Seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi yang
sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini
diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra,
pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena
keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.
Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili
periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa
sosial, pembabakan ini juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu,
sesuai dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus
dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat
dilepaskan dari konteks sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan
yang erat antara sastra dan masyarakatnya.
Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra kita hilang atau
tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama yang terbit di
berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan
penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya
awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam
daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses
kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat
sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun karena
telah hancur karena umurnya yang sudah tua. (...)
Namun, kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang
tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya
dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005),
misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa
Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang
meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi
di Universitas Indonesia tentang roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian
yang menarik juga muncul di sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori
oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan
penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.
Jika kita baca sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, yang sebagian besar dilakukan
oleh para peneliti dari luar negeri, ternyata nama dan karya di luar kanonisasi dan kategori
yang dibentuk dalam kajian sejarah sastra Indonesia cukup menarik untuk dibahas.
Sejumlah hal menarik muncul. Tentu saja dengan sudut pandang kajian yang menawan
pula. Paling tidak, kita bisa membaca kajian dengan obyek yang masuk dalam kanonisasi
yang termaktub dalam tesis Watson (1972) tentang sosiologi karya-karya terbitan Balai
Pustaka yang cukup luas. Atau bagaimana pengaruh pengarang Minangkabau dalam karya-
karya Balai Pustaka yang dibahas oleh Freidus (1977). Perspektif yang digunakan dalam
kajian-kajian mereka cukup jernih, dalam artian bagaimana mereka memperlakukan obyek
kajiannya tanpa tendensi pengaruh kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk.
Inilah yang menjadi tantangan lain dalam penulisan dan kajian sejarah sastra kita. Tanpa
harus mempertahankan dan melanjutkan tradisi kanonisasi, yang hanya akan berakibat
pada pembenaran dan penguatan kesimpulan yang ada sebelumnya. Penulisan sejarah
sastra kita dapat disemarakkan oleh berbagai revisi atas kesimpulan terdahulu. Dan hal ini
tampaknya memerlukan pengkaji baru, jika tidak ada perubahan sikap keterbukaan para
peneliti yang ada, yang berbicara atas penemuan mereka, bukan pada upaya
mempertahankan pernyataan-pernyataan yang telah mereka buat.
Modal usaha seperti ini sebenarnya sudah tersedia, dengan memanfaatkan berbagai
institusi yang ada, seperti fakultas sastra, balai bahasa, dan perpustakaan yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia. Apalagi sudah banyak kajian awal yang dilakukan oleh para
peneliti sastra Indonesia. Beberapa terbitan mengenai sastra di berbagai daerah,
sepengetahuan saya, hanya berupa kompilasi sastra, baik kajian maupun karya sastra, yang
belum mencerminkan kondisi sesungguhnya dari dinamika sastra Indonesia.
Kecenderungan penulisan
Penulisan sejarah sastra Indonesia telah banyak dilakukan peneliti sastra. Ajip Rosidi
(1983. cet.3), Jacob Sumardjo (2004, 1999), Yudiono KS (2007), Korrie Layun Rampan
(1983, 1986), Agus R Sarjono (2001), HB Jassin (tentu saja dalam berbagai buku yang
ditulis atau dieditorinya), dan sebagainya. Namun, dengan menekankan pada periodisasi
berdasarkan konteks sosial, seperti yang sudah dikenal secara luas, masih meninggalkan
sejumlah fakta yang cukup penting.
Sastra dianggap penting ketika ia berkorelasi dengan situasi di luar dirinya, atau
keterlibatan pengarang dalam aktivitas sosial. Aspek sosiologi dari sastra mau tak mau
dijadikan dasar pijakan dalam penulisan sejarah sastra. Beban sosial ini dengan segera
menjadi dasar kriteria dalam menentukan kualitas karya, dan menempatkannya dalam
deretan penting karya sastra yang tercatat dalam sejarahnya. Capaian bentuk estetika karya,
karenanya, menjadi pertimbangan berikutnya.
