Anda di halaman 1dari 18

4

II. TINJUAN PUSTAKA

A. Ternak Sapi Potong

Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya
penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan
penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Sebab seekor atau sekelompok
ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama bahan
makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang,
kulit, tulang, dan lain sebagainya. Daging sangat besar manfaatnya bagi
pemenuhan kebutuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan
pemakan rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi tinggi,
kemudian diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging (Sugeng, 2015).
Sehubungan dengan kebutuhan protein ini, Lembaga Penelitian Indonesia
dalam Sugeng (2015), merekomendasikan bahwa masyarakat Indonesia rata-rata
memerlukan 50 gram protein, 20% diantaranya berasal dari ternak dan ikan, yakni
protein dari ternak 4 gram/hari dan ikan 6 gram/hari. Namun, perlu diketahui
bahwa konsumsi protein dari ternak ini masih sangat rendah, sebab baru terpenuhi
2,56 gram per hari. Jadi, untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani dari daging,
maka kita khususnya peternak perlu meningkatkan produksi daging.
Jaya (2011) mengatakan bahwa, penyebaran ternak sapi di negara kita
belum merata. Ada beberapa daerah yang sangat padat, ada yang sedang, tetapi
ada yang sangat jarang atau terbatas populasinya. Tentu saja hal ini ada beberapa
faktor penyebab, antara lain faktor pertanian dan kepadatan penduduk, iklim dan
daya aklimatisasi, serta adat-istiadat dan agama.
Faktor pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia merurut Firnandy
(2013) ini menentukan penyebaran usaha ternak sapi. Masyarakat petani yang
bermata pencaharian bertani ini tidak bisa lepas dari usaha ternak sapi, baik untuk
keperluan tenaga, pupuk, atau lain sebagainya. Sebab sapi merupakan kawan baik
petani dalam rangka pengolahan tanah pertanian. Sedangkan dalam Sugeng
(2015) dikatakan bahwa maju mundurnya ternak sapi selama ini tergantung pula
pada usaha pertanian. Karena adanya usaha pertanian yang lebih maju berarti
akan menunjang produksi pakan berupa hijauan, hasil ikutan pertanian berupa
5

biji-bijian atau pakan penguat, yang kesemuanya sangat diperlukan sapi. Jadi, di
negara kita baik ternak sapi ataupun usaha pertanian, kedua-duanya masih sangat
bergantung dan saling menghidupi.
Indonesia termasuk daerah tropis yang tidak begitu banyak dipengaruhi
oleh perubahan iklim yang berbeda-beda, sehingga di negara kita ini tidak
mengenal tipe iklim setengah kering ataupun iklim kering. Namun Jaya (2011)
mengatakan bahwa Indonesia mengenal iklim setengah basah yakni diwilayah
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Daerah demikian sangat cocok
untuk usaha peternakan, sebab tumbuh padang rumput yang luas dan rumputnya
tinggi, sehingga populasi ternak sapi yang paling besar berada di daerah tersebut.

B. Inseminasi Buatan (IB)

Ilmu reproduksi sesungguhnya berkembang dalam upaya manusia untuk


mempertahankan keberadaan mahluk hidup di atas bumi. Pada hewan tingkat
tinggi, perkawinan dilakukan oleh jantan dan betina yang masing-masing
membawa sel kelamin jantan (spermatozoa) dan sel betina (ovum atau sel telur).
Perkawinan tersebut awalnya terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia,
sehingga anak yang dihasilkan oleh seekor hewan betina dalam suatu priode
tertentu cukup rendah. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia akan
hewan khususnya ternak sebagai konsekuensi penambahan jumlah penduduk dan
peningkatan kualitas hidup, maka manusia mulai melibatkan diri secara aktif
dalam penanganan rekayasa reproduksi hewan sehingga diperoleh produktivitas
reproduksi yang maksimal yang dalam dunia peternakan di sebut dengan istilah
Inseminasi Buatan atau IB (Saragih, 2010).
Sedangkan Hafez dalam Sugoro (2010) menjelaskan bahwa Inseminasi
Buatan (IB) adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi
betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi
perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan
secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa)
per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina
diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor
6

pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul dapat


dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina.
Dalam bidang reproduksi ternak, bioteknologi gamet yang merupakan inti
segala persoalan reproduksi telah berkembang pesat sejalan dengan
perkembangan teknologi reproduksi pada manusia. Gamet yang terdiri atas sel
kelamin jantan dan betina mempunyai peluang besar untuk direkayasa baik
sebelum, menjelang, maupun setelah terjadi fertilisasi. Peluang inilah yang
menjadi salah satu pemicu kemajuan penelitian pada bidang reproduksi, baik pada
hewan maupun pada manusia.
Soehadji (2013) memaparkan bahwa upaya tersebut berawal dari
berkembangnya teknologi Artificial Insemination (AI) atau Inseminasi Buatan
(IB) yang bertujuan untuk memanfaatkan seekor hewan jantan unggul (pejantan)
secara maksimal. Dalam perkawinan alami, seekor pejantan unggul hanya dapat
mengawini 1 sampai 5 ekor betina, namun melalui teknologi Inseminasi Buatan
(IB) seekor pejantan dapat mengawini beratus-ratus betina. Selanjutnya
dijelaskan Soehadji (2015) bahwa para ahli kemudian melirik betina sebagai salah
satu sumber gamet dalam proses reproduksi. Upaya ini berhasil melahirkan
beberapa pemahaman penting dalam pengaturan siklus estrus, superevolusi,
koleksi embrio, kultur embrio, pembekuan embrio dan transfer embrio.
Studi awal tentang teknologi Inseminasi Buatan (IB) pada ternak
dilakukan oleh seorang Rusia bernama Ivanoff pada tahun 1899 dan diikuti oleh
Ishikawa dari Jepang pada tahun 1912. Di negara barat sendiri, diawali dengan
ditemukannya vagina buatan oleh Amantea pada tahun 1914 yang sangat
membantu dalam proses koleksi semen. Menjelang tahun 1936, Srensen
menderikan koperasi Inseminasi Buatan (IB) sapi yang pertama di Denmark,
selanjutnya teknologi ini merambah ke luar benua Eropa terutama Amerika.
Sejak kunjungan Henderson yang berkembangsaan Denmaark di New Jersey,
penelitian pengembangan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak sapi semakin pesat
dilakukan dan pada tahun 1939, koperasi Inseminasi Buatan (IB) pertama di
benua Amerika didirikan di New York ( Said , 2015).
Perhatian yang serius untuk meningkatkan penggunaan Inseminasi Buatan
(IB) pada ternak sapi membuahkan hasil yang nyata dalam peningkatan produksi
7

dan populasi ternak sapi yang mempunyai mutu genetik tinggi. Fisiologi
spermatozoa dan sel telur, koleksi semen, evaluasi dan prosesing spermatozoa
merupakan aspek yang semakin banyak diteliti orang saat ini. Para peneliti dan
pekerja klinik serta praktisi dilibatkan secara serius untuk dapat mempelajari dan
menguasai berbagai aspek yang berhubungan dengan Inseminasi Buatan (IB).
Namun menurut Said (2015) bahwa, dibalik gencarnya promosi penggunaan
Inseminasi Buatan (IB) saat itu, tidak sedikit kelompok yang menentang
penggunaan teknologi ini dengan mengusung berbagai macam poster ternak hasil
Inseminasi Buatan (IB) yang tidak normal dan cenderung meremehkan
penggunaan teknologi ini. Tetapi seiring dengan berkembangnya teknologi
penggunaan Inseminasi Buatan (IB) dalam pengembangan ternak sapi dan
berbagai macam bukti yang memperlihatkan bahwa ternak hasil Inseminasi
Buatan (IB) adalah normal secara fisik, serta penggunaan Inseminasi Buatan (IB)
dapat menurunkan angka abnormalitas anak sapi yang dilahirkan, kelompok-
kelompok penentang tersebut mulai beralih dari menentang menjadi mendukung.
Meskipun perkembangan teknologi Inseminasi Buatan (IB) berjalan sangat
lamban pada awalnya, namun dalam kurun waktu 50 tahun, teknologi Inseminasi
Buatan (IB) telah menunjukkan perkembangannya yang sangat pesat. Penerapan
teknologi ini sangat membantu para peternak khususnya peternak sapi dalam hal
peningkatan mutu genetik ternak, mengurangi penyakit veneral dan membatasi
penyebaran gen yang bersifat letal (Foote, 1999 dalam Said, 2015). Selanjutnya
ditambahkan Said (2015) bahwa, keinginan untuk mengembangkan teknologi
Inseminasi Buatan (IB) secara besar-besaran telah mengilhami berbagai pemikiran
untuk mengembangkan penelitian dalam bidang fisiologi spermatozoa dan
preservasi spermatozoa. Penemuan teknologi preservasi spermatozoa (semen
sapi) dengan cara pembekuan merupakan batu loncatan bagi perkembangan
teknologi kriobiologi modern.
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak
berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada
abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami
birahi. Kemudian dengan akal cerdiknya, sang pangeran dengan menggunakan
suatu tampon kapas, mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang
8

baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya. Tampon
tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang
sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah
kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisah awal tentang
Inseminasi Buatan (IB), dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai
pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) atau penelitian ke arah pengunaan teknik
tersebut (Sugoro, 2010).
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan
piaran dilakukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro
Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang
kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang
dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi
dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit
lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak
tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan yang dipakai semennya.
Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi
dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa
kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan
keturunan normal. Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen
terletak pada spermatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya
dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal di atas
filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803,
menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap
perpanjangan hidup spermatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang
dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh
spermatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai
dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil
penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang
mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang
ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia
sebagai Bapak Inseminasi (Sugoro, 2010).
9

Penerapan bioteknologi Inseminasi Buatan (IB) pada ternak ditentukan


oleh empat faktor utama, yaitu semen beku, ternak betina sebagai akseptor
Inseminasi Buatan (IB), keterampilan tenaga pelaksana (inseminator) dan
pengetahuan zooteknis peternak. Keempat faktor ini berhubungan satu dengan
yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan tingkat
keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi
produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere dalam Sugoro, 2010).

C. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan

Inseminasi Buatan (IB) adalah usaha manusia memasukkan sperma ke


dalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus.
Inseminasi Buatan dikatakan berhasil bila sapi induk yang dilakukan Inseminasi
Buatan menjadi bunting. Masa bunting/periode kebuntingan sapi yaitu jangka
waktu sejak terjadi pembuahan sperma terhadap sel telur sampai anak dilahirkan.
Menurut Toelihere (2011) periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai dengan
285 hari. Setelah melahirkan disebut masa kosong sampai sapi yang bersangkutan
bunting pada periode berikutnya.
Program Inseminasi Buatan di Kabupaten Pinrang mempunyai tujuan
antara lain untuk meningkatkan mutu genetik ternak yaitu meningkatkan kelahiran
ternak unggul yang mempunyai mutu genetik tinggi seperti jenis Simmental,
Limousine, Brangus, Brahman dan Peranakan Ongole (PO), meningkatkan rata-
rata pertambahan bobot badan harian, meningkatnya harga jual pedet dan
meningkatnya bobot badan akhir setelah dewasa serta meningkatkan pendapatan
peternak dari hasil penjualan sapi hasil Inseminasi Buatan (IB).
Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) sangat dipengaruhi oleh
empat faktor yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya yaitu pemilihan sapi akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi
birahi oleh para peternak dan keterampilan inseminator. Dalam hal ini
inseminator dan peternak merupakan ujung tombak pelaksanaan Inseminasi
Buatan (IB) sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap berhasil
atau tidaknya program Inseminasi Buatan (IB) di lapangan (Murdianti, 2013).
10

