Anda di halaman 1dari 5

[PENGABDIAN MASYARAKAT DALAM PARADIGMAKU]

Oleh Muhamad Farhan Rilwanulukman NIM 11416016

Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi
dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan
hanya memiliku cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan samasekali. -Tan Malaka

Pengabdian Masyarakat sebagai salahsatu komponen dari Tri Dharma


Perguruan Tinggi sejatinya adalah ruh dari Tri Dharma Perguruan Tinggi itu
sendiri. Tanpa bermaksud mengesampingkan dua komponen lain yakni
pendidikan dan penelitian tentunya pengabdian masyarakat adalah bentuk
aplikatif atas apa yang kita dapatkan selama di perguruan tinggi. Mahasiswa jangan
hanya mengejar target untuk cepat-cepat lulus atau meraih nilai setinggi-tingginya
tanpa berkontribusi apa-apa kepada masyarakat karena posisi mahasiswa adalah
bagian dari masyarakat dengan kemampuan dan tanggung jawab lebih.
Kemampuan yang dimiliki tentunya didapat selama mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi dan tanggung jawab yang diemban adalah bagaimana
kemampuannya dapat bermanfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi
masyarakat.
Mahasiswa menjadi sebuah entitas baru yang beririsan dengan status
mereka sebagai warga atau masyarakat Indonesia. Tugasnya pun berat, melebihi
masa lalunya sebagai seorang pelajar sekolahan. Melalui pengabdian masyarakat,
mahasiswa seharusnya memberikan perubahan yang berarti di masyarakat, baik
segi politik, ekonomi, sosial, maupun teknologi. Apa yang diharapkan tentunya
bukan sekedar berargumen politik dengan cara turun ke jalan. Bukan, bukan
sekedar hal itu, namun mahasiswa sangat diharapkan dharma baktinya oleh
masyarakat.
Urgensi di atas menjadi titik fokus penulis dalam memaparkan
paradigmanya terhadap pengabdian masyarakat. Melihat pada kenyatannya di
lingkungan sekitar yang diamati oleh penulis masih saja didominasi oleh orang-
orang yang belum menyadari betapa pentingnya pengabdian masyarakat sebagai
eksekusi dari pendidikan dan penelitian mereka selama menjadi mahasiswa.
Realitanya saat ini adalah masih banyaknya mahasiswa yang apriori (cuek)
terhadap eksistensinya sebagai mahasiswa, yang memiliki tanggung jawab seperti
yang telah dipaparkan di atas. Mereka tidak tahu lebih tepatnya tidak mau tahu
keadaan masyarakat sekitar. Bagi mereka mungkin yang paling penting adalah
duduk manis di bangku kuliah lantas cepat-cepat pulang.
Menurut Yuliani (2015) tidak cukup hanya ilmu dan indek prestasi tinggi
untuk mengerjakan pengabdian. Ada elemen-elemen lain yang lebih penting
diantaranya; pertama, soft skill. Ini menyangkut kemampuan berkomunikasi,
bahasa, bekerja dalam tim, serta kemampuan memimpin dan dipimpin.
Kemampuan soft skill tidak diajarkan lewat bangku kuliah. Tetapi, dapat dipelajari
send iri melalui berdiskusi dengan segenap elemen masyarakat kampus. Kampus
sebagai miniatur masyarakat, di dalamnya terdapat warga yang cukup heterogen,
baik dari sisi latar belakang profesi orang tua, agama, suku dan lainnya. Melaluinya,
mahasiswa dalam berosialisasi dapat menempatkan diri sesuai kapasitas yang
dihadapi.
Selain itu, juga dapat dikembangkan lewat organisasi kemahasiswaan, mata
kuliah penyuluhan, praktek penyuluhan atau sosialisasi, magang kerja di kampus
atau di luar kampus (KKL). Juga turut serta pada penelitian dan pengabdian dosen.
Di sana, mahasiswa dapat mengembangkan diri.
Kedua, mahasiswa diharapkan mampu berintegrasi, menganalisis situasi,
eksplorasi potensi serta kebutuhan dari wilayah yang akan dijadikan target
pengabdian (kemampuan berpikir kritis). Mahasiswa perlu menyatukan diri dengan
masyarakat dan realitas kehidupan. Kemampuan berfikir kritis diperlukan untuk
mengidentifikasi penyebab masalah untuk menemukan solusi dan menentukan
pilihan untuk perubahan. Kegiatan dapat berjalan apabila analisis antara mahasiswa
dengan masyarakat, saling bersinergi. Ketiga, mampu memoti vatori agar
masyarakat bersedia bergotong royong membangun wilayahnya. Selain terjun
langsung, mahasiswa harus mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat yang
berbeda ras, suku dan aliran agama. Tidak seperti ketika KKN, sementara
mahasiswa bekerja, masyarakat malah menonton. Kemampuan melobi (soft skill)
sangat diuji dalam kondisi ini.
Keempat, mampu mengaplikasikan ilmu dan teknologi untuk kemudian
diadopsi masyarakat setempat, bahkan menjadikan embrio unit usaha masyarakat
sehingga menyerap tenaga kerja dan menambah penghasilan. Misalnya,
membentuk koperasi simpan pinjam, menyulap enceng gondok menjadi aneka
kerajinan, mampu menyulap sampah rumah tangga menjadi pupuk organik.
Prinsipnya, tidak asal kegiatan berjalan, tanggung jawab kelar. Namun, pastikan
terjadi keberlanjutan oleh masyarakat.
Pengabdian masyarakat sebagai ruh gerakan kemahasiswaan, bukanlah
event atau program semata. Tetapi seharusnya, ada nilai pada setiap kegiatan
kemahasiswaan. Dengan dasar nilai pengabdian, kegiatan tidak semata
terselenggara, tapi menimbulkan hasil nyata, terasa dan bermanfaat bagi orang lain.
Mahasiswa ideal, tidak hanya mampu mengukir prestasi untuk kampusnya, tapi
juga merubah dan bermanfaat bagi masyarakat. Jika mahasiswa mampu
melaksanakan pengabdian masyarakat, ada jaminan baginya untuk dapat
mengarungi kehidupan bermasyarakat setelah menyandang gelar Sarjana ataupun
Diploma.
Di lingkungan kampus ITB sendiri menurut penulis malah terjadi fenomena
ambis tapi apatis yang disebabkan oleh beban akademiknya yang dirasa memang
relatif berat. Tugas-tugas besar, praktikum-praktikum dengan jurnal dan
laporannya, ujian, dan hal semacam itu membuat mahasiswa berpikir ulang
sebelum mengikuti atau melaksanakan kegiatan-kegiatan pengabdian di
masyarakat. Statement Jangankan mengabdi pada masyarakat, kuliahnya sendiri
saja belum terurus dengan baik acapkali dilontarkan jika mengangkat isu
pengabdian masyarakat.
Ditambah dengan fakta bahwa waktu perkuliahan sarjana di ITB itu dibatasi
empat sampai (maksimal) enam tahun, menyebabkan hal tersebut seolah menuntut
mahasiswa menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga semua energi dikerahkan
untuk menggondol gelar sarjana/ diploma sesegera mungkin. Bila dibandingkan,
kegiatan kemahasiswaan saat ini berbeda dibandingkan dengan kegiatan
kemahasiswaan di tahun 90-an dimana waktu lulus yang boleh mencapai delapan
bahkan sepuluh tahun sehingga mahasiswa bias lebih leluasa dan aktif dalam
menjalankan aktivitas kemahasiswaannya.
Belum lagi ditambah dengan banyaknya organisasi-organisasi yang diikuti,
berbanding lurus dengan banyaknya wadah organisasi di kampus, disertai
banyaknya pula kegiatan-kegiatan internal yang ada di dalamnya. Rapat anggota
berkali-kali, sosialisasi kerja, lpj-lpj, forum-forum internal, semakin menambah
kepadatan kegiatan kemahasiswaan. Tidak sedikit mahasiswa yang keteteran
dengan padatnya aktivitas semacam itu.
Dengan berbagai kesibukan mahasiswa dan tuntutan kewajiban untuk
pelaksanaan pengabdian masyarakat tentunya perlu diambil suatu langkah yang
tepat dan efektif guna menengahi perbenturan kesibukan dengan tanggung jawab
tersebut. Diharapkan mahasiswa tetap dapat melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat secara optimum tanpa mengabaikan kewajibannya yang lain yakni
akademik.
Menurut Zaki (2016) sebenarnya ada beberapa solusi alternatif untuk dapat
menjalankan kegiatan pengabdian masyarakat, yakni dengan cara sebagai berikut:
Pertama adalah charity. Charity bersifat temporer dan berupa pemberian
barang ataupun jasa. Bentuk pengabdian seperti ini dapat dilakukan secara massal
dan dengan persiapan yang sebentar. Tujuan dari charity biasanya diletakkan pada
subjek pelaku charity, yaitu menumbuhan kesadaran bermasyarakat dan
menumbuhkan empati terkait kondisi objek. Charity menjelma dalam bentuk donor
darah, kunjungan panti, kunjungan rumah-rumah sosial. Biasanya program seperti
ini dijadikan tugas-tugas kaderisasi untuk mencapai nilai-nilai yang dijalankan oleh
pengkader atau sebagai program divisi untuk membuat anggota organisasi melek
kondisi sekitar.
Kedua adalah service. Bentuk kegiatan ini merupakan upaya pemberian
suatu produk atau jasa dengan melibatkan aspirasi dari masyarakat setempat.
Sifatnya semi-berkelanjutan, dilakukan pemantauan yang serius mulai dari
perancangan hingga selesai dilaksanakan. Program seperti KKN Tematik, desa
binaan, merupakan contoh kegiatan yang berbentuk pelayanan. Pada perancangan
program, harus dilakukan identifikasi permasalahan atau social maping yang
representatif dari objek yang akan dikenai. Pada pelaksanannya, pelaku kegiatan
pengmas berbasis service dapat menuntut peran serta dari kelompok masyarakat di
tempat terkait kesepakatan mereka atas program yang dijalankan.
Ketiga adalah empowerment. Empowerment atau pemberdayaan merupakan
bentuk kegiatan paling sulit yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Pemberdayaan
menuntut kesadaran dari masyarakat dan kepercayaan kepada mahasiswa yang akan
melaksanakan program disana. Kegiatan pemberdayaan harus mengacu pada
kebutuhan masyarakat dan kemauan masyarakat untuk mengembangkan sektor
yang akan dikembangkan. Pendekatan bisa dilangsungkan dengan cara live-in atau
hidup bersama selama beberapa waktu dan melakukan diskusi.
Pada kondisi ini mahasiswa dianggap tidak memiliki apa-apa dan semua
sumber daya ada di masyarakat. kalaupun ada yang diberi, itu merupakan inisiator,
atau pemantik untuk masayarakat dapat mandiri mengelola potensi. Seorang pelaku
pemberdayaan mempunyai master plan yang jelas (tentunya bertahun-tahun)
hingga masyarakat yang melakukan pemberdayaan mampu berdiri sendiri menjadi
lebih baik. Kegiatan pemberdayaan di ITB bisa saja kita temui di ranah pendidikan
seperti sekolah anak jalanan, ataupun bentuk-bentuk sociopreneurship yang
dilakukan oleh mahasiswa bisnis dan manajemen.
Ketiga bentuk di atas merupakan bentuk pengabdian masyarakat yang
penulis simpulkan dari keikutsertaan kegiatan bermasyarakat. Tidak ada yang lebih
baik antara satu bentuk dengan yang lainnya. Layaknya seorang yang punya kaki
mempunyai opsi untuk berjalan dan yang tidak memiliki opsi untuk merangkak,
yang salah adalah yang tidak bergerak. Setiap bentuk tersebut, penting sekali untuk
kita ketahui kondisi aktual dari objek agar yang kita laksanakan minimal tidak
membawa dampak negatif disana. Dibutuhkan kedewasaan dari masing-masing
individu dan lembaga untuk menyadari potensinya untuk dapat memberikan
manfaat seluas-luasnya. Ingat, sebaik-baik kita adalah yang paling bermanfaat
untuk sekitar.
Melanjutkan kembali tema yang diangkat pada esai ini, banyak sekali
manfaat yang dirasa maupun tidak terasa, secara langsung ataupun tidak langsung,
ketika kita melakukan kegiatan pengabdian masyarakat ini. Penulis mengambil
contoh kegiatan pengabdian masyarakat yang pernah diikuti yakni sejenis kampong
binaan yang dilaksanakan pada Bulan Ramadhan lalu.
Dari awal penulis tidak begitu tertarik dengan kegiatan tersebut sampai
akhirnya ketika pembukaan kegiatan tersebut (yang dilaksanakan seadanya dan
dihadiri segelintir masyarakat saja) mendapat respon yang luar biasa dari yang
menghadirinya. Seakan kehadiran kami saat itu bagaikan menjadi oase di padang
pasir dalam hal pemberdayaan masyarakat khususnya pemuda dan anak-anak
selama Bulan Ramadhan. Selama keberadaan kami di sana, suasana Ramadhan
sangat hangat dan ramai sejak sebelum fajar sampai jelang tengah malam.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seperti mengajar mengaji ketika
subuh, kemudian sekolah agama selepas dzuhur, bersosialisasi dengan masyarakat,
bermain dengan pemuda di sana, bercengkrama dengan para tetua di sana, saling
mengunjungi, dilaksanakan dengan sepenuh hati dan seakan menjadi keseharian
rutin yang baru dalam kehidupan.
Hari demi hari dijalani selama masa pengabdian tersebut hingga akhirnya
tiba masa perpisahan karena Ramadhan hampir usai kala itu. Di acara penutupan,
betapa terharunya kami mendapat apresiasi yang sangat berkesan mulai dari anak-
anak, remaja, hingga orang tuanya. Suatu bukti betapa kehadiran mahasiswa di
masyarakat sangat dinantikan dan jika dilaksanakan dengan baik maka akan
meninggalkan jejak yang berkesan dan membekas di hati masyarakat. Tentunya
harapan mereka adalah kegiatan semacam itu dapat berlanjut atau minimal
dilaksanakan secara eventual.
Mengutip kembali menurut Zaki (2016), melalui kegiatan pengabdian
masyarakat, kita akan banyak belajar tentang menghargai hidup. Rasa syukur
mengingat nasib kita yang ternyata menempatkan kita pada piramida tertinggi strata
kehidupan manusia. Kita dituntut untuk mengurangi sifat kita yang oportunis untuk
menghadapi kehidupan bersama. Jangan melulu mempermasalahkan waktu untuk
kita melakukan pengabdian masyarakat, kalau perlu siapkan sksmu untuk
melakukan kegiatan apapun untuk masyarakat sekitarmu, dari hal yang kecil.
Kalau kamu tidak punya gerakan, ikut gerakan yang sudah ada. Kalau sudah
ikut bergerak, buatlah inovasi, buatlah gerakan baru bila dibutuhkan. Bahkan kalau
mampu, silakan rambah ke tingkat pelayanan dan pemberdayaan. Semakin kita
menapaki tingkatan pengabdian yang lebih tinggi, yakinlah akan didapatkan
kepuasan batin dan hikmah yang besar pula. Alih-alih melaksanakan tuntutan
mengabdi, kita malah mendapat pembelajaran kehidupan yang sangat berharga.
Penulis sendiri menyarankan kepada mahasiswa-mahasiswa secara individu
mempunyai waktu yang diluangkan untuk berinteraksi dengan masyarakat minimal
sekali seminggu. Mengajar ngaji di masjid sekitar kosan, mengobrol dengan penjual
makanan yang selama ini kita beli, nongkrong di tongkrongan anak muda sekitar
kosan, untuk menumbuhkan semangat kepedulian. Begitupun untuk lembaga
seperti organisasi dan himpunan, diharapkan dapat lebih kreatif lagi dalam
melakukan pengabdian. Tidak melulu harus membawa inovasi yang berbasis
keprofesian, mulai dari kegiatan sederhana yang memuat nilai-nilai yang luar biasa.
Misal, kunjungan ke rumah kanker dan meminta anak-anak atau pengurus
menceritakan hebatnya mereka. Kalau hal sederhana seperti itu saja tidak
dilakukan, bagaimana kita mau melabel divisi kita sebagai pengabdian masyarakat
atau pengembangan masyarakat.
Sebagai epilog, dan untuk memenuhi syarat 2000 kata yang telah ditetapkan,
ditambah pula waktu yang menyisakan sepuluh menit lagi sampai kata ini diketik,
penulis mengutip dari Usamah (2016), yang menyatakan kamu adalah masa lalumu,
masa mendatang merupakan bentukan dari masa kini. Pernahkah menemukan
kebahagiaan terbesar melebihi nikmatnya berbagi dengan orang lain yang kita
cintai? Pernahkah kamu mengikuti lomba, mendapat nilai sempurna, menjadi
organisator, lalu mendapat hadiah berupa uang dan pelukan dari orang tua.
Pertanyaannya, mana yang lebih indah ?. Jangan sampai masa tua kita hanya diisi
oleh menerima uang dari anak cucu kita. Jangan sampai masa tua kita hanya
mendekam dalam bilik-bilik kecil, karena kita hanya mempunyai harta dan tidak
bisa berbincang dengannya. Mulailah belajar bermasyarakat dari sekarang.
Ingatlah, setelah kita lulus, kita adalah masyarakat itu sendiri. Maka
beruntunglah yang masa tuanya, bahkan masa mudahnya bisa bermanfaat besar
untuk orang-orang sekitarnya. Pendirian sekolah, komunitas baca, industri berbasis
masyarakat. Maka saat kita mati kelak, akan ada orang-orang yang menangisi
kehilangan kita selain keluarga kita. Maka saat malaikat bertanya, hidupmu untuk
apa?, kita menjawab, "hidupku sesuai tuntunan tuhanku, memberikan manfaat
untuk agama, bangsa, dan negeriku". Maka mulailah memupuk semangat itu dari
sekarang, karena dimana ada masalah, disana ada solusi dan hanya butuh orang
yang peduli untuk mempertemukan keduanya.

Anda mungkin juga menyukai