Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mengikuti


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RSUD Sukoharjo

Pembimbing:

dr. Iman Budiarto,Sp.S

Diajukan Oleh:

Arnis Putri Rosyani J 510165021

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

REFRAT

MENINGITIS TUBERKULOSIS

OLEH:
Arnis Putri Rosyani J510165021

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pembimbing:
dr. Iman Budiarto,Sp.S (.................................)

Dipresentasikan dihadapan:
dr. Iman Budiarto,Sp.S (.................................)

Disahkan Ka Program Profesi:


dr. Dewi Nirlawati (.................................)

BAB I
PENDAHULUAN

Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak

dan medula spinalis yang disebut meninges. Inflamasi dari meningen dapat disebabkan

salah satunya oleh infeksi bakteri atau mikroorganisme. Meningitis yang disebabkan oleh

bakteri disebut juga meningitis bakterial, ini merupkan kondisi serius yang dapat

menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian jika tidak ada penanganan segera karena

merupakan sebuah kondisi kegawatdaruratan.1

Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen penyebabnya, yaitu meningitis

bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis parasitik dan meningitis non

infeksius. Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia,

pada daerah Asia Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis

tuberkulosis.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis sendiri dibagi
menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid (CSF) atau disebut juga
Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta dengan penyebab bakteri
selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan meningitis serosa dengan penyebab
bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan gejala klinis meningitis hampir selalu
sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk
menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang
disesuaikan dengan etiologinya. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009
menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi
primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru. 3

B. Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis, bakteri berbentuk batang gram positif, berukuran
0,4-3m mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam
keadaan kering (15 sampai 20 jam). Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies
lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti. 4

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis


C. Anatomi dan Fisiologi
Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu : 5
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke
dalam fisura transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini
piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan
bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus
untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela
choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan
durameter.
3. Duramater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal
dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Durakranialis atau pachymeninx
adalah struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan
lapisan luar (periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan
dalam cranium dan juga membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher
terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli
dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang
meluas ke kedua sisi.

Gambar 2. Struktur meningen dari luar


D. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang. 5

Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau
medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi
primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila penyebaran hematogen
terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer
seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan
reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi
tersebut adalah trauma kepala.6

Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.


Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi
hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang
paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan
berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik
yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di meningen ini ditandai dengan adanya eksudat, berwarna kuning
kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel
plasma dengan nekrosis perkejuan.
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan
mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI,
kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila
mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul
gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II.
Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang
sifatnya permanen.5,6
2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim
otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi
quadriparesis.5,6
3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.5,6

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat dikelompokkan dalam tiga
stadium, yaitu: 6
1. Stadium I
Gejala an tanda non spesifik, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada defisit
neurologis. Berlangsung 1-3 minggu, timbul perlahan dan tidak khas.
2. Stadium II
Letargi dan ada perubahan tingkah laku, iritasi meningen, defisit neurologi minor
seperti kelumpuhan saraf kranial (N.III,IV,VI,VII), dapat dilakukan pemeriksaan
meningeal seperti kaku kuduk (+), refleks kernig dan brudzinski (+) terkecuali
pada bayi.

3. Stadium III
Terjadi percepatan penyakit, 2-3 minggu, terjadi stupor atau koma, pergerakan
abnormal, kejang dan defisit neurologi berat seperti paresis. Hal ini terjdi akibat
infark batang otak akibat lesi pembuluh darah.

F. Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis


Diagnosis meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis yang
disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto rontgen
toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama
adalah ketika basil Mycobacterium tuberculosis masuk melalui droplet menyebabkan
infeksi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk
ke jaringan meningen otak membentuk lesi metastatik yang disebut rich foci. Tahap
kedua adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai ruptur ke dalam ruang
subarachnoid dan mengakibatkan meningitis.7

Tabel. 1. Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB 8

Kriteria
Kriteria Klinis Skor kategori maximal = 6
Durasi gejala lebih dari 5 hari 4
Gejala sistemik dari TB (satu atau lebih dari gejala) : 2
Penurunan berat badan yang cepat, batuk lama lebih
dari 2 minggu
Riwayat penyakit dahulu (dalam 1 tahun teakhir) 2
kontak dengan penderita TB paru
atau test tuberkulin poositif.
Defisit neurlogi (selain nervus facialis) 1
Nervus cranialis 1
Gangguan kesadaran 1
Kriteria Cerebral Spinal Fluid (CSF) Skor kategori maximal = 4
Warna cairan jernih 1
Sel 10-500 per L 1
Peningkatan Limfosit (>50%) 1
Kandungan konsentrasi protein >1g/L 1
Kandungan plasma glukosa rendah 1
<50% atau konsentrasi glukosa <2.2 mmol/L
Kriteria Pencitraan Cerebral Skor kategori maximal = 6
Hidrocephalus 1
Peningkatan basalis meningeal 2
Tuberculoma 2
Infark 1
Pre kontras hiperdens basalis 2
Pemeriksaan Penunjang lain TB Skor kategori maximal = 4
Foto X-ray Thorax dari TB aktif : 2, 2/4
TB Milier : 4
CT/MR/ultrasound untuk TB 2
Selain Cerebral nerous system (CNS)
Kultur M.tuberculosis (sputum, limfonodi, 4
Cairan lambung,urin, darah)
Positive commercial M.tuberculosis dari 4
Tes Nucleic acid amplification (NAAT)
Dari ekstra neural specimen