Untuk mengetahui Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) dengan


cepat dapat dinilai dengan menggunakan beberapa parameter yaitu : 1) NRR (Non
Return Rate), 2) S/C (Sevice per Conception) 3) CR (Conception Rate) dan 4)
CvR (Calving Rate).
1. Non Return Rate (NRR)
Non Return Rate (NRR) adalah persentase hewan yang tidak menunjukkan
birahi kembali atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu
28 sampai 35 hari atau 60 sampai 90 hari (Feradis, 2010). Menurut Partodiharjo
(1987) hewan yang tidak memperlihatkan birahi kembali yaitu pada waktu 30
sampai 60 hari atau 90 sampai 120 hari. Dalam keadaan normal sapi muda betina
akan mencapai dewasa kelamin pada umur 10-20 bulan. Pencapaian umur tersebut
sangat di pengaruhi oleh manajeman peternakan yaitu cara pemeliharaan, pakan
yang diberikan, perawatan pada masa pemeliharaan pedet dan sebagainya
(BBPTU, 2009). Toelihere (2010) menyatakan penilaian dengan NRR tidak
terlalu benar karena betina yang tidak memperlihatkan birahi kembali
kemungkinan mati, dijual, hilang, birahi tenang, Corpus Luteum Persistensi
(CLP) dan tidak bunting. Sebaliknya sapi yang tidak memperlihatkan birahi
kembali belum tentu tidak bunting, karena 3,5 % sapi bunting masih
memperlihatkan tanda estrus.
Fakor-faktor yang mempengaruhi nilai NRR dan kebenarannya, yang
pertama adalah faktor-faktor yang langsung berhubungan dengan metode
pengukuran, termasuk jumlah sapi yang diinseminasi per contoh semen atau per
pejantan. Waktu antara inseminasi sampai penghitungan sapi betina yang kembali
memperlihatkan birahi dan pengaruh-pengaruh biologik yang cenderung untuk
mempertinggi jumlah sapi anestrus pada yang tidak bunting. Berikutnya adalah
faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesuburan termasuk umur
pejantan dan betina, musim, umur semen, penyakit-penyakit, teknik perlakuan
terhadap semen dan pengaruh-pengaruh linkungan lainnya. Berdasarkan alasan
alasan tersebut persentase Non Return Rate hanya dapat dinyatakan signifikan dan
dapat dipertanggungjawabkan apabila dihitung dari suatu populasi ternak yang
besar (Feradis, 2010).
11

2. Service per Conception (S/C)


Service Per Conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang
dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadi kebuntingan. Dalam perhitungan ini
betina steril tidak ikut diperhitungkan. Service Per conception atau jumlah
perkawinan per kebuntingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
salah satu efisiensi reproduksi. Nilai S/C yang normal antara 1,6 - 2. Makin
rendah nilai tersebut makin tinggi kesuburan ternak induk. (Toelihere, 2010).
Nilai S/C mendekati kebenaran apabila semen berasal dari pejantan yang
fertilitasnya tinggi. Hal ini kurang berarti dalam perbandingan tingkat kesuburan
sapi apabila digunakan semen yang berasal dari sejumlah pejantan yang beraneka
ragam fertilitasnya (Salisbury dan Vandemark. 2012).
Untuk mendapatkan suatu keberhasilan perkawinan sapi (Service Per
Conception) yaitu angka kebuntingan yang tinggi dapat digunakan pedoman saat
perkawinan yang tepat pada sapi sebagai berikut :
Tabel 1. Waktu Perkawinan yangTepat
Waktu Birahi Dikawinkan yang Tepat Terlambat Dikawinkan
Pagi hari Harus hari ini Esok pagi
Siang hari Malam hari Besok setelah siang
Sore/malam hari Esok pagi sampai siang hari Esok malam hari

Lamanya masa birahi untuk sapi dewasa rata-rata 18 jam, sedangkan untuk
sapi dara rata-rata 15 jam. Masa birahi tersebut akan diulangi lagi setiap 21 hari
sekali, tetapi ada beberapa sapi yang siklus birahinya bervariasi antara 10-21 hari
(BBPTU, 2009).
Tinggi rendahnya nilai S/C tergantung pada tingkat kesuburan sapi jantan
maupun betina, waktu inseminasi, dan teknik inseminasi yang digunakan.
Kegagalan inseminasi dapat juga akibat dari pembuahan dini dan kematian
embrio. Kegagalan pembuahan dini disebabkan oleh kelainan anatomi saluran
repropduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sel mani yang abnormal,
dan kesalahan pengelolaan reproduksi.
12

Hardjopranjoto (1995) menambahkan faktor yang mempengaruhi


kematian embrio dini disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit, lingkungan
dalam saluran reproduksi yang tidak serasi, dan adanya gangguan hormonal.

3. Conception Rate (CR)


Conception Rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada
inseminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan
kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina,
kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010). Menurut pendapat Partodiharjo
(1982) angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnose dengan
palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi.
Suatu pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi
program pemulia biakan ternak. Kesanggupan untuk menentukan kebuntingan
secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan lapangan atau
petugas pemeriksaan kebuntingan (BBPTU, 2009). Menurut Toelihere (2010) CR
terbaik mencapai 60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia dengan
mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang
menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu,
rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas semen beku,
keterampilan dan kemampuan inseminator dan kemungkinan adanya gangguan
reproduksi pada sapi betina.

