Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM CERITA

ASAL-USUL BUDAYA CELURIT

Diajukan sebagai tugas individu

Matakuliah Filologi

Oleh:

NADYA RIZQI HASANAH DEVI

NIM 14020074061

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur tercurahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan segala rahmat, hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulisan
makalah yang berjudul Analisis Nilai Budaya dalam Cerita Asal-Usul Budaya
Celurit ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini merupakan hasil analisis mengenai folklor lisan yang ada di
Madura. Folklor lisan tersebut merupakan asal-usul sebuah daerah yang
merupakan bagian dari kebudayaan milik sekelompok masyarakat tertentu yang
diwariskan secara lisan oleh nenek moyang kepada generasi ke generasi
berikutnya.

Dalam penulisan transkripsi folklor lisan ini, penulis menggunakan


metode tidak patuh. Penulis melakukan transkripsi dengan metode tak patuh, yang
mana bertujuan agar folklor lisan tersebut mudah dipahami.

Untuk memudahkan membaca dan memahami makalah ini, maka perlu


dijlaskan bahwa ada singkatan-singkatan yang ada dalam makalah ini. Adapun
singkatan tersebut adalah AUBC yang memiliki makna Asal-usul Budaya Celurit.
Jadi dalam analisis ini setiap kutipan teks folklor lisan selalu disertai singkatan
judulnya. Contohnya: ....(AUBC, 2025). AUBC berarti Asal-usul Budaya
Celurit, sedangkan nomor 2025 berarti kutipan tersebut terdapat antara baris ke-
20 sampai baris ke-25.

Makalah hasil analisis ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu,
penulis mohon saran dan masukan dari pembaca demi penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Surabaya, 14 April 2015

Nadya Rizqi Hasanah Devi


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra lisan yaitu kesusastraan yang mencakup kesusastraan warga suatu


kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke
mulut). (Hutomo(Sudikan, Setya Yuwana, 2014: 3)
Sebagaimana cerita tentang Asal Usul Budaya Celurit dari masyarakat
Madura. Sebelumnya belum pernah ada sebuah karya sastra yang menulis tentang
Asal Usul Budaya Celurit, namun hingga saat ini cerita tersebut masih dapat
diketahui oleh masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai budaya
yang terkandung dalam sebuah cerita membuat mereka akan selalu mewariskan
cerita tersebut kepada keturunan mereka termasuk melalui tradisi lisan. Dengan
dimaksudkan tradisi lisan sebagai sarana dalam berbagi pengetahuan dan adat
kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.
Dalam komunitas ilmu sastra lisan dikenal dengan adanya dua paradigma,
yaitu (1) Paradigma sastra lisan sebagai seni, (2) Paradigma sastra lisan sebagai
produk budaya. (Sudikan, Setya Yuwana, 2014: 7). Berdasarkan cerita Asal Usul
Budaya Celurit menggambarkan sastra lisan sebagai produk dari budaya setempat
atau lebih tepatnya Madura. Celurit selama ini telah menjadi lambang dari daerah
Madura. Cerita Asal Usul Budaya Celurit memberikan pengetahuan mengenai
seluk-beluk bagaimana Celurit menjadi kekhasan dari Madura. Selain itu cerita
Asal Usul Budaya Celurit juga mengandung nilai-nilai budaya masyarakat
bahkan filosofi kehidupan yang akan dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat
Madura hingga saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal mula Asal Usul Budaya Celurit di Madura ?
2. Bagaimana nilai budaya yang terkandung dalam Asal Usul Budaya Celurit
di Madura ?
3. Bagaimana pengaruh Asal Usul Budaya Celurit dalam kehidupan
masyarakat Madura hingga saat ini?
4. Bagaimana nilai edukatif dari Asal Usul Budaya Celurit ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui awal mula Asal Usul Budaya Celurit di Madura.
2. Untuk mengetahui nilai budaya yang terkandung dalam Asal Usul Budaya
Celurit di Madura.
3. Untuk mengetahui pengaruh Asal Usul Budaya Celurit dalam kehidupan
masyarakat Madura hingga saat ini.
4. Untuk mengetahui nilai edukatif dari Asal Usul Budaya Celurit.

