Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan instruksional merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan dalam sistem

pendidikan, secara nasional tujuan pendidikan tercantum dalam pembukaan Undang undang

dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Gambaran tentang ciri ciri kedewasaan

yang perlu dikembangkan pada anak didik dapat ditemukan dalam penentuan perumusan

mengenai tujuan pendidikan, baik pada taraf nasional maupun taraf pengelolaan institusi

pendidikan.

Perumusan suatu tujuan pendidikan yang menetapkan hasil yang harus diperoleh

siswa selama belajar, dijabarkan atas pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap dan

nilai yang telah menjadi milik mahasiswa. Adanya tujuan tertentu memberikan arah pada

usaha para pengelola pendidikan dalam berbagai taraf pelaksanaan. Dengan demikian usaha

mereka menjadi tidak sia sia karena bekerja secara profesional dengan berpedoman pada

patokan yang jelas.

Menurut Winkel W.S (2004) berkaitan dengan penentuan tujuan pendidikan perlu

dibedakan antara pengelolaan pendidikan pada taraf (1) Organisasi makro dimana sistem

pendidikan sekolah pada taraf nasional, dengan penjabarannya dalam jenjang jenjang dan

jenis jenis pendidikan sekola, yang semuanya harus menuju ke pencapaian tujuan pendidikan

nasional sesuai dengan progam pendidikan masing masing; (2) Organisasi meso dimana
pengaturan progam pendidikan di sekolah tertentu sesuai dengan ciri ciri khas jenjang

tertentu dan jenis pendidikan yang di kelola sekolah itu; (3) Organisasi mikro dimana

perencanaan dan pelaksanaan suatu proses belajar mengajar tertentu di dalam kelas yang

diperuntukkan kelompok siswa tertentu.

Tujuan instruksional ternyata masuk ke dalam organisasi mikro karena mencakup


kesatuan bidang studi tertentu yang menjadi pokok bahasan seperti tercantum pada bagan
hubungan hierarkis antara berbagai tujuan pendidikan sekolah.
B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk membahas tentang tujuan pembelajaran/instruksional secara keseluruhan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk membahas tujuan instruksional.

b. Untuk membahas taksonomi tujuan kognitif.

c. Untuk membahas taksonomi tujuan psikomotorik.

d. Untuk membahas taksonomi tujuan afektif.

e. Untuk membahas integrasi tujuan kognitif dan afektif dalam pembelajaran.

C. Manfaat

1. Bagi instansi pendidikan

Dapat menambah referensi kepustakaan yang menjadi rujukan mahasiswa kebidanan

pendidik dalam mendalami teori belajar dan mengajar.

2. Bagi mahasiswa

Dapat di jadikan acuan dalam mempelajari teori belajar mengajar untuk memperluas

wawasan ketika melakukan praktek mengajar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tujuan pembelajaran/instruksional

Menurut Robert F. Magner (1962) tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang
hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa sesuai kompetensi. Sementara Eduard
L. Dejnozka dan David E. Kavel (1981) yang mendefinisikan tujuan instruksional adalah

suatu pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam

bentuk tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan serta Fred Percival dan

Henry Ellington (1984) menambahkan definisi tujuan instruksional adalah suatu pernyataan

yang jelas menunjukkan penampilan/keterampilan yang diharapkan sebagai hasil dari proses

belajar.

Setelah memperhatikan beberapa definisi tujuan instruksional yang dikemukakan dari

beberapa tokoh maka dapat disimpulkan,

Dengan tujuan instruksional :

(1) kita dapat menentukan tujuan proses belajar mengajar;

(2) menentukan persyaratan awal instruksional;

(3) merancang strategi instruksional;

(4) memilih media pembelajaran;

(5) menyusun instrumen tes sebagai evaluasi belajar;

(6) melakukan tindakan perbaikan pembelajaran.

Dalam proses belajar mengajar tujuan instruksional dapat di bagi menjadi 2 yaitu : 1.

Tujuan instruksional umum (TIU) : yang menggariskan hasil-hasil di aneka bidang studi yang

harus dicapai siswa.