Pertimbangan sosiologi ini memang menjadi salah satu indikasi yang menonjol, karena
peneliti sastra dapat merujuknya dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
Namun kemudahan ini tentu saja bukan menjadi alasan utama ketika kita harus berbicara
tentang sastra, termasuk dalam penulisan sejarah sastra, dengan perangkat estetika yang
tidak melulu berbicara tentang aspek sosialnya.
RTIKEL-ARTIKEL TENTANG SASTRA INDONESIA
A. Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya
ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia
mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan
semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi
sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya
merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu
bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan
lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah
kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya
merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai
pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
C. pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman
terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat
muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk
pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan
sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan
sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih
rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-
1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah
karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol
warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya
tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan
periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan
menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial,
politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi
nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar
Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta,
1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur,
1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-
perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh
empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-
1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998,
dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat
diperhitungkan.
D. Sejarah sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum
memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di
sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan
kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping
juga karena keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.Penulisan sejarah sastra
memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam
pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini
juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan
semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru,
Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat
ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra dan
masyarakatnya.Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra
kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama
yang terbit di berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan
atau terbitan penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan,
beberapa karya awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak
masuk dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan
dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi,
baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan,
maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.Namun, kajian sejarah sastra
Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi
ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June
Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup komprehensif
membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya.
Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga
Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang
roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di
sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony
Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya
sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.
2. Sejarah Sastra
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu
sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya,
sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian
dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada
rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan
bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran,
kritik, dan lain-lain.
Dalam Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg, 1982: 200-212) dijelaskan bahwa
dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis,
pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan
perkembangan di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi
penulisan perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para
ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian
ilmuwan pada zaman Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa
lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada
prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak
kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara
tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan
zaman yang melingkunginya.
Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite Taine
(1828-181893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh
ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan
raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi
sosio-pulitik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka
dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang
pengarang beserta karyanya.
Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga
faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das
Erlernte(hasil proses belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli
fisiologi, psikologi, linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang
penulis sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani
maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.
Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
a. Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
b. Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
c. Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
d. Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)
2. Marah rusli
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia
dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah
seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang.
Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai
tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli
dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli,
tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter
hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar
meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah
Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952
dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap
kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-
cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung
menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal
17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Dalam sejarah sastra
Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar
oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman
di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Marah Rusli
berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang
menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam
hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan
masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk
menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada
emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah
ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus
mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan
yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini.
Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan
dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan
tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang
sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Rusia.Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a) Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun
1969.
b) La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c) Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
d) Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
e) Tesna Zahera (naskah Roman)
3. Merari Siregar
Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di
Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan
Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan.
Kemudian dia pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia
bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Karya-karyanya yang terkenal adalah
a) Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
b) Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
c) Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
d) Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
e) Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.
6. Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23
Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang
anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17
Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang
beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan
itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin
sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang
didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan
budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands
School(HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan
Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS)
Sekolah Menengah Umum di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan
di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun.
Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari
kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin,
bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai
keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia
biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-
pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan
Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi,
sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya
meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang
peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar
kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin
melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar
Meester in de Rechten Sarjana Hukum pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam
perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai
Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen
Bond Organisasi Pemuda Sumatera (19261928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober
1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah
Partindo (19321938).
Pada tahun 19381942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap
sebagai anggota Volksraad Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah kemerdekaan Indonesia
terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain,
adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan
(19531955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas
IKBN Antara (19611962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik
maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang
berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima
mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia
tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya.
Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin
adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya
diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami
apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu
berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan
Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern
(1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa
sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair
yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.Puisi Yamin itu dapat
dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair, demikian Umar Junus. Karena
itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada
suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya
merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi
Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa
dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat
sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal
perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan
Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari
tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan
syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh
Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah
dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan
pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang
terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua
hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan
sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru
saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan
estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
7. Suman Hasibuan
Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 wafat di Pekanbaru,
Riau, 8 Mei 1999 pada umur 95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari
Suman Hasibuan antara lain adalah Mencari Pencuri Anak Perawan, Kawan Bergelut
(kumpulan cerpen), Tebusan Darah, Kasih Tak Terlerai, dan Percobaan Setia. Ia
digolongkan sebagai sastrawan dari Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang
terkenal antara lain :
a) Pertjobaan Setia (1940)
b) Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1932)
c) Kasih Ta Terlarai (1961)
d) Kawan Bergelut (kumpulan cerpen)
e) Tebusan Darah
8. Adinegoro
Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 wafat di Jakarta, 8
Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia
berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai
jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama
aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia
adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu.
Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah,
sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri
bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928),
yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya,
adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang
berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam
kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga
dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang
dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke
Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan
pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar
tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul Kritik atas
Kritik terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja
(1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat
dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas,
yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan
bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun
sebaliknya. Karyanya antara lain:
a. Buku
a) Revolusi dan Kebudayaan (1954)
b) Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),
c) Ilmu Karang-mengarang
d) Falsafah Ratu Dunia
b. Novel
a) Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931
b) Asmara Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.
c) Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.
c. Cerita pendek
a) Bayati es Kopyor.
b) Etsuko. Varia.
c) Lukisan Rumah Kami.
d) Nyanyian Bulan April.
3. Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi SR di
Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di Padang,
dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada
Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi
ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya
dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta,
ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala pengarang Balai Pustaka
sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang menjadi pegawai tinggi Pusat
Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan Masyarakat di
Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a. Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926)
b. Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c. Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d. Kertajaya (sandiwara, 1932)
e. Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933)
f. Manusia Baru (Sandiwara, 1940)
5. J.E. Tatengkeng
Lahir di Kalongan, Sangihe, 19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari
SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen
di Solo. Ia pernah menjadi kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya
bercorak religius. Dia juga sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya
antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934).
6. Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Dia putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah,
seorang teolog Islam serta pelopor pergerakan berhaluan Islam modern dan tokoh
yang ingin membersihkan agama Islam dari khurafat dan bidah. Pendidikan Hamka
hanya sampai kelas dua SD, kemudian mengaji di langgar dan madsrasah. Ia pernah
mendapat didikan dan bimbingan dari H.O.S Tjokroaminoto. Prosa Hamka
bernafaskan religius menurut konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif. Karyanya
antara lain:
a. Di Bawah Lindungan Kabah (1938)
b. Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan cerpen, 1941)
c. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman, 1939)
d. Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi, 1951)
e. Ayahku (biografi)
f. Karena Fitnah (roman, 1938)
g. Merantau ke Deli (kisah;1939)
h. Tuan Direktur (1939)
i. Menunggu Beduk Berbunyi (roman, 1950)
j. Keadilan Illahi
k. Lembaga Budi
l. Lembaga Hidup
m. Revolusi Agama
7. M.R. Dajoh
Marius Ramis Dajoh lahir di Airmadidi, Minahasa, 2 November 1909. Ia
berpendidikan SR, HIS Sirmadidi, HKS Bandung, dan Normaalcursus di Malang.
Pada masa Jepang menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan.
Kemudian pindah ke Radio Makasar. Dalam karya Prosanya sering menggambarkan
pahlawan-pahlawan yang berani, sedang dalam puisinya sering meratapi kesengsaraan
masyarakat. Karyanya antara lain:
a. Pahlawan Minahasa (roman; 1935) .
b. Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (roman, 1931).
c. Syair Untuk Aih (sajaka, 1935).
8. Ipih
Ipih atau H.R. adalah nama samaran dari Asmara Hadi. Dia lahir di Talo,
Bengkulu, tanggal 5 September 1914. Pendidikannya di HIS Bengkulu, Mulo
Jakarta, Bandung, serta Mulo Taman Siswa Bandung. Lebih dari setahun ia ikut
dengan Ir. Soekarno di Endeh. Setelah menjadi guru, ia menjadi wartawan dan
pernah memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam karyanya terbayang
semangat gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan. Karya-karyanya antara lain:
a. Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri (catatan, 1941)
b. Sajak-sajak dalam majalah
9. Armijn Pane
Armijn Pane adalah adik dari Sanusi Pane. Lahir di Muarasipongi, Tapanuli
Selatan, 18 Agustus 1908. Ia berpendidikan HIS, ELS, Stofia Jakarta pada tahun
1923, dan pindah ke Nias, Surabaya, dan menamatkan di Solo. Kemudian menjadi guru
bahasa dan sejarah di Kediri dan Jakarta serta pada tahun 1936 bekerja di Balai
Pustaka. Pada masa pendudukan Jepang menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di
Kantor Pusat Kebudayaan Jakarta, serta memimpin majalah Kebudayaan Timur.
Karyanya antara lain:
a. Belenggu (roman jiwa, 1940)
b. Kisah Antara Manusia (kumpulan cerita pendek, 1953)
c. Nyai Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
d. iwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
e. Ratna (sandiwara, 1943)
f. Lukisan Masa (sandiwara, 1957)
g. Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian dan terjemahan surat-surat R.A Kartini, 1938)
11. A. Hasjmy
A. Hasjmy nama sebenarnya adalah Muhammad Ali Hasjmy. Lahir di Seulimeun,
Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan SR dan Madrasah Pendidkan Islam. Pada tahun
1936 menjadi guru di Perguruan Islam Seulimeun. Karya-karyanya antara lain:
a. Kisah Seorang Pengembara (kumpulan sajak, 1936)
b. Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940)
C. Angkatan 45
1. Sejarah Lahirnya Angkatan 45
Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan 45 bisa
dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah
angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra
Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada
khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra
Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya
pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-
lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada mulanya angkatan ini disebut
dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan Sesudah Perang, Angkatan
Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948,
Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera
menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun
namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum
dirumuskan. Baru pada tahun 1950 Surat Kepercayaan Gelanggang dibuat dan
diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah
semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan Selayang
Seniman Merdeka. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan 45 lebih realistik
dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik. Semangat
patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan 45 tercermin dari sebagian
besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut. Beberapa karya
Angkatan 45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di
antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya
terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini
karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu
banyak orang yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan
45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa
Angkatan 45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan
sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Sutan Takdir Alisyahbana pun
berpendapat demikian.
1. Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai
MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan
orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan
padat berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui penulisan puisi. Puisi yang
diubahnya berbentuk bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia diakui sebagai pelopor
Angkatan 45 di bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar termasuk
penyair yang penuh vitalitas (semangat hidup yang menyala-nyala) dan
individualistis (kuat rasa akunya). Puisi gubahannya berirama keras (bersemangat),
tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti Isa dan Doa. Karya-karya Chairil
Anwar antara lain:
a. Deru Campur Debu (kumpulan puisi)
b. Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani)
c. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi)
d. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide)
e. Kena Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck)
2. Asrul Sani
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan.
Pernah memimpin majalah Gema dan harian Suara Bogor. Tulisannya berpegang
pada moral dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah seorang sarjana kedokteran
hewan, yang kemudian menjadi direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)
dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI),
juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS wakil seniman. Asrul Sani juga
dikenal sebagai penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara
lain:
a. Sahabat Saya Cordiaz (cerpen)
b. Bola Lampu (cerpen)
c. Anak Laut (sajak)
d. On Test (sajak)
e. Surat dari Ibu (sajak)
3. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober 1924. Ia cukup lama bermukim di
Prancis. Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra Indonesia. Karya-karya Sitor
Situmorang antara lain:
4. Idrus
Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap sebagai salah seorang tokoh
pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, walaupun ia selalu menolak penamaan itu.
Karyanya bersifat realis-naturalis (berdasarkan kenyataan dalam alam kehidupan) dengan
sindiran tajam. Karya-karyanya antara lain:
a. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (novel)
b. A K I (novel)
c. Hikayat Puteri Penelope (novel, terjemahan)
d. Anak Buta (cerpen)
e. Perempuan dan Kebangsaan
f. Jibaku Aceh (drama)
g. Dokter Bisma (drama)
h. Keluarga Surono ( drama )
i. Kereta Api Baja (terjemahan dari karya Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia)
5. Hamzah Fansuri
Dalam karya-karyanya tampak pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah dan R.
Tarogo. Karya-karyanya antara lain:
a. Teropong (cerpen)
b. Bingkai Retak (cerpen)
c. Sine Nomine (cerpen)
d. Buku dan Penulis (kritik)
e. Laut (sajak)
f. Pancaran Hidup (sajak)
6. Rivai Apin
Penyair yang seangkatan Chairil Anwar, yang bersama-sama mendirikan
Gelanggang Seniman Merdeka ialah Asrul Sani dan Rival Apin. Ketiga penyair
itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor
Angkatan 45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga
Menguak Takdir. Rivai Apin menulis tidak selancar Asrul Sani. Selain menulis
sajak, ia pun menulis cerpen, esai, kritik, skenario film, menerjemahkan, dan lain-
lain. Tahun 1954 ia sempat mengejutkan kawan-kawannya, ketika keluar dari
redaksi Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah
kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan PKI. Setelah terjadi G 30
S/PKI, Rivai termasuk tokoh Lekra yang karya-karyanya dilarang.
7. Achdiat Karta Mihardja
Ia menguasai ilmu politik, tasawuf, filsafat, dan kemasyarakatan. Pernah
menjadi staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain:
a. Atheis (roman)
b. Bentrokan Dalam Asmara (drama).
c. Polemik Kebudayaan (esai)
d. Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen)
e. Kesan dan Kenangan (kumpulan cerpen)
9. Mukhtar Lubis
Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di bidang
penerangan. Idenya bersifat kritik-demokrasi-konstruktif (membangun). Di bidang
kewartawanan ia pernah mendapat hadiah Ramon Magsay-say dari Filipina.
Karyanya banyak menggambarkan perjuangan pada masa revolusi, terutama aksi
polisional Belanda. Karya-karyanya antara lain:
a. Tak Ada Esok (roman)
b. Jalan Tak Ada Ujung (roman jiwa)
c. Tanah Gersang (novel)
d. Si Jamal (cerpen)
e. Perempuan (cerpen)
f. Kisah dari Eropah (terjemahan)
g. Manusia Indonesia
h. Maut dan Cinta (novel)
i. Penyamun Dalam Rimba (novel)
12. El Hakim
El Hakim merupakan nama samaran dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya bernuansa
ketuhanan dan kesusilaan. Di bidang kebudayaan ia berpendapat bahwa Timur yang
idealis harus berkombinasi dengan Barat, tanpa menghilangkan ketimurannya. Karya-
karyanya antara lain:
a. Taufan di Atas Asia (kumpulan)
b. Dokter Rimbu (roman)
c. Kita Berjuang
d. Soal Agama Dalam Negara Modern
15. Waluyati
Dalam Angkatan 45 ada seorang penyair wanita bernama Waluyati yang lahir di
Sukabumi, 1924. Puisi-puisinya dimuat dalam Pujani (1951), Gema tanah Air (H.B.
Jassin, 1975), dan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979). Karya-
karyanya antara lain:
a. Berpisah
b. Siapa?
D. Angkatan 50
1. Sejarah Lahirnya Periode 50
Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan 50 hanyalah
pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (45). Tinjauan yang mendalam dan
menyeluruh membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
a. Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada
tahun 1945.
b. Masa 50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional
lebih lanjut). Periode 50 tidak hanya pengekor (epigon) dari angkatan 45,
melainkan merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan. Adapun ciri-
cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya
hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
2. Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam
menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
3. Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi
lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan
perasaan dan ukuran nasional.
1. Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi, Majalengka, 1938. Sejak berumur 13 tahun sudah
menulis di majalah-majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Karya-karyanya
antara lain:
a. Cari Mauatan (kumpulan sajak, 1956)
b. Ditengah keluarga (1956)
c. Pertemuan Kembali (1960)
d. Sebuah Rumah Buat Hari Tua
e. Tahun-Tahun Kematian (1955)
f. Ketemu di Jalan$ (kumpulan sajak bersama Sobrone Aidit dan Adnan, 1956)
g. Perjalanan Pengantin (prosa,1958)
h. Pesta (kumpulan sajak, 1956)
3. Bokor Hutasuhut
Karyanya seperti Datang Malam (1963)
4. Enday Rasyidin
Karyanya Surat Cinta
5. NH. Dini
NH. Dini, nama lengkapnya Nurhayati Suhardini, lahir 29 Pebruari 1936.
Setelah menamatkan SMA 1956, lalu masuk kursus stewardess, kemudian bekerja di
GIA Jakarta. Karya-karyanya banyak mengisahkan kebiasaan barat yang bertentangan
dengan timur. Karya-karyanya antara lain:
a. Dua Dunia (1950)
b. Hati yang Damai (1960)
6. Nugroho Notosusanto
Lahir di Rembang, 15 Juni 1931. Dia bergerak dalam kemasyarakatan dan
pernah menjadi Tentara Pelajar, lulusan Fakultas sastra UI Jakarta. Karya-karyanya antara
lain:
a. Hujan Kepagian (kumpulan cerita pendek, 1958)
b. Rasa Sayange (1961)
c. Tiga Kota (1959)
d. Hujan Tanahku Hijau Bajuku (kumpulan cerita pendek, 1963)
7. Ramadhan K.H
Lahirkan di Bandung, 16 Maret 1927. Namanya mulai muncul sekitar tahun
1952. Karyanya berupa sajak, cerita pendek, dan terjemahan-terjemahan karya Lorca,
pengarang Spanyol. Karya-karyanya antara lain:
a. Api dan Sirangka
b. Priangan si Jelita (kumpulan sajak, 1958, mendapat hadiah BMKM)
c. Yerna (terjemahan dari Lorca, 1959)
8. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli, 21 Oktober 1924. Dia adalah angkatan 45, yang tetap produktif
menghasikan karya di tahun 50-an. Karya-karyanya antara lain:
a. Pertempuran dan Salju di Paris (1956, mendapat hadiah dari BMKM)
b. Jalan Mutiara (kumpulan tiga sandiwara, 1954)
c. Surat Kertas Hijau (kumpulan sajak, 1953)
d. Wajah Tak Bernama (kumpulan sajak, 1955)
e. Jaman Baru (kumpulan sajak)
f. Dalam sajak
9. Subagio Sastrowardojo
Karyanya antara lain:
a. Simphoni (sajak, 1957)
b. Kejantanan di Sumbing (1965)
c. Perawan Tua (cerpen)
d. Daerah perbatasan
e. Salju.
12. Trisnojuwono
Lahir di Yoyakarta, 5 Desember 1929. Dia menamatkan SMA tahun 1947. Sejak
1946 masuk Tentara Rajyat Mataram, 1947-1948 anggota Corps Mahasiswa di
Magelang dan Jombang. Tahun 1950 masuk tantara Siliwangi, Combat Intelligence,
Kesatuan Komando, Pasukan Payung AURI sampai dapat Brevet. Karya-karyanya antara
lain:
a. Laki-laki dan Mesiu (kumpulan cerita pendek, 1951/1957)
b. Angin Laut (kumpulan cerita pendek, 1958)
c. Di Medan Perang (1962)
d. Pagar Kawat Berduri.
17. Kirdjomuljo
Lahir di Yogyakarta, 1930. Sejak tahun 1958 termasuk penyair produktif.
Karyanya antara lain Romance Perjalanan (1955).
18. Montinggo Busje
Karya-karyanya antara lain:
a. Malam Jahanam (drama, mendapat hadiah ke-1 Departemen P &K)
b. Hari Ini Tak Ada Cinta
c. Sejuta Matahari
d. Malam Penganten di Bukit Kera (Novel)
6. Taufiq Ismail
Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang
sastrawan Indonesia. Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan 66 oleh Hans Bague
Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis
buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng,
Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya
Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika
Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun
1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah
Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta
Hanyalah bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain,
Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku tersebut,
kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Bagaimana Kalau
.. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama dengan Bimbo Group
dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan lirik Aisyah Adinda Kita,
Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan
lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai,
Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan
Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi
pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar
dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak Menjelang
Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya puisi berjudul Takut 98
dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama
DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan 66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal
berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun
buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).
7. Bur Rasuanto
Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair,
wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan
Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air
(1969) dan novel Tuyet (1978).
8. Subagio Sastrawardoyo
Subagio Sastrawardoyo dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di
Jakarta, 18 Juli 1995. Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka,
dosen bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas
Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah
Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan
Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi dalam
Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab meraih
penghargaan majalah Kisah dan Horison.
9. Titie Said Sadikun
Titie Said Sadikun dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan
wartawati yang pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini
menulis kumpulan cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil
Nyawaku (1977), Lembah Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu,
Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas Ambarawa.
10. Arifin C. Noer
Arifin C. Noer dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28
Mei 1995. Penyair yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam
Langgar, Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia ,
Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul
(1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa
Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon.
Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang
Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama
Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga
penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI;
Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan
badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku
(1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun
1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
11. Hartoyo Andangjaya
Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga
pada 30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan
Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa,
Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa
dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya
terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi
terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz,
diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954),
Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari
Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur
Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume
Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan
Manifes Kebudayaan.
12. Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku
kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga
Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar,
Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-
sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau;
Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar
Penyair Abad 21.
13. Mohammad Diponegoro
Mohammad Diponegoro dilahirkan di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota
yang sama 9 Mei 1982. Pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar
radio Australia ini menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis
juz Amma Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur
Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro
juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat
pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), antologi
cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
14. Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930,
meninggal di Jakarta, 9 April 1984, mengarang roman Orang Buangan (1971), dan
Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan
epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984).
F. Angkatan Kontemporer
8. Apip Mustopa
Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra
budaya RRI Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan
Sunda. Puisi-puisinya juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru
Langit Biru.
9. D. Zawami Imron
Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan
pesantren. Ia pernah mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang (1977),
Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986),
Bantalku Ombak, Selimutku Angin (1996), Semerbak Mayang (1997), dan Madura Aku
Darah-Mu (1999).
2. Periode Angkatan 2000 atau Reformasi
a. Sejarah Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J.
Habibie lalu K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri,
muncul wacana tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan
maraknya karya-karya sastra puisi, cerpen maupun novel, yang bertemakan sosial-
politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama
berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi merefleksikan keadaan sosial
dan politik yang terjadi pada akhir 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Peristiwa reformasi 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra
seperti puisi, cerpen, dan novel. Bahkan, penyair yang semula jauh dari tema sosial-
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi
Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
trackback
Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke
waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra
dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan
kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
1. meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2. meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
3. menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Ada beberapa pendapat tentang periodisasi sastra Indonesia, saya mengambil dua
diantaranya :
1. Menurut Nugroho Notosusanto
b. Kesusastraan Masa Hindu/ Arab : mulai adanya pengaruh hindu sampai dengan
kedatangan agama Islam
Kepulauan Nusantara yang terletak diantara benua Asia dan Australia dan diantara
Samudra Hindia/ Indonesia dengan Samudra Pasifik/ Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-
ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat istiadat dan
bahasa sendiri-sendiri.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu yaitu salah satu bahasa daerah di Nusantara.
Bahasa Melayu digunakan oleh masyarakat Melayu yang berada di pantai timur pulau
Sumatera.
-Kerajaan Melayu yang berpusat didaerah Jambi, pada pertengahan abad ke-7 (689-692)
dikuasai oleh Sriwijaya yang beribu kota di daerah Palembang sekarang ini,-
Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu karena
hasil karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua karya berupa milik bersama. Karena
itu, penggolongan biasanya berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.
Kesusastraan yang tumbuh tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada
masa Purba (sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayan yang dianut
masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita mereka berhubungan
dengan kepercayaan kepada roh-roh halus dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Misalnya :
Cerita asal-usul
Cerita binatang
Cerita Jenaka
Contoh
Gegap gempita
membiasakan aku.
Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang :
1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka
diundang oleh raja untuk meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya
agama Budha di India maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar.
Apalagi agama Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan
masyarakat Melayu.
Ramayana : cerita Ramayana sudah dikenal lama di Nusantara. Pada zaman pemerintahan
Raja Daksa (910-919) cerita rama diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada
tahun 925 seorang penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu
Kakawin Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief
Candi Penataran. Dalam bahasa melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat Sri
Rama yang terdiri atas 2 versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G. Shelabear.
Mahabarata : Bukan hanya sekedar epos tetapi sudah menjadi kitab suci agama Hindu.
Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat Pandawa. Dalam sastra
jawa pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita wayang.
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu
dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya. Contoh karya-karya sastra yang masuk
dalam masa ini adalah ; Hikayat Puspa raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang
Buana, dsb.
Sastra pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam yang
harus dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat Nur Muhammad,
Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dsb.
-Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu menjadi wilayah
jajahan bangsa-bangsa Eropa yang pada mulanya datang ke Nusantara karena mau
memiliki rempah-rempah.-
Pada masa ini perkembangan antara kesusastraan Melayu Klasik dan kesusastraan Melayu
Modern peralihannya dilihat dari sudut isi dan bahasa yang digunakan oleh pengarangnya.
Dua orang tokoh yang dikenal dalam masa peralihan ini adalah Raja Ali Haji dari pulau
Penyengat, Kepulauan Riau, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Malaka.
Contoh karya Abdullah : Hikayat Abdullah, Syair Singapura dimakan Api, ia juga
menerjemahkan Injil ke dalam bahasa melayu.
Jika menggunakan analogi Sastra ada setelah bahasa ada maka kesusastraan Indonesia
baru ada mulai tahun 1928. Karena nama bahasa Indonesia secara politis baru ada setelah
bahasa Melayu di diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang
dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Namun menurut Ayip Rosidi dan A. Teeuw, Kesusastraan Indonesia Modern ditandai
dengan rasa kebangsaan pada karya sastra. Contohnya seperti : Moh. Yamin, Sanusi Pane,
Muh. Hatta yang mengumumkan sajak-sajak mereka pada majalah Yong Sumatera
sebelum tahun 1928.
Bahasa, Bangsa
Selagi kecil usia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi lagu dan dendang
memuji si anak banyaknya sedang
berbuai sayang malam dan siang
buaian tergantung di tanah moyang
.
1922
Penamaan periode ini di dasarkan pada munculnya majalah Pujangga Baru yang dikelola
oleh S.T. Alisyahbana, Armin Pane dan Amir Hamzah.
Chairil Anwar pelopor angkatan 45, nama lain pada masa ini seperti Idrus, Mochtar Lubis
dan Pramoedya A T.
Dimasa ini ada Nugroho Notosusanto pengarang Hujan Kepagian, AA Navis pengarang
Robohnya Surau Kami, Trisnoyuwono pengarang laki-laki dan mesiu, penyair Toto
Sudarto Bachtiar, WS Rendra (juga ada yang menggolongkan ke angkatan 70)
3). Angkatan 66
Pada tanggal 6-9 Mei 1966 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bersama dengan
KAMI dan KAPPI menyelenggarakan simposium berjudul : Kebangkitan semangat 1966 :
Menjelajah Tracee Baru Lekra dan Neolekranisme. Dominasi kebudayaan oleh politik,
tegas-tegas ditolak. Inilah mulai dinamakannya angkatan 66. Dari kelompok ini, majalah
bulanan baru, Horison, segera terbit sebagai suara sastranya.
4), Angkatan 70
Tahun 1970-1990 ada beberapa sastrawan yang terkenal misalnya : Sutardji Calzoum
Bachri, Abdul Hadi W.M., Putu Wijaya