1.4 Kajian Teori


Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam
alam pikiran sebagaian besar tentang apa yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidupnya yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dan memberi arah kepada kehidupan masyarakat
( Koentjaraningrat (Supratno, 2015: 6))

Nilai budaya dapat berfungsi sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam
masyarakat. Setiap masyarakat pada umumnya mempunyai nilai budaya
yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu sistem. Sistem tersebut
menjadi pedoman dan konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dan dapat
memberi dorongan yang kuat terhadap arah kehidupan anggota masyarakat
( Koentjaraningrat (Supratno, 2015: 6-7))
BAB II

PEMBAHASAN

Karya Sastra adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Sehingga sebuah sastra
mengandung nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Melestarikan karya
sastra kepada generasi penerusnya menjadi sebuah kewajiban, demi terjaganya nilai-
nilai budaya tersebut sehingga tetap dikenal dan mampu mempertahankan eksistensinya
di tengah globalisasi budaya. Salah satu media dalam proses pewarisan budaya dapat
melalui tradisi lisan. Melalui tradisi lisan, maka dikenal adanya sastra lisan. Sehingga
sastra lisan merupakan cerita yang berkembang dalam masyarakat dari mulut ke mulut
dengan mengenalkan budaya yang dipatuhi oleh masyarakat setempat. Asal Usul
Budaya Celurit merupakan cerita yang menggambarkan sejarah Celurit dan makna
celurit bagi masyarakat Madura dan kebudayaannya.

3.1 Awal Mula Budaya Celurit


Budaya celurit pada mulanya merupakan politik licik dari Belanda. Cerita
mengenai Celurit diawali dengan adanya seorang pemuda dari Pasuruan bernama Pak
Sakera, pada saat itu dia terkenal dengan senjatanya yaitu celurit.
Belanda tidak menyukai keberadaan Pak Sakera, karena pak sakera sangat menentang
adanya penjajahan. Oleh karena itu Belanda memiliki niat buruk untuk menfitnah Pak
Sakera dengan celuritnya. Yaitu dengan membagikan celurit pada seluruh penjahat di
daerah Madura. Sehingga celurit tersebut oleh penjahat digunakan untuk mencuri,
merampok hingga membunuh.
Budaya celurit tidak dapat lepas dari tokoh pahlawan yang bernama Sakera. Pak
sakera sebenarnya bukan berasal dari Madura melainkan berasal dari Pasuruan.
Pada kala itu Pak Sakera mempunyai senjata yang bernama celurit, dan pada
kala itu pak sakera sangat menentang keberadaan Belanda. Sedangkan Belanda
sendiri juga sangat membenci pak Sakera.
Akhirnya Belanda memiliki sebuah niat licik untuk mengkambinghitamkan Pak
Sakera dengan celuritnya. Pak Sakera sendiri telah menjadi seorang pahlawan di
Madura. Sementara itu Belanda mengkambinghitamkan Pak Sakera dengan
warga-warga biasa yang tidak tahu menahu tentang keberadaan pak Sakera.
Oleh karena itu celurit yang dimana dijadikan sebuah alat utuk
mengkambinghitamkan Pak Sakera, Belanda membuat banyak Celurit kemudian
dibagikan kepada beberapa penjahat di Madura. Akhirnya pada saat itu penjahat
di Madura menggunakan celurit untuk merampok, menindas.Disitu juga tidak
lepas dari tindak tanduk dari Belanda. Kemudian dengan itu tercemarlah nama
Pak Sakera dan Celuritnya. (AUBC 1-15)

Dengan politik licik yang dilakukan Belanda, maka sejak saat itu citra Pak Sakera dan
celuritnya menjadi buruk. Dan sejak saat itu senjata celurit menjadi senjata khas dari
Belanda. Dampak politik Belanda masih memberikan pengaruh hingga sekarang. Yaitu
pandangan masyarakat yang menganggap orang Madura sebagai orang kasar begitupula
dengan istilah celurit yang identik dengan kekerasan.

3.2 Nilai Budaya dalam Asal Usul Budaya Celurit

a. Nilai Keburukan Fitnah

Asal Usul Budaya Celurit menceritakan bagaimana akibat politik licik dari
pemerintahan kolonial belanda yang menginginkan perpecahan dari masyarakat Madura.
Mereka memanfaatkan Pak Sakera sebagai seorang pahlawan dengan senjata khasnya
yakni celurit.

