikutnya dapat
member respon anamnestik yang bersifat protektif.

4
Sel dendrit bersama antigen akan menghasilkan sitokin dan kemokin serta
influks sel inflamasi. Sel dendrit tersebut akan migrasi ke kelenjar limfoid dan
berinteraksi dengan sel limfosit T dan sel limfosit B serta memulai respon imun
spesifik. Sel T efektor dan antibodi akan meninggalkan kelenjar limfoid, sebagian
akan berada di sirkulasi dan akan ke tempat inflamasi.

V. Jenis Vaksin

Secara garis besar vaksin dapat dibagi menjadi dua kelompok jenis vaksin, yaitu
vaksin dari mikroba hidup dilemahkan (vaksin hidup) dan vaksin mikroba yang
diinaktivasi (vaksin inaktivasi). Vaksin hidup dibuat dengan memodifikasi virus
atau bakteri patogen di laboratorium. Vaksin inaktivasi dapat berupa virus atau
bakteri utuh (whole cell) atau fraksi patogen, atau gabungan keduanya.
Vaksin fraksional dapat berbasis protein atau polisakarida. Vaksin berbasis
protein dapat berupa toksoid (toksin bakteri inaktif), dan produk subunit atau
subvirion. Vaksin berbasis polisakarida umumnya terbuat dari polisakarida murni
dinding sel bakteri, atau dapat juga dikonjugasikan secara kimiawi dengan protein
sehingga sifat antigenik vaksin polisakarida tersebut menjadi lebih poten.
Vaksin hidup bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu panas dan
cahaya, sehingga harus dibawa dan disimpan dengan cara aman dari penyebab
kerusakan tersebut. Virus atau bakteri dalam vaksin hidup diharapkan dapat
bereplikasi dalam tubuh penerima vaksin sehingga cukup diberikan dalam dosis
relatif kecil. Contoh vaksin dari virus hidup misalnya vaksin campak, gondongan,
rubela, vaksinia, varisela, demam kuning, polio (oral), dan merupakan vaksin
hidup berasal dari bakteri yaitu BCG.
Vaksin inaktif tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi, dan
tidak berpotensi menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif diberikan melalui
suntikan, selalu dengan dosis multipel, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh
antibodi sirkulasi. Vaksin inaktif juga memerlukan penguatan (booster) karena
antibodi yang terbentuk akan menurun seiring dengn perjalanan waktu. Respon

5
imun yang terbentuk sebagian besar bersifat humoral dan hanya sedikit
merangsang respon imun seluler.

Vaksin Inaktif yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis
a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus
influenzae tipe b.
Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ).

Selain kedua jenis vaksin tadi, dikenal pula vaksin rekombinan yang
dibentuk dengan rekayasa genetik. Contohnya : vaksin hepatitis B rekombinan,
vaksin tifoid Ty21a, dan vaksin influenza LAIV.
Respon terhadap dosis pertama vaksin inaktif lebih bersifat sebagai
pembentukan respon imun awal (priming) yang menjadi dasar pembentukan
imunitas protektif. Dosis berikutnya pada vaksinasi primer merupakan vaksinasi
ulang yang membentuk tingkat antibodi protektif. Vaksinasi ulang diberikan saat
respon imun terhadap dosis pertama atau dosis sebelumnya pada vaksinasi primer
mulai menurun, pada umumnya 4-6 minggu setelah dosis sebelumnya.
Tergantung dari karakteristik antigen vaksin inaktif, maka vaksin penguatan perlu
diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat kekebalan protektif
primer (Gambar 2.2). Sedangkan, vaksin hidup umumnya diberikan satu kali
sebagai vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi ulang.

6
VI. Tata Cara Pemberian Imunisasi

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination )
bila diperlukan.

7
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan
jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak
penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
- Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang
biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
- Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
- Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
- Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

VII. Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT,
Hib, hepatitis B, hepatitis A, Influenza dan pneumokok ) menjadi tidak aktif bila
beku. Vaksin BCG,OPV dan campak dapat disimpan dalam suhu -115oC sampai
25oC.