Berdasarkan tabel di atas, diagnosis kemungkinan meningitis TB (probable)


adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis mungkin terkena
meningitis TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10. Penilaian cairan
serebrospinalis pada pasien dengan meningitis TB dapat menunjukkan warna yang
jernih, peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500 per L sel
darah putih di dalam cairan serebrospinalis, peningkatan kandungan protein di atas 1
g/L dan konsentrasi glukosa yang sangat rendah dibawah 5 mg/dl atau kurang dari 2.2
mmol/L. 8

Pemeriksaan untuk memastikan diagnosis meningitis TB, tes cairan


serebrospinalis lain baru-baru ini telah dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi
adenosine deaminase activity (ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-) yang
dikeluarkan oleh limfosit, deteksi antigen dan antibodi bakteri M.tuberculosis dan
immunocytochemical staining of mycobacterial antigens (ISMA) pada sitoplasma
makrofag CSF. 8

Tes aktivitas ADA ini menampilkan proliferasi dan diferensiasi limfosit


sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel terhadap infeksi bakteri
M.tuberculosis. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan spesifitas
<80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas
59% dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis TB
(p<0.001). 9

Pengukuran IFN- yang dikeluarkan oleh limfosit terstimulasi oleh antigen


bakteri M.tuberculosis sangat berguna untuk mendiagnosis TB ekstrapulmoner.
Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal atau sumber infeksi
primernya. kegagalan tes pengukuran IFN- ini diakibatkan oleh kematian limfosit
yang cepat ketika distimulasi dengan antigen M.tuberculosis sehingga hasil tes dapat
ditemukan negatif meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB. 10

Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF bahwa pada stase
inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan pada stase selanjutnya
basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam makrofag. Hasil tes yang
positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat bakteri TB di dalam CSF di dapatkan
sensitivitas 73.5% dan spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi positif dan negatif
sebesar 52.9% dan 96% berturut-turut. Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat
hanya setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan defisit neurologis,
M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular atau setelah dilakukan
kultur cairan serebrospinal (CSF).11

Tabel. 2. Kriteria TB pada anak12

0 1 2 3
GEJALA

Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA (+)

keluarga

BTA (-) /

tidak tahu
Positif (
Uji Tuberkulin Negatif - - 10mm

atau 5mm

pada

imunokompr
o-

masis)

Gizi
Berat Badan/ BB/TB<90% buruk -

Keadaan Gizi - atau

BB/U<80%

Demam yang tidak 2 minggu - -

diketahui penyebabnya -

Batuk kronik - 3 minggu - -

1 cm,
Pembesaran kelenjar lebih - -

dari 1
KGB,
aksila, inguinal -
tidak nyeri

Pembengkakan Bengkak - -

tulang / sendi panggul, -

lutut, falang

Foto toraks Normal Gambaran - -

Sugestif

mendukung

TB
Menurut awal skor TB, demam dan batuk tidak ada respon pengobatan standar. Foto
toraks juga bukan merupakan alat diagnostik yang utama pada tb anak. Semua kejadian
reaksi akselerasi BCG harus dilakukan evaluasi dengan sistem skoring. Tb didiagnosis
pada anak jika skornya 6. Bila skor 5 dan anakya dibawah 5 tahun harus rujuk ke
rumah sakit. 12

G. Tatalaksana Meningitis Tuberkulosis 13


Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :

1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti


tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu
isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis
tuberkulosis berupa :

1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diberikan dalam bentuk
oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per
hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak
boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk
cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih
baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada
keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin,
ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan. Efek
samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia.
Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450
mg.
2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan
kaseosa. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari. Isoniazid
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg /
5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer.
3. Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini
bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi
baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan
dosis maksimal 2 gram / hari. Efek samping pirazinamid adalah
hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada
anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg.
4. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg /
kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Etambutol
tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis
satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian
juga pada keadaan meningitis.
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram /
hari. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung
(tinitus) dan pusing.

