Anda di halaman 1dari 7

PEMETAAN DAERAH RAWAN TERBAKAR DI KHDTK SISIMENI SANAM

Heru Budi Santoso


Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Lingkungan Hidup & Kehutanan Kupang

Abstract
In the last five year, land and forest fire prevention become one of the serious attention of the
government. One of forest fire prevention technique is to create forest fire vulnerability
mapping. This article aims to apply its technique in the Sisimeni Sanam training forest. The
consideration that used is level of litter dryness on each type of land cover, slope, proximity
to access roads and settlements. The result, area that most vulnerable burned is 178,22 ha
(6%), vulnerable (1.317 ha, 42%), moderate (1.522 ha, 49%) and the balance is
unvulnerable.
Keywords : Land and forest fire, forest fire vulnerability mapping, training forest.

A. Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami darurat
kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan data SiPongi (Sistem monitoring Karhutla)
Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan
per provinsi di Indonesia tahun 2011 2016, mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
Pada tahun 2011, total luas lahan yang terbakar di Indonesia sebesar 2.612,09 ha, sedangkan
pada tahun 2015 luas lahan yang terbakar menjadi 261.060,44 ha, naik 100 kali lipat dari
kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 2011. Bahkan dalam artikelnya, Bank Dunia
menyatakan bahwa Perkiraan awal dari kerugian ekonomi untuk Indonesia akibat kebakaran
hutan tahun 2015 melampaui $16 milyar. Jumlah ini dua kali lebih besar dari kerugian dan
kerusakan akibat tsunami tahun 2004 di Aceh, setara dengan 1.8% Produk Domestik Brutto
(PDB). Estimasi ini mencakup kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan,
industri, pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Sebagian dari kerugian itu akibat kerusakan
dan kerugian langsung terhadap hasil panen, kehutanan, perumahan dan infrastruktur, dan
biaya yang ditimbulkan untuk menangani api. Besarnya nilai kerugian yang terjadi akibat
kebakaran hutan ini yang kemudian melatar belakangi pemerintah untuk benar-benar menjaga
dan berkomitmen untuk menurunkan angka luasan lahan terbakar.
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Iklim yang termasuk dalam semi arid, dimana curah
hujan sangat rendah khususnya di musim kemarau, mengakibatkan tumbuhan dan seresah
menjadi sangat kering sehingga mudah sekali terbakar. Kawasan Hutan dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Diklat Sisimeni Sanam merupakan kawasan hutan yang ada di Provinsi
Nusa Tenggara Timur tepatnya di Pulau Timor yang dikelola oleh Balai Diklat Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Kupang. Berdasarkan data dari analisis citra Modis yang diperoleh dari
Fire Information for Resource Management System (FIRMS) yang dikeluarkan oleh NASA,
jumlah hot spot pada tahun 2011-2015 disekitar KHDTK Sisimeni Sanam berjumlah 18 titik,
dan 9 di antaranya terjadi pada tahun 2015, tepatnya pada rentang bulan september sampai
dengan oktober 2015. Salah satu areal yang terbakar pada tahun tersebut adalah petak
cendana yang telah berumur 8 tahun, akibatnya beberapa pohon cendana mengalami
kematian dan terbakar pada bagian batang dan daun. Untuk mengefektifkan kegiatan
pengamanan hutan serta mencegah terjadinya kebakaran hutan maka perlu di buat peta daerah
rawan terbakar di Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Data dan hasil peta dalam tulisan ini
merupakan hasil dari diklat pengendalian kebakaran hutan yang diselenggarakan pada tanggal
26 31 Oktober 2015 dengan peserta adalah tenaga bakti rimbawan.
B. Tinjaun Pustaka
Identifikasi Daerah Rawan Terbakar
Tingkat kerawanan daerah terbakar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
kondisi iklim, fisik, dan kondisi ekonomi, sosial serta budaya.
1) Kondisi Iklim
Kondisi iklim terutama pada periode dimana curah hujannya rendah merupakan salah satu
pendorong terjadinya kebakaran. Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut
tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas
matahari tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan
kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi
akan terjadi jika ditemukan adanya gejala El Nino. El Nino adalah fenomena alam yang
dicirikan dengan memanasnya temperatur laut secara tidak wajar di daerah Pasifik
katulistiwa. El Nino terjadi dalam interval waktu 4 atau 5 tahun sekali.
2) Kondisi Fisik
a. Penutupan lahan
Dalam konsep segitiga api, bahan bakar merupakan salah satu aspek penting terjadinya
kebakaran selain dari api dan oksigen. Dalam ekosistem hutan, bahan bakar terjadinya
kebakaran merupakan semua bahan organik, baik hidup ataupun mati, yang terdapat di dalam
tanah (misal gambut) , di permukaan tanah atau di atas tanah (tajuk), yang bersumber dari
hutan atau lahan. Banyak-sedikitnya bahan bakar akan sangat ditentukan oleh jenis penutupan
atau jenis vegetasi apa yang ada di lokasi tersebut. Semakin banyak bahan bakar yang
tersedia di suatu daerah serta didukung oleh rendahnya kelembapan (kondisi kering) akan
semakin rawan terjadinya kebakaran.