VIII. Jadwal Imunisasi

Jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak


Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut :

8
Gambar 2.3 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun

Rekomendasi imunisasi ini berlaku mulai 1 Januari 2014. Angka dalam kolom
umur tabel mencerminkan umur dalam bulan (atau tahun) mulai 0 hari sampai 29
hari ( atau 11 bulan 29 hari untuk tahun). Adapun hal-hal yang diperbaharui pada
jadwal imunisasi 2014 adalah sebagai berikut.

a. Vaksin Hepatitis B.
Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului
pemberian injeksi vitamin K1. Hal tersebut penting untuk mencegah
terjadinya perdarahan akibat defisiensi vitamin K. Bayi lahir dari ibu HbsAg
positif, diberikan vaksin hepatitis B dan HBIg pada ekstremitas yang berbeda,
untuk mencegah infeksi perinatal yang beresiko tinggi untuk terjadinya
hepatitis B kronik. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan
vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi.

b. Vaksin Polio.
Pada saat bayi lahir atau saat dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat
diberikan vaksin polio oral (OPV) atau inaktivasi (IPV), namun sebaiknya
paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.

9
c. Vaksin BCG.
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal diberikan pada
umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji
antibodi.

d. Vaksin DTP
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTwP atau DtaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk
anak umur lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di booster
setiap 10 tahun.

e. Vaksin Campak.
Imunisasi campak menurut Permenkes No.42 tahun 2013, diberikan 3 kali
pada umur 9 bulan, 2 tahun, dan pada SD kelas 1 (program BIAS). Untuk
anak yang telah mendapat imunisasi MMR umur 15 bulan, imunisasi campak
umur 2 tahun tidak diperlukan.

f. Vaksin Pneumokokus (PCV).


Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 3 kali dengan
interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu dosis booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan
setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup
satu kali.

g. Vaksin Rotavirus.
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14
minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya
vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan
tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen: dosis ke-1

10
diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2, dosis ke-3 diberikan pada
umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
h. Vaksin Varisela.
Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun terbaik pada
umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih dari 12
tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.

i. Vaksin Influenza.
Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap tahun.
Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur kurang
dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6
<36 bulan, dosis 0,25 mL.

j. Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai
umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6
bulan; vaksin HPV antibodi dengan interval 0, 2, 6 bulan.

IX. Vaksin Yang Di anjurkan

Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada


masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi
bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem
kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam
pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi
nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi
nasional)

Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010


- Tuberculosis (BCG) - MMR (campak, gondong,
- Hepatitis B rubella)
- DPT (Difteri, tetanus, - Haemophilus influenza tipe B
pertusis) - Demam tifoid

11
- Polio - Varisela
- Campak - Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi I katan Dokter Anak
Indonesia, 2010)1

a. Vaksinasi Tuberkulosis (BCG)1,3,4

Deskripsi : Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang


mengandung Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan (Bacillus
Calmette Guerin), strain Paris (vaksin hidup). Oleh karena itu, tidak
diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang sedang
mendapatkan pengobatan steroid jangka panjang, atau bayi yang telah
diketahui atau dicurigai menderita HIV
Komposisi : Tiap ampul vaksin mengandung BCG hidup 1,5 mg Pelarut
mengandung Natrium klorida 0,9 % (4cc)
Indikasi : Pencegahan terhadap penyakit tuberkulosa
Posologi : Vaksin dilarutkan dengan menambahkan 4cc pelarut pada satu
vial vaksin kemudian diambil 0,05mL. Sebelum pemberian suntikan kulit
tidak boleh dibersihkan dengan antiseptic. Vaksin yang telah dilarutkan
harus diamati secara visual. Jika tampak benda asing maka vaksin harus
dibuang. Gunakan syringe dan jarum steril untuk setiap penyuntikan.
Vaksin BCG sensitif terhadap sinar ultraviolet, maka harus dilindungi dari
sinar matahari.
Penyimpanan : Jika setelah dilarutkan tidak segera digunakan maka
disimpan pada suhu antara +2C s/d +8C, selama maksimal 3 jam.
Dosis : pemberian dalam dosis 0.05 mL