4. Calving Rate (CvR)


Calving Rate adalah persentase jumlah anak yang lahir hasil dari satu kali
inseminasi (apakah pada inseminasi pertama atau kedua dan seterusnya). Dalam suatu
populasi sapi betina fertil diinseminasi semen fertil. Calving Rate dapat mencapai 62
% untuk satu kali inseminasi, bertambah kira-kira 20% dengan dua kali inseminasi
dan seterusnya. Besarnya nilai Calving Rate tergantung pada efisiensi kerja
inseminator, kesuburan pejantan, kesuburan betina waktu di inseminasi dan
kesanggupan memelihara anak dalam kandungan sampai lahir (Toelihere,2010).
13

D. Faktor yang mempengaruhi Inseminasi Buatan (IB)

1. Peternak
Dilihat dari faktor manusia, kegagalan reproduksi terletak pada kesalahan
dalam tata laksana yaitu seringnya peternak mengganti pejantan jika seekor betina
tidak langsung menjadi bunting pada perkawinan pertama atau kedua, yang lebih
parah lagi bila perkawinan dilakukan secara IB kurang berhasil maka diganti
dengan perkawinan secara alami. Tindakan ini dapat mengakibatkan kekacauan
pada pencatatan dan mudahnya penularan bibit penyakit khususnya penyakit
reproduksi pada ternak sapi (Toelihere, 1993).
Peternak adalah orang yang berinteraksi langung dengan ternak betina,
merawat, memberi makan dan juga melakukan deteksi berahi dan melaporkannya
pada Inseminator. Peternak yang baik akan mendeteksi ternak-ternaknya secara
teratur 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari sehingga tanda-tanda berahi dapat
langsung teramati dan dilaporkan pada inseminator. Peternak yang malas dan
tidak teratur dalam mendeteksi gejala berahi dapat memberi laporan dan informasi
yang tidak tepat kepada inseminator sehingga waktu pelaksanaan IB menjadi tidak
tepat dan fertilisasi tidak terjadi sehingga menyebabkan kegagalan dalam
kebuntingan. (Dirjend Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011).
Menurut Toelihere (1993) ditinjau dari faktor manusia, kegagalan
reproduksi ternak pada kesalahan tatalaksana yang dapat dibagi atas : 1)
Kegagalan pendeteksian birahi dan kegagalan melaporkan dan mengawinkan sapi
betina pada saat yang tepat. 2) Terlalu singkatnya pengawinan setelah partus. 3)
Kegagalan melakukan pemeriksaan sebelum sapi disingkirkan karena alasan
majir. 4) Kegagalan mengenal adanya pejantan mandul di suatu peternakan. 5)
buruknya kualitas pakan yang diberikan.

2. Kesuburan Ternak (Akseptor)

Sapi yang digunakan sebagai akseptor IB harus dalam umur produkif (2-8
tahun), sehat dan mempunyai siklus estrus yang normal. Manajemen
pemeliharaan ternak sangat penting untuk menghasilkan estrus yang baik.
Kesalahan manajemen pemeliharaan dapat menyebabkan ternak mengalami
gangguan reproduksi. (Dirjend Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011)
14

Produktivitas ternak betina dapat dinilai dari jumlah anak yang dihasilkan
per tahun atau per satuan waktu. Jarak dari kelahiran sampai terjadinya
kebuntingan selanjutnya merupakan faktor yang sangat menentukan dari segi
ekonomis. Pemulihan fertilitas induk menyangkut kondisi saluran reproduksi
induk setelah melahirkan melalui fase penghambatan aktivitas pembiakan selama
anetrus dan involusi uterus selesai. Pemulihan kesuburan ternak setelah
melahirkan ditandai oleh kembalinya siklus birahi, mau dikawini pejantan dan
dilanjutkan terjadi kebuntingan. Apabila aktivitas siklus birahi terjadi, involusi
uterus tidak lagi menjadi faktor pembatas fertilitas, tetapi angka konsepsi akan
rendah bila induk dikawinkan dalam dua bulan pertama setelah melahirkan.
Makin panjang jarak kawin kembali setelah beranak, angka konsepsi yang
diperoleh akan semakin tinggi (Hunter,1981).
Waktu yang optimal untuk melaksanakan IB adalah pada saat uterus sudah
kembali normal, sebaiknya uterus bebas dari penyakit yang menular, dan telah
mengalami beberapa kali birahi setelah beranak baru setelah di IB. Hal ini agar
alat reproduksi mencapai involusi yang sempurna sebelum mencapai sapi itu
menjadi bunting lagi, sapi sesudah beranak memerlukan waktu 26 hari untuk
beristirahat supaya alat reproduksi kembali normal ke bentuk semula, Namun
demikian dianjurkan supaya sapi itu diberi waktu lebih lama untuk menjadikan
uterus normal kembali sehingga fertilitasnya menjadi optimal (Hunter,1981).

3. Inseminator

Inseminator berperan sangat besar dalam keberhasilan pelaksanaan IB.


Keahlian dan keterampilan inseminator dalam akurasi pengenalan birahi, sanitasi
alat, penanganan (handling) semen beku, pencairan kembali (thawing) yang benar,
serta kemampuan melakukan IB akan menentukan keberhasilan. Indikator yang
paling mudah untuk menilai keterampilan inseminator adalah dengan melihat
persentase atau angka tingkat kebuntingan (conception rate) ketika melakukan IB
dalam kurun waktu dan pada jumlah ternak tertentu.
Tati Herawati, dkk (2012) menyatakan bahwa kesalahan umum yang
sering dilakukan inseminator adalah salah menempatkan semen dalam saluran
reproduksi, yaitu memasukkan ke cervix bukan pada tempat yang benar di uterus.
15

Kesalahan umum lainnya yang sering terjadi adalah waktu deposit semen ke
cervix sementara sambil menarik straw. Inseminator juga harus dapat memastikan
bahwa spermatozoa yang sudah dicairkan kembali sesegera mungkin digunakan
untuk IB. Waktu optimum untuk melakukan inseminasi juga harus diperhitungkan
dengan waktu kapasitasi, yaitu suatu proses fisiologik yang dialami oleh
spermatozoa di dalam saluran kelamin betina untuk memperoleh kapasitas atau
kesanggupan membuahi ovum. Pengetahuan ini semua harus betul betul dikuasai
inseminator untuk keberhasilan IB.
Inseminator yang baik akan melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa
tanggung jawab dan melakukan proses IB sesuai dengan aturan. Inseminator yang
berpengalaman sebelum melakukan persiapan semen akan mengecek kembali
kondisi betina yang estrus berdasarkan laporan peternak. Setelah memastikan
kondisi kondisi ternak betina tersebut baru menyiapkan semen yang akan
digunakan. (Dirjend. Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011).

4. Semen

Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan semen cair


ataupun semen beku. Berbagai faktor akan mempengaruhi kualitas semen tersebut
yaitu (1) kualitas semen cair akan dipengaruhi oleh bahan pengencer semen yang
digunakan, suhu penyimpanan semen cair tersebut dan daya hidup dari
spermatozoa yang akan di IB kan. Umumnya semen cair dapat digunakan antara 3
4 hari tergantung bahan pengencer yang digunakan. Inseminasi menggunakan
semen cair umumnya memberikan angka konsepsi yang lebih tinggi dibandingkan
semen beku (2) semen beku mempunyai daya tahan hidup lebih lama
dibandingkan semen cair karena disimpan dalam N2 cair. Proses produksi semen
beku sangat kompleks dan melibatkan perubahan medium dan suhu yang ekstrim
sehingga menyebabkan sebagian besar spermatozoa akan mengalami kematian.
(3) Peranan petugas yang terampil dalam penguasaan teknik penanganan semen
melalui alat-alat sangat penting. Penggunaan alat harus sesuai dengan kebutuhan,
penggunaan alat yang kurang tepat akan mempengaruhi daya tahan spermatozoa
selama proses pembuatan semen cair maupun semen beku. (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011)
16

5. Manajemen Pemeliharaan

Pemeliharaan sapi dapat dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan


intensif. Pemeliharaan secara ekstensif adalah dengan membiarkan sapi dilepas
pada padang pengembalaan selama 24 jam sedangkan secara intensif pada siang
hari dilepas pada padang pengembalaan dan pada malam hari dikandangkan.
Pemeliharaan intensif adalah pemeliharaan sapi di mana seluruh aktivitas ternak
dilakukan dikandang dan kebutuhan pakan ternak disediakan seluruhnya oleh
peternak (Sugeng, 2015). Secara singkat manajemen peternakan dapat dibagi atas
tiga proses yaitu (1) pemilihan bibit, pakan, pencegahan penyakit (2) proses
produksi dan (3) proses hasil dan penanganannya, ketiga proses ini harus berjalan
lancar dan seimbang. Apabila salah satunya terhambat maka seluruh aliran
produksi akan terganggu (Rasyaf, 1996). Untuk mendapatkan bibit yang
berkualitas maka dibutuhkan pemilihan induk yang berkualitas pula yang dapat
dilakukan dengan menilai bentuk eksteriornya, silsilah berdasarkan silsilah,
seleksi berdasarkan penilaian dalam pameran dan penilaian berdasarkan catatan
produksi yang dihasilkan (Sumoprastowo, 2003).

6. Pakan

Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan


pembangkit tenaga. Pada umumnya sapi memembutuhkan makanan berupa
hijauan dan pakan tambahan 1-2% dari berat badan. Bahan pakan tambahan ini
dapat berupa dedak halus (bekatul), bungkil kelapa, gaplek dan ampas tahu. setiap
hari sapi memerlukan pakan hijauan sebanyak 10 % dari berat badannya dan
diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore (Tabrany, 2004). Selanjutnya
Anonimous (2005) menjelaskan bahwa pemberian pakan dapat dilakukan dengan
tiga cara yaitu, dengan pengembalaan (Pasture fattening), kreman atau Dry Lot
Fattening, dan kombinasi cara pertama dan kedua. Berfungsinya alat reproduksi
ternak sapi betina bibit secara sempurna tidak lepas dari proses-proses biokimia
dari sebagian besar alat tubuh. Hal ini menunjukkan sapi bunting memerlukan
nutrisi makanan yang baik dan seimbang dengan kebutuhanya. Ovulasi, estrus,
kebuntingan, dan kelahiran, semuanya akan tergantung pada fungsi yang
17

sempurna berbagai hormon dan alat-alat tubuh. Setiap abnormalitas dalam


anatomi reproduksi mengakibatkan fertilitas menurun atau bahkan menimbulkan
kemandulan. Defisiensi makanan untuk sapi sedang bunting menyebapkan embrio
yang sedang tumbuh dan berkembang bisa merusak kondisinya, dan menyebabkan
kematian fetus didalam uterus atau kelahiran anak sapi yang lemah atau cacat
(Murtidjo, 2000).
18

E. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung penelitian antara lain


dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu yang Mendukung Penelitian
No. Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Metode Penelitian
1 2 3 4 5
1. Yusmichard 2010 Arah Kebijakan Analisis penelitian
Yusdja dan Pembangunan yang digunakan
Nyuk Ilham Peternakan Rakyat adalah SWOT
untuk
mengevaluasi
kondisi
2. Jauhari Efendy 2011 Faktor-Faktor yang Menggunakan
dan A. Rasyid Mempengaruhi metode survei, dan
Percepatan Adopsi untuk mengetahui
Inovasi Inseminasi kecepatan adopsi
Buatan (IB) pada Sapi inovasi IB
Madura menggunakan
analisa Rank
Spearman
3. Susilawati T. 2011 Tingkat Keberhasilan Menggunakan
Inseminasi Buatan metode penelitian
dengan Kualitas dan dengan analisis
Deposisi Semen yang NRR, angka
berbeda pada Sapi kebuntingan, S/C
Peranakan dan CR
4. A. Suresti R. 2012 Strategi Pengembangan Analisis penelitian
Wati Usaha Peternakan Sapi yang digunakan
Potong di Kabupaten adalah analisis
Pesisir Selatan desktiptif untuk
mengidentifikasi
usaha peternakan
sapi potong dan
pengembangan
sampai dengan di
tingkat pesisir
5. Ramli Idris 2013 Evaluasi Tingkat Menggunakan
Mantongi, Keberhasilan Inseminasi metode penelitian
Suparman Buatan pada Sapi analisis deskriptif
Fathan dan Potong di Kecamatan untuk mengetahui
Fahrul Ilham Telaga Biru Kabupaten perbedaan rata-rata
Gorontalo jumlah inseminasi
antar bangsa sapi
potong yang ada di
Kec. Telaga Biru.
19