Tabel 3. Regimen : RHZE / RHZS

Rifampisin 10-20mg/kg/BB/hari

Isoniazid 7-15mg/kg/BB/hari

Pirazinamid 30-40 mg/kg/BB/hari

Etambutol 15-25mg/kg/BB/hari

Streptomisin 20 mg/kgBB/hari

Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan


dengan deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya
perlekatan antara araknoid dan otak. 13

Steroid diberikan untuk: 14

a. Menghambat reaksi inflamasi


b. Mencegah komplikasi infeksi
c. Menurunkan edema serebri
d. Mencegah perlekatan
e. Mencegah arteritis/infark otak Indikasi Steroid : Kesadaran
menurun, Defisit neurologist fokal
f. Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4
kali 5 mg intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan
selama 1 bulan.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis: 15

a. Hidrosefalus
b. Cairan subdural
c. Abses otak
d. Cedera kepala
e. Gangguan pendengaran
f. Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
g. Kerusakan otak
h. Kejang
i. Serangan otak

I. Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan
perumahan dan di lingkungan. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara
meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih sebelum
makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi
dan pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas klinik yang
mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit
berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke lemahan
dan kecacatan akibat meningitis, dan mengurangi kemungkinan untuk
mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli. Fisioterapi dan
rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat. 15

J. Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal
akan dijumpai gejala sisanya. Secara umum, penderita meningitis dapat
sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik, mental atau meninggal,
tergantung :

1) Umur penderita
2) Jenis kuman penyebab
3) Berat ringan infeksi
4) Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5) Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
6) Adanya dan penanganan penyakit.

Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien


malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan
peningkatan tekanan intrakranial. 15
BAB III

KESIMPULAN

Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan komplikasi hasil dari


penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis
dari infeksi primer pada paru ke meningen. Insidensi meningitis TB di
Indonesia masih banyak sehingga diperlukan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat. Meningitis TB merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas
mencapai 30%. Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat
diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin
dapat bertambah parah jika tidak ditangani.

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat. Terapi


harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah
meningitis tuberkulosis. Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis
tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis seperti hidrosepalus, kejang,
gangguan sensori ekstremitas.

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien


didiagnosis dan diterapi. Meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya
didiagnosa dan diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis
nonmeningococcal akan dijumpai gejala sisanya. Secara umum, penderita
meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik, mental atau
meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Susana Chavez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. 2005.Bacterial


Meningitis in Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric Infectious
Diseases, University of Texas Southwestern Medical Center of Dallas. J.Pediatr Clin N
Am. Vol.52: 795

2. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL et al. 2004. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases; Vol. (9) 1267: 84
3. Chin JH. Tuberculous Meningitis. 2014. Diagnostic and theurapeutic challenges.
Neurol Clin Prac.; Vol. 3 :199-205

4. G Thwaites, T T H Chau, N T H Mai, F Drobniewski, K McAdam, J Farrar.


2017.Tuberculosis Meningitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 68:289299

5. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.

6. Van de beek, D. 2004. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with
Bacterial Meningitis. NEJM.

7. World Health Organization. Global tuberculosis report 2016. USA: World


Health Organization; 2016 available at : http://www.who.int/tb/publications/glob
al_report/en/index.html.
8. Principi, Nicola. 2012. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in
children. Tuberculosis Journals, Vol.5 : 377-383.
9. Corral I, Quereda C, Navas E, Martn-Dvila P, Prez-Elas MJ, Casado JL, et al.
2004. Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-infected patients: limited
value for diagnosis of tuberculous meningitis.Eur J Clin Microbiol InfectDis, Vol.6 : 23-47
10. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al. 2005.The
clinical benefit of adjunctive dexamethasone in tuberculous meningitis is not associated with
measurable attenuation of peripheral or local immune responses.J Immunol, Vol 5.175-179.
11. Sumi MG, Mathai A, Reuben S, Sarada C, Radhakrishnan VV. 2002. Immunocyto-
chemical method for early laboratory diagnosis of tuberculous meningitis. J. Clin Diagn Lab
Immunologi,Vol.9

12. IDAI, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta. : UKK. Respirologi. PP.
IDAI. 2007.
13. World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines. Edisi ke-4.
Geneva: WHO Press; 2010.
14. Tai, M.L.S., 2013. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Radiological Features,
Pathogenesis and Biomarkers. Neuroscience and Medicine, Vol. 4. 101-107. Available at
http://dx/doi.org/10.4236/nm.2013.42016.
15. Giok & Ety. 2016. Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosis. Journal
Medula Unila. Vol. 6. 50-55

Anda mungkin juga menyukai