12
Pemberian : Intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio m.
deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (misalnya bokong
atau paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah
deltoid lebih mudah dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang
terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan di
daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk
keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Imunisasi ulang : tidak dianjurkan
Masa kadaluarsa : satu tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat dilihat
pada label)
Reaksi imunisasi : biasanya tidak demam
Efek samping/KIPI : Reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi BCG
adalah wajar. Suatu pembengkakan kecil, merah, lembut biasanya timbul
pada daerah bekas suntikan, yang kemudian berubah menjadi vesikel
kecil, dan kemudian menjadi sebuah ulkus dalam waktu 2 - 4 minggu.
Reaksi ini biasanya hilang dalam 2 5 bulan, dan umumnya pada anak-
anak akan meninggalkan bekas berupa jaringan parut dengan diameter 2
10 mm. Jarang sekali nodus dan ulkus tetap bertahan. Kadang-kadang
pembesaran kelenjar getah bening pada daerah ketiak dapat timbul 2 4
bulan setelah imunisasi. Sangat jarang sekali pembesaran kelenjar getah
bening tersebut menjadi supuratif. Suntikan yang kurang hati-hati dapat
menimbulkan abses dan jaringan parut.
Indikasi kontra : tidak ada larangan, kecuali pada anak yang berpenyakit
TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyakit kulit berat/menahun.
Juga kontra indikasi pada defisiensi sistem kekebalan, individu yang
terinfeksi HIV asimtomatis maupun simtomatis tidak boleh menerima
vaksinasi BCG.
Jadwal : Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal
diberikan pada umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan,
perlu dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan
apabila uji tuberkulin negatif. Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan,

13
BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi dalam waktu 7 hari.
Apabila terdapat reaksi lokal cepat di tempat suntikan (accelerated local
reaction), perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostik tuberculosis).

b. Vaksinasi Hepatitis B1,3

Deskripsi : Vaksin inaktif, vaksin hepatitis B rekombinan. Vaksin


Hepatitis B rekombinan mengandung antigen virus Hepatitis B,
HBsAg, yang tidak menginfeksi yang dihasilkan dari biakan sel ragi
dengan teknologi rekayasa DNA. Vaksin Hepatitis B rekombinan
berbentuk suspensi steril berwarna keputihan dalam prefill injection
device, yang dikemas dalam aluminum foil pouch, and vial. Di Indonesia,
vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan anak
karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan
vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta
cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.

Nama Produsen Cara Dosis Interval


Dagang Pemberian Pemberian

Engerix B GSK IM Anak 10 mcg Bulan ke-


Dewasa 20 mcg 0,1,6
Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan ke-
pasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6
HB VAX MSD IM Anak 10 mcg Bulan ke-
II Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Gene Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepatitis Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan ke-
B 20 mcg 0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)

14
Indikasi : Vaksin Hepatitis B rekombinan diindikasi- kan untuk
imunisasi aktif pada semua usia, untuk mencegah infeksi yang
disebabkan oleh virus Hepatitis B, tetapi tidak dapat mencegah infeksi
yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, Hepatitis C atau virus lain yang
dapat menginfeksi hati. Vaksinasi direkomendasikan pada orang yang
beresiko tinggi terkena infeksi virus Hepatitis B.
Posologi : Vaksin Hepatitis B rekombinan disuntikkan secara
intramuskular, pada orang dewasa dan anak di bagian otot deltoid,
sedangkan pada bayi di bagian anterolateral paha. Kecuali pada orang
dengan kecenderungan pendarahan berat (seperti hemofilia), vaksin
diberikan secara subkutan.
Dosis : 0,5 ml sebanyak 3 kali pemberian, Secara umum, vaksin diberikan
3 kali pemberian, disuntikan secara dalam (sampai ke otot). Vaksinasi
diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama, 1 bulan, dan 6
bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan
jadwal berikut :
1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan
3. Dosis ketiga : umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan. Untuk ibu dengan
HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam
setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu
singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6
bulan).
Reaksi imunisasi : Nyeri pada tempat suntikan, yang mungkin disertai
rasa panas atau pembengkakan akan menghilang dalam 2 hari.
Kemasan dan penyimpanan : HepB-0 monovalen (dalam kemasan
uniject), vaksin kombinasi DTP/HepB, vaksin pentavalen DTP/HepB/Hib.

15
Vaksin Hepatitis B rekombinan dapat disimpan sampai 26 bulan setelah
tanggal produksi pada suhu antara +2C s/d +8C. Jangan dibekukan.
Reaksi KIPI : yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang
ringan dan bersifat sementara di lokasi penyuntikan, terkadang dapat
menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada
kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan
laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.
Indikasi kontra : Hipersensitif terhadap komponen vaksin.Vaksin
Hepatitis B Rekombinan sebaiknya tidak diberikan pada orang yang
terinfeksi demam berat. Adanya infeksi trivial bukan sebagai kontra
indikasi
Imunisasi ulang : Pada usia 5 tahun tidak diperlukan. Dapat
dipertimbangkan pada usia 10-12 tahun apabila kadar pencegahan belum
tercapai (anti HBs < 10 g/mL).
Jadwal : Diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir
(HepB-1). Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan dari imunisasi
HepB-1 yaitu saat usia 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal,
interval imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5
bulan. Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan . Apabila
diketahui HbsAg ibu positif maka ditambahkan hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) 0,5mL sebelum bayi berumur 7 hari. Pemberian
vaksin HepB-1 dan HBIg 0,5mL diberikan secara bersamaan pada bagian
tubuh yang berbeda dalam waktu 12 jam setelah lahir.

c. Vaksinasi DTP1,3
Vaksinasi Difteri
Vaksin DTP merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu
dalam vial gelas, mengandung toksoid tetanus murni, toksoid difteri murni,
dan bakteri pertusis yang diinaktivasi, yang teradsorbsi kedalam aluminium
fosfat. Vaksin DTP merupakan jenis vaksin bakteri yang inaktif.

16
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat
pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan
dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada
beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi
yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun
diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau
vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis
vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi
terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun
untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,
melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan
selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1
tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah
suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar
hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10
tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau
minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan
untuk memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan
menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis
pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi
lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam
yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).

17
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang
pada pemberian vaksin yang pertama.

Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari
ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,
sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis
diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis
yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin
dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau
lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata
efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat
mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan
tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri
pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang
demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa
jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi
ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai

18
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik-
hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan
riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.
DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan,
6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan
pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa
nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular
atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3
bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun
setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat
usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10
tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah
10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3
kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan
perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka
sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang

19
lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,
penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya
bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.
d. Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan
IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut,
sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan
suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio
oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi
dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi
nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status
imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan
jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh
terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat
pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.
Komposisi : Tiap dosis (2 tetes = 0,1 mL) mengandung Virus Polio
hidup dilemahkan (strain Sabin) tipe 1,2,dan3
Zat tambahan
Eritromisin tidak lebih dari 2 mcg
Kanamisin tidak lebih dari 10 mcg
Sukrosa 35 % (v/v) (sebagai zat penstabil)

20
Indikasi : Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap Poliomyelitis
Penyimpanan : OPV : Freezer, suhu -20 C
Dosis : OPV 2 tetes per-oral, IPV 0,5 mL intramuscular
Kemasan : OPV : vial, disertai pipet tetes
IPV : dapat diberikan tersendiri atau dalam
kemasan
kombinasi (DTaP/Hib/IPV)
Masa kadaluarsa : OPV : dua tahun pada suhu -20C, Dan hanya dapat
disimpan selama 6 bulan pada suhu antara +2C dan +8C.
Jadwal : Polio-0 diberikan saat bayi lahir atau pada kunjungan pertama.
Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi
dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindari tranmisi
virus vaksin kepada bayi lain yang sakit/imunokompromais karena virus
polio vaksin dapat dieksresi melalui tinja. Selanjutnya dapat diberikan
vaksin OPV atau IPV. Untuk imunisasi dasar (polio-1,2,3) diberikan pada
umur 2,4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4
minggu.
Imunisasi ulang : iberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).

KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian
vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan
gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan
diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam
pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita
HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV
berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan

21
melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk
bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.

e. Imunisasi Campak1,3
Vaksin campak adalah vaksin aktif yaitu vaksin virus hidup yang
dilemahkan, merupakan vaksin beku kering berwarna kekuningan pada vial
gelas, yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut yang telah disediakan secara
terpisah. Vaksin campak ini berupa serbuk injeksi.
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.
Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin
diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2
jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak
yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang
dicampur dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti
bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan
insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi
ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya
tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak
SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Indikasi : Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap penyakit campak
Penyimpanan : Vaksin campak beku kering disimpan pada suhu antara
+2C s/d +8C. Vial vaksin dan pelarut harus dikirim bersamaan, tetapi
pelarut tidak boleh dibekukan dan disimpan pada suhu kamar. Vaksin
harus terlindung dari cahaya. Waktu kadaluarsa 2 tahun. Vaksin campak

22
yang sudah dilarutkan, sebaiknya digunakan segera, paling lambat 6 jam
setelah dilarutkan, apabila masih bersisa maka harus dimusnahkan.
Dosis : setelah dilarutkan, diberikan dalam satu dosis 0.5 mL secara
subkutan dalam
Kemasan : vial berisi 10 dosis vaksin yang dibekukeringkan, beserta
pelarut 5 ml (aquadest). Kemasan untuk program imunisasi dasar
berbentuk kemasan kering tunggal. Namun ada vaksin dengan kemasan
kering kombinasi dengan vaksin gondong/ mumps dan rubella (campak
jerman) disebut MMR.
Jadwal : Usia 9 bulan, 24 bulan, dan 6 tahun (SD kelas 1 dalam program
BIAS). Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan
dan ulangan umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.

Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh
pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang
memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah,
alergi terhadap protein telur.
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam
dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

f. Vaksinasi MMR1,3
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi
Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak)

23
dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang
membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit
campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada
usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular
atau subkutan dalam.
Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :
Galur virus yang
dilemahkan
Campak Gondongan Rubella
Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3
Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia
Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang
dibentuk melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi
yang diperoleh setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak
dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang
sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak
dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi
darah.
KIPI
Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi
1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.

g. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3


Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul
Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua
vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia
2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan.
Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-
OMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5

24
tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara
intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan
mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis
PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2
kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali
suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini
diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua
atau ketiga.
Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh
vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat
suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila
seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat
alergi yang mengancam jiwa.

h. Vaksinasi Pneumokokus 1,3


Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang
disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah
vaksin pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin
jenis ini kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun
karena fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan
kekebalan dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin
pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini
dapat diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka
belum matur. Vaksin ini mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak
mengakibat kematian pada anak usia < 5 tahun.
Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di
daerah deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan
sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan
hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus
pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih

25
dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis
minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap
sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang
waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir.
Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan
mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung
kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan
menurun, mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi
ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua,
namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat
diberikan, yaitu:
Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.
Kontraindikasi relatif:
- Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih kurang baik
- Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.

i. Vaksinasi Influenza1,3
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza
virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak
berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah
berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak,
nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala
tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.

j. Vaksinasi Tifoid1,3
Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10
Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan.
Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin

26
oral diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul
dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap
5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak
boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang
dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang
kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh
kepada orang yang alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah,
diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih
tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin
tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama.
Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.

Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella


typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml
mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,
monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC
dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih.
Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular
atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk
dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan
sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.
KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri
otot tempat suntikan.

k. Imunisasi Hepatitis A1,3


Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat
memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20

27
tahun. Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan
tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan
dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua
diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak
diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung
diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90%
dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia,
disuntik secara intramuskular di deltoid.
Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal
(bulan ke-)
Havrix (Glaxo 2 - 18 th 720 ELISA 0,5 Dua dosis : 0
SmithKline) units dan 6-12
> 18 th ELISA units 1 Dua dosis : 0
dan 6-12
Vaqta (Merck) 2 - 18 th 25 U 0,5 Dua dosis : 0
dan 6-18
> 18 th 50 U 1 Dua dosis : 0
dan 6-12
Twinrix > 17 tahun 720 ELISA 1 Tiga dosis :
(GlaxoSmithKline) units 0, 1, dan 6
Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin (Craig &
William S 2004)
KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal
tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping
akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di
tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek
samping berat sesudah pemberian dosis pertama.

l. Vaksinasi Varisela1,3
Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal
dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang
diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin
ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika
mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.

28
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia),
vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis.
Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah
varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization
Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih
timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah
dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia
12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara
subkutan.11
KIPI
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%)
yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam
sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak
kemerahan dan lenting ringan.
Kontra indikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah
diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan
alergi neomisin.

m. Vaksinasi Rotavirus1,3
Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare
rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan
usus), maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin
rotavirus, yaitu ;
a. Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung
strain manusia P(8)G1.
b. Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-
sapi P(8)G1-G4.

29
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman
dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan
bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan
adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%
Nama Vaksin Rotavirus
Sasaran imunisasi Bayi sedini usia 4 minggu
Macam vaksin Rotarix, Rotateg
Dosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Jadwal Pemberian Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg :
usia (4,8,12) minggu
Cara Pemberian Oral
Efektivitas Belum diketahui secara pasti
Kontraindikasi c. Sebaiknya tidak diberikan
bersama-sama dengan vaksin polio oral
d. Adanya infeksi bakteri patogen di
Usus
KIPI Diare, muntah, demam
Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus

n. Vaksin Japanesse Encephalitis1


Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian
vaksin JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan
pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis
yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis
penguat dapat diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di
daerah rawan terinfeksi virus JE.
KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia
pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan
penggunaan vaksin masih belum diatur.
Nama Vaksin Vaksin Japannesse encephalitis
Indikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau
yang akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan
penyakit JE
Dosis dan 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak
jadwal berumur sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang

30
sama
Efektivitas 90%
KIPI Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam,
sakit kepala, menggigil, mual dan muntah
Kontraindikasi Alergi
Tabel 6 . Vaksinasi Japannesse encephalitis

o. Vaksinasi Meningitis1
Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin
meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini
hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C).
Namun, vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat
melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan
W-135.
Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal
polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 (
Meningococcaal conjugated vaccine A,C, Y, W-135).
Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak
perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria
meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta
turis yang hendak masuk ke daerah endemik.

p. Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)


Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak
usia 2-10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan
bagi anak usia kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang
lebih dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin jenis MCV4, namun jika tidak
tersedia vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4) juga dapat digunakan.
Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di
bawah kulit). Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%-100% dan akan
bertahan selama 3-5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3
tahun, sehingga diperlukan imunisasi ulangan setiap 3-5 tahun.

31
KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri
dan kemerahan pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi
jarang terjadi (kurang dari 0,1/100.000).

q. Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)


MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat
lebh baik daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan
yang lebih lama. Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama
pada usia 11-12 tahun. Pertimbangan pemberian vaksin untuk anak usia di atas
11 tahun adalah karena respon kekebalan yang terbentuk terhadap vaksin ini
tidak optimal, sehingga daya perlindungan yang didapatkan tidak maksimal.
Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan
boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang
berbeda.
Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin dan
dapat bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian
ulangan, tetapi untuk yang menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan
tubuh yang terbentuk akan lebih cepat menurun dalam 3 tahun pertama.
Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan secara terus menerus.
Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada
usia kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4
tahun, maka ulangan diberikan setelah satu tahun.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan
dengan vaksin jenis MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa
rasa sakit dan tibul kemerahan pada tempat suntikan yang akan hilang dalam 1-
2 hari. Efek lain yang dapat timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar,
tetapi angka kejadiannya sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). Guillain-
Barre Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping yang
ditakutkan, namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh
diberikan pada seseorang dengan riwayat alergi dengan bahan vaksin, alergi
latex, dan pada orang dengan infeksi akut, serta pada wanita hamil.

32
r. Vaksin Yellow Fever1
Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan
Amerika Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah
10 hari setelah mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh
International Certificate of Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin
demam kuning berupa virus hidup yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin
disuntikkan di bawah kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan
sangat efektif dalam memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Vaksin
tidak direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan orang
yang sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh.,
KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan.
Sekitar 2%-5% penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang
terjadi 5-10 hari setelah mendapatkan vaksinasi.

s. Vaksinasi HPV
Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru
untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin,
satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18
telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi
persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan
atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan
ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan
bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya
untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun
panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan
vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap
infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum
individu terpapar infeksi HPV.

33
Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada
lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam.

34
BAB III
KESIMPULAN

Imunisasi merupakan bagian yang penting dalam tahap kehidupan seorang


anak karena berfungsi sebagai pencegahan primer terhadap penyakit infeksi.
Dalam imunisasi aktif atau vaksinasi, sistem imunitas tubuh dirangsang untuk
mengenali dan memproduksi antibodi terhadap suatu bakteri atau virus penyebab
penyakit tertentu sehingga tubuh memiliki pertahanan yang lebih baik jika
sewaktu-waktu terinfeksi. Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua dan
petugas kesehatan untuk memastikan seorang anak mendapatkan imunisasi sesuai
jadwalnya.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman


Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia
2. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. 2014. Basic Immunology: Functions
and Disorders of Immune System. 4th Edition. Philadelpia : Elsevier. Available
from : www.studentconsult.com
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi IDAI 2014 [online]. Available from
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html
[Accesed January, 1st 2015]
4. Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNHAS / SMF Anak RS. DR. Wahidin
Sudirohusodo. 2012. Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Anak. Makassar Juli
2012.
5. UNICEF WHO. Immunization Facts And Figures. 2013
6. Direktorat Jendral PP dan Pl Kementrian Kesehatan RI 2013. Petunjuk Teknis
Introduksi Imunisasi DTP-HB_Hib (Pentavalen) Pada Bayi dan Pelaksana imunisasi
Lanjutan Pada Anak Batita.

36

Anda mungkin juga menyukai