1 2 3 4 5
6. Jusak 2014 Evaluasi Pelaksanaan Penelitian
Labetubun, Inseminasi Buatan (IB) menggunakan
Feronica Parera pada Sapi Bali di analisis deskriptif
dan Sherley Kabupaten Halmahera diagram rata-rata
Saiya Utara dan nilai rata-rata
7. Dewi Hastuti 2014 Kajian Sosial Ekonomi Menggunakan
Sudi ursini, Rini Pelaksanaan Inseminasi analisis regresi
Widiati Buatan Sapi Potong di linier berganda
Kabupaten Kebumen diperlukan
persyaratan data
harus terdistribusi
normal
8. Johan F. Koibur 2015 Evaluasi Tingkat Analisis penelitian
Keberhasilan yang digunakan
Pelaksanaan Program adalah analisis
Inseminasi Buatan pada deskriptif tabulasi
Sapi Bali di Kabupaten
Jaya Pura

E. Kerangka Pikir Penelitian

Pengembangan ternak sapi potong melalui program Inseminasi Buatan


(IB) di Kabupaten Pinrang dimulai sejak tahun 1990 namun sampai saat ini
evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan program belum pernah
dilaksanakan. Sehingga tingkat keberhasilan program IB belum dapat diketahui
secara pasti. Evaluasi pelaksanaan program sangat dibutuhkan untuk keperluan
perumusan perencanaan pembangunan dalam rangka menyusun kebijakan
pengembangan peternakan sapi potong berbasis Inseminasi Buatan.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah sebagian besar peternak sapi
potong di Kabupaten Pinrang memelihara ternaknya secara ekstensif, kemudian
sarana dan prasarana pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IB) masih kurang
dan sosialiasi tentang Inseminasi Buatan (IB) masih perlu dilaksanakan. Sehingga
melalui penelitian ini akan dianalisis sejauhmana tingkat keberhasilan Inseminasi
Buatan (IB) dalam upaya pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten
Pinrang.
Sementara itu sasaran pengembangan ternak sapi potong melalui
Inseminasi Buatan di Kabupaten Pinrang adalah petani peternak, baik yang
memiliki ternak sapi sendiri maupun sebagai penggaduh. Bentuk pelaksanaan
20

kegiatan meliputi : (1) sosialisasi manfaat dari perkawinan ternak dengan


menggunakan teknologi Inseminasi Buatan; (2) pengadaan semen beku sapi yang
berkualitas; (3) pengangkatan petugas inseminasi buatan; (4) pelatihan petugas
IB; (5) pengadaan sarana dan prasarana pelayanan Inseminasi Buatan (IB); dan
(6) pelaporan kegiatan Inseminasi Buatan (IB) dalam daerah Kabupaten Pinrang.
Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) sangat dipengaruhi oleh
empat faktor yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya yaitu (1) sapi/akseptor, (2) kualitas straw, (3) akurasi deteksi birahi oleh
para peternak dan (4) keterampilan inseminator. Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) dianalisis dengan menghitung NRR non
return rate, S/C (Sevice per Conception), CR (Conception Rate) dan Angka
Kelahiran. Kedua indikator ini berhubungan satu dengan yang lain dimana tinggi
rendahnya akan berpengaruh langsung terhadap keberhasilan IB.
Dari uraian tersebut, maka kerangka pemikiran secara jelas dapat
ditunjukkan pada gambar 1.
21

PROGRAM IB SAPI
POTONG

PELAKSANAAN : E
1. Sosialisasi K
2. Pengadaan Semen
3. Pegangkatan petugas IB O
4. Pelatihan petugas IB
5. Pengadaan Sapras IB M
6. Pelaporan IB
E

Parameter : N
1. Non Return Rate
D
2. Service per Conception EVALUASI
3. Conception rate A
4. Calving Rate
S

TINGKAT I
KEBERHASILAN
INSEMINASI BUATAN

1. Ternak / Akseptor
2. Peternak
3. Inseminator
4. Semen

S/C : 1,6 2 : baik


CR : 45 50% : baik

Gambar 1. Kerangka Pikir Evaluasi Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan


di Kabupaten Pinrang

Anda mungkin juga menyukai