Akhirnya Belanda memiliki sebuah niat licik untuk mengkambinghitamkan Pak


Sakera dengan celuritnya. Pak Sakera sendiri telah menjadi seorang pahlawan di
Madura. Sementara itu Belanda mengkambinghitamkan Pak Sakera dengan warga-
warga biasa yang tidak tahu menahu tentang keberadaan pak Sakera. (AUBC, 10)

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat gambaran bagaimana kebiasaan masyarakat


yang mudah mempercayai pernyataan seorang tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu.
Mereka tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Pak Sakera adalah seorang pahlawan
yang sangat membenci keberadaan Belanda demi memperjuangkan kemerdekaan.
Kebiasaan masyarakat mudah menerima pernyataan dengan mentah tanpa adanya sikap
kritis terhadap pernyataan. Hal tersebut membuat mereka mudah untuk mempercayai
pernyataan tanpa mengetahui kebenarannya.
Oleh karena itu celurit yang dimana dijadikan sebuah alat utuk
mengkambinghitamkan Pak Sakera, Belanda membuat banyak Celurit kemudian
dibagikan kepada beberapa penjahat di Madura. Akhirnya pada saat itu penjahat
di Madura menggunakan celurit untuk merampok, menindas.Disitu juga tidak
lepas dari tindak tanduk dari Belanda. Kemudian dengan itu tercemarlah nama
Pak Sakera dan Celuritnya.(AUBC, 10-15)

Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana usaha Belanda dalam memfitnah


Pak Sakera dengan celuritnya. Akal muslihat belanda dengan membagikan celurit pada
para penjahat di Madura saat itu, membuat citra celurit dan pak sakera menjadi buruk.

b. Nilai keberanian
Nilai kebenarian yang dapat dipetik dalam cerita Asal Usul Budaya Celurit
adalah ketika orang Madura lebih memiliki keberanian dalam mengungkapkan
ketidaksukaannya. Mereka cenderung mengikuti kata hati mereka meskipun
memberikan dampak buruk bagi mereka. berbeda dengan sebagian orang yang tidak
mengikuti kata hatinya sehingga melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak mereka
kehendaki. Hal itu tampak disaat bagaimana mereka membela harga diri mereka
mereka. Bahkan mereka akan melakukan perlawanan dengan nyata apabila mereka
tersakiti harga dirinya. Termasuk dengan jalan kekerasan atau yang biasa disebut
dengan carok atau bacok- membacok. Budaya carok yang ada di Madura sangat lekat
dengan celurit sebagai senjatanya.

Bukan hanya itu celurit yang dijadikan senjata oleh Pak Sakera,terus
berkembang sampai saat ini. Dan celurit sendiri juga telah menjadi alat
sebagai tradisi untuk mempertahankan harga diri. Dimana satu keluarga dengan
keluarga lain menyelesaikan sebuah masalah dengan bacok-membacok
(AUBC, 20)
Berdasarkan kutipan diatas tampak bagaimana kebudayaan masyarakat Madura
dalam menyelesaikan masalah. Mereka tidak segan-segan untuk memulai sebuah
perkelahian apabila terdapat sesuatu yang dapat melukai harga diri mereka. kebudayaan
tersebut merupakan dampak dari sejarah politik licik Belanda. Sehingga sampai saat ini
celurit yang identik dengan kebudayaan Madura memiliki citra yang buruk, begitupula
dengan orang Madura. Bahkan hingga saat ini masyarakat Madura tetap menjadikan
celurit sebagai alat untuk mengatasi permasalahan. Hal itulah yang merupakan sebuah
kebudayaan dari masyarakat setempat, berawal dari sastra lisan hingga menjadi sebuah
budaya yang dilaksanakan bersama dalam suatu masyarakat.

Sebagaimana cerita Asal Usul Budaya Celurit terdapat pernyataan bahwa


tradisi celurit sebagai alat untuk mempertahankan harga diri. Hal tersebut
menggambarkan pencitraan orang Madura sebagai orang yang kasar dan gemar
berkelahi. Namun dibalik pencitraan tersebut, tampak keberanian yang tertanam dalam
jiwa orang Madura. Sikap terbuka dalam menunjukkan ketidaksukaan bahkan terhadap
suatu hal termasuk bentuk jiwa keberaniannya. Mereka akan berterus terang apabila
terdapat suatu hal yang bersebrangan dengan persepsi mereka. sehingga mereka lebih
memiliki keberanian dalam menentukan sikap ketika merasa tersinggung harga dirinya
dan diharapkan dapat menghindari kesalahpahaman.

c. Nilai pengorbanan Menjunjung Tinggi Harga Diri Walaupun Nyawa


Dipertaruhkan.

Harga diri bagi masyarakat Madura adalah segalanya. Bahkan terdapat pandangan
hidup bagi masyarakat Madura yaitu Bhengal Kapateh Tako Ka Todhus yang artinya
Lebih baik mati dari pada malu. Begitu tinggi mereka menjunjung harga dirinya,
bahkan nyawa mereka tidak ada harganya dibanding dengan harga diri. Kebudayaan
masyarakat Madura yang segan memulai sebuah perkelahian dalam menyelesaikan
masalah. Karakter keras yang dimiliki masyarakat Madura merupakan akibat dari
pelabelan yang dilakukan oleh Belanda. Yaitu dengan tindak tanduknya mengenai
celurit. Meskipun karakter tersebut hanya dimiliki sebagian orang Madura saja, tapi
pelabelan tersebut membuatnya seakan semua orang Madura berkarakter seperti itu.

Bukan hanya itu celurit yang dijadikan senjata oleh Pak Sakera,terus
berkembang sampai saat ini. Dan celurit sendiri juga telah menjadi alat sebagai
tradisi untuk mempertahankan harga diri. Dimana satu keluarga dengan keluarga
lain menyelesaikan sebuah masalah dengan bacok-membacok. (AUBC, 20)
Perkelahian yang terjadi diantara masyarakat Madura tidak seperti perkelahian
pada umumnya. Merka memiliki etika dalam sebuah perkelahian. Mereka harus
menukarkan celurit yang mereka miliki dengan celurit lawan ketika akan melakukan
perkelahian. Dengan maksud bahwa mereka tidak akan mati ditangan orang lain, akan
tetapi mati dengan celurit mereka sendiri. Dari etika tersebut terdapat filosofi mendalam
mengenai harga diri mereka. Yakni mereka tidak akan terbunuh oleh tangan orang lain,
dan hanya tangan mereka yang dapat menentukan kapan mereka terbunuh. Oleh karena
itu dari perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura tidak dapat dijatuhkan hukuman
apapun. Karena ketika salah satu diantara mereka meninggal dapat diartikan mereka
bunuh diri bukan dibunuh dengan orang lain, maka hukum tidak dapat dijadikan
penyelesaian diantara kedua belah pihak.

Namun disini juga terdapat etika, jika ingin menyelesaikan masalah dengan
carok. Yaitu ketika hendak memulai carok, Celurit keluarga A diberikan pada
celurit keluarga B dan celurit keluarga B juga diberikan pada keluarga A. Dari
etika tersebut terdapat filosofi yang dalam mengenai celurit. Bahwa ketika
mereka mati, mereka akan terbunuh dengan celurit mereka sendiri. Jadi tidak ada
hukum yang dapat menyelesaikan masalah dari kedua belah pihak. (AUBC, 20-
25)
Dengan demikian nilai pengorbanan mengenai nyawa untuk sebuah harga diri
bagi orang Madura. Disaat perkelahian berlangsung mereka masih menjunjung tinggi
harga diri mereka. Mereka rela dibunuh oleh lawannya dengan syarat celurit yang
digunakan adalah celurit mereka sendiri. Begitulah filosofi hidup mereka untuk tetap
mati ditangan sendiri, meskipun hanya melalui celuritnya.

d. Nilai Keadilan

Berdasarkan cerita Asal Usul Budaya Celurit carok atau bacok-membacok atau
perkelahian dalam masyarakat madura memiliki beberapa etika. Diantaranya : (1)
berhenti ketika mendengar azan. (2) kerelaan keluarga apabila ada yang meninggal
akibat perkelahian tersebut (3)apabila menantikan waktu untuk balas dendam, maka
harus menunggu beberapa tahun lagi hingga anak atau cucu dari keluarga masing-
masing siap untuk bertarung demi menyelesaikan masalah diantara keduanya.

terdapat etika, ketika terjadi bacok-membacok sementara adzan berkumandang,


maka mereka menghentikan kegiatan tersebut demi melaksanakan kewajiban
sholat. Dan ketika ada yang meninggal, maka keluarganya harus benar-benar
rela untuk menunggu beberapa tahun hingga anakatau cucu mereka telah siap
untuk membalas dendam. Ketika anak atau cucu dari salah satu keluarga telah
siap untuk membalas dendam, maka mereka harus memberikan pemberitahuan
agar dari pihak keluarga lain (pihak musuh) telah mempersiapkan petarung
untuk menyelesaikan permasalahan diantara keduanya. (AUBC; 30-35)
Oleh karena itu budaya masyarakat Madura mengenai perkelahian yang mereka
lakukan bukanlah perkalahian pada umumnya. Hal itu tampak dengan adanya beberapa
kesepakatan yang harus mereka patuhi. Sehingga diharapkan perkelahian dapat berjalan
dengan adil. Mereka tidak dapat berambisi untuk memenangkannya atau bahkan
membalas dendam akan nyawa yang melayang sebelumnya. Akan tetapi mereka harus
mengikuti perlombaan tersebut sesuai dengan peratuan atau kesepakatan yang ada demi
tercapainya tujuan mereka.

e. Nilai Kebanggaan

Celurit sebagai lambang dari Madura merupakan bagian dari kebangaan orang
Madura. Meskipun pencitraan celurit yang tidak terlalu baik ditengah masyarakat pada
saat itu. Akan tetapi sekarang masyarakat Madura tetap berbangga memilikinya.

Ketika celurit berukuran lumayan besar, biasanya celurit tersebut dimiliki oleh
seorang penjahat yang sangat kejam. Sedangkan ketika celuritnya digunakan
untuk berburu ayam. Maka celurit tersebut memiliki dua fungsi yaitu sebagai
pajangan dan digunakan untuk berjaga-jaga apabila terdapat permasalahan
dalamkeluarga tersebut.(AUBC ;35-39;2012)
Dari cerita Asal Usul Budaya Clurit terdapat nilai kebanggaan yaitu ketika
sebagian besar masyarakat Madura menjadikan celurit sebagai pajangan di rumah. Hal
tersebut menunjukkan adanya rasa cinta dengan kebudayaan lokal daerahnya. Oleh
karena itu hal tersebut hendaknya diperkenalkan pada anak-anak pada usia sekolah.
Supaya mereka mencari budaya daerah mereka lalu berbangga dengan kebudayaannya
dan bersedia melestarikannya.
3.3 Pengaruh Cerita Asal Usul Budaya Celurit dalam Kehidupan Masyarakat Madura

Pengaruh nilai keburukan fitnah yang dilakukan Belanda kepada masyarakat


Madura berdampak hingga sekarang. Sehingga saat ini celurit menggambarkan
kekerasan. Bahkan beberapa orang menggambarkan orang Madura sebagai orang yang
kasar, mudah berkelahi dan selalu menggunakan celurit dalam setiap perkelahiannya.

Sementara itu nilai keberanian masyarakat Madura juga tergambarkan dalam pola
kehidupan mereka pada saat ini. Yaitu ketika beberapa orang Madura berani untuk
meninggalkan tanah kelahirannya demi mencari pekerjaan. Sebagian besar diantara
mereka memilih untuk berwirausaha, dan tidak sedikit pula yang mendapat keberhasilan
dengan jalan tersebut. Menjadi seorang wirausaha merupakan pilihan yang akan selalu
dihadapkan dengan resiko. Namun dengan keberanian yang mereka miliki, mereka
mengambil kesempatan dengan pilihan tanpa takut untuk memikirkan resiko yang akan
dihadapi.

Begitupula dengan nilai pengorbanan dalam cerita Asal Usul Budaya Celurit.
Cerita tersebut menggambarkan bagaimana orang Madura tidak akan pernah
menoleransi penghinaan atas harga dirinya. Mereka sangat membanggakan diri mereka
sendiri. Hal itu menunjukkan adanya rasa kepercayaan diri yang tinggi. Maka ketika
mereka menghadapi kesenjangan dengan orang lain, mereka akan memiliki
menyelesaikan masalah dengan terbuka termasuk melalui carok atau perkelahian.

Dan yang terakhir berdasarkan nilai keadilan dalam cerita Asal Usul Budaya
Celurit menggambarkan budaya perkelahian diantara masyarakat Madura. Perkelahian
yang mereka lakukan memiliki etika tertentu. Dan hingga saat ini etika atau aturan
permaianan tersebut masih tetap dijunjung tinggi. Dari hal tersebut tampak karakter
orang Madura yang cenderung dianggap oleh sebagian besar orang kasar, namun
mereka memiliki sifat adil. Yaitu dengan mengikuti aturan permaianan yang ada, siap
menerima kemenangan dan kekalahan, serta tidak ada sikap curang.
3.4 Nilai Edukatif dari Asal Usul Budaya Celurit

Berdasarkan nilai keburukan fitnah dari ceritaAsal Usul Budaya Celurit memberikan
pelajaran, bahwa seharusnya sikap kritis hendaknya diterapkan dalam menyikapi
sebuah pernyataan. Sehingga dapat terhindar dari fitnah yang dapat merugikan orang
lain ataupun diri sendiri. Karena fitnah juga dapat mengubah persepsi terhadap orang
lain, dimana menganggap orang baik sebagai orang buruk ataupun sebaliknya.

Dari nilai keberanian masyarakat Madura dapat dijadikan sebagai tauladan dalam
menjalankan kehidupan. Dimana saat ini keberanian untuk mengungkapkan kebenaran
sangat jarang untuk ditemui. Beberapa alasan dan resiko membuat kebenaran semakin
terbungkam. Sehingga saat ini sebuah keberanian untuk kebenaran dan kejujuran
meskipun pahit sangat diperlukan dalam fenomena masyarakat saat ini.

Demikian nilai kebudayaan masyarakat Madura untuk menjunjung tinggi harga diri
diatas nyawa memberikan pelajaran mengenai pengorbanan. Ketika menjalani sebuah
kehidupan dapat dipastikan untuk dihadapkan pada sebuah pilihan dan berakhir untuk
mengorbankan salah satu hal yang berharga . Dan masyarakat Madura cenderung
mengorbankan hidup mereka dibandingkan dengan harga diri mereka.

Dengan demikian budaya berkelahi yang dimiliki orang Madura memberikan


pelajaran. Bahwa setiap perkelahian akan terdapat pemenang dan orang yang kalah.
Akan tetapi mendapatkan kemenangan dengan usaha yang curang juga tidak patut
diperhitungkan. Sehingga apabila ingin menjadi pemenang, maka bersikaplah adil
dengan mematuhi segala aturan yang ada hingga tercapai kemenangan yang telah
diharapkan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab II, maka dapat disimpulkan bahwa foklor lisan atau
sastra lisan memiliki beberapa nilai budaya masyarakat setempat. Sebagaimana cerita
Asal Usul Budaya Celurit yang di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya
masyarakat Madura. Nilai budaya tersebut antara lain nilai keburukan fitnah, nilai
keberanian, nilai pengorbanan, nilai keadilan dan nilai kebanggaan. Bercermin dari
cerita Asal Usul Budaya Celurit dan beberapa nilai yang terkandung di dalamnya.
Diharapkan dapat memberikan pelajaran dalam kehidupan. Khususnya dalam
menentukan sebuah sikap, maka hendaknya telah mempersiapkan keberanian,
mempetimbangkan pengorbanan yang harus dilakukan dan hendaknya selalu
menegakkan keadilan.

Dengan demikian telah terpaparkan bagaimana pentingnya sastra lisan dalam segi
nilai budaya bagi masyarakat. Sebagaimana sastra yang merupakan bagian dari
masyarakat, sastra lisan juga dapat menggambarkan kondisi masyarakat tersebut.
Mempelajari sastra lisan akan menyadarkan tentang nilai-nilai luhur yang patut untuk
dilestarikan. Meskipun hanya melalui tradisi lisan dan tidak ada peninggalan berupa
tulisan, namun sastra lisan akan selalu diingat. Sastra lisan akan diingat apabila generasi
saat ini melanjutkan selalu mewarisi cerita-cerita budaya daerahnya kepada generasi
penerusnya.
DAFTAR PUSTAKA

Supratno, Haris. (2015). Foklor Lisan Sebagai Media Pendidikan


Karakter Mahasiswa. Surabaya ; Unesa University Press.

Sudikan, Setya Yuwana. (2014). Metode Penulisan Sastra Lisan.


Lamongan ; CV. Pustaka Ilalang Group.

Sudikan, Setya Yuwana.(2013), Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo ;


Damar Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai