Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Status konvulsi adalah keadaan darurat medis yang mengancam jiwa yang

memerlukan pengenalan dan pengobatan yang tepat. Status konvulsi bukan merupakan

penyakit khusus, tetapi merupakan gangguan susunan saraf pusa (SSP) atau gangguan

sistemik yang menyebabkan gangguan SSP. Tata laksana yang tepat adalah identifikasi

dan pengobatan penyebab yang mendasarinya sehingga kejang akan terkontrol dan

mencegah kerusakan yang lebih lanjut yang mungkin dapat terjadi.1,2

Status konvulsi membutuhkan penanganan awal yang cepat. Kehilangan

autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang

yang terus-menerus. Penilaian awal berfokus pada kemungkinan adanya gangguan

metabolik ataupun kondisi yang membutuhkan tatalaksana segera. Penatalaksanaan

tahap awal menyarankan penggunaan benzodiazepin dan fenitoin untuk menghentikan

kejang, anestesi dipertimbangkan pada stadium refrakter (stadium dimana sudah

diberikan terapi adekuat namun kejang masih terus berlangsung). Prognosis penyakit

ini sangat bergantung pada etiologi yang mendasarinya.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi

Status konvulsi mengacu pada apa yang disebut dengan status epilepticus

konvulsius, yaitu suatu rangkaian kejang tonik-klonik yang menyeluruh tanpa

kembalinya kesadaran yang kontinyu, termasuk suatu keadaan gawat darurat dan

biasanya berlangsung selama lebih dari 30 menit.3,4

2.2. Etiologi

Infeksi dengan demam (52%) seperti kejang demam, ensefalitis, meningitis4,5

Epilepsi (9,5-27%)4,5

Kelainan susunan saraf pusat (SSP) kronik (39%) seperti ensefalopati hipoksik

iskemik dan cerebral palsy4,5

Penghentian obat anti kejang (21%)4,5

Lain lain (<10%)4,5

2.3. Patofisiologi

Awalnya terjadi mekanisme kompensasi otak, khususnya hipertensi dengan

peningkatan aliran darah ke otak untuk mencegah kerusakan otak. Status konvulsi yang

berlangsung lama menyebabkan: hipoksemia, hiperkarbia,hipotensi dan hipertermia,

2
dengan penurunan tekanan oksigen otak. Ketidakseimbangan antara kebutuhan

oksigen dan glukosa tinggi menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan

penurunan glukosa dan oksigen otak. Kompensasi otak membutuhkan aliran udara,

napas, sirkulasi dan aliran darah otak yang cukup dan kompensasi ini terjadi pada

stadium awal. Kematian dan kesakitan terjadi akibat gagalnya mekanisme kompensasi.

Hipoksia terjadi karena gangguan ventilasi, air liur yang berlebihan, sekresi

trakeobronkial, dan peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia disertai kejang yang

lama dan asidosis menyebabkan fungsi ventrikel jantung menurun, menurunkan curah

jantung, hipotensi, yang mengganggu fungsi sel jaringan dan neuron. Selain itu sering

terjadi asidosis metabolik dan respiratorik.3,6

Saat terjadi status konvulsi, dikeluarkan hormon katekolamin dan perangsangan

saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan

tekanan vena sentral. Edema otak yang terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, dan

hipotensi dapat menyebabkan herniasi. Serum glukosa pun dapat menurun. Kejang

yang tidak dapat teratasi, dapat menyebabkan hiperpireksia, Komplikasi tersering

adalah hipoksia, asidosis laktat, hiperkalemia, hipoglikemia, syok, hiperpireksia, gagal

ginjal, dan gagal napas. mioglobinuria, dan peningkatan kreatinin fosfokinase akibat

rabdomiolisis.5,6

Pada status konvulsi yang berlangsung lama terjadi kehilangan inhibisi reseptor

GABA dan perubahan fungsi reseptor GABA. Pada kerusakan jaringan otak, kematian

disebabkan gagalnya mekanisme kompensasi.5,6

3
Kejang terjadi karena adanya peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada

neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara

bersama-sama melepaskan muatan listriknya.6,7

Penyebab diduga diakibatkan karena beberapa faktor, yaitu :6,7

a. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan

listrik yang berlebihan

b. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau

c. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui

jalur eksitasi yang berulang.

2.4. Diagnosis

a. Anamnesis6,7

Deskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadaran saat

kejang, dengan/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan

kelumpuhan pasca kejang)

Anamnesis untuk mencari etiologi kejang: demam, trauma kepala, sesak napas,

diare, muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada epilepsi, apakah

minum obat secara teratur

Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga

4
b. Pemeriksaan Fisik6,7

Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah etiologi

kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda dehidrasi

maupun tanda-tanda hipoksia.

Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala, ubun-

ubun besar, tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik, refleks

fisiologis dan patologis.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,


tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi,misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.7,8

2. Pungsi lumbal

Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan

kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama,

gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak

didapatkan faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam

48-72 jam setelah pungsi lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi

susunan saraf pusat.6,7

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini

5
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia < 12

bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.7,9

Indikasi pungsi lumbal:9

Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal

Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis

Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya

telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat

mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

3. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG dilakukan hanya jika terdapat indikasi, yaitu : apabila ada

bangkitan kejang yang bersifat fokal. Pemeriksaan EEG digunakan untuk

mengetahui adanya gelombang epileptiform untuk mencegah perkembangan

penyakit ke arah epilepsi. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya

interiktal EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata memperlihatkan

gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsy berat

mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal.8,9

4. Imaging

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan

pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila

6
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya

hemiparesis atau paresis nervus kranialis.8,9

2.5. Penatalaksanaan

Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila kejang

tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung lama. Status

konvulsivus adalah kejang konvulsif yang berlangsung lebih dari 30 menit atau

kejang berulang selama lebih dari 30 menit; selama kejang pasien tidak sadar. Status

konvulsivus pada anak merupakan kegawatan yang mengancam jiwa dengan resiko

terjadinya gejala sisa neurologis.5,6

Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas tatalaksana fase akut dan

fase jangka panjang, meliputi:6,10

a. Fase akut: penghentian kejang

0-5 menit:

o Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.

o Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi oksigen ke

jaringan.

o Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan

umum, dan neurologis secara cepat.

o Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan infeksi.

5-10 menit:

Pemasangan akses intravena

7
Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer lengkap, glukosa,

dan elektrolit.

Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan 5

mg/menit), atau dapat diberikan diazepam rectal 0,5 mg/kgBB (untuk

berat bedan < 10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan > 10 kg diberikan

10 mg, dosis maksimal 10 mg/kali).

Atau dapat diberikan lorazepam 0,05-0,1 mg/kgBB intravena

(maksimum 4 mg). alternative lain adalah midazolam 0,05-0,1

mg/kgBB intravena. Pemeberian diazepam intravena atau rectal dapat

diulang 1-2 kali setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1 mg/kgBB dapat

diulang sekali setelah 10 menit.

Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan dekstrosa 25% 2 ml/kgBB

10-15 menit:

Cenderung menjadi status konvulsivus

Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena diencerkan dengan NaCl

0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/ menit.

Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai

maksimum dosis 30 mg/kgBB.

Lebih dari 30 menit:

Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long acting)

8
Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan-lahan dengan

kecepatan 100 mg/ menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10

mg/kgBB dengan interval 10-15 menit.

Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi analisis gas darah,

elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda

depresi pernapasan.

Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke Unit

perawatan intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/kgBB secara bolus

intravena, diikuti rumatan fenobarbital drip dengan dosis 3-5

mg/kgBB/jam

Penanganan pada pasien dengan status konvulsivus tidak hanya

bertujuan untuk mengentikan kejang, tetapi juga mencegah terjadinya

komplikasi sistemik yang timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan dini,

intervensi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi penting untuk prognosis

pasien. Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat gangguan

ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta

peningkatan kebutuhan oksigen.8,10

Hipoksia mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya menyebabkan

penurunan fungsi ventrikel jantung, penurunan curah jantung, hipotensi, dan

mengganggu fungsi sel dan neuron. Edema otak terjadi akibat adanya

hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada kejang yang tidak dapat teratasi, dapat

9
terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan peningkatan

keratin fosfokinase akibat rabdomiolisis.8,10

Beberapa macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi status


konvulsi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.6

Keterangan Diazepam Lorazepam Fenitoin Fenobarbital Midazolam

Dosis insial 0,3-0,5 0,05-0,1 15-20 10-20 0,05-0,1


mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB

Maksimum 10 mg 4 mg - - -
dosis awal

Dosis 5-10 menit, 5-10 menit, Bila kejang 10-15 menit


ulangan dapat dapat tidak 5-10
diulang 1-2 diulang 1 terkontrol, mg/kgBB
kali kali periksa
kadar dalam
serum
setelah 1-2
jam. Dapat
diberikan
setengah
dosis

Lama kerja 15 menit-4 Sampai 24 12 jam 12-24 jam 1-6 jam


jam jam

Rute IV perlahan, IV IV perlahan, 12-24 jam IV IV bolus


pemberian rectal kecepatan perlahan, perlahan,
50 mg/ kecepatan kecepatan 0,2
menit, dapat 100 ug/menit atau

10
diencerkan mg/menit, drip 0,4-0,6
dengan atau IM ug/kgBB/ menit
NaCl 0,9%

Catatan Dilanjutkan Hindarkan Monitor Monitor


dengan pengulangan tanda vital tanda vital
fenitoin atau sebelum 48
OAE jam

Efek Somnolen, Bingung, Hipotensi, Hipotensi, Hipotensi,


samping ataksia, depresi depresi depresi napas bradikardi
depresi napas napas,
napas aritmia

Tabel 1. Obat yang Digunakan dalam Penghentian Kejang


(Sumber : UKK Neurologi. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Konvulsi. Jakarta : IDAI.2015)

11
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Status Konvulsi
(Sumber : UKK Neurologi. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Konvulsi. Jakarta : IDAI.2015)

Tatalaksana Setelah Kejang Berhenti

1. Tergantung Etiologi6,7

Kelainan metabolik (elektrolit dan glukosa), hipoksemia jika penyebab sudah


dapat dikoreksi tidak diperlukan terapi rumat
Infeksi SSP akut , perdarahan berikan terapi rumat selama perawatan
SOL, terapi rumat diberikan selama masih ada SOL
Epilepsi, berikan obat anti epilepsi
Kejang demam : sesuai indikasi terapi rumatan pada kejang demam

2. Terapi Rumatan6,8

Jika kejang akut berhenti dengan diazepam, terapi rumatan dengan

fenobarbital/fenitoin.

Loading dose diikuti dosis rumatan 12 jam setelah inisial

Jika kejang akut berhenti dengan fenitoin, terapi rumatan dengan

fenitoin,dimulai 12 jam setelah dosis inisial

Dosis 5-10 mg/kgBB/hari dibagi 2.

12
Jika kejang akut berhenti dengan fenobarbital, terapi rumatan dengan

fenobarbital, dimulai 12 jam setelah dosis inisial.

Dosis 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 Intra vena

Jika kejang akut berhenti dengan midazolam lini keempat ,

terapi rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah

pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap

dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.7,8

2.6. Edukasi Orang Tua6,8,10

Jangan panik

Baringkan anak di tempat yang datar/lunak, miringkan pada 1 sisi tubuhnya.

Letakkan bantal/benda lunak lain di bawah kepala

Jauhkan dari benda-benda berbahaya

Longgarkan pakaian/apapun di sekitar leher

Berikan obat kejang lewat anus

Cara pemberian diazepam melalui anus :

13
Gambar 2. Cara Pemberian Diazepam Rektal
(Sumber : UKK Neurologi. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Konvulsi. Jakarta :
IDAI.2015

Amati kejang : bentuk dan lama kejang, frekuensi, interval diantara kejang, apa

yang terjadi pada anak sebelum, selama dan sesudah kejang

Dampingi anak sampai betul-betul sadar, pastikan jalan napas tidak tersumbat

14
2.7. Prognosis8,10

Prognosis pasien tergantung dari etiologi, usia, lamanya kejang dan talaksana

kejang teratasi.

Angka kematian 30 hari perawatan dilaporkan kurang dari 10%.

Gejala sisa: delayed motorik, sindrom ekstrapiramidal, retardasi mental

15

Anda mungkin juga menyukai