Tujuan instruksional khusus (TIK) : yang merupakan penjabaran dari tujuan instruksional

umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran yang konkrit dan

spesifik.
Penyusunan ini biasanya disesuaikan dengan tujuan instruksional yang jelas, terukur

dan dapat diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan suatu proses belajar

mencapai tujuan atau tidak. Perumusan tujuan yang terkesan kabur, seperti menghayati

proses persalinan atau memahami kontruksi panggul wanita tidak lagi dianggap cukup,

sebab rumusan ini menjadi tegas seperti menyatakan perilaku atau performance apa yang
diharapkan dari hasil belajar.
Merumuskan tujuan instruksional secara tepat dapat dilihat dari Buku Desain

Instruksional, Bab III (Alwi Suparman, 1993),

Tujuan Instruksional dirumuskan menggunakan cara sebagai berikut :

1. Menyebutkan pelaku (audience), dalam ruang lingkup pendidikan tinggi adalah peserta didik

(mahasiswa).

2. Menyebutkan kompetensi atau perilaku akhir yang diharapkan dapat dilakukan peserta didik,

dengan menggunakan kata kerja yang operasional.

Contoh :

a. Pada akhir mata kuliah mahasiswa akan dapat menjelaskan peranan bidan pelaksana dalam

kehidupan sehari-hari.

b. Pada akhir mata kuliah peserta didik dapat membuatkan proposal penelitian

Sering kali pengajar merumuskan tujuan instruksional yang menggunakan

ketrampilan atau kemampuan berpikir yang rendah, seperti kemampuan mengingat (recall).

Contoh tujuan instruksional yang rendah dengan menyebutkan definisi saja, sedangkan tujuan

instruksional yang tinggi menjelaskan hubungan kualitas pembelajaran, tingkat pelayanan

dan kecerdasan emosional mahasiswa dengan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap

perguruan tinggi.

Berdasarkan pernyataan di atas seorang pengajar perlu memahami berbagai

taksonomi tujuan yang bersifat kognitif dan psikomotor dibanding dengan afektif. Pada

penyelesaian studinya seorang peserta didik akan mengalami perubahan perilaku bukan saja

pada kognitif tetapi juga afektifnya. Salah satu sebab kenapa lebih cepat pencapaian
kognitifnya, karena memang pengukuran kognitif lebih mudah dibanding mengukur

afektifnya. Sebagai contoh kemampuan mahasiswa disuatu perguran tinggi menjelaskan

mengenai hubungan industrial Pancasila, tetapi Belem menjamin orang yang bersangkutan

tersebut memiliki nilai yang akan konsisten dipraktekkan.

Oleh sebab itu setiap pengajar harus memiliki berbagai taksonomi yang luas guna
mendukung tujuan instruksional. Dengan demikian setiap pengajar dapat memilih mana

pelajaran yang akan diasuhnya dengan kegiatan instruksional yang dirancangnya. Taksonomi
pada dasarnya merupakan usaha pengelompokan yang disusun dan diurut berdasarkan ciri-
ciri tertentu. Sebagai contoh, taksonomi bidang ilmu asuhan kebidanan menghasilkan

pengelompokan asuhan kebidanan pada ibu hamil (ANC), asuhan kebidanan pada ibu

bersalin (INC), asuhan kebidanan pada ibu nifas (PNC), asuhan kebidanan pada bayi baru

lahir (BBL), dan asuhan pada ibu asuhan akseptor KB. Taksonomi dalam bidang ilmu botani

pengelompokan tumbuhan berdasarkan karakteristik tertentu, misalnya kelompok tumbuhan

bersel satu dan tumbuhan bersel banyak.

Toksonomi dan Tujuan Instruksional diperlukan dengan pertimbangan sebagai berikut :

a. Perlu adanya kejelasan adanya terminologi yang digunakan dalam tujuan instruksional sebab

tujuan instruksional berfungsi untuk memberikan arah kepada proses belajar dan

menentukan perilaku yang dianggap sebagai bukti belajar.

b. Sebagai alat yang akan membantu pengajar dalam mendeskripsikan dan penyusunan tes,

penilaian dan evaluasi.

B. Kawasan tujuan intruksional

Kawasan tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional kedalam tiga

kelompok tujuan, yaitu :

a. Kognitif

Tujuan kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir, mencakup kemampuan

intelectual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai dengan kemampuan untuk

memecahkan suatu masalah (problem solving) yang menurut siswa dapat memecahkan
masalah tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tujuan kognitif ini paling

sering digunakan dalam proses instruksional.

b. Afektif

Tujuan afektif yang berhubungan dengan perasaan, emosi, system nilai dan

sikap hati (attitude) yang menunjukan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan
afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai

dengan yang kompleks yang merupakan factor internal seseorang, seperti kepribadian dan
hati nurani. Dalam literatura tujuan afektif disebutkan sebagai : minat, sikap hati , sikap

menghargai, sistem nilai, serta kecenderungan emosi

c. Psikomotor

Tujuan psikomotorik berorientasi kepada ketrampilan motorik yang berhubungan

dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antar syaraf dan

otot. Dalam literatur tujuan ini tidak banyak ditentukan penjelasannya, dan biasanya

dihubungkan dengan latihan menulis, berbicara, berolahraga, serta matakuliah yang

berhubungan dengan ketrampilan tekhnis.

C. Taksonomi Tujuan Kognitif

Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya paling terkenal

dibandingkan dengan taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom melakukan pengelompokan

tujuan kognitif kedalam enam kategori. Ke enam kategori itu mencakup kompetensi

keterampilan intelektual dari yang sederhana (tingkat pengetahuan) sampai dengan yang

paling kompleks tingkat evaluasi).

Ke enam kategori diasumsikan bersifat hierarkis, yang berarti tujuan pada level yang tinggi

dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai.

Pengetahuan/pengenalan ( knowledge)

Tujuan instruksional pada level ini menurut mahasiswa untuk mampu mengingat

(recall) informasi yang telah diterima sebelumnya, seperti: fakta, terminology, rumus,

strategi, pemecahan masalah, dan sebagainya.


2. Pemahaman (comprehension)

Tujuan pada kategori ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan

pengetahuan/informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini

mahasiswa diharapkan untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar

dengan kata-kata sendiri.


Kata kerja yang diperoleh harus operasional dengan pengetahuan bahwa kompetensi

dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting untuk menunjukkan
apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai atau tidak pada akhir perkuliahan.
3. Penerapan (application)

Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi

yang telah dipelajari ke dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh,

menyusun kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan prinsip-prinsip

penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah dipelajari mahasiswa dalam mata

kuliah metode penelitian.

4. Analisa (analysis)

Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan

membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta konsep, pendapat, asumsi,

hipotesa, atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada

tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan hubungan di

antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar,

prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik suatu karya

literature atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan kemampuan analisis

sebab menuntut mahasiswa untuk membuat tanggapan terhadap berbagai aspek, seperti tema,

plot, derajat realism, dan sebagainya, serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut.

5. Sintesa (synthesis)

Tujuan instruksional level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan

bagian atau elemen ke dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis essay
tentang Perwujudan Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia merupakan contoh

sintesis. Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek sosial, budaya, dan ekonomi

dalam kelompok etnik, misalnya sistem kekerabatan, system keagamaan, dan sebagainya, dan

kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan membuat kesimpulan.

6. Evaluasi (evaluation)
Tujuan ini merupakan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa

mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau
benda dengan menggunakan kriteria tertentu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi
suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program istruksional yang baik atau

tidak, merupakan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa harus mempertimbangkan dari

segi isi, strategi presentasi, budaya, karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu

kriteria program yang baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.

D. Taksonomi Tujuan Psikomotorik

Tujuan istruksional kawasan psikomotor dikembangkan oleh Harrow(1972).

Taksonomi Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hirarki dalam lima tingkat,

mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling

kompleks:

1. Meniru (imitation)

Tujuan instruksional pada tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru

suatu perilaku yang dilihatnya.

2. Manipulasi (manipulate)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan

contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang,

dan akurat. Contoh kata kerja yang diguanakan sama dengan untuk kemampuan meniru.

3. Ketetapan gerakan (preccision)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan

contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang,
dan akurat.

4. Artikulasi (articulation)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan

akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.

5. Naturalisasi (naturalization)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan gerakan tertentu secara spontan

atau otomatis. Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya
dan urutannya.
E. Taksonomi Tujuan Afektif

Bagian ini akan membahas tentang taksonomi tujuan afektif. Taksonomi afektif

paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha

mengembangkan taksonomi ini kedalam lima tingkat perilaku.

Krathwohl, Bloom dan Marsia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang

berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses

seseorang dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi

pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke

dalam 5 kelompok antara lain:

1. Pengenalan (receiving)

2. Pemberian respon (responding)

3. Penghargaan terhadap nilai (valuing)

4. Pengorganisasian (organization)

5. Pengamalan (characterization)

Pengelompokan ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang

paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan

dalam hierarkhi semakin besar pula keterklibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan

tersebut.

1. Pengenalan/Penerimaan (receiving)
Tujuan instruksional kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal,

bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih

bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja.

Contoh kata kerja operasional:

a. Mendengarkan.
b. Menghadiri, melihat, memperhatikan.

2. Pemberian respon (responding)


Keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau

system nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan

untuk menunjukkan perilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh, atau memberikan

tanggapan secara sukarela bila diminta.

3. Penghargaan terhadap nilai (valuing)

Penghargaan terhadap suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan, atau anggapan

bahwa suatu gagasan, benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal

ini mahasiswa secara konsisten berperilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada

pihak lain yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari

orang lain, misalnya dosen, teman, atau keluarga

4. Pengorganisasian (organization)

Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam

suatu system nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi

daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi commited terhadap suatu sistem

nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu

system nilai, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut.

5. Pengamalan (characterization)

Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke

dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten

dengan ssstem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja bukan saja telah

mencapai perilaku-perilaku pada tingkat yang lebihrendah, tetapi telahmengintegrasikan


nilai-nilai tersebut kedalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan meyakinkan dan

perilakunya konsisten dengan filsafat hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan

bagian dan karakter.

Dari contoh-contoh tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi

(valuing, organization dan characterization) perilaku merupakan indikator tercapainya tujuan-


tujuan tersebut terlihat overlapping dan tidak dapat dipisahkan secara tegas. Ini

menunjukkan bahwa meskipun secara konsepsual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan


dan nampaknya memiliki hubungan hierarchies, perumusan tujuan tidak dapat dibedakan
dengan jelas. Hal inilah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai

atau tidak.

F. Integrasi Tujuan Kognitif dan Afektif dalam Pembelajaran

Sebagaimana disebutkan dibagian pendahuluan dalam proses pembelajaran terjadi

interaksi antara unsur kognitif dan afektif dalam diri peserta didik. Sikap apriori terhadap

suatu konsep atau prosedur kerja dapat menjadi hambatan bagi tercapainya tujuan kognitif.

Sebaliknya untuk mengubah suatu sikap atau mengadopsi suatu nilai, peserta didik

memerlukan pemahaman yang sifatnya kognitif. Dalam proses pembelajaran tertentu aspek

kognitif atau afektif merupakan dua sisi mata uang yang perlu ada.

Dengan demikian dalam proses pembelajaran tertentu aspek kogintif ini secara

terencana berusaha untuk mencapainya. Berbeda dengan tujuan kognitif, tujuan afektif lebih

sulit dievaluasi. Salah satu sebabnya adalah bahwa untuk mencapai tujuan afektif

memerlukan waktu lama. Sebagai contoh, menjadi seoarang bidan yang memiliki kredibitas

tinggi jelas tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat.

Untuk tingkat-tingkat yang lebih sederhana, seperti : mengenal atau memberi respon,

pencapainya, mungkin tidak memerlukan waktu yang lama dan dengan cepat dapat diketahui

tercapai atau tidak.

Diantara kawasan tujuan pendidikan yang paling banyak mendapatkan perhatian pada

jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Didalam kawasan kognitif yang paling

penting adalah jenjang analisis, sintesis dan evaluasi karena sangat dibutuhkan dalam
memecahkan masalah.

Kemampuan memecahkan masalah ini dikuasai bila peserta didik memiliki strategi

kognitif yang baik. Oleh sebab itu dalam bab selanjutnya akan dibahas mengenai strategi

kognitif dan bagaimana cara pengajaran yang tepat dapat ditumbuhkan.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Tujuan instruksional dikelompokan dalam tiga kawasan : kognitif, psikomotor dan afektif.

2. Terdapat salah konsep (misconception) tujuan instruksional yang mengatakan bahwa dalam

perumusan tujuan, kompetensi yang sederhana kurang penting dibandingkan setiap kawasan

(domain) dapat secara tegas dipisahkan dari yang lain. Padahal kenyataan menunjukkan

bahwa dalam proses pembelajaran tiga domain tersebut berinteraksi dalam pencapaian

pembelajaran.

3. Tujuan kognitif dapat disusun berdasarkan Taxonomy Bloom, Gagne, Merill atau Gerlach

dan Sulvilvan.

4. Tujuan psikomotor dapat disusun menurut Harrow yang membagi kompetensi ke dalam 5

tingkatan yang bersifat hierarkhis.

5. Tujuan afektif dapat disusun berdasarkan taxonomy menurut Krathwohl, Marsia dan Briggs.

6. Mengingat bahwa pada kenyataanya terjadi interaksi antara factor kognitif, afektif dan

psikomotor dalam pembelajaran, jika relevan dalam penyusunan tujuan instruksional

pengintegrasian jenis-jenis tujuan tersebut dapat dilakukan.

7. Dengan pengintegrasiaan beberapa tujuan instruksional sehingga dapat meningkatkan

kemampuan dosen didalam menyusun satuan acara perkuliahan.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu,
kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, J. (2005). Taxonomi Untuk Tujuan Instruksional Digunakan Untuk Penyusunan


SAP (Satuan Acara Perkuliahan). Jurnal: Forum Ilmiah Indonesia 2(3):11-19.
Suparman A. (1993). Desain Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas (PPAI).
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tujuan merupakan sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha selesai. Karena
instruksi atau pengajaran merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-
tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Tujuan dari pendidikan
bukanlah suatu benda yang berbentuk dan statis. Tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari
kepribadian seseorang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
Kalau kita melihat kembali pengertian instruksi atau pengajaran, akan terlihat dengan
jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pengajaran secara
keseluruhan, yaitu sesuatu yang harus dicapai oleh siswa setelah mereka diberikan
pengajaran oleh guru.
Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal, sehingga sukar dicapai. Namun apabila kita
melakukannya dengan kerja keras dan berencana dengan kerangka-kerangka kerja yang
konsepsional mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Untuk
lebih jelasnya akan dipaparkan dalam makalah ini tentang Desain Tujuan Intruksional.
Dan untuk mengetahui implementasi pencapaian tujuan intruksional, tim pemakalah
tertarik untuk melakukan observasi di SD Negeri 001 Sangatta Utara yang memiliki
visi Terwujudnya Insan Taqwa, Cerdas, Kompetitif dan Berbudaya Lingkungan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan manfaat tujuan intruksional?
2. Apa saja klasifikasi dari tujuan intruksional menurut Bloom?
3. Bagaimana format penulisan dalam merumuskan tujuan intruksional?
4. Bagaimana penerapan tujuan intruksional di SD Negeri 001 Sangatta Utara?

BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN TUJUAN INTRUKSIONAL


Istilah intruksional, seringkali diterjemahkan ke dalam kata pengajaran. Tetapi
sebenarnya, intruksional lebih luas daripada pengajaran, karena mencakup pada semua hal
yang mungkin mempunyai pengaruh langsung kepada proses belajar manusia, bukan hanya
terbatas pada hal-hal yang dilakukan guru, tetapi juga sumber-sumber belajar lain yang
dipakai untuk belajar mandiri oleh anak. Pada dasarnya tujuan intruksional adalah membantu
orang untuk belajar.[1]
Beberapa definisi tujuan intruksional yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh,
antara lain sebagai berikut:[2]
1. Robert F. Magner (1962), tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak
dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa sesuai kompetensi;
2. Eduard L. Dejnozka dan David E. Kavel (1981), tujuan instruksional adalah suatu
pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk
tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan;
3. Fred Percival dan Henry Ellington (1984),tujuan instruksional adalah suatu pernyataan
yang jelas menunjukkan penampilan / keterampilan yang diharapkan sebagai hasil dari proses
belajar.
Dalam proses belajar mengajar tujuan instruksional dapat di bagi menjadi 2 yaitu tujuan
instruksional umum (TIU) yang menggariskan hasil- hasil di aneka bidang studi yang harus
dicapai siswa dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang merupakan penjabaran dari tujuan
instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran yang
konkrit dan spesifik. Menurut Grounlund dalam Harjanto (2008) tujuan instruksional umum
(TIU) adalah hasil belajar yang diharapkan yang dinyatakan secara umum dan berpedoman
pada perubahan tingkah laku dalam kelas. Tujuan instruksional umum (TIU) merupakan
serangkaian hasil belajar yang bersifat khusus.sedangkan tujuan instruksional khusus (TIK)
adalah hasil belajar yang dinyatakan dalam istilah perubahan tingkah laku khusus. Tingkah
laku khusus adalah kata kerja yang dapat diamati dan diukur.[3]

B. MANFAAT MENDESAIN TUJUAN INTRUKSIONAL


Beberapa manfaat dari tujuan interaksional, antara lain sebagai berikut:[4]
1. Menentukan tujuan (objective) proses belajar mengajar;
2. Menentukan persyaratan awal instruksional;
3. Marancang strategi instruksional;
4. Memilih media pembelajaran;
5. Menyusun instrumen tes pada proses evaluasi;
6. Melakukan tindakan perbaikan atau improvement pembelajaran;
7. Guru mempunyai arahan untuk memilih bahan pembelajaran dan memilih prosedur(metode)
mengajar;
8. Setiap guru mempunyai batas-batas tugas dan wewenangnya dalam mengajarkan suatu
bahan;
9. Guru mempunyai patokan dalam menilai kemajuan belajar siswa;
10. Guru mempunyai kriteria untuk mengevaluasi kualitas maupun efisiensi pembelajarannya.

C. KLASIFIKASI TUJUAN INTRUKSIONAL


Adapun taksonomi atau klasifikasi tujuan intruksional menurut Bloom adalah sebagai
berikut:[5]
1. Ranah kognitif (cognitive domain)
a. Pengetahuan (knowledge), mencakup ingatan yang pernah dipelajari dan disimpan dalam
ingatan;
b. Pemahaman (comprehension), mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari
bahan yang dipelajari;
c. Penerapan (application), mencakup kemampuan menerapkan suatu kaidah atau metode yang
baru;
d. Analisis (analysis), mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-
bagian;
e. Sintesis (synthesis), mencakup kemampuan membentuk suatu kesatuan;
f. Evaluasi (evaluation), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat.
2. Ranah afektif (affective domain)
a. Penerimaan (receiving), mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan
untuk memperhatikan;
b. Partisipasi (responding), mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif;
c. Penilaian/penentuan sikap (valuing), mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian
terhadap sesuatu;
d. Organisasi (organization), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai;
e. Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex), mencakup
kemampuan untuk menghayati nilai nilai kehidupan.

3. Ranah psikomotorik (psychomotoric domain)


a. Persepsi (perception), mencakup kemampuan untuk membedakan ciri ciri fisik;
b. Kesiapan (set), mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam memulai gerakan;
c. Gerakan terbimbing (guided response), mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu
rangkaian gerak gerik;
d. Gerakan yang terbiasa (mechanical response), mencakup kemampuan untuk melakukan
sesuatu rangkaian gerak gerik dengan lancar;
e. Gerakan kompleks (complex response), mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu
keterampilandengan lancar, efisien dan tepat;
f. Penyesuaian pola gerakan (adjustment), mencakup kemampuan untuk mengadakan
perubahan dan menyesuaikan Pola gerak gerik yang mahir;
g. Kreativitas (creativity), mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak gerik
yang baru.

D. FORMAT DALAM MENULIS TUJUAN INTRUKSIONAL


Sehubungan dengan teknis penulisan, maka dalam menulis tujuan intruksional sebaiknya
dinyatakan dengan jelas, artinya tanpa diberi penjelasan tambahan apapun, pembaca (guru
atau siswa) sudah dapat menangkap maksudnya.[6]
Menurut Knirk dan Gustafson dalam Hernawan (2005) dalam merumuskan tujuan
instruksional sebaiknya dinyatakan dalam bentuk ABCD format, artinya:[7]
1. Audience = A, Yaitu siswa yang belajar untuk mencapai tujuan. Artinya tujuan yang
dirancang untuk siswa bukan guru. Oleh sebab itu komponen siswa harus selalu ada pada
setiap perumusan TIK. Contohnya: siswa kelas 1, siswa kelas 6 dan sebagainya.
2. Behavior = B, Yaitu kemampuan yang diharapkan dikuasai siswa setelah mengikuti
pembelajaran. Komponen ini terdiri atas kata kerja yang menunjukkan kemampuan yang
harus ditampilkan siswa dan materi yang dipelajari siswa. Kemampuan tersebut dinyatakan
dalam bentuk kata kerja operasional seperti menjelaskan, memberi, contoh, menyusun,
membuat, merakit,menunjukkan, mengenal dan sebagainya. Contohnya: membuat larutan
oralit, menunjukkan letak ibukota propinsi dan sebagainya.
3. Condition = C, Yaitu keadaan yang dipersyaratkan ketika siswa diminta menunjukkan atau
mendemonstrasikan perilaku atau kemampuan yang diharapkan. Contohnya: diberikan
sejumlah data, siswa dapat.(ini berarti bahwa pada saat kita meminta siswa menunjukkan
kemampuan tersebut kita harus menyediakan data) atau dengan menggunakan rumus ABC,
siswa dapat. (ini berarti siswa dianggap sudah menguasai kemampuan tersebut apabila
siswa melakukannya dengan menggunakan rumus ABC. Apabila tidak menggunakan rumus
ABC berarti siswa belum menguasai tujuan tersebut).
4. Degree = D, Yaitu tingkat ukuran yag dicapai untuk menentukan keberhasilan atau
penguasaan siswa terhadap tingkah laku khusus yang ditetapkan. Tingkat keberhasilan
ditunjukkan dengan batas minimal dari penampilan suatu perilaku yang dapat dianggap
diterima. Contohnya: siswa dapat menjelaskan lima karakteristik pemimpin yang
demokratis (siswa dianggap belum menguasai tujuan tersebut jika hanya mampu
menjelaskan dua atau tiga karakteristik ersebut) atau siswa dapat menjelaskan dua alas an
penting transmigrasi (siswa dianggap belum menguasai tujuan tersebut bila siswa hanya
mampu menjelaskan satu alasan saja).

BAB III
PAPARAN DATA

A. LOKASI
Observasi yang kami lakukan bertempat di SD Negeri 001 Sangatta Utara Kabupaten
Kutai Timur.

B. VISI DAN MISI


1. Visi
Terwujudnya insan taqwa, cerdas, kpmpetitif dan berbudaya lingkungan.
2. Misi
a. Mengamalkan imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi);
b. Meningkatkan disiplin, tanggung jawab, jujur dan memiliki rasa kemanusiaan;
c. Menyelenggarakan pendidikan yang kreatif dan inovatif sesuai dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi;
d. Menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap dan tepat guna;
e. Menciptakan budaya lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

C. HASIL WAWANCARA
Untuk mengetahui tentang desain(rumusan) tujuan intruksional di SD Negeri 001
Sangatta Utara, tim pemakalah melakukan wawancara langsung terhadap Ibu Mince(wali
kelas III sekaligus sebagai waka kurikulum SD Negeri 001 Sangatta Utara).
Adapun hasil wawancaranya adalah sebagai berikut:
1. Dalam mendesain tujuan intruksional ada tiga aspek yang perlu diperhatikan yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik. Untuk mencapai ke-tiga aspek tersebut, apa yang ibu berikan
kepada siswa/atau bagaimana penerapannya di kelas dalam proses pembelajaran? Bagaimana
hasil pencapaiannya dalam ranah/aspek kognitif? Bagaimana hasil pencapaiannya dalam
ranah/aspek afektif? Dan bagaimana hasil pencapaiannya dalam ranah/aspek psikomotorik?
Jawab:
Pertama-tama sebelum memasuki kelas, guru harus memiliki cara bagaimana menguasai
kelas, bagaimana karakter serta pemahaman siswa terhadap mata pelajaran yang akan
disampaikan. Dalam hal pencapaian dari tujuan intruksional, anak didik kami arahkan ke
karakter/dalam proses pembelajaran diutamakan pada pendekatan karakter anak didik dengan
pendidikan akhlak (imtak), dan memotivasi mereka untuk menjadi anak-anak yang mandiri,
serta dalam mendidik anak tidak pandang bulu (tidak boleh pilih kasih).

2. Bagaimana penulisan tujuan intruksional, misalnya pada mata pelajaran PAI, PKN atau
Matematika?
Jawab:
Dalam penulisannya ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, contoh dalam mata
pelajaran PKN, kita tidak bisa menggunakan semua bahasa yang ada pada mata pelajaran
tersebut kepada siswa, karena pasti sulit untuk dipahami oleh siswa, terutama untuk anak
kelas III, jadi bahasanya harus divariasikan (menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
mereka).Begitu juga dalam mata pelajaran lainnya.

D. DOKUMENTASI
Hasil foto/dokumentasi kegiatan observasi di SD Negeri 001 Sangatta Utara sebagaimana
terlampir.

BAB IV
PEMBAHASAN/ANALISA

Dari hasil observasi atau wawancara, tim pemakalah menyimpulkan bahwa dalam
mendesain tujuan intruksional di SD Negeri 001 Sangatta Utara, sudah sesuai dengan teori
walaupun penerapannya belum maksimal.
Adapun mengenai penerapan atau hasil dari desain tujuan intruksional yang
dikeluhkan oleh tim pengajar atau yang menjadi faktor penghambat adalah pergantian
kurikulum, walaupun sebenarnya kurikulum 2013 bertujuan untuk melengkapi kurikulum
sebelumnya, tapi tetap saja butuh proses untuk menyesuaikannya.Terutama pada kesiapan
dan kematangan penguasaan kurikulum 2013 oleh para tenaga pendidik atau bagi sebagian
orang-orang yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan, sehingga hasil yang
didapat juga belum seratus persen seperti apa yang diharapkan, sebagaimana yang terrjadi di
SD Negeri 001 Sangat Utara.
Dalam setiap tujuan intruksional terutama yang khusus hendak dicapai menuntut
prasyaratan kemampuan internal yang harus dimiliki yang berupa salah satu dari lima hasil
belajar (informasi verbal, kemahiran intelektual, pengaturan kegiatan kognitif, keterampilan
sikap dan motorik).
Unsur pemahaman menunjukkan pada konsep / dasar dan unsur pengetahuan
menunjukkan pada informasi verbal.Kedua unsur kiranya mutlak diperlukan karena tanpa
pemahaman dan pengetahuan yang memadai sulit memperoleh sikap yang mantap. Hasil
penyelidikan terhadap tujuan instruksional baik dalam aspek jenis perilaku maupun dalam
aspek isi yang menemukan komponen konsep, informasi verbal dan subsikap nantinya akan
sangat berguna dalam perencanaan dan pengelolaan proses belajar mengajar yang membawa
siswa ke hasil yang dituju.
Jadi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penerapan tujuan intruksional,
seorang pendidik harus mengetahui atau memahami bagaimana posisi dari tujuan intruksional
dalam proses pembelajaran terutama terhadap kurikulum 2013, agar rumusan yang dibuat
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu peningkatan kompetensi tenaga
pendidik harus terus dilakukan dan dikembangkan dengan berbagai pelatihan, seminar-
seminar dan lain-lain.

BAB V
PENUTUP

KESIMPULAN
Pada dasarnya tujuan intruksional adalah membantu orang atau memberikan
kemudahan pada orang untuk belajar. Tujuan instruksional dapat di bagi menjadi 2 yaitu
tujuan instruksional umum (TIU) yang menggariskan hasil hasil di aneka bidang studi yang
harus dicapai siswa dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang merupakan penjabaran dari
tujuan instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran
yang konkrit dan spesifik.
Ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari perumusan tujuan intruksional,
diantaranya guru mempunyai arahan untuk memilih bahan pembelajaran dan memilih
prosedur (metode) mengajar, guru mempunyai batas-batas tugas dan wewenangnya dalam
mengajarkan suatu bahan, guru mempunyai patokan dalam menilai kemajuan belajar siswa,
dan lain sebagainya.
Taksonomi atau klasifikasi tujuan intruksional menurut Bloom, yaitu pengetahuan
(kognitif), apresiasi (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Dan dalam penulisan tujuan
intruksional digunakan format ABCD (Audience, Behavior, Condition, dan Degree).
Dalam menerapkan desain tujuan intruksional di SD Negeri 001 Sangatta Utara,
sudah sesuai dengan teori walaupun penerapannya belum maksimal dan masih perlu
peningkatan terhadap tenaga pendidik yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Mahmud, Muchammad Eka.,Teknologi Pendidikan Konsep Dasar dan Aplikasi, Samarinda: ISNU
Kaltim Press, 2013.
[1] Muchammad Eka Mahmud, Teknologi Pendidikan Konsep Dasar dan Aplikasi, (Samarinda:
ISNU Kaltim Press, 2013), Cet. 1, hlm. 23.

[3]Ibid., hlm. 6.
diunduh tanggal 27 Agustus 2014, hlm. 1.
[5]Muchammad Eka Mahmud, Teknologi Pendidikan Konsep..., hlm. 26-29.
[6]Ibid., hlm. 29.
[7]Dinayla Faradisa, Perencanaan Tujuan-Tujuan, hlm. 8-9.

Anda mungkin juga menyukai