b. Kelerengan
Kelerengan lahan umumnya berpengaruh ketika terjadinya kebakaran. Daerah yang
memiliki tingkat kelerengan yang tinggi akan semakin mudah cepat terbakar karena adanya
dorongan angin yang berhembus. Informasi kelerengan juga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam penentuan alat dan teknik pemadaman.
c. Kelembapan
Salah satu faktor utama terjadinya kebakaran adalah kondisi lingkungan yang kering
sehingga mengakibatkan kadar air pada bahan bakar menjadi rendah sehingga mudah
terbakar. Ketersediaan sumber air yang tersedia sepanjang tahun di sekitar lokasi akan
membantu meningkatkan kelembapan serta membantu terbentuknya iklim mikro.
3) Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Aktivitas Masyarakat
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran manusia terhadap terjadinya kebakaran lahan masih
sangat besar. Berdasarkan laporan sebuah lembaga riset, faktor manusia merupakan penyebab
kerusakan hutan di sejumlah propinsi. Lebih dari 90% kebakaran hutan disebabkan karena
manusia atau sengaja dibakar. Semakin tinggi aktivitas mayarakat di suatu lahan/kawasan
hutan maka peluang untuk terjadinya kebakaran lahan juga akan semakin besar.
b. Pola Pembukaan Lahan Pertanian
Di indonesia, budaya pembukaan lahan pertanian melalui tebas bakar masih melekat kuat
dan sulit untuk dihilangkan. Salah satu contoh budaya tebas bakar ada di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan hasil penelitian Kurniadi dan
Widnyana (2003) di Desa Mio dan Desa Boentuka (Kab. Timor Tengah Selatan, Nusa
Tenggara Timur), terdapat 4 budaya masyarakat setempat terkait dengan pemanfaatan api
dalam kegiatan pertanian :
1. Budaya Tebas Bakar
2. Budaya Perladangan Berpindah
3. Budaya Fire Maniac
4. Budaya Berburu
C. Metode
Menurut penelitian Erten et al (2004), beberapa parameter yang dapat digunakan dalam
mengidentifikasi daerah rawan terbakar adalah penutupan vegetasi, kelerengan, jarak dari
jalan dan jarak dari pemukiman. Penutupan vegetasi digunakan untuk mengetahui
karakteristik daun dan seresah. Dalam kegiatan ini pengujian menggunakan teknik remas
seresah, dengan tujuan untuk melihat derajat kekeringan melalui peremasan seresah. Semakin
hancur seresah maka tingkat kerawanan bahan bakar untuk terbakar juga akan semakin
tinggi. Untuk kelerengan, daerah yang memiliki tingkat kelerengan tinggi akan semakin
mudah cepat terbakar karena adanya dorongan angin yang berhembus, sedangkan parameter
jarak dari jalan dan pemukiman digunakan sebagai pendekatan terhadap pola aktivitas
masyarakat. Semakin dekat dengan akses dan aktivitas masyarakat maka resiko untuk
terjadinya kebakaran juga semakin tinggi. Keempat parameter diatas kemudian diskoring dan
dianalisis dengan metode spasial menggunakan software ArcGIS.
Tabel Penilaian Daerah Rawan Terbakar

D. Hasil dan Analisis


Berdasarkan analisis tutupan lahan di KHDTK Sisimeni Sanam tahun 2014, dari kawasan
seluas 2.973 ha, 35,62% memiliki tutupan tajuk jarang yang didominasi oleh tanaman eks
HTI seperti jati, johar serta sengon. Kategori tajuk rapat sebesar 27,45% dimana kondisi ini
banyak ditemui di sekitar Desa Benu dan sebagian Desa Sillu, sedangkan semak belukar
sebesar 26,2% serta penutupan berupa savana sebesar 10,47 % yang banyak tersebar disekitar
Desa Ekateta. Hasil pengujian tingkat kekeringan seresah yang dilakukan oleh peserta diklat
pada bulan Oktober 2015, pada tutupan tajuk jarang yang didominasi jati dan johar ketika
diremas kondisinya hancur lebur dengan kondisi sangat kering, hal tersebut sama halnya pada
kondisi semak belukar dan savana. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga jenis tutupan
diatas, ketika ada api maka bahan bakar akan semakin cepat terbakar. Untuk tutupan vegetasi
rapat kondisinya bervariasi mulai dari sebagian hancur sampai dengan menjadi patahan-
patahan kecil.

