Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Demam Berdarah Dengue

Disusun Oleh :
Isnadiah Fitria Maharani
030.10.138

Pembimbing :
dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 28 DESEMBER 2015- 04 MARET 2016
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BEKASI 2016

0
LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Isnadiah Fitria Maharani


Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Periode : Periode 28 Desember 2015 5 Maret 2016
Judul : Dengue Shock Syndrome
Pembimbing : dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A(K)

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Jakarta, Februari 2016

dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A (K)

1
BAB I
PENDAHULUAN

Demam Dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Dari
4 serotipe dengue yang terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2.1
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue. Di Indonesia Dengue Hemorrhagic Fever pertama kali di
curigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virology baru di peroleh pada tahun
1970. Setelah itu berturut-turut di laporkan kasus dari kota di Jawa maupun dari luar Jawa,
dan pada tahun 1993 telah menyebar keseluruh propinsi yang ada. Berasarkan jumlah kasus
DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Setelah tahun 1968 angka
kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05% (1968) menjadi 8,14%
(1973), 8,65% (1983) dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19% per
100.000 penduduk dengan jumlah penderita 72.133 orang.2
World Health Organization - South-East Asia Regional Office (WHO-SEARO)
melaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 156.052 kasus dengue dengan 1.396 jumlah
kasus kematian di Indonesia dan case-fatality rates (CFR)0.79%.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 1 DBD adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi virus dengue.

3.2 Epidemiologi1

Gambar. Penyebaran kasus DD/DBD yang dilaporkan WHO

Selama tahun 1980, insidens meningkat tajam dan distribusi virus diperluas ke pulau-
pulau Pasifik dan tropis Amerika. Dalam wilayah terakhir, spesies kembali memenuhi
sebagian besar negara tropis di tahun 1980-an karena pembubaran program pemberantasan
Ae. Aegypti di awal 1970an. Peningkatan penularan penyakit dan frekuensi epidemis juga
merupakan hasil dari peredaran beberapa serotipe di Asia. Ini membewa munculnya DHF di
Kepulauan Pasifik, Karibia, dan Amerika Tengah dan Selatan. Dengan demikian, dalam
waktu kurang dari 20 tahun pada tahun 1998, daerah tropis Amerika dan Pulau Pasifik pergi
dari bebas demam berdarah menjadi pemilik masalah DHF yang serius. Setiap 10 tahun,
jumlah rata-rata tahunan kasud DF/DHF dilaporkan ke WHO terus tumbuh
secaraeksponensial. Dari taun 2000 hingga 2008, jumlah rata-rata kasus tahunan adalah 1 656

3
870, hampir tiga setengah angka untuk tahun 1990-1999, yaitu 479 848. Pada tahun 2008,
dari 69 negara yang tercatat dalam WHO wilayah Timur-Selatan Asia, Pasifik Barat dan
Amerika melaorkan aktivitas demam berdarah.

3.3 Etiologi2
Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas dasar
ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk menunjukkan
bahwa virus ini ditransmisikan oleh serangga.
Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang) pada uji serologis, hal ini menyebabkan
diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan. Ada 4 serotipe dari virus dengue yaitu Den-1,
Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe virus Den akan menghasilkan antibodi
protektif untuk serotipe tersebut pada waktu yang lama, tetapi tidak ada cross protection
(perlindungan silang) terhadap serotipe virus Den yang lain.

3.4 Patofisiologi3
Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody dependent
enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi semacam opsonisasi
untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke dalamnya.
Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan interferon, yang akan
mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke
ruang eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah,
edema, dan kongesti visceral. Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan
oleh virus dengue itu sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel.
Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi.

Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan sebagai berikut :

Manusia yang pernah terinfeksi demam berdarah akan membuat serum antibodi yang
dapat menetralkan virus dengue yang serotipenya sama (homolog). Dalam infeksi berikutnya,
antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya membentuk kompleks dengan serotipe virus
baru yang menginfeksi, tetapi tidak menetralkan virus baru.

Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana strain tertentu dari virus dengue,
bergabung dengan antibodi non-penetral, menginisiasi munculnya monosit yang lebih

4
banyak, sehingga meningkatkan produksi virus. Monosit yang terinfeksi melepaskan
mediator vasoaktif, mengakibatkan permeabilitas pembuluh darah meningkat dan manifestasi
perdarahan yang menjadi ciri DBD dan DSS
Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah
kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit
yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output dan
hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi pendarahan massive, trombosit
3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan kematian pasien.
Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel
dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kompartemen perivaskular,
dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik di intra dan ekstravaskular.
Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang mendorong plasma
keluar dari intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik adalah nilai tekanan zat-zat yang
terkandung dalam darah yang memiliki sifat osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada
pada intravaskular. Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka
plasma bisa keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh.
Sedangkan di mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga
cairan tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan ke
dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau kebocoran
plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid untuk meningkatkan tekanan
osmotik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya tanda-tanda kebocoran plasma.
Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular mengejar
makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada
DBD.
Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa
penyebab:
1. Terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di permukaan
trombosit;

2. Kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi trombosit
dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi trombosit;

3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombosit;

5
4. Manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit. Manifestasi
(nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit pada pederita DBD,
karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi
antitrombosit.
Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi tidak ada
manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis (hari V-VII), dan
fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis, dan hanya terjadi
dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis perhatikan bahwa pada sekitar hari
kelima demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok,
dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan
trombositopeni mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi
setelah hari kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas
deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sampai dengan
hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua,
yaitu dengan ELISA dan rapid test. Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi
membutuhkan waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya
mebutuhkan waktu 5 menit.
NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,
merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi dan
merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan sebelumnya.
Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan puncak kadar
NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari
kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terdeteksi. Untuk antibodi, dapat
dideteksi setelah kelima demam. Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan
antibodi. Akan tetapi tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita
juga telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling
sederhana dan spesifik untuk DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan demam
berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam
dengue tidak terjadi.

3.5 Patogenesis4

6
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty atau
Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfatikus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukan bahwa sel-sel monosit dan
makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut
akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus Den mampubertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus gemonnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik
komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit
virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma
sel.
Patogenesisnya terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary Heterologous
Infection Theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi
(virus antibodi kompleks) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain, dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis
tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

7
Gambar. Replikasi virus

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosine di phospat) sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial sistem) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet factor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulopati intravaskuler
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak namun tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan massif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit dan kerusakan dinding
endotel kapiler. Akibatnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

8
Gambar. Secondary heterlogous dengue infection

A. Perubahan hematologi
Infeksi virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang komplek dan unik pada
berbagai mekanisme homeostatik dalam tubuh penderita. Komplek virus antibody yang
terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang dimulai dari aktivasi faktor XII
(Hageman) menjadi bentuk aktif (XIIa). Selanjutnya faktor XIIa ini akan mengaktifkan faktor
koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga akhirnya terbentuk
fibrin. Disamping itu, selain terhadap sistem koagualsi, faktor XI Ia juga akan mengaktifkan
sistem fibrinolisis, sistem kinin dan sistem komplemen yang kesemuanya memberikan
gambaran betapa kompleksnya akibat yang ditimbulkan oleh virus DBD tersebut.
Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan sebagai akibat trombositopenia berat, masa
perdarahan dan masa protrombin yang memanjang, penurunan kadar faktor pembekuan II, V,
VII, VIII, IX dan X bersama hipofibrinogenemia dan peningkatan produk pemecahan fibrin
(FDP). Sedangkan aktivasi sistem kinin akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dengan akibat kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan
hematokrit dan efusi cairan serosa. Terbentuknya bradikinin mengakibatkan pelebaran
pembuluh darah yang dapat berlanjut dengan turunnya tekanan darah. Berbagai kelainan
hematologi telah terbukti menyertai perjalanan penyakit DBD, keadaan ini dipakai sebagai
penunjang diagnosis dan untuk penatalaksanaan yang tepat serta untuk penelitian lebih jauh
mengenai patofisiologi DBD.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai titik
terendah pada fase syok. Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial. Sebagian

9
peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya ialah trombopoesis yang menurun dan
destruksi trombosit dalam darah yang meningkat. Peneliti lain menemukan adanya gangguan
fungsi trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan sistem retikuloendotelial
khususya limpa dan hati.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang

2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit

B. Sistem respon imun


Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat
infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah
IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi
sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Gambar. Perubahan kadar antibodi pada perjalanan infeksi

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-
5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90
hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik
antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG
meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat

10
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang
cepat.

3.6 Manifestasi Klinis1

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi
asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated
fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan;
sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded
dengue syndrome atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma
leakage merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta
manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau
isolated organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak;
sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak (Gambar 1).

a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)


Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam
reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.

11
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis didapatkan keluhan demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot
& sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu,
tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik :
Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan
atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg
normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif dan/atau petekie
o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna
(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)

c. Demam berdarah dengue


Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam
Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai
facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi

12
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
o Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi
hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan
ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang
(>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera
diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan
sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD.

d. Expanded dengue syndrome

13
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan
jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau
komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

Perjalanan penyakit Infeksi Dengue

Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue,
yaitu:

1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi

2. Fase kritis/perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma dengan


derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites.

3. Fase recovery/penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti


disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.

3.7 Pemeriksaan Penunjang8

Untuk membantu menegakkan diagnosis demam berdarah dengue dapat dilakukan


dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

14
Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan
menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini
dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun
tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
o Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada
akhir minggu keempat sakit.
o Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada
infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
o Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi,
o Distres pernafasan/ sesak
o Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
o Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema
paru karena overload pemberian cairan.

15
o Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri,
kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
o Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika
felea, dan dinding buli-buli.

3.8 Diagnosis

Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO,


2011).1
Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama
2-7 hari
Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar /
menurut standar umur dan jenis kelamin

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan:


Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan hematokrit >20%.
Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
Dijumpai tanda perembesan plasma
o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
o Hipoalbuminemia
Perhatian

16
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.

3.9 Diagnosis Banding

Pada awal perjalanan penyakit diagnosis mencakup infeksi bakteri, virus atau infeksi
protozoa seperti demam dengue, campak, influenza, demam chikungunya, leptospirosis dan
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
DBD dengan penyakit lain.

DBD harus dibedakan pada demam chikungunya. Pada demam chikungunya biasanya
seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Demam
chikungunya memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu
lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih sering
dijumpai nyeri sendi. Pada demam chikungunya tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal
dan syok.5,6

17
Gambar. Manifestasi mayor pada dengue dan chikunguya2

3.10 Penatalaksanaan1

Tanda kegawatan9
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,
seperti berikiut.
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
bebas demam / sejalan dengan proses penyakit

18
Muntah yg menetap, tidak mau minum
Nyeri perut hebat
Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,
warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam

Monitor perjalanan penyakit DD/DBD1


Parameter yang harus dimonitor mencakup,
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4 jam
pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada
pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan
syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)

Indikasi pemberian cairan intravena9


Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Prinsip umum terapi cairan pada DBD1,10


Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.

19
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan
cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.


Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik)

Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit 1

a. Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak
masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

20
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit

b. Fase Kritis

Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit,
disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)

21
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil
laboratorium yang tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review
hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau
setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian
cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit

Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah
segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila
darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg
darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.

Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan.

DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
o Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun
atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok

22
o Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati maka,
o Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume
intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit
terus meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus
dengan perembesan plasma yang hebat.
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan
cairan
Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan
napas.
Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial,
dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis
intravena setiap 6-8 jam.
o Menurunkan produksi amonia
Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare
osmotik.
Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan
pemberian
o Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang
dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
o Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
o Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5
tahun:10mg.
o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
o Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain
seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena
kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
o Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
o Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah
perdarahan saluran cerna.

23
o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme
di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.

c. Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap
12-24 jam.

Indikasi untuk pulang11


Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.
Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

Nafsu makan telah kembali

Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur

Diuresis baik

Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.

3.11 Komplikasi11

DHF mengakibatkan pendarahan pada semua organ tubuh, seperti pendarahanginjal,


otak, jantung, paru paru, limpa dan hati. Sehingga tubuh kehabisan darah dancairan
serta menyebabkan kematian.
Ensepalopati.
Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
Disorientasi, prognosa buruk.

BAB VI

24
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive


Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Buku ajar Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI Edisi II. Editor : Sumarmo, S Purwo
Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki.Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta 2002.

3. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:


Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4.
Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

4. Halstead S.B. 2008. Dengue in Tropical Medicine, Science and Practice. Imperial
College Press, London; 5:285-306

5. Soegijanto, S. Ilmu penyakit Anak Diagnosis & Penatalaksanaan. Jakarta : Salemba


Medika. 2002.

6. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Surososo T. Tatalaksana Demam


Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana kasus DBD.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004

7. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan. 2004

8. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated
2010 sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.

9. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146

10. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823

11. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis
Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD.

25
Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

12. Rahman AKMM, Ahmad M, Begum RS, Hossain MZ, Hoque SA, Matin A. Typhoid
fever in children An update. J Chaka Med Coll 2010; 19(2): 135-143

26

Anda mungkin juga menyukai