Anda di halaman 1dari 18

49

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Penyiapan Bahan

Hasil determinasi tumbuhan yang dilakukan di LIPI-UPT Balai

Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bedugul Bali menunjukkan

bahwa tumbuhan bungur yang dikumpulkan dari Jalan Hang Tuah, Denpasar pada

Desember, 2010 merupakan spesies Lagerstroemia speciosa Pers. yang

selanjutnya digunakan sebagai sampel di dalam penelitian. Kulit batang yang

digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran, selanjutnya dipotong untuk

mempercepat proses pengeringan. Sampel tersebut kemudian dikeringkan tanpa

terkena sinar matahari secara langsung, namun sirkulasi udaranya baik. Paparan

sinar matahari secara langsung pada suhu tinggi dapat merusak dan menyebabkan

terdegradasinya senyawa kimia dalam sampel yang dianalisis.

Sampel yang telah kering selanjutnya dihaluskan dengan

menggunakan blender kemudian diayak sampai berbentuk serbuk berwarna

cokelat sebanyak 1500 g. Sampel yang berbentuk serbuk bertujuan untuk

memperbesar luas permukaan sehingga memudahkan tertariknya komponen-

komponen kimia yang terdapat dalam bahan. Serbuk sampel yang digunakan juga

diukur kadar airnya sebagai standarisasi sampel.

Metode yang digunakan untuk pengukuran kadar air adalah secara

termogravimetri dengan menggunakan oven pengering. Pengeringan adalah suatu

metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan

49
50

dengan cara menguapkan air tersebut menggunakan energi panas. Umumnya

kandungan air bahan tersebut dikurangi agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di

dalamnya (Underwood, 2002)

Prinsip dari metode oven pengering adalah bahwa air yang terkandung

dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu

105o C selama waktu tertentu. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah

dipanaskan adalah kadar air yang terkandung dalam bahan tersebut (Underwood,

2002). Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan metode tersebut,

didapatkan kadar air pada sampel yang digunakan yaitu sebesar 10,27%. Cara

perhitungan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 5. Besarnya kadar air pada

sampel ini sedikit melebihi standar yang ditentukan dalam Farmakope Indonesia

yang menyatakan bahwa kadar air standar pada suatu simplisia bahan obat yaitu

sebesar 10% (Depkes RI, 1995).

6.2 Ekstraksi Kulit Batang Bungur

Ekstraksi serbuk kulit batang bungur (1500 g) dilakukan dengan metode

maserasi menggunakan etanol teknis 70%. Pada proses maserasi, serbuk kering

sampel direndam selama 24 jam dengan etanol 70% pada suhu kamar,

kemudian disaring sehingga didapatkan filtrat dan residu. Maserasi dilakukan

secara berulang-ulang dengan menggunakan pelarutnya hingga senyawa yang

terkandung di dalamnya diperkirakan terekstrak semuanya. Filtrat yang diperoleh

dikumpulkan dan diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum (rotary

vacuum evaporator) pada tekanan rendah dan suhu 400 C untuk menguapkan

pelarut etanol yang terdapat dalam filtrat. Hasil penguapan dengan menggunakan
51

penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) tersebut diperoleh ekstrak

etanol (crude extract) yang berwarna cokelat sebanyak 21,88 g. Terhadap

ekstrak etanol kemudian dilakukan uji senyawa tanin dan uji hipoglikemik.

6.2.1 Uji senyawa tanin ekstrak etanol

Ekstrak etanol yang diperoleh selanjutnya diuji kandungan senyawa

taninnya dengan menggunakan pereaksi FeCl3, larutan gelatin dan air brom. Hasil

uji fitokimia tersebut menunjukkan bahwa pada ekstrak etanol terdapat senyawa

tanin. Hal ini diperlihatkan dengan perubahan warna yang terjadi dari cokelat

menjadi hijau dengan FeCl3, terbentuknya endapan dengan gelatin, dan

terdapatnya endapan dengan air brom.

6.2.2 Uji hipoglikemik ekstrak etanol

Pada uji efek hipoglikemik ekstrak etanol terhadap darah mencit yang

diinduksi aloksan dengan menggunakan metode uji toleransi glukosa. Sebelum

disuntik aloksan kadar gula darah awal diukur. Setelah hari ke-2 penyuntikan

aloksan, kemudian kadar gula darah mencit diperiksa menggunakan alat

glucosemeter Easy Touch. Pemberian aloksan bertujuan untuk menyebabkan

terjadinya diabetes mellitus. Aloksan adalah suatu senyawa yang sering digunakan

untuk penelitian diabetes menggunakan hewan coba. Aloksan dapat menghasilkan

radikal hidroksil yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan diabetes pada hewan

coba. Efek diabetogenik aloksan ini dapat dicegah oleh senyawa penangkap

radikal hidroksil. Kadar gula darah yang telah mencapai lebih dari 160 mg/dl

dapat dikatakan bahwa mencit telah diabetes, kemudian mencit dipuasakan selama

18 jam. Setelah itu, mencit siap untuk diberikan empat perlakuan yang berbeda-
52

beda. Tiga puluh menit kemudian mencit diberikan pembebanan glukosa

monihidrat. Sampel darah selanjutnya diambil pada jam ke 1, 2, dan 3 setelah

pembebanan glukosa monohidrat yang kemudian diukur kadar gula darahnya

(Aman, 2007). Profil efek perlakuan yang diberikan terhadap kadar gula darah

mencit yang diinduksi dengan aloksan dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1 Grafik Rata-Rata Penurunan Log Kadar Gula Darah pada Ekstrak
Etanol Kulit Batang Bungur
Keterangan: Kontrol negatif = diberi 0,5 mL aquades
Uji dosis I (150 mg/20 g bb) = diberi 0,5 mL ekstrak etanol kulit
batang bungur
Uji dosis II (75 mg/20 g bb) = diberi 0,5 mL ekstrak etanol kulit
batang bungur
Kontrol positif = diberi 0,5 mL glibenklamid (dosis 3 mg/20 g bb)

Berdasarkan Gambar 6.1, terlihat bahwa pada kontrol negatif

menunjukkan kadar gula darah yang paling tinggi. Pada dosis I menunjukkan

kadar penurunan gula darah yang sangat tajam dan lebih baik dibandingkan

dengan dosisi II dan kontrol positif, sedangkan pada kontrol positif mampu
53

menurunkan kadar gula darah lebih baik dibandingkan pada dosis II. Untuk

memastikan pengamatan, data yang diperoleh selanjutnya dianalisis statistik

menggunakan SPSS 15.0 for windows. Uji statistik yang dilakukan adalah uji

normalitas, uji homogenitas, dan uji Kruskal-wallis.

6.2.2.1 Uji normalitas data

Data perubahan kadar gula darah mencit pada kontrol negatif, uji dosis

I, uji dosis II, dan kontrol positif diuji normalitasnya dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov test. Hasilnya menunjukkan data tidak terdistribusi normal

dengan nilai p=0,000 (p<0,05) yang dapat dilihat pada Lampiran 11.

6.2.2.2 Uji homogenitas data

Data perubahan kadar gula darah mencit pada kontrol negatif, uji dosis

I, uji dosis II, dan kontrol positif diuji homogenitasnya. Hasilnya menunjukkan

data tidak homogen dengan nilai p = 0,000 (p<0,05) yang dapat dilihat pada

Lampiran 11.

6.2.2.3 Uji Kruskal Wallis

Analisis menggunakan Kruskal Wallis bertujuan untuk melihat

perbedaan yang terjadi antar kelompok setelah diberi perlakuan. Hasil uji tersebut

dapat dilihat pada Tabel 6.1.


54

Tabel 6.1
Analisis Kruskal Wallis Setelah Perlakuan Antar Kelompok
Kelompok N Rerata p interpretasi
Kontrol 18 63,50 0,000 Berbeda nyata
negatif
Dosis 150 18 16,03 0,000 Berbeda nyata
mg/20 g bb
Dosis 75 18 39,42 0,000 Berbeda nyata
mg/20 g bb
Kontrol 18 27,06 0,000 Berbeda nyata
positif

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa keempat kelompok

perlakuan memiliki perbedaan yang sangat nyata p=0,000 (p<0,005) setelah

diberi perlakuan. Hasil ini menyatakan bahwa kontrol negatif memiliki nilai

perubahan kadar gula darah dan efek yang berbeda dari ketiga kelompok lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, uji dosis 150 mg/20 g bb memiliki nilai perubahan

kadar gula darah terendah dan berbeda nyata dengan dosis 75 mg/20 g bb dan

kontrol positif (tablet glibenklamid). Maka dapat dinyatakan, bahwa ekstrak

etanol kulit batang bungur memiliki efek hipoglikemik terhadap darah mencit

yang diinduksi aloksan.

Nilai rerata dari kadar gula darah pada uji dosis 150 mg/20 g bb

(2,093) lebih rendah dibandingkan dengan nilai kadar gula darah kontrol positif

(2,533) sehingga dosis uji I dapat dinyatakan yang lebih efektif. Hal ini didukung

dengan persentase rata-rata penurunan kadar gula darah uji dosis I pada 1 jam

(25,75%), 2 jam (32,01%), dan 3 jam (45,42%) setelah perlakuan, yang lebih

tinggi nilainya dibandingkan uji dosis II pada 1 jam (4,42%), 2 jam (13,17%), dan

3 jam (21,12%) dan kontrol positif pada 1 jam (19,48%), 2 jam (30,12%), dan 3

jam (40,59%) setelah perlakuan. Maka, dapat dinyatakan bahwa ekstrak etanol
55

kulit bungur dosis I lebih efektif dalam menurunkan kadar gula darah mencit yang

diinduksi dengan aloksan dibandingkan ekstrak etanol kulit bungur dosis II

dengan tablet glibenklamid sebagai kontrol positif.

6.3 Partisi

Ekstrak etanol kulit batang bungur yang positif mengandung tanin dan

memiliki efek hipoglikemik ini selanjutnya dipisahkan tahap awal dengan cara

partisi. Sebanyak 20 g ekstrak etanol dilarutkan dalam air : etanol (7:3). Setelah

ekstrak ini melarut kemudian dievaporasi untuk menghilangkan etanolnya

sehingga diperoleh ekstrak air. Ekstrak air ini selanjutnya dipartisi berturut-turut

dengan menggunakan n-heksana, dan aseton. Partisi ini dilakukan untuk menarik

senyawa-senyawa yang bersifat non polar dengan menggunakan n-heksana, semi

polar dengan aseton dan senyawa polar diharapkan terdapat pada airnya.

6.3.1 Uji senyawa tanin ekstrak aseton

Ketiga hasil partisi ini kemudian diuji kandungan senyawa taninnya

dengan menggunakan pereaksi FeCl3, larutan gelatin dan air brom. Dilihat dari

perubahan yang terjadi dengan ketiga pereaksi tersebut, hanya ekstrak aseton yang

positif mengandung senyawa tanin. Dengan FeCl3 ekstrak aseton menunjukkan

perubahan warna dari cokelat menjadi hijau, sedangkan dengan pereaksi gelatin

membentuk endapan dan demikian juga dengan air brom memberikan endapan

berwarna putih. Terjadinya pembentukan warna hijau ini karena terbentuknya

senyawa kompleks antara logam Fe dan tanin. Senyawa kompleks terbentuk

karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion atau atom logam dengan atom
56

nonlogam (Effendy, 2007). Persamaan Reaksi antara senyawaan tanin dengan

FeCl3 dilihat pada Gambar 6.2.

OH
OH
HO O FeCl3

OH n
OH

HO

OH
HO

Fe
OH
OH

HO
OH

HO O

OH

OH

HO

Gambar 6.2 Reaksi antara Tanin dengan FeCl3

Terbentuknya endapan setelah ditambahkan larutan gelatin yang

menyatakan bahwa pada ekstrak aseton kulit batang bungur positif mengandung

tanin. Semua tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak jika ditambahkan
57

dengan gelatin (Harborne, 1995). Gelatin merupakan protein alami yang

memberikan sifat penstabil dan pengental bagi media yang berbasiskan air,

mengandung asam amino yaitu dengan kandungan glisin (27%), prolin (16%) dan

hidroxiprolin (14%), sehingga terbentuknya senyawa tanin protein dikarenakan

adanya ikatan hidrogen antara tanin dan protein pada gelatin sehingga terbentuk

endapan putih (Leemensand, 1991). Reaksi antara tanin dengan gelatin

ditunjukkan Gambar 6.3.

OH
OH
HO O

OH n

Gambar 6.3 Reaksi antara Tanin dan Gelatin


58

Terbentuknya endapan setelah ditambahkan air brom yang menyatakan

bahwa pada ekstrak aseton kulit batang bungur positif mengandung tanin.

6.3.2 Uji efek hipoglikemik ekstrak aseton

Proses pengerjaan uji efek hipoglikemik ekstrak aseton kulit batang

bungur ini sama dengan proses pengerjaan uji efek hipoglikemik ekstrak etanol

yaitu dengan menggunakan empat kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, uji

dosis I (150 mg/ 20 g bb), uji dosis II (75 mg/20 g bb), dan kontrol positif dengan

masing-masing menggunakan enam kali ulangan. Setiap mencit pada masing-

masing kelompok mula-mula dibuat menjadi diabetes dengan menyuntikkan

aloksan secara intra peritoneal pada abdomen perutnya. Setelah semua mencit

menjadi diabet yaitu ditandai dengan kadar gula darah di atas 160 mg/dL, mencit

lalu dipuasakan selama 18 jam kemudian diberikan masing-masing perlakuan

yang berbeda-beda sesuai kelompoknya. Tiga puluh menit kemudian, mencit

diberikan pembebanan glukosa monohidrat. Mencit diukur kadar gula darahnya

pada jam ke-1, 2, dan 3 setelah pembebanan glukosa monohidrat.

Profil hasil uji efek hipoglikemik ekstrak aseton kulit batang bungur

terhadap darah mencit yang diinduksi dengan aloksan dapat dilihat pada Gambar

6.4.
59

Gambar 6.4 Grafik Rata-Rata Penurunan Log Kadar Gula Darah pada Ekstrak
aseton Kulit Batang Bungur

Keterangan: Kontrol negatif = diberi 0,5 mL aquades


Uji dosis I (150 mg/20 g bb) = diberi 0,5 mL ekstrak aseton kulit
batang bungur
Uji dosis II (75 mg/20 g bb) = diberi 0,5 mL ekstrak aseton kulit
batang bungur
Kontrol positif = diberi 0,5 mL glibenklamid (dosis 3 mg/20 g bb)

Berdasarkan Gambar 6.4, terlihat bahwa pada kontrol negatif

menunjukkan kadar gula darah yang paling tinggi setelah 3 jam. Pada dosis I

menunjukkan kadar penurunan gula darah yang sangat tajam dan lebih baik

dibandingkan dengan dosis II dan kontrol positif, sedangkan pada dosis II mampu

menurunkan kadar gula darah lebih baik dibandingkan pada kontrol positif. Untuk

memastikan pengamatan, data yang diperoleh selanjutnya dianalisis statistik

menggunakan SPSS 15.0 for windows. Uji statistik yang dilakukan adalah uji

normalitas, uji homogenitas, ANOVA dan uji Tamhane.


60

6.3.2.1 Uji normalitas data

Data perubahan kadar gula darah mencit pada kontrol negatif, uji dosis

I, uji dosis II, dan kontrol positif diuji normalitasnya dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov test. Hasilnya menunjukkan data terdistribusi normal

dengan nilai p=0,215 (p>0,05) yang dapat dilihat pada Lampiran 12.

6.3.2.2 Uji homogenitas data

Data perubahan kadar gula darah mencit pada kontrol negatif, uji dosis

I, uji dosis II, dan kontrol positif diuji homogenitasnya. Hasilnya menunjukkan

data tidak homogen dengan nilai p = 0,000 (p<0,05) yang dapat dilihat pada

Lampiran 12.

6.3.2.3 Uji ANOVA

Berdasarkan uji analisis dengan ANOVA menghasilkan nilai F =

16,594 dan nilai p = 0,000 (p<0,05). Hasil ini menyatakan bahwa perubahan

kadar gula darah keempat kelompok memiliki perbedaan yang sangat nyata

setelah diberikan masing-masing perlakuan yang dapat dilihat pada Lampiran 12.

Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakukan uji lanjut dengan Tamhane test.

6.3.2.4 Uji Tamhane

Uji Tamhane dilakukan untuk melihat perbedaan yang terjadi antar

kelompok setelah diberi perlakuan. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2.
61

Tabel 6.2
Analisis Tamhane Setelah Perlakuan Antar Kelompok
Kelompok Beda P interpretasi
rerata
Kontrol negatif dan dosis I 0,249 0,000 Berbeda nyata
Kontrol negatif dan uji dosis II 0,185 0,000 Berbeda nyata
Kontrol positif dan uji dosis I 0,089 0,285 Tidak berbeda
nyata
Kontrol positif dan uji dosis II 0,026 0,965 Tidak berbeda
nyata
Kontrol negatif dan kontrol positif 0,159 0,000 Berbeda nyata
Uji dosis I dan uji dosis II 0,063 0,744 Tidak berbeda
nyata

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa kontrol negatif memiliki

perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap uji dosis I, uji dosis II, dan kontrol

positif. Hasil ini menyatakan bahwa kontrol negatif memiliki nilai perubahan

kadar gula darah dan efek yang berbeda dari ketiga kelompok lainnya. Kontrol

positif memiliki efek yang tidak berbeda nyata terhadap uji dosis I dan uji dosis II

serta uji dosis I dan uji dosis II yang tidak memiliki perbedaan nyata. Maka dapat

dinyatakan bahwa ekstrak aseton kulit batang bungur memiliki efek hipoglikemik

terhadap darah mencit yang diinduksi aloksan.

Nilai rerata dari kadar gula darah pada uji dosis I (2,299) lebih mendekati

nilai kadar gula darah dosis II (2,288) sehingga dosis I dapat dinyatakan yang

lebih efektif. Hal ini didukung dengan persentase rata-rata penurunan kadar gula

darah uji dosis I pada 3 jam (24,39%) setelah perlakuan, yang lebih tinggi nilainya

dibandingkan uji dosis II bb pada 3 jam (20,05%) dan kontrol positif pada 3 jam

(17,56%) setelah perlakuan. Maka, dapat dinyatakan bahwa ekstrak aseton

memberikan efek hipoglikemik yang lebih efektif baik pada dosis I maupun pada

dosis II dibandingkan kontrol positif obat glibenklamid.


62

Ekstrak kulit batang bungur yang positif tanin mampu memberikan

efek hipoglikemik terhadap darah mencit yang diinduksi aloksan, hal ini juga

diperkuat dengan hasil uji hipoglikemik ekstrak daun bungur yang mengandung

senyawa flavonoid memiliki efek hipoglikemik terhadap darah mencit yang

diinduksi aloksan sebanding dengan kontrol positif yaitu glibenklamid

(Indradewi, 2011), berdasarkan penelitian Astiti (1990) penggunaan air rebusan

daun Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) dengan kepekatan 10% dan 20%

yang diberikan secara oral pada kelinci mampu menurunkan kadar gula darah

sebesar 85,97% dan 96,27% dibandingkan dengan tolbutamid 250 mg/kg b.b.

Hayashi (2001) telah meneliti tentang elagitanin pada fraksi aseton daun bungur

yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.

Efek diabetogenik yang disebabkan aloksan ini dapat dicegah oleh

senyawa penangkap radikal hidroksil. Amygdalin adalah salah satu senyawa yang

dapat bertindak sebagai penangkap radikal hidroksil. Struktur kimia senyawa ini

mempunyai sebuah cincin bezena dan gugus gula yang menyebabkan sangat

reaktif terhadap radikal hidroksil dan dikatakan sebagai penangkap radikal

hidroksil (Dorfman dan Adam, 1973). Dalam penelitian ini, ekstrak kulit batang

bungur yang positif tanin tersebut bertindak sebagai penangkap radikal hidroksil

seperti halnya amygdalin, sehingga dapat mencegah aksi diabetogenik dari

aloksan, maka dapat dikatakan bahwa senyawa tanin pada kulit batang bungur

mempunyai aktivitas hipoglikemik dengan meningkatkan glikogenesis, dan juga

berfungsi sebagai astringent atau pengkhelat yang dapat mengkerutkan membran

epitel usus halus sehingga mengurangi penyerapan sari makanan yang


63

menghambat asupan glukosa dan laju peningkatan glukosa darah tidak terlalu

tinggi (Dalimartha, 2005)

6.4 Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Tanin

Sebelum dilakukan proses pemisahan menggunakan teknik

kromatografi kolom, fase gerak yang akan digunakan dipilih berdasarkan

pendekatan pencarian eluen pada kromatografi lapis tipis (KLT). Pemilihan jenis

eluen yang terbaik dilakukan dengan mencoba berbagai campuran pelarut yang

berbeda polaritasnya untuk dapat memisahkan komponen-komponen yang

terdapat pada ekstrak aseton dengan jarak resolusi yang baik. Noda hasil

pemisahan dilihat dibawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365

nm untuk dilihat pola pemisahannya.

Hasil pencarian eluen terbaik dengan kromatografi lapis tipis

menunjukkan bahwa campuran eluen etanol:petroleumbenzene:kloroform (1:3:1)

memberikan pola noda yang paling baik. Sehingga campuran pelarut tersebut

dipilih sebagai fase gerak dalam proses pemisahan dengan kromatografi kolom.

Seberat 3,00 g ekstrak aseton positif tanin dan aktif dipisahkan dengan

kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel 60 sebanyak 180 g dan

fase gerak campuran etanol:petroleumbenzene:kloroform (1:3:1). Kecepatan alir

fase gerak yang digunakan adalah kira-kira 1mL/1 menit. Eluat ditampung setiap

3 mL sampai menghasilkan 407 botol eluat. Seluruh botol eluat tersebut diamati

pola pemisahannya menggunakan teknik kromatografi lapis tipis dengan

menggunakan campuran eluen yang sama. Berdasarkan pola noda hasil analisis

KLT, ke-407 eluat tersebut dapat digabungkan dan dikelompokkan menjadi empat
64

kelompok fraksi yaitu fraksi 1 (F1), F2, F3, F4 selanjutnya keempat fraksi

tersebut diuji golongan senyawa taninnya dan dilanjutkan dengan uji

kemurniannya dengan metode KLT menggunakan berbagai campuran eluen yang

berbeda-beda polaritasnya. Dari hasil uji fitokimia, fraksi 2 (F2) yang positif

mengandung tanin adalah F2 dan selanjutnya diuji kemurniannya.

6.4.1 Uji Kemurnian

Hasil uji kemurnian dengan lima (5) jenis eluen, fraksi 2 (F2) tetap

memberikan noda tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi 2 relatif murni

secara KLT dan selanjutnya fraksi 2 (F2) yaitu isolat positif tanin diidentikasi

dengan spektrofotometer UV-Vis dan IR.

6.5 Identifikasi Senyawa Tanin Fraksi 2

Isolat (F2) diukur menggunakan spektrofotometer ultraviolet-tampak

dan inframerah.

6.5.1 Spektrofotometer ultraviolet-tampak

Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk membantu

mengidentifikasi senyawa tanin yang didapat dengan memberikan informasi

adanya kromofor dari senyawa organik dan membedakan senyawa aromatik atau

senyawa ikatan rangkap yang terkonjugasi dan senyawa alifatik rantai jenuh.

Berdasarkan hasil identifikasi senyawa tanin dengan spektrofotometer UV-Vis

isolat aktif tanin (F2) memberikan serapan pada panjang gelombang () 249 nm,

310 nm dan 430 nm. Transisi yang terjadi pada 249 nm dan 310 nm yaitu

transisi n* karena adanya auksokrom OH yang diperkuat munculnya gugus

OH pada inframerah pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1, sedangkan tansisi


65

yang terjadi pada 430 nm adalah transisi * akibat adanya ikatan rangkap

terkonjugasi C=C yang diperkuat munculnya gugus C=C pada inframerah pada

bilangan gelombang 1458,18 cm-1. Tanin mengandung sistem aromatik yang

terkonjugasi oleh karena itu menunjukkan pita serapan yang kuat pada daerah

ultraviolet dan tampak (Kopkar, 1990; Harborne, 1987).

6.5.2 Spektrofotometer inframerah

Identifikasi isolat positif tanin (F2) menggunakan spektrofotometri

inframerah dilakukan dengan cara sejumlah isolat yang berupa padatan dibuat

pellet KBr kemudian diamati spektrumnya pada alat IR Prestige-21 Shimadzu.

Berdasarkan spektrum inframerah yang dihasilkan maka data bilangan

gelombang, bentuk pita, intensitas, dan penempatan gugus-gugus terkait pada

isolat (F2) dipaparkan pada Tabel 6.3.

Tabel 6.3
Data Bilangan Gelombang dan Kemungkinan Gugus Fungsinya
Bilangan Gelombang (cm-1) Bentuk pita Intensitas Penempatan
gugus
Isolat pustaka
3425,58 3750-3000 Lebar sedang O-H bebas
3095,00 3150-3010 Tajam sedang CH aromatik
2854,65 3000-2700 Tajam sedang CH alifatik
1705,07 1850-1700 Tajam kuat C=O
1234,44 1260-1000 Lebar lemah O-H
1458,18 1500-1400 tajam kuat C=C
aromatik
1373,32 1475-1300 Tajam kuat CH alifatik
1049,28 1300-1000 Tajam sedang C-O alkohol
810,10 900-700 Tajam lemah CH aromatik
Keterangan : = stretching (uluran)
= bending (tekukan)
66

Identifikasi dengan spektrofotometer inframerah terhadap fraksi 2

(isolat) menunjukkan serapan melebar pada daerah bilangan gelombang 3425,58

cm-1 yang diduga adalah serapan uluran dari gugus OH bebas dan didukung

dengan adanya serapan sedang pada daerah bilangan gelombang 1234,44 cm -1

yang menunjukkan adanya gugus fungsi tekukan OH dan pada bilangan

gelombang 1049,28 cm-1 menunjukkan adanya tekukan C-O alkohol. Serapan pita

tajam dengan intensitas sedang pada daerah bilangan gelombang 3095,00 cm-1

yang diduga menunjukkan adanya gugus fungsi uluran CH aromatik yang

didukung oleh adanya serapan pada bilangan gelombang 810,10 cm-1 yang

menunjukkan adanya gugus fungsi tekukan CH aromatik.

Adanya pita tajam dengan intensitas sedang pada bilangan gelombang

2854,65 cm-1 diduga menunjukkan adanya gugus uluran C-H alifatik yang

didukung oleh adanya serapan pada bilangan gelombang 1373,32 cm-1 yang

menunjukkan adanya gugus fungsi tekukan C-H alifatik.

Serapan pita yang tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan

gelombang 1705,07 cm-1 yang diduga menunjukkan adanya gugus uluran C=O.

Adanya serapan pita yang tajam dengan intensitas kuat pada bilangan gelombang

1458,18 cm-1 yang diduga menunjukkan adanya gugus uluran C=C aromatik yang

didukung dengan adanya serapan pada bilangan gelombang 617,22 cm-1 yang

menunjukkan adanya gugus tekukan C=C.

Berdasarkan analisis data spektrum inframerah, isolat tanin (fraksi 2)

diduga mengandung gugus-gugus fungsi OH, CH aromatik, CH alifatik, C=O,

C=C aromatik, dan C-O alkohol.

Anda mungkin juga menyukai