Peta Tutupan Lahan KHDTK Sisimeni Sanam Peta Tingkat Kelerengan KHDTK Sisimeni Sanam

Peta Jarak dari Jalan (Buffer from roads) Peta Jarak dari Pemukiman (Buffer from settlements)

Berdasarkan aspek kelerengan, diketahui bahwa sekitar 65% luasan hutan diklat memiliki
bentuk topografi yang datar sampai landai. Kondisi tersebut umumnya tersebar di sekitar
Desa Ekateta dan Desa Silu. Topografi agak curam sampai curam banyak dijumpai disekitar
Desa Oesusu serta sekitar Kaut (pondok kerja), sedangkan untuk areal yang sangat curam
sebagian besar berada pada batas Desa Ekateta dan Desa Benu, yang bentuknya berupa
perbukitan. Untuk aspek aktivitas masyarakat, akses jalan paling banyak tersebar di sekitar
Desa Ekateta serta Oesusu sedangkan dari radius (jarak ) dari pemukiman, jarak kurang dari
1000 meter yang paling dekat adalah Desa Ekateta, Oesusu dan Desa Sillu (Dusun Taiti).
Aspek aktivitas masyarakat menjadi penting untuk dipertimbangkan karena sebagian besar
peristiwa kebakaran hutan dan lahan terjadi akibat faktor kesengajaan/kelalaian manusia.
Artinya semakin tinggi aktivitas dan akses masyarakat pada suatu lokasi maka peluang untuk
terjadinya kebakaran atau munculnya api akan semakin besar.
Hasil overlay dan skoring keempat parameter diatas, didapatkan bahwa di KHDTK
Sisimeni Sanam areal yang termasuk kategori sangat rawan terbakar sekitar 178,22 ha (6%),
rawan (1.317 ha, 42%), agak rawan (1.522 ha, 49%) dan sisanya tidak rawan. Lokasi dengan
kategori sangat rawan umumnya berada disekitar akses jalan dan kebun masyarakat, dengan
sebaran 58,4 ha ada di Desa Ekateta, Desa Sillu (47,79 ha), Desa Camplong II (41,33 ha) dan
sisanya ada di Desa Oesusu dan Benu (masing-masing 15 ha). Berdasarkan data titik api
(hot spot) dari citra Modis yang diperoleh dari Fire Information for Resource Management
System (FIRMS) dalam kurun waktu sejak bulan september 2010 sampai dengan april 2016,
di Desa Ekateta terdeteksi 42 titik api, dimana 3 diantarnya ada di dalam kawasan.
Terbanyak kedua adalah Desa Sillu dengan jumlah 34 titik api, dimana 7 titik ada di dalam
kawasan, sedangkan camplong 2 terdeteksi 26 titik api, 2 diantaranya didalam kawasan hutan
diklat. Kejadian titik api yang ada di dalam kawasan hutan diklat umumnya terjadi bulan
oktober s/d november. Hal ini tidak lepas dengan kebiasaan masyarakat yang sedang
melakukan persiapan lahan/membuka kebun untuk ditanami tanaman pertanian seperti
jagung, kacang,dll. Menurut persepsi masyarakat persiapan lahan dengan cara membakar
merupakan cara yang paling murah dan cepat.
Berdasarkan hasil diatas, maka pengelola hutan diklat perlu mengoptimalkan tindakan
pencegahan baik melalui sosialisasi maupun patroli rutin khususnya pada daerah yang masuk
dalam kategori sangat rawan dan rawan, terutama pada kawasan di sekitar Desa Ekateta, Sillu
dan Camplong 2.
Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran di KHDTK Sisimeni Sanam Peta Overlay Tingkat Kerawanan Kebakaran dengan Sebaran Hotspot
di Sekitar KHDTK Sisimeni Sanam 2010 -2016

Kesimpulan & Rekomendasi


Pemetaan daerah rawan kebakaran merupakan bagian dari teknik pencegahan
kebakaran hutan dan lahan, melalui informasi tersebut harapannya kegiatan pencegahan
seperti sosialisai maupun patroli dapat berjalan lebih efektif dan optimal. Selain itu, hasil
serta metode yang digunakan dalam tulisan ini juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
hutan diklat serta memperkaya teknik pembuatan peta rawan kebakaran pada diklat
pencegahan kebakaran.

Daftar Pustaka
Amalina, Putri, Lilik Budi Prasetyo and Siti Badriyah Rushayati. 2015. Forest Fire
Vulnerability Mapping in Way Kambas National Park. The 2nd International Symposium
on LAPAN-IPB Satellite for Food Security and Environmental Monitoring 2015, LISAT-
FSEM 2015. www. Sciencedirect.com. Di akses tanggal 14 Oktober 2016.
Erten, E., V. Kurgun and N. Musaoglu. 2004. Forest Fire Risk Zone Mapping From Satellite
Imagery and GIS A Case Study. ITU, Civil Engineering Faculty, Remote Sensing
Division. www.isprs.org/proceedings/xxxv/congress/yf/papers/927. Diakses tanggal 14
Oktober 2016.
Fire Information for Resource Management System (FIRMS).
https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/download/request.php, di akses tanggal 22
September 2016.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan Dan
Lahan Per Provinsi Di Indonesia Tahun 2011 2016.
http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran, , di akses tanggal 12 Oktober 2016.
Kurniadi, Rahman dan I Made Widnyana. Budaya Masyarakat dan Kebakaran Hutan(Studi
Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur). Sumber : puspijak.org/uploads/info/kebakaran%20kupang.pdf, di
akses tanggal 13 Oktober 2016.
World Bank. Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia (25 November 2015).
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis, di
akses tanggal 12 Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai