Anda di halaman 1dari 50

Sejarah Sastra Indonesia

Seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi yang
sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini
diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra,
pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena
keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.
Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili
periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa
sosial, pembabakan ini juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu,
sesuai dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus
dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat
dilepaskan dari konteks sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan
yang erat antara sastra dan masyarakatnya.
Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra kita hilang atau
tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama yang terbit di
berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan
penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya
awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam
daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses
kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat
sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun karena
telah hancur karena umurnya yang sudah tua. (...)
Namun, kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang
tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya
dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005),
misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa
Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang
meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi
di Universitas Indonesia tentang roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian
yang menarik juga muncul di sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori
oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan
penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.
Jika kita baca sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, yang sebagian besar dilakukan
oleh para peneliti dari luar negeri, ternyata nama dan karya di luar kanonisasi dan kategori
yang dibentuk dalam kajian sejarah sastra Indonesia cukup menarik untuk dibahas.
Sejumlah hal menarik muncul. Tentu saja dengan sudut pandang kajian yang menawan
pula. Paling tidak, kita bisa membaca kajian dengan obyek yang masuk dalam kanonisasi
yang termaktub dalam tesis Watson (1972) tentang sosiologi karya-karya terbitan Balai
Pustaka yang cukup luas. Atau bagaimana pengaruh pengarang Minangkabau dalam karya-
karya Balai Pustaka yang dibahas oleh Freidus (1977). Perspektif yang digunakan dalam
kajian-kajian mereka cukup jernih, dalam artian bagaimana mereka memperlakukan obyek
kajiannya tanpa tendensi pengaruh kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk.
Inilah yang menjadi tantangan lain dalam penulisan dan kajian sejarah sastra kita. Tanpa
harus mempertahankan dan melanjutkan tradisi kanonisasi, yang hanya akan berakibat
pada pembenaran dan penguatan kesimpulan yang ada sebelumnya. Penulisan sejarah
sastra kita dapat disemarakkan oleh berbagai revisi atas kesimpulan terdahulu. Dan hal ini
tampaknya memerlukan pengkaji baru, jika tidak ada perubahan sikap keterbukaan para
peneliti yang ada, yang berbicara atas penemuan mereka, bukan pada upaya
mempertahankan pernyataan-pernyataan yang telah mereka buat.
Modal usaha seperti ini sebenarnya sudah tersedia, dengan memanfaatkan berbagai
institusi yang ada, seperti fakultas sastra, balai bahasa, dan perpustakaan yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia. Apalagi sudah banyak kajian awal yang dilakukan oleh para
peneliti sastra Indonesia. Beberapa terbitan mengenai sastra di berbagai daerah,
sepengetahuan saya, hanya berupa kompilasi sastra, baik kajian maupun karya sastra, yang
belum mencerminkan kondisi sesungguhnya dari dinamika sastra Indonesia.

Kontinuitas sastra Indonesia


Sastra Indonesia, dengan penambahan kata modern, sering kali menjadi awal perdebatan
ketika berbicara tentang sejarah sastra Indonesia. Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing
(baca: Barat) dijadikan patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam
nuansa dan konteks seperti ini, kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan
tradisi sastra yang sudah ada, yang menjadi latar estetik para pengarang, menjadi kabur.
Pergaulan pengarang dengan budayanya, dengan tradisi estetik yang diterima secara
budaya, sekadar menjadi warna atau setting dalam proses kreatif yang dijalaninya.
Pada masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan ditandai
pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media publikasi,
bentuk pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat,
sastra lama kemudian dijadikan artifak, yang dikaji melalui filologi atau arkeologi. Para
peneliti sastra, khususnya sejarah sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh
sejarah panjang sastra di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti
sastra menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita
tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama kita.
Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang serius ini
mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan kontemporer terus
lahir, yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga
semakin jauh dan asing. Kegundahan yang menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama
para penelitinya, tampaknya tergambar dalam situasi seperti ini.

Kecenderungan penulisan
Penulisan sejarah sastra Indonesia telah banyak dilakukan peneliti sastra. Ajip Rosidi
(1983. cet.3), Jacob Sumardjo (2004, 1999), Yudiono KS (2007), Korrie Layun Rampan
(1983, 1986), Agus R Sarjono (2001), HB Jassin (tentu saja dalam berbagai buku yang
ditulis atau dieditorinya), dan sebagainya. Namun, dengan menekankan pada periodisasi
berdasarkan konteks sosial, seperti yang sudah dikenal secara luas, masih meninggalkan
sejumlah fakta yang cukup penting.
Sastra dianggap penting ketika ia berkorelasi dengan situasi di luar dirinya, atau
keterlibatan pengarang dalam aktivitas sosial. Aspek sosiologi dari sastra mau tak mau
dijadikan dasar pijakan dalam penulisan sejarah sastra. Beban sosial ini dengan segera
menjadi dasar kriteria dalam menentukan kualitas karya, dan menempatkannya dalam
deretan penting karya sastra yang tercatat dalam sejarahnya. Capaian bentuk estetika karya,
karenanya, menjadi pertimbangan berikutnya.
Pertimbangan sosiologi ini memang menjadi salah satu indikasi yang menonjol, karena
peneliti sastra dapat merujuknya dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
Namun kemudahan ini tentu saja bukan menjadi alasan utama ketika kita harus berbicara
tentang sastra, termasuk dalam penulisan sejarah sastra, dengan perangkat estetika yang
tidak melulu berbicara tentang aspek sosialnya.
RTIKEL-ARTIKEL TENTANG SASTRA INDONESIA
A. Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya
ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia
mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan
semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi
sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya
merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu
bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan
lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah
kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya
merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai
pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

B. Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia


berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan
sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan
kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (19201933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang
muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika
bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan
pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili
golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak
dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang
berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi
novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk
kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin
memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan
pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat
dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep
kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau
Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan
perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana
(kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama
(pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep
kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang
diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu
sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga
penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan
ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka
mengusung kepentingan ideologi kolonial.

C. pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman
terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat
muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk
pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan
sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan
sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih
rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-
1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah
karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol
warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya
tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan
periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan
menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial,
politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi
nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar
Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta,
1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur,
1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-
perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh
empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-
1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998,
dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat
diperhitungkan.

D. Sejarah sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum
memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di
sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan
kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping
juga karena keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.Penulisan sejarah sastra
memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam
pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini
juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan
semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru,
Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat
ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra dan
masyarakatnya.Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra
kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama
yang terbit di berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan
atau terbitan penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan,
beberapa karya awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak
masuk dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan
dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi,
baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan,
maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.Namun, kajian sejarah sastra
Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi
ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June
Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup komprehensif
membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya.
Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga
Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang
roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di
sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony
Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya
sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.

Sejarah Sastra Indonesia


1. Pengertian Sejarah
Menurut Kuntowijoyo (dalam Yudiono, 2010:21), mengatakan bahwa sejarah masih
merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya. Sedangkan moedjanto mengatakan
bahwa di dunia ini masih ada ilmuwan social dan humaniora, bahkan ilmuwan eksakta,
yang mempunyai keyakinan bahwa dunia tidak hanya memerlukan insinyur, 8industriawan
dan banker. Mereka berkeyakinan bahwa tertib dunia masa sekarang dan masa depan
manusia memerlukan berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama
dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan
demi pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia.
Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian
sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunaniistoria yang berarti ilmu. Oleh
filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai
seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam
pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural
history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata latin scientia lebih sering
dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis mengenai gejala alam,
sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama
hal-ihwal manusioa) dalam urutan kronologis.
Kini history berarti masa lampau umat manusia. Dalam bahasa jerman terdapat
geschichte, dari kat geschehen (=terjadi) yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian
pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat
manusia untuk direkonstruksi. Sebab, pengalaman manusia di masa lampau sangat banyak
untuk diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi direkonstruksi. Dengan kata lain, masa
lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Dalam kehidupan
semua orang, pastilah ada peristiwa, orang, kata-kata, pikiran-pikiran, tempat-tempat, dan
bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama sekali tidak menimbulkan kesan atau yang
kini telah dilupakan.

2. Sejarah Sastra
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu
sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya,
sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian
dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada
rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan
bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran,
kritik, dan lain-lain.
Dalam Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg, 1982: 200-212) dijelaskan bahwa
dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis,
pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan
perkembangan di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi
penulisan perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para
ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian
ilmuwan pada zaman Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa
lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada
prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak
kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara
tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan
zaman yang melingkunginya.
Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite Taine
(1828-181893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh
ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan
raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi
sosio-pulitik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka
dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang
pengarang beserta karyanya.
Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga
faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das
Erlernte(hasil proses belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli
fisiologi, psikologi, linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang
penulis sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani
maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.

3. Sejarah Sastara Indonesia


Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan,
termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an
sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977).
Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak
secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah
memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara
luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan yang
baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat
keindonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau
jiwa intelektulnya agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia.
Namun, pendapat yang teoretis itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan
seni. Yang belum terbentuk adalah natieatau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan
itu sebenarnya sudah ada.
Menurut Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk
kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan
alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu,
kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani,
karena kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan
kemudahan. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan
mempertemukan semangat intelektualitas Barat dengan semangat Kerohanian Timur.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak
boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penyelidikan tentang jalannya sejarah
sehingga orang dapat menengok ke belakang sebagai landasan melihat keadaan zaman
yang bersangkutan dan selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang.
Hingga sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan
perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang
lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi,
pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masihrelatif sangat sedikit
dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra. Sejumlah buku sejarah
sastra Indonesia tercata secara kronologis sebagai berikut:
1. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952),
2. Sejarah sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),
3. Kesusastraan Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964),
4. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),
5. Modern Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),
6. Sastra Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980),
7. Sari Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),
9. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10. Sejarah Sastar Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004).
Di balik semua itu, barangkali sudah ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam
skripsi, tesis dan disertasi. Akan tetapi, datanya masih sulit diandalkan sebagai rujukan
untuk kepentingan pelajaran ini apabila belum terbit sebagai buku umum. Yang jelas,
berbagai hasil penelitian itu merupakan bahan yang penting untuk penyusunan sejarah
sastra Indonesia secara menyeluruh. Adapun sejumlah buku yang telah memperlihatkan
persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah sastra Indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati (1971),
2. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layun Rampan
(1973),
3. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Oleh Ajip Rosidi (1985),
4. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973),
5. Pengadilan Puisi oleh Pamusik Eneste (1986),
6. Perkembangan Novel-Novel Indonesia oleh Umar junus (1974),
7. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984),
8. Perkembangan Teater Modern dan Sastara Drama Indonesia oleh Jakob Sumardjo
(1997),
9. Prahara Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995),
10. Puisi Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie layun Rampan (1980),
11. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Jawa Baratm oleh Diana N.Muis,dkk. (200),
12. Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia di Maluku oleh T.Tomasoa dkk. (2000),
13. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatra Utara oleh Aiyub dkk. (2000), dan
14. Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo (1995).
4. Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh
Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam
Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalamBeberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995).
Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai
berikut:
I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945
yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu
1. Period awal hingga 1933
2. Period 1933-1942
3. Period 1942-1945
II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa
period, yaitu
1. Period 1945-1953
2. Period 1953-1961
3. Period 1061-1968
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah
persoalan adat yang sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai
problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942
diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan
pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang
melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan
pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan
selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap
warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968
tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan
sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan
sastra.
Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10
15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai
berikut:
1. Sastra Awal (1900 an ),
2. Sastra Balai Pustaka (1920 1942)
3. Sastra Pujangga Baru (1930 1942)
4. Sastra Angkatan 45 (1942 1955)
5. Sastra Generasi Kisah (1955 1965)
6. Sastra Generasi Horison (1966)
Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada nama badan penerbitan
yang menyiarkan karya para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga
Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun
revolusi Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B.Jassin dengan
merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966.
Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara atau metode,
yaitu (1) menerapkan teori estetika resepsi atau estetika tanggapan, dan (2) menerapkan
teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan.
Di samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan
diakronis. Yang sinkronis berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat
perkembangan atau periodenya, sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam
berbagai tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir.
Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut perkembangan jenis-jenis
sastra, baik prosa maupun puisi.
Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng
Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat
Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940
2. Periode Pujangga Baru : 1930-1945
3. Periode Angkatan 45 : 1940-1955
4. Periode Angkatan 50 : 1950-1970
5. Periode Angkatan 70 : 1965-1984
Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai
berikut:
1. Angkatan balai pustaka,
2. Angkatan pujangga baru,
3. Angkatan 45,
4. Angkatan 50-an.
5. Angkatan 60-an,
6. Angkatan kontemporer (70-an--sekarang).

A. Angkatan Balai Pustaka


Nama penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar
Indonesia karena sekarang balai pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak
memproduksi berbagai jenis buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90
tahun, kalau dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan
Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat (commissie voor de inlandsche
school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial belanda pada 14
september 1908. Jelas bahwa badan penerbit itu merupakan organ pemerintah colonial
yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik
yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat
sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian
aatau telaah sejarah sastra Indonesia.
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai
pustaka selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan
redaksi, pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan
pengkajian sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia.
Ditambah dengan pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah
memperluas wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang
pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an
membuka tradisi sastra modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak colonial.
Ciri-ciri umum roman angkatan balai pustaka:
1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah
tertentu, khususnya Sumatra barat.
2. Bersufat romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman yang mematikan tokoh-
tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
3. Bergata bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya
bahsanya tidak berkembang.
4. Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik,
watak, agama, dan lain-lain.

Sejumlah tokoh dan karyanya dalam angkatan balai pustaka, yaitu:


1. Abdul Muis
Abdul muis (lahir di solok, Sumatra barat, tahun 1886, meninggal di bandung 17 juli
1959), Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi
anggota Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia
dimakamkan di TMP Cikutra Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh
Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).
Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen
Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda,
Preanger Bode, harian Kaum Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain
itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat
yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan
Perjuangan Priangan.
Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara lain :
a. Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui
tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
b. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan
peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera
bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
c. Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia
diasingkan ke Garut, Jawa Barat
d. Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School
Institute Teknologi Bandung (ITB)

Karya-karyanya yang terkenal :


a. Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
b. Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
c. Surapati (novel, 1950)
d. Robert Anak Surapati(novel, 1953)

Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
a. Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
b. Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
c. Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
d. Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)
2. Marah rusli
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia
dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah
seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang.
Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai
tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli
dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli,
tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter
hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar
meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah
Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952
dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap
kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-
cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung
menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal
17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Dalam sejarah sastra
Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar
oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman
di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Marah Rusli
berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang
menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam
hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan
masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk
menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada
emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah
ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus
mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan
yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini.
Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan
dibicarakan.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan
tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang
sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Rusia.Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a) Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun
1969.
b) La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c) Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
d) Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
e) Tesna Zahera (naskah Roman)

3. Merari Siregar
Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di
Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan
Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan.
Kemudian dia pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia
bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Karya-karyanya yang terkenal adalah
a) Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
b) Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
c) Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
d) Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
e) Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.

4. Nur Sutan Iskandar


Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 Jakarta,
28 November 1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka.
Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki
Minangkabau lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan
Iskandar yang diperolehnya kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad
Nur pun lebih dikenal sebagai Nur Sutan Iskandar sampai sekarang.
Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja
sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai
Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai
Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala
Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.
Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain
mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang
asing seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-
karyanya yang terkenal antara lain :
a) Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)
b) Cinta yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)
c) Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)
d) Abu Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)
e) Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)
f) Tuba Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)
g) Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
h) Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)
i) Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
j) Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937)
k) Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)
l) Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942)
m) Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)
n) Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
o) Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
p) Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
q) Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)
r) Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)
s) Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters,
1952)
t) Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo.
Jakarta: JB Wolters, 1946)
u) Sesalam Kawin (t.t.)
5. Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 1942) adalah penyair dan
sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a. Tak Disangka (1923)
b. Sengsara Membawa Nikmat (1928)
c. Syair Rosina (1933)
d. Tjerita Si Umbut Muda (1935)
e. Tidak Membalas Guna
f. Memutuskan Pertalian (1978)
g. Sabai nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)

6. Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23
Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang
anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17
Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang
beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan
itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin
sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang
didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan
budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands
School(HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan
Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS)
Sekolah Menengah Umum di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan
di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun.
Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari
kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin,
bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai
keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia
biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-
pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan
Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi,
sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya
meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang
peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar
kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin
melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar
Meester in de Rechten Sarjana Hukum pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam
perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai
Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen
Bond Organisasi Pemuda Sumatera (19261928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober
1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah
Partindo (19321938).
Pada tahun 19381942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap
sebagai anggota Volksraad Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah kemerdekaan Indonesia
terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain,
adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan
(19531955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas
IKBN Antara (19611962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik
maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang
berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima
mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia
tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya.
Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin
adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya
diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami
apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu
berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan
Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern
(1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa
sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair
yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.Puisi Yamin itu dapat
dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair, demikian Umar Junus. Karena
itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada
suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya
merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi
Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa
dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat
sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal
perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan
Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari
tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan
syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh
Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah
dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan
pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang
terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua
hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan
sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru
saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan
estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.

7. Suman Hasibuan
Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 wafat di Pekanbaru,
Riau, 8 Mei 1999 pada umur 95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari
Suman Hasibuan antara lain adalah Mencari Pencuri Anak Perawan, Kawan Bergelut
(kumpulan cerpen), Tebusan Darah, Kasih Tak Terlerai, dan Percobaan Setia. Ia
digolongkan sebagai sastrawan dari Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang
terkenal antara lain :
a) Pertjobaan Setia (1940)
b) Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1932)
c) Kasih Ta Terlarai (1961)
d) Kawan Bergelut (kumpulan cerpen)
e) Tebusan Darah

8. Adinegoro
Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 wafat di Jakarta, 8
Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia
berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai
jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama
aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia
adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu.
Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah,
sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri
bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928),
yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya,
adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang
berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam
kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga
dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang
dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke
Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan
pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar
tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul Kritik atas
Kritik terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja
(1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat
dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas,
yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan
bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun
sebaliknya. Karyanya antara lain:
a. Buku
a) Revolusi dan Kebudayaan (1954)
b) Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),
c) Ilmu Karang-mengarang
d) Falsafah Ratu Dunia
b. Novel
a) Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931
b) Asmara Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.
c) Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.
c. Cerita pendek
a) Bayati es Kopyor.
b) Etsuko. Varia.
c) Lukisan Rumah Kami.
d) Nyanyian Bulan April.

B. Angkatan Pujangga Baru


1. Latar belakang terbitnya Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah
bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya
digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan
parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia
dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan
sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran
angkatan45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-
angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit
pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan,
mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah
menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal
para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan 45.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh
Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya
sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga
Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut
lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya
majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta
penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga
serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain
melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa
tersebut ke arah kemajuan.
Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat
dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang
berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan
Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya
Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran
Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh
Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam,
lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan
Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal
sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru
adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa
Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi
tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin.
Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala,
Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang
dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta
seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka,
yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya
mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan
majalah Pujangga Baru.

2. Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru


a. Dinamis
b. Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja
kalau romantik angkatan Siti Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga
Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau
menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
c. Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah
meninggalkan bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa
sendiri. Pilihan kata, Penggabungan ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh
Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri:
a. Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatan-
ikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku
kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para
Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait
saja. Sajak-sajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya Batu Belah
dan Hang Tuah karya Amir Hamjah.
b. Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda
dengan adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan
dan pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisyahbana
c. Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan
tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula yang
semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.

3. Pengarang Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya

1. Sutan Takdir Alisjahbana


Orang besar ini dilahirkan di Natal (Tapanuli) pada 11-02-1908. Setelah
menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki Kweekschool di Bukitinggi dan
kemudian HKS di Bandung. Setelah itu ia belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta
dan juga belajar pada Sekolah Hakim Tinggi. Selain itu belajar pula tentang filsafat dan
kebudayaan pada Fakultas sastra. Pendidikan yang beraneka ragam yang pernah
dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras itu, menyebabkan keahlian yang
bermacam-macam pula pada dirinya. Karangannya mempunyai bahasa yang
sederhana tetapi tepat. Karya-karyanya antara lain:
a. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
b. Dian Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
c. Anak Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941)
d. Layar Terkembang (roman tendenz, 1936)
e. Tebaran Mega (kumpulan puisi/prosa lirik, 1936)
f. Melawat Ke Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952)
g. Puisi Lama (1942)
h. Puisi Baru (1946)
2. Amir Hamzah
Amir Hamzah yang bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada 28-2-1911 di
Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan,
kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup ditengah-tengah keluarga yang taat
beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS,
AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai
kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan Raja
Penyair Pujangga Baru. Karya-karyanya antara lain:
a. Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b. Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c. Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d. Bhagawad Gita (terjemahan salah satu bagian mahabarata)

3. Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi SR di
Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di Padang,
dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada
Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi
ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya
dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta,
ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala pengarang Balai Pustaka
sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang menjadi pegawai tinggi Pusat
Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan Masyarakat di
Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a. Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926)
b. Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c. Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d. Kertajaya (sandiwara, 1932)
e. Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933)
f. Manusia Baru (Sandiwara, 1940)

4. Muhamad Yamin, SH.


Prof. Muhammad Yamin, SH. dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus
1905. Setelah menamatkan Volkschool, HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi
sekolah-sekolah vak seperti sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Kemudian
menamatkan AMS di Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim
di Jakarta hingga bergelar pada tahun 1932. Pekerjaan dan keahlian Yamin beraneka
ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, ia memegang jabatan-jabatan
penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober 1962). Ia pun tidak pernah
absen dalam revolusi. Karya-karyanya antara lain:
a. Tanah Air (kumpulan puisi, 1922)
b. Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928)
c. Menanti Surat dari Raja (sandiwara, terjemahan Rabindranath Tagore)
d. Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga (Terjemahan dari Rabindranath
Tagore)
e. Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934)
f. Gajah Mada (roman sejarah, 1934)
g. Dipenogoro (roman sejarah, 1950)
h. Julius Caesar (terjemahan dari karya Shakespeare)
i. 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954)
j. Tan Malaka (1945)
k. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara, 1957)

5. J.E. Tatengkeng
Lahir di Kalongan, Sangihe, 19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari
SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen
di Solo. Ia pernah menjadi kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya
bercorak religius. Dia juga sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya
antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934).
6. Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Dia putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah,
seorang teolog Islam serta pelopor pergerakan berhaluan Islam modern dan tokoh
yang ingin membersihkan agama Islam dari khurafat dan bidah. Pendidikan Hamka
hanya sampai kelas dua SD, kemudian mengaji di langgar dan madsrasah. Ia pernah
mendapat didikan dan bimbingan dari H.O.S Tjokroaminoto. Prosa Hamka
bernafaskan religius menurut konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif. Karyanya
antara lain:
a. Di Bawah Lindungan Kabah (1938)
b. Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan cerpen, 1941)
c. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman, 1939)
d. Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi, 1951)
e. Ayahku (biografi)
f. Karena Fitnah (roman, 1938)
g. Merantau ke Deli (kisah;1939)
h. Tuan Direktur (1939)
i. Menunggu Beduk Berbunyi (roman, 1950)
j. Keadilan Illahi
k. Lembaga Budi
l. Lembaga Hidup
m. Revolusi Agama

7. M.R. Dajoh
Marius Ramis Dajoh lahir di Airmadidi, Minahasa, 2 November 1909. Ia
berpendidikan SR, HIS Sirmadidi, HKS Bandung, dan Normaalcursus di Malang.
Pada masa Jepang menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan.
Kemudian pindah ke Radio Makasar. Dalam karya Prosanya sering menggambarkan
pahlawan-pahlawan yang berani, sedang dalam puisinya sering meratapi kesengsaraan
masyarakat. Karyanya antara lain:
a. Pahlawan Minahasa (roman; 1935) .
b. Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (roman, 1931).
c. Syair Untuk Aih (sajaka, 1935).

8. Ipih
Ipih atau H.R. adalah nama samaran dari Asmara Hadi. Dia lahir di Talo,
Bengkulu, tanggal 5 September 1914. Pendidikannya di HIS Bengkulu, Mulo
Jakarta, Bandung, serta Mulo Taman Siswa Bandung. Lebih dari setahun ia ikut
dengan Ir. Soekarno di Endeh. Setelah menjadi guru, ia menjadi wartawan dan
pernah memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam karyanya terbayang
semangat gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan. Karya-karyanya antara lain:
a. Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri (catatan, 1941)
b. Sajak-sajak dalam majalah
9. Armijn Pane
Armijn Pane adalah adik dari Sanusi Pane. Lahir di Muarasipongi, Tapanuli
Selatan, 18 Agustus 1908. Ia berpendidikan HIS, ELS, Stofia Jakarta pada tahun
1923, dan pindah ke Nias, Surabaya, dan menamatkan di Solo. Kemudian menjadi guru
bahasa dan sejarah di Kediri dan Jakarta serta pada tahun 1936 bekerja di Balai
Pustaka. Pada masa pendudukan Jepang menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di
Kantor Pusat Kebudayaan Jakarta, serta memimpin majalah Kebudayaan Timur.
Karyanya antara lain:
a. Belenggu (roman jiwa, 1940)
b. Kisah Antara Manusia (kumpulan cerita pendek, 1953)
c. Nyai Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
d. iwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
e. Ratna (sandiwara, 1943)
f. Lukisan Masa (sandiwara, 1957)
g. Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian dan terjemahan surat-surat R.A Kartini, 1938)

10. Rustam Effendi


Lahir di Padang, 18 Mei 1905. Dia aktif dalam bidang politik serta pernah
menjadi anggota Majelis Perwakilan Belanda sebagai utusan Partai Komunis. Dalam
karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari istilah-istilah
dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a. Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1922)
b. Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)

11. A. Hasjmy
A. Hasjmy nama sebenarnya adalah Muhammad Ali Hasjmy. Lahir di Seulimeun,
Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan SR dan Madrasah Pendidkan Islam. Pada tahun
1936 menjadi guru di Perguruan Islam Seulimeun. Karya-karyanya antara lain:
a. Kisah Seorang Pengembara (kumpulan sajak, 1936)
b. Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940)

12. Imam Supardi


Karya-karyanya antara lain:
a. Kintamani (roman)
b. Wishnu Wardhana (drama, 1937)
Sastrawan dan penyair lainnya dari angkatan Pujangga Baru:
13. Mozasa, singkatan dari Mohamad Zain Saidi
14. Yogi, nama samaran A. Rivai, kumpulan sajaknya Puspa Aneka
15. A.M. DG. Myala, nama sebenarnya A.M Tahir
16. Intojo alias Rhamedin Or Mandank

C. Angkatan 45
1. Sejarah Lahirnya Angkatan 45
Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan 45 bisa
dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah
angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra
Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada
khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra
Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya
pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-
lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada mulanya angkatan ini disebut
dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan Sesudah Perang, Angkatan
Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948,
Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera
menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun
namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum
dirumuskan. Baru pada tahun 1950 Surat Kepercayaan Gelanggang dibuat dan
diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah
semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan Selayang
Seniman Merdeka. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan 45 lebih realistik
dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik. Semangat
patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan 45 tercermin dari sebagian
besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut. Beberapa karya
Angkatan 45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di
antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya
terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini
karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu
banyak orang yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan
45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa
Angkatan 45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan
sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Sutan Takdir Alisyahbana pun
berpendapat demikian.

2. Beberapa Pendapat Tentang Angkatan 45

1. Armijn Pane: Pujangga Baru menentang adanya Angkatan 45 dan menganggap


bahwa tak ada yang disebut Angkatan 45.
2. Sutan Takdir Alisyahbana: Angkatan 45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
3. Teeuw: Memang berbeda Angkatan 45 dengan Angkatan Pujangga Baru, tetapi
ada garis penghubung, misalnya Armijn Pane dengan Belenggu-nya. (puncak-puncak
kesusastraan Indonesia).
4. Sitor Situmorang: Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan,
sedangkan Angkatan 45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan antara Barat
dan Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru
mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan.
5. Pramoedya Ananta Toer: Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu pengetahuannya
tetapi tidak banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan 45 kurang
dalam ilmu pengetahuan (karena perang) tetapi sadar akan kehidupan.

3. Karakteristik Karya Angkatan 45


a. Bercorak lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-
idealistik.
b. Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan
Angkatan 45.
c. Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
d. Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
e. Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
f. Bertujuan universal nasionalis.
g. Bersifat praktis.
h. Sikap sastrawannya tidak berteriak tetapi melaksanakan .

4. Sastrawan Angkatan 45 dan Karyanya

1. Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai
MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan
orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan
padat berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui penulisan puisi. Puisi yang
diubahnya berbentuk bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia diakui sebagai pelopor
Angkatan 45 di bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar termasuk
penyair yang penuh vitalitas (semangat hidup yang menyala-nyala) dan
individualistis (kuat rasa akunya). Puisi gubahannya berirama keras (bersemangat),
tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti Isa dan Doa. Karya-karya Chairil
Anwar antara lain:
a. Deru Campur Debu (kumpulan puisi)
b. Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani)
c. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi)
d. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide)
e. Kena Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck)

2. Asrul Sani
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan.
Pernah memimpin majalah Gema dan harian Suara Bogor. Tulisannya berpegang
pada moral dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah seorang sarjana kedokteran
hewan, yang kemudian menjadi direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)
dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI),
juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS wakil seniman. Asrul Sani juga
dikenal sebagai penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara
lain:
a. Sahabat Saya Cordiaz (cerpen)
b. Bola Lampu (cerpen)
c. Anak Laut (sajak)
d. On Test (sajak)
e. Surat dari Ibu (sajak)

3. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober 1924. Ia cukup lama bermukim di
Prancis. Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra Indonesia. Karya-karya Sitor
Situmorang antara lain:

a. Surat Kertas Hijau (1954)


b. Jalan Mutiara (kumpulan drama)
c. Dalam Sajak (1955)
d. Wajah Tak Bernama (1956)
e. Zaman Baru (kumpulan sajak)
f. Pertempuran dan Salju di Paris
g. Peta Pelajaran (1976)
h. Dinding Waktu (1976)
i. Angin Danau (1982)
j. Danau Toba (1982)

4. Idrus
Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap sebagai salah seorang tokoh
pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, walaupun ia selalu menolak penamaan itu.
Karyanya bersifat realis-naturalis (berdasarkan kenyataan dalam alam kehidupan) dengan
sindiran tajam. Karya-karyanya antara lain:
a. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (novel)
b. A K I (novel)
c. Hikayat Puteri Penelope (novel, terjemahan)
d. Anak Buta (cerpen)
e. Perempuan dan Kebangsaan
f. Jibaku Aceh (drama)
g. Dokter Bisma (drama)
h. Keluarga Surono ( drama )
i. Kereta Api Baja (terjemahan dari karya Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia)

5. Hamzah Fansuri
Dalam karya-karyanya tampak pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah dan R.
Tarogo. Karya-karyanya antara lain:
a. Teropong (cerpen)
b. Bingkai Retak (cerpen)
c. Sine Nomine (cerpen)
d. Buku dan Penulis (kritik)
e. Laut (sajak)
f. Pancaran Hidup (sajak)
6. Rivai Apin
Penyair yang seangkatan Chairil Anwar, yang bersama-sama mendirikan
Gelanggang Seniman Merdeka ialah Asrul Sani dan Rival Apin. Ketiga penyair
itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor
Angkatan 45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga
Menguak Takdir. Rivai Apin menulis tidak selancar Asrul Sani. Selain menulis
sajak, ia pun menulis cerpen, esai, kritik, skenario film, menerjemahkan, dan lain-
lain. Tahun 1954 ia sempat mengejutkan kawan-kawannya, ketika keluar dari
redaksi Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah
kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan PKI. Setelah terjadi G 30
S/PKI, Rivai termasuk tokoh Lekra yang karya-karyanya dilarang.
7. Achdiat Karta Mihardja
Ia menguasai ilmu politik, tasawuf, filsafat, dan kemasyarakatan. Pernah
menjadi staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain:
a. Atheis (roman)
b. Bentrokan Dalam Asmara (drama).
c. Polemik Kebudayaan (esai)
d. Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen)
e. Kesan dan Kenangan (kumpulan cerpen)

8. Pramoedya Ananta Toer


Lahir di Blora, 2 Februari 1925. Meskipun sudah mulai mengarang sejak jaman
Jepang dan pada awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh
(1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949,
yaitu ketika cerpennya Blora, yang ditulis dalam penjara diumumkan, serta ketika
romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang
diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Karya-karyanya antara lain:
a. Bukan Pasar Malam (1951)
b. Di Tepi Kali Bekasi (1951)
c. Gadis Pantai Keluarga Gerilja (1951)
d. Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
e. Perburuan (1950)
f. Tjerita dari Blora (1963)

9. Mukhtar Lubis
Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di bidang
penerangan. Idenya bersifat kritik-demokrasi-konstruktif (membangun). Di bidang
kewartawanan ia pernah mendapat hadiah Ramon Magsay-say dari Filipina.
Karyanya banyak menggambarkan perjuangan pada masa revolusi, terutama aksi
polisional Belanda. Karya-karyanya antara lain:
a. Tak Ada Esok (roman)
b. Jalan Tak Ada Ujung (roman jiwa)
c. Tanah Gersang (novel)
d. Si Jamal (cerpen)
e. Perempuan (cerpen)
f. Kisah dari Eropah (terjemahan)
g. Manusia Indonesia
h. Maut dan Cinta (novel)
i. Penyamun Dalam Rimba (novel)

10. Utuy Tatang Sontani


Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi Indonesia, pengarang
kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis beberapa buah buku dalam bahasa
Sunda, di antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera (1943). Karya-karyanya antara
lain:
a. Suling (1948)
b. Bunga Rumah Makan (1948)
c. Awal dan Mira (1952)
d. Manusia Iseng
e. Sayang Ada Orang Lain
f. Di Langit Ada Bintang
g. Saat yang Genting
h. Selamat Jalan Anak Kufur
11. Usmar Ismail
Selain dikenal sebagai sastrawan, Usmar Ismail juga dikenal sebagai
sutradara film. Tahun 1950 ia mendirikan Perfini. Karyanya bernafas ketuhanan
sejalan dengan pendapatnya bahwa seni harus mengabdi kepada kepentingan nusa,
bangsa, dan agama. Karya-karyanya antara lain:
a. Permintaan Terakhir (cerpen)
b. Asokamala Dewi (cerpen)
c. Puntung Berasap (kumpulan puisi)
d. Sedih dan Gembira (kumpulan drama yang terdiri atas: Citra, Api, dan Liburan
Seniman)
e. Mutiara dari Nusa Laut (drama)
f. Tempat Yang Kosong
g. Mekar Melati
h. Pesanku (sandiwara radio)
i. Ayahku Pulang (saudara dari cerita Jepang)

12. El Hakim
El Hakim merupakan nama samaran dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya bernuansa
ketuhanan dan kesusilaan. Di bidang kebudayaan ia berpendapat bahwa Timur yang
idealis harus berkombinasi dengan Barat, tanpa menghilangkan ketimurannya. Karya-
karyanya antara lain:
a. Taufan di Atas Asia (kumpulan)
b. Dokter Rimbu (roman)
c. Kita Berjuang
d. Soal Agama Dalam Negara Modern

13. Maria Amin


Hasil karya pengarang wanita ini bercorak simbolik. Karyany-karyanya antara
lain:
a. Tinjaulah Dunia Sana
b. Penuh Rahasia ( puisi )
c. Kapal Udara ( puisi )

14. Rosihan Anwar


Rosihan Anwar dikenal juga sebagai jurnalis (wartawan). Banyak tulisannya
tentang tanggapan sosial, yaitu mengupas masalah yang timbul dalam kehidupan. Ia
pernah memimpin harian Merdeka Asia Raya dan Mingguan Siasat. Karya-karyanya
antara lain:
a. Radio Masyarakat (cerpen)
b. Raja Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka (roman)
c. Manusia Baru (sajak)
d. Lukisan (sajak)
e. Seruan Nafas (sajak)

15. Waluyati
Dalam Angkatan 45 ada seorang penyair wanita bernama Waluyati yang lahir di
Sukabumi, 1924. Puisi-puisinya dimuat dalam Pujani (1951), Gema tanah Air (H.B.
Jassin, 1975), dan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979). Karya-
karyanya antara lain:
a. Berpisah
b. Siapa?

5. Fenomena Karya Angkatan 45


Dalam menuangkan karyanya, Chairail Anwar menggunakan bahasa
Indonesia yang terbebas dari pola bahasa Melayu. Ia menciptakan bahasa yang lebih
demokratis. Sebagai contoh, ia tidak lagi menyatakan beta seperti dalam puisi
salah satu penyair Pujangga Baru, tetapi menyebut dirinya aku. Hal ini dapat kita lihat
dalam sajak Aku yang benar-benar bercorak baru. Meski puisinya banyak diilhami puisi
asing, namun puisi-puisinya memiliki gaya khas yang hanya dimiliki oleh Chairil Anwar.

D. Angkatan 50
1. Sejarah Lahirnya Periode 50
Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan 50 hanyalah
pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (45). Tinjauan yang mendalam dan
menyeluruh membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
a. Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada
tahun 1945.
b. Masa 50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional
lebih lanjut). Periode 50 tidak hanya pengekor (epigon) dari angkatan 45,
melainkan merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan. Adapun ciri-
cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya
hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
2. Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam
menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
3. Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi
lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan
perasaan dan ukuran nasional.

2. Ciri-ciri Periode 50-an


Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.
Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan
kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan
majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra
majalah Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan yang
bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berkonsep sastra
realisme sosialis. Timbullah perpecahan antara sastrawan sehingga menyebabkan
mandegnya perkembangan sastra, karena masuk ke dalam politik praktis, sampai
berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia.

Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:


a. Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b. Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan 45 juga masih menerbitkan karyanya;
c. Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d. Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.

3. Masalah yang Dihadapi Periode 50

a. Angkatan 50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan


Balai Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu.
Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam
waktu yang singkat dan tidak menentu, di tambah penempatan pemimpin yang
bukan ahli, sehingga tidak dapat mengelola anggaran yang tersedia yang berakibat
macetnya produksi karya.
b. Setelah Balai Pustaka yang mengalami kesulitan penerbitan, penerbit yang
lainnya pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas.
c. Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah
seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu
pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain
yang pendek-pendek, sesuai dengan kebutuhan majalah-majalah tersebut, maka tak
anehlah kalau para pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-
karangan lain yang pendek-pendek. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan
lahirnya istilah sastra majalah. Istilah ini dilansir dan diperkenelkan oleh Nugroho
Notosusanto dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas yang
dipimpinnya.

4. Sastrawan Periode 50 dan Karyanya

1. Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi, Majalengka, 1938. Sejak berumur 13 tahun sudah
menulis di majalah-majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Karya-karyanya
antara lain:
a. Cari Mauatan (kumpulan sajak, 1956)
b. Ditengah keluarga (1956)
c. Pertemuan Kembali (1960)
d. Sebuah Rumah Buat Hari Tua
e. Tahun-Tahun Kematian (1955)
f. Ketemu di Jalan$ (kumpulan sajak bersama Sobrone Aidit dan Adnan, 1956)
g. Perjalanan Pengantin (prosa,1958)
h. Pesta (kumpulan sajak, 1956)

2. Ali Akbar Navis


Lahir di Padang Panjang, 17 November 1924. Sejak tahun 1950 mulai terlibat
dalam kegiatan sastra. Ia keluaran INS Kayu Taman. Karya-karyanya antara lain:
a. Bianglala (kumpulan cerita pendek, 1963)
b. Hujan Panas (kumpulan cerita pendek, 1963)
c. Robohnya Surau Kami (kumpulan cerita pendek, 1950)
d. Kemarau (novel, 1967)

3. Bokor Hutasuhut
Karyanya seperti Datang Malam (1963)
4. Enday Rasyidin
Karyanya Surat Cinta
5. NH. Dini
NH. Dini, nama lengkapnya Nurhayati Suhardini, lahir 29 Pebruari 1936.
Setelah menamatkan SMA 1956, lalu masuk kursus stewardess, kemudian bekerja di
GIA Jakarta. Karya-karyanya banyak mengisahkan kebiasaan barat yang bertentangan
dengan timur. Karya-karyanya antara lain:
a. Dua Dunia (1950)
b. Hati yang Damai (1960)

6. Nugroho Notosusanto
Lahir di Rembang, 15 Juni 1931. Dia bergerak dalam kemasyarakatan dan
pernah menjadi Tentara Pelajar, lulusan Fakultas sastra UI Jakarta. Karya-karyanya antara
lain:
a. Hujan Kepagian (kumpulan cerita pendek, 1958)
b. Rasa Sayange (1961)
c. Tiga Kota (1959)
d. Hujan Tanahku Hijau Bajuku (kumpulan cerita pendek, 1963)

7. Ramadhan K.H
Lahirkan di Bandung, 16 Maret 1927. Namanya mulai muncul sekitar tahun
1952. Karyanya berupa sajak, cerita pendek, dan terjemahan-terjemahan karya Lorca,
pengarang Spanyol. Karya-karyanya antara lain:
a. Api dan Sirangka
b. Priangan si Jelita (kumpulan sajak, 1958, mendapat hadiah BMKM)
c. Yerna (terjemahan dari Lorca, 1959)

8. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli, 21 Oktober 1924. Dia adalah angkatan 45, yang tetap produktif
menghasikan karya di tahun 50-an. Karya-karyanya antara lain:
a. Pertempuran dan Salju di Paris (1956, mendapat hadiah dari BMKM)
b. Jalan Mutiara (kumpulan tiga sandiwara, 1954)
c. Surat Kertas Hijau (kumpulan sajak, 1953)
d. Wajah Tak Bernama (kumpulan sajak, 1955)
e. Jaman Baru (kumpulan sajak)
f. Dalam sajak

9. Subagio Sastrowardojo
Karyanya antara lain:
a. Simphoni (sajak, 1957)
b. Kejantanan di Sumbing (1965)
c. Perawan Tua (cerpen)
d. Daerah perbatasan
e. Salju.

10. Titis Basino


Karyanya antara lain: Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen, 1963).
11. Toto Sudarto Bachtiar
Lahir di Palimanan, Cirebon, 12 Oktober 1929. Pendidikannya Cultuur-
School di Tasikmalaya tahun 1946, Mulo Bandung 1948, SMA Bandung 1950, dan
Fakultas Hukum UI. Karya-karyanya antara lain:
a. Suara (kumpulan sajak, 1950-1955)
b. Elsa (kumpulan sajak, 1958)

12. Trisnojuwono
Lahir di Yoyakarta, 5 Desember 1929. Dia menamatkan SMA tahun 1947. Sejak
1946 masuk Tentara Rajyat Mataram, 1947-1948 anggota Corps Mahasiswa di
Magelang dan Jombang. Tahun 1950 masuk tantara Siliwangi, Combat Intelligence,
Kesatuan Komando, Pasukan Payung AURI sampai dapat Brevet. Karya-karyanya antara
lain:
a. Laki-laki dan Mesiu (kumpulan cerita pendek, 1951/1957)
b. Angin Laut (kumpulan cerita pendek, 1958)
c. Di Medan Perang (1962)
d. Pagar Kawat Berduri.

13. Muhammad Ali


Lahir di Surabaya, 25 April 1927. Pandidikannya HIS dan kursus-kursus bahasa
pada masa Jepang. Dia bekerja di Kotapraja Surabaya, menjadi redaktur Mingguan
Pemuda dan Mingguan Pahlawan (1949-1950). Ia mulai bergerak di bidang Sastra tahun
1942. Karya-karyanya antara lain:
a. Siksa dan Bayangan (Balai Buku Surabaya, 1955)
b. Persetujuan dengan Iblis
c. Kubur Tak Bertanda (1955)
d. Hitam Atas Putih (1959)

14. Alexander Leo


Lahir di Lahat, 1935. Pendidikannya SMA Malang 1945. Kemudian bekerja di
Balai Pustaka bagian redaksi. Karya-karyanya antara lain:
a. Orang-orang yang Kembali (kumpulan cerita pendek, 1956)
b. Mendung (Novel)

15. Toha Muchtar


Karya-karyanya antara lain:
a. Pulang (novel, 1958)
b. Daerah Tak Bertuan ( 1963)
c. Bukan Karena Kau (1968)
d. Kabut Rendah (1968)

16. Riono Praktikto


Lahir di Semarang, 27 Agustus 1932. Pendidikannya SMP 195, kemudian
masuk Fakultas Pengetahuan Tehnik bagian bangunan umum. Karyanya-karyanya antara
lain:
a. Api (kumpulan cerita pendek, 1951)
b. Si Rangka (1958)

17. Kirdjomuljo
Lahir di Yogyakarta, 1930. Sejak tahun 1958 termasuk penyair produktif.
Karyanya antara lain Romance Perjalanan (1955).
18. Montinggo Busje
Karya-karyanya antara lain:
a. Malam Jahanam (drama, mendapat hadiah ke-1 Departemen P &K)
b. Hari Ini Tak Ada Cinta
c. Sejuta Matahari
d. Malam Penganten di Bukit Kera (Novel)

19. Misbah Jusa Biran


Karyanya antara lain Bung Besar (drama, mendapat hadiah ke-2).
20. Nasjah Jamin
Karya-karyanya antara lain:
a. Sekelumit Nyanyian Sunda (drama, mendapat hadiah ke-3)
b. Hilanglah Si Anak Hilang (novel, 1936)
c. Di Bawah Kaki Pak Dirman (kumpulan cerita pendek, 1967)

21. N. Susy Aminah Aziz


Lahir di Jakarta, 24 Oktober 1937. Sejak 1957 menulis sajak dan cerita pendek
dalam majalah-majalah di ibu kota. Ia juga deklamator Tunas Mekar RRI Jakarta. Karya-
karyanya antara lain:
a. Seraut Wajahku (kumpulan sajak, 1961)
b. Tetesan Embun (kumpulan sajak, 1961)
c. Mutiaraku Hilang (novel biografi)

22. Titie Said


Lahir di Bojonegoro, 11 Juni 1935. Ia pernah menjadi redaksi majalah
wanita. Karyanya antara lain Perjuanagan dan Hati Perempuan (kumpulan cerita pendek,
1962)
23. W.S. Rendra
Karya-karyanya antara lain:
a. Balada Orang-orang Tercinta (1957)
b. Empat Kumpulan Sajak (1961)
c. Ia Sudah Bertualang dan Cerita-Cerita Pendek Lainya (1963)

24. Iwan Simatupang


Lahir di Sibolga, 18 Januari 1928. Dia merupakan sastrawan modern yang
pernah dimiliki Indonesia. Iwan sangat taat mempraktikan filsafat eksistensialisme
dalam karya-karyanya. Ia juga dikenal sebagai penulis puisi, cerpen, esai, dan
drama. Iwan adalah sastrawan yang mewakili paradigma postmodernisma dan
menganut civil society international. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan
seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan
melalui pertolongan orang luar (di antaranya satrawan-penulis) secara proposional,
sistematis, dan universal. Esainya banyak menghiasi majalah-majalah kebudayaan
seperti Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1957), Mimbar Indonesia, Siasat, dan Sastra
(1961-1964). Karya-karyanya antara lain:
a. Bulan Bujur Sangkar
b. Taman Drama, kemudian dibukukan menjadi Petang di Taman.
c. RT Nol /RW Nol
d. Lebih Hitam dari Hitam (cerpen, 1959)
e. Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968).
E. Angkatan 60-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangatavant-
garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang
sangat beragam dalam aliran sastra, antara lain munculnya karya sastra
beraliransurrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain pada masa angkatan ini
di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya
karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk
juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil
Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha
Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan
ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan
drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman; ia lahir
mendahului zamannya.
1. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni
1941 adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri
melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas
Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat
kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison
dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu
perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan
dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading
International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International
WritingProgram di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975.
Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di
Indonesia. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris
dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the
World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa
Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend
jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji
dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di
Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri
dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara
jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
2. Abdul Hadi Widji Muthari
Abdul Hadi Widji Muthari (lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946;
umur 62 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia. Sejak kecil ia telah mencintai puisi.
Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar,
ditambah dengan dorongan orang tua, kawan dan gurunya. Beberapa karyanya :
1. Meditasi (1976)
2. Laut Belum Pasang (1971)
3. Cermin (1975)
4. Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
5. Tergantung Pada Angin (1977)
6. Anak Laut, Anak Angin (1983)

3. Sapardi Djoko Damono


Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 68
tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi
yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Beberapa karyanya :
1. Dukamu Abadi (kumpulan puisi)
2. Mata Pisau dan Akuarium (kumpulan puisi)
3. Perahu Kertas (kumpulan puisi)
4. Sihir Hujan (kumpulan puisi)
5. Hujan Bulan Juni (kumpulan puisi)
6. Arloji (kumpulan puisi)
7. Ayat-ayat Api (kumpulan puisi)

4. Goenawan Soesatyo Mohammad


Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29
Juli 1941; umur 67 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah
seorang pendiri Majalah Tempo. Penyair, esais, wartawan, yang sampai sekarang menjadi
pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan. GM
adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI, penerima Hadiah A. Teeuw tahun
1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di samping prestasi-prestasi di atas, GM
pernah menjadi wartawan Harian KAMMI, anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah
Zaman, redaktur Horison, anggota Badan Sensor Film.
Ia menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang
Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir
2 (1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang lain:
Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai); Revolusi
Belum Selesai (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi puisi, 1998).
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu
luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan
musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah
seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran
monodimensional. Beberapa karya Goenawan Mohammad antara lain :
1. Interlude
2. Parikesit
3. Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (kumpulan esai)
4. Asmaradana
5. Misalkan Kita di Sarajevo

5. Iwan Martua Dongan Simatupang


Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18
Januari 1928. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjtukan ke sekolah kedokteran (NIAS)
di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi dan filsafat di Leiden dan
Paris. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun
1952. Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra
Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. Iwan
Simatupang meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970. Beberapa karyanya antara lain :
1. Ziarah
2. Kering
3. Merahnya Merah
4. Koong
5. RT Nol / RW Nol (drama)
6. Tegak Lurus Dengan Langit

6. Taufiq Ismail
Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang
sastrawan Indonesia. Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan 66 oleh Hans Bague
Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis
buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng,
Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya
Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika
Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun
1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah
Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta
Hanyalah bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain,
Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku tersebut,
kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Bagaimana Kalau
.. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama dengan Bimbo Group
dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan lirik Aisyah Adinda Kita,
Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan
lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai,
Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan
Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi
pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar
dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak Menjelang
Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya puisi berjudul Takut 98
dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama
DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan 66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal
berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun
buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).
7. Bur Rasuanto
Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair,
wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan
Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air
(1969) dan novel Tuyet (1978).
8. Subagio Sastrawardoyo
Subagio Sastrawardoyo dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di
Jakarta, 18 Juli 1995. Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka,
dosen bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas
Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah
Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan
Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi dalam
Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab meraih
penghargaan majalah Kisah dan Horison.
9. Titie Said Sadikun
Titie Said Sadikun dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan
wartawati yang pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini
menulis kumpulan cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil
Nyawaku (1977), Lembah Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu,
Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas Ambarawa.
10. Arifin C. Noer
Arifin C. Noer dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28
Mei 1995. Penyair yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam
Langgar, Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia ,
Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul
(1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa
Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon.
Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang
Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama
Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga
penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI;
Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan
badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku
(1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun
1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
11. Hartoyo Andangjaya
Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga
pada 30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan
Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa,
Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa
dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya
terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi
terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz,
diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954),
Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari
Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur
Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume
Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan
Manifes Kebudayaan.
12. Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku
kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga
Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar,
Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-
sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau;
Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar
Penyair Abad 21.
13. Mohammad Diponegoro
Mohammad Diponegoro dilahirkan di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota
yang sama 9 Mei 1982. Pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar
radio Australia ini menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis
juz Amma Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur
Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro
juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat
pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), antologi
cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
14. Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930,
meninggal di Jakarta, 9 April 1984, mengarang roman Orang Buangan (1971), dan
Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan
epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984).

15. Satyagraha Hurip


Satyagraha Hurip dilahirkan di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14
Oktober 1998, mengarang cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan
Orang, novel Sepasang Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi
esai Sejumlah Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-
anak, 1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor
buku Cerita Pendek Indonesia I IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan Hidup
Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada
Gubernur, Sang Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan
Sesudah Bersih Desa (1989).
16. Titis Basino PI
Titis Basino PI dilahirkan di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah
Dara, novel Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983);
Bukan Rumahku (1983); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan
Perselingkuhan (1998), Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku
Lagi (1998); Aku Supiyah Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999);
Mawar Hitam Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima
Hadiah Sastra Mastera.
17. Bambang Sularto
Bambang Sularto dilahirkan di Purworejo 11 September 1934, meninggal di
Yogyakarta tahun 1992, terkenal dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga
ditulisnya novel Tanpa Nama (1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967);
buku Teknik Menulis Lakon (1971)
18. Jamil Suherman
Jamil Suherman dilahirkan di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung
39 November 1985. mengarang roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi
Kulsum(1963), kumpulan sanjak Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984);
Sarip Tambak Oso (1985) . Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah
di Seberang Maut.
19. Umar Kayam
Umar Kayam dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang
budayawan dan pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di
Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung
(2000). Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk
cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat (1981);
kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep Ngalor
Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
20. Budiman S. Hartoyo
Budiman S. Hartoyo dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi
Lima Belas Puisi (1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di
antaranya puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci.
Dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak
sufistiknya antara lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu
Aku Sirna Mendebu.
21. Gerson Poyk
Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel
Sang Guru (1971), kumcerpen Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk,
Cinta Pertama, Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul
Bombai, Puting Beliung, Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.
22. Ramadhan K.H.
Ramadhan K.H. dilahirkan di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape
Town, Afrika Selatan, 15 Maret 2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar
berkuliah di ITB, pindah ke Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa
Amsterdam, pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ,
direktur pelaksana DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun
1992, mewakili Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah
bermukim di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan
romannya Royan Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan
mengetengahkan sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya
yang lain berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan Bung
Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico Garsia
Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang
terjadi di Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan
menulis otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
23. Muhammad Saribi Afn
Muhammad Saribi Afn dilahirkan di Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan
kumpulan sanjaknya Gema Lembah Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi
bersama penyair-penyair Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi
panjang Yang Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA,
lahirlah bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.
24. Mansur Samin
Mansur Samin dilahirkan di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair,
pengarang cerita kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966)
dan Tanah Air (1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa
kebangkitan Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka
Telah Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja
(1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968) Cerkan-
cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi, Empat Saudara,
Berlomba dengan Senja.

25. Rahmat Joko Pradopo


Rahmat Joko Pradopo dilahirkan di Klaten 3 November 1939, penyair yang
juga Guru Besar dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di
Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra,
Rahmat menulis buku berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan
Deru Campur Debu (1982); Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya
(1995).

F. Angkatan Kontemporer

1. Periode Angkatan 70an


a. Ikhwal Periode 70-an
Tahun 1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian
Indonesia. Tahun 1963 sampai 1965 yang berjaya adalah para penyair anggota
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra sekitar tahun 1966 lazim disebut
angkatan 66. H.B. Jassin menyebut bahwa pelopor angkatan 66 ini adalah penyair-
penyair demonstran, seperti Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Slamet
Kirnanto, dan sebagainya. Tahun 1976 muncul puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri
yang menjadi cakrawala baru dalam dunia perpuisian Indonesia. Berikut ini disajikan
beberapa penyair dan karyanya.
b. Sastrawan Angkatan 70-an dan Karyanya
1. Goenawan Mohamad
Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang
angkatan 66 dalam bidang sastra budaya. Memimpin majalah Tempo sejak 1971
hingga tahun 1998. Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik
Indonesia dan pada tahun 1973 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di
Rotterdam. Ia banyak menulis puisi dengan dasar dongeng-dongeng daerah atau
cerita wayang disertai renungan kehidupan. Buku kumpulan puisinya adalah Parikesit
(1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin kundang (1972), Interclude
(1973), Asmarandana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998).
2. Taufiq Ismail
Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Dibesarkan di Pekalongan, putra
seorang wartawan berdarah Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB. Ia juga
dikenal sebagai dramawan terkenal di Bogor pada era 1960-an. Taufiq Ismail dikenal
sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri aktif dalam demonstrasi. Kumpulan
puisinya dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966). Pernah mengikuti Festival
Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International Writing Programm di Universitas
Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di Taipei (1973). Ia pernah menerima
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970. Kumpulan puisinya yang
lain adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), dan
Sajak-sajak Ladang Jagung (1975).
3. Sapardi Djoko Darmono
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi sangat sopan,
sangat gramatikal, dan sangat lembut. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan
dengan puisi-puisi protes atau kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia
menulis Ayat-ayat Api (2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi
adalah puisi-puisi kamar yang harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak
juga puisi-puisinya yang sangat populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba
deklamasi serta dapat dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk dibaca di
pentas). Kepenyairan Sapardi membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini.
Kumpulan puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu
penjelajahannya dalam dunia ilmu sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu
Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Kumpulan-kumpulan puisinya
adalah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas
(1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000).
4. Hartoyo Andang Jaya
Lahir di Solo, 1930, dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun
1990. Pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi direktur
majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental,
sehingga ia tidak mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan
sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari kematiannya diperingati di Taman Budaya
Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni
Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku Puisi (1973).
5. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri pernah menyatakan diri sebagai Presiden Penyair
Indonesia. Pelopor penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak
terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia
merintis bentuk baru dalam perpuisian Indonesia, uaitu puisi konkret dan mantra,
puisi itu dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan
bunyi yang tidak dijajah oleh makna atau pengertian. Sutardji lahir di Rengat,
Riau, 24 juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Republik
Indonesia (1993) dan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977) juga dari South
East Asia Write Award (Bangkok, 1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak
(1981). Selain itu, kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal dengan
nama kredo puisi.
6. Abdul Hadi W.M.
Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia
pernah kuliah di Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat
UGM (1968-1971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau
penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia sejak tahun
1991. Kumpulan puisinya Riwayat (1967), Laut Belum Pasang (1972), Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin
(1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).
7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi
Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu
Arjuna Mencari Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu kumpulan
puisinya dibukukan dalam Omong Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak
Gugat (1982). Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling, yaitu puisi yang keluar dari
pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, verifikasi, dan
tipografi, tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa
kesungguhan.

8. Apip Mustopa
Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra
budaya RRI Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan
Sunda. Puisi-puisinya juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru
Langit Biru.
9. D. Zawami Imron
Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan
pesantren. Ia pernah mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang (1977),
Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986),
Bantalku Ombak, Selimutku Angin (1996), Semerbak Mayang (1997), dan Madura Aku
Darah-Mu (1999).
2. Periode Angkatan 2000 atau Reformasi
a. Sejarah Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J.
Habibie lalu K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri,
muncul wacana tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan
maraknya karya-karya sastra puisi, cerpen maupun novel, yang bertemakan sosial-
politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama
berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi merefleksikan keadaan sosial
dan politik yang terjadi pada akhir 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Peristiwa reformasi 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra
seperti puisi, cerpen, dan novel. Bahkan, penyair yang semula jauh dari tema sosial-
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi
Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

b. Ciri-ciri Periode 2000

1. Isi karya sastra sesuai situasi reformasi;


2. Bertema sosial-politik, romantik, naturalis;
3. Produktivitas karya sastra lebih marak lagi, seperti puisi, cerpen, novel;
4. Disebut angkatan reformasi;
5. Tahun 1998 merupakan puncak dari angkatan 90-an;
6. Banyak munculnya sastrawan baru yang membawa angin baru dalam kesusastraan
Indonesia, contohnya Ayu Utami yang muncul di akhir 90-an dengan karyanya
Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York.
7. Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra;
8. Banyak muncul kaum perempuan;
9. Disebut angkatan modern;
10. Karya sastra lebih marak lagi, termasuk adanya sastra koran, contohnya dalam
H.U. Pikiran Rakyat;
11. Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminisme;
12. Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami pembaca;
13. Adanya sastra religi;
14. Muncul cyber sastra di Internet.

c. Sastrawan Angkatan 2000 dan Karyanya

1. Ahmadun Yosi Herfanda


Lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP
Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi pada Univ.
Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana
Kesastraan Indonesia ( 1993-1995) dan Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia
(1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana
menerbitkan Creative Writing Institute. Ahmadun Pernah menjadi Anggota Dewan
Penasihat Majelis penulis Forum Lingkar Pena. Contoh karyanya: Resonasi Indonesia
2. Acep Zamzam Noer
Lahir di Tasik pada tanggal 28 Februari 1960. Pendidikan: Alumnus Seni Rupa
ITB dan Universitas Italia Stranieri, Italia. Kumpulan Puisinya:
1. Tamparlah Mukaku, 1982
2. Aku Kini Doa, 1986
3. Antologi Pesta Sastra, 1987
4. Kasidah Sunyi, 1989
5. Ketika Kata Ketika Warna, 1995
6. Kota Hujan, 1996
7. Di Luar Kota, 1997
8. Di Atas Umbria, 1999

3. Justina Ayu Utami


Lahir di Bogor, 21 November 1968. Pendidikan: Fak. Sastra UI. Ia pernah
menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan. Tak lama setelah
penutupan Tempo, Editor dan Detik di masa Orde Baru, dia ikut mendirikan
Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal
kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama yaitu Saman,
mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus karena gaya penulisan Ayu yang
terbuka bahkan terkesan vulgar, inilah yang membuatnya menonjol dari pengarang-
pengarang lainnya. Selain itu, Saman meraih sayembara penulisan novel Dewan Kesenia
Jakarta 1998, berkat novel itu juga Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Frince
Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag Belanda. Ayu Utami dalam
novel Saman berhasil menciptakan representasi seksualitas. mengarang bagi saya
adalah kesedihan, melibatkan, meleburkan diri dan menerima kemungkinan yang tak
direncanakan.
4. Dorotea Rosa Herliany
Lahir di Magelang, 20 Oktober 1963 Pendidikan: FPBS IKIP Sanata Dharma,
Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia (1987). Ia mendirikan Forum Situs Kata dan
menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Kini ia mengelola penerbit Tera di
Magelang, juga ia mendirikan Indonesia Tera, sebuah kelompok belajar kebudayaan
dan masyarakat, lembaga swadaya non-profit yang bekerja dalam lapangan penelitan,
penerbitan, dan pengembangan jaringan informasi untuk pendidikan dan kebudayaan
masyarakat. Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh
(1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995),
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill the Radio (2001). Kumpulan cerpennya:
Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).
5. Afrizal Malna
Lahir di Jakarta, 7 Juni 1957 Pernah mengikuti Poetry International Rotterdam
(1996) Kumpulan puisinya: Abad yang Berlari (1984), Yang Terdiam dalam Microfon
(1990), Kalung dari Teman (1999), Anjing Menyerbu Kuburan (1996).
6. Sony Farid Maulana
Lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962. Pendidikan: Jurusan Teater Akademi
Seni Tari Indonesia (1986). Semasa kuliah sudah menulis puisi yang bertemakan
sosial, politik, agama, kesunyian, dan kesepian. Sekarang menulis puisi, prosa, esai,
dan laporan jurnalistik di HU Pikiran Rakyat Bandung. Puisi-puisinya dibukukan dalam
Variasi Parijs Van Java (2004), Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas Kata (2004),
Secangkir Teh (2005), Sehampar Kabut (2006), Angsana (2007). Buku Sehampar
Kabut masuk dalam lima besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006.
7. Nenden Lilis
Lahir di Garut, 26 September 1971 Kumpulan puisi tunggalnya Negeri Sihir
(1999), kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala (2000). Pernah membaca puisi di Poetry
Festival Belanda (1999).
8. Seno Gumira Ajidarma
Ayahnya Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo Pendidikan: IKJ Jurusan Sinematografi
Mengikuti teater alam pimpinan Azwar A. N. Beberapa puisinya pernah dimuat di
Horizon. Kemudian ia menulis cerpen antara lain: Manusia Kamar (1988),
Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar
Mandi (1995). Novelnya Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987
ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi Mata ia mendapat Dinny
OHearn Prize for Literary (1997).

9. Dewi Lestari ( Dewi Dee )


Lahir di Bandung, 20 januari 1976. Ayah, Ibu: Yohan Simanungsong-Turlan
Siagian. Pendidikan: Univ. Parahyangan dengan gelar sarjana politik. Ketiga novelnya
yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; Akar; dan Petir mendapat nominasi
Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 dan 2003.

ejarah Sastra Indonesia April 4, 2011


Posted by Yana Hendriana in Sastra.

trackback

Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke
waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra
dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan
kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.

Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
1. meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2. meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
3. menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.

Periodisasi Sastra Indonesia

Ada beberapa pendapat tentang periodisasi sastra Indonesia, saya mengambil dua
diantaranya :
1. Menurut Nugroho Notosusanto

a. Kesusastraan Melayu Lama

b. Kesusastraan Indonesia Modern

1). Zaman Kebangkitan : Periode 1920, 1933, 1942, 1945

2). Zaman Perkembangan : Periode 1945, 1950 sampai sekarang

1. Menurut Simomangkir Simanjuntak

a. Kesusastraan masa lama/ purba : sebelum datangnya pengaruh hindu

b. Kesusastraan Masa Hindu/ Arab : mulai adanya pengaruh hindu sampai dengan
kedatangan agama Islam

c. Kesusastraan Masa Islam

d. Kesusastraan Masa Baru

1). Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi

2). Masa Balai Pustaka

3). Masa Pujangga Baru

4). Kesusastraan Masa Mutakhir : 1942 hingga sekarang.

Sejarah Sastra Indonesia

Kepulauan Nusantara yang terletak diantara benua Asia dan Australia dan diantara
Samudra Hindia/ Indonesia dengan Samudra Pasifik/ Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-
ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat istiadat dan
bahasa sendiri-sendiri.

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu yaitu salah satu bahasa daerah di Nusantara.
Bahasa Melayu digunakan oleh masyarakat Melayu yang berada di pantai timur pulau
Sumatera.

-Kerajaan Melayu yang berpusat didaerah Jambi, pada pertengahan abad ke-7 (689-692)
dikuasai oleh Sriwijaya yang beribu kota di daerah Palembang sekarang ini,-

1. Kesusastraan Melayu Klasik

Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu karena
hasil karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua karya berupa milik bersama. Karena
itu, penggolongan biasanya berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.

a. Kesusastraan Rakyat (Kesusastraan Melayu Asli)

Kesusastraan rakyat/ Kesusastraan melayu asli, hidup ditengah-tengah masyarakat. Cerita


itu diturunkan dari orang tua kapada anaknya, dari nenek mamak kepada cucunya, dari
pencerita kepada pendengar. Penceritaan ii dikenal sebagai sastra lisan (oral literature).

Kesusastraan yang tumbuh tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada
masa Purba (sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayan yang dianut
masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita mereka berhubungan
dengan kepercayaan kepada roh-roh halus dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Misalnya :

Cerita asal-usul

Cerita binatang

Cerita Jenaka

Cerita Pelipur lara.

Contoh

Mantra Memasuki hutan rimba


Hai, si Gempar Alam

Gegap gempita

Jarum besi akan romaku

Ular tembaga akan romaku

Ular bisa akan janggutku

Buaya akar tongkat mulutku

Harimau menderam di pengeriku

Gajah mendering bunyi suaraku

Suaraku seperti bunyi halilintar

Bibir terkatup, gigi terkunci

Jikalau bergerak bumi dan langit

Bergeraklah hati engkau

Hendak marah atau hendak

membiasakan aku.

b. Pengaruh Hindu dalam Kesusastraan Melayu

Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang :
1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka
diundang oleh raja untuk meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya
agama Budha di India maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar.
Apalagi agama Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan
masyarakat Melayu.

Epos India dalam kesusastraan Melayu

Ramayana : cerita Ramayana sudah dikenal lama di Nusantara. Pada zaman pemerintahan
Raja Daksa (910-919) cerita rama diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada
tahun 925 seorang penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu
Kakawin Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief
Candi Penataran. Dalam bahasa melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat Sri
Rama yang terdiri atas 2 versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G. Shelabear.

Mahabarata : Bukan hanya sekedar epos tetapi sudah menjadi kitab suci agama Hindu.
Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat Pandawa. Dalam sastra
jawa pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita wayang.

c. Kesusastraan Zaman Peralihan Hindu-Islam, dan pengaruh Islam

Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu
dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya. Contoh karya-karya sastra yang masuk
dalam masa ini adalah ; Hikayat Puspa raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang
Buana, dsb.

Sastra pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam yang
harus dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat Nur Muhammad,
Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dsb.

-Perkembangan agama Islam yang pesat di Nusantara sebenarnya bertalian dengan


perkembangan Islam di dunia. Pada tahun 1198 M. Gujarat ditaklukkan oleh Islam.
Melalui Perdagangan oleh bangsa Gujarat, Islam berkembang jauh sampai ke wilayah
Nusantara. Pada permulaan abad ke-13 Islam berkembang pesat di Nusantara.-

-Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu menjadi wilayah
jajahan bangsa-bangsa Eropa yang pada mulanya datang ke Nusantara karena mau
memiliki rempah-rempah.-

d. Kesusastraan Masa Peralihan : Perkembangan dari Melayu Klasik ke Melayu Modern

Pada masa ini perkembangan antara kesusastraan Melayu Klasik dan kesusastraan Melayu
Modern peralihannya dilihat dari sudut isi dan bahasa yang digunakan oleh pengarangnya.
Dua orang tokoh yang dikenal dalam masa peralihan ini adalah Raja Ali Haji dari pulau
Penyengat, Kepulauan Riau, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Malaka.
Contoh karya Abdullah : Hikayat Abdullah, Syair Singapura dimakan Api, ia juga
menerjemahkan Injil ke dalam bahasa melayu.

Contoh Gurindam Raja Ali Haji

Gurindam pasal pertama


Barang siapa tidak memegang agama
Sekali-kali tidakkan boleh di bilangkan nama
Barang siapa mengenal yang empat
Ia itulah orang yang makrifat
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tengahnya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudarat
Kurang fikir, kurang siasat
Tinta dirimu kelah tersesat
Fikir dahulu sebelum berkata
Supaya terlelah selang sengketa
Kalau mulut tajam dan kasar
Boleh ditimpa bahaya besar
Jika ilmu tiada sempurna
Tiada berapa ia berguna.-

1. Kesusastraan Indonesia Modern

Lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern

Jika menggunakan analogi Sastra ada setelah bahasa ada maka kesusastraan Indonesia
baru ada mulai tahun 1928. Karena nama bahasa Indonesia secara politis baru ada setelah
bahasa Melayu di diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang
dikenal dengan Sumpah Pemuda.

Namun menurut Ayip Rosidi dan A. Teeuw, Kesusastraan Indonesia Modern ditandai
dengan rasa kebangsaan pada karya sastra. Contohnya seperti : Moh. Yamin, Sanusi Pane,
Muh. Hatta yang mengumumkan sajak-sajak mereka pada majalah Yong Sumatera
sebelum tahun 1928.

a. Masa Kebangkitan (1920-1945)

1). Periode 1920 (Angkatan Balai Pustaka)

Contoh : Puisi M. Yamin

Bahasa, Bangsa
Selagi kecil usia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi lagu dan dendang
memuji si anak banyaknya sedang
berbuai sayang malam dan siang
buaian tergantung di tanah moyang
.
1922

2). Periode 1933 (Angkatan Pujangga Baru)

Penamaan periode ini di dasarkan pada munculnya majalah Pujangga Baru yang dikelola
oleh S.T. Alisyahbana, Armin Pane dan Amir Hamzah.

Contoh : Puisi Amir Hamzah

Datanglah engkau wahai maut


Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Diwaktu ini gelap gulita

(Buah Rindu II)

3). Periode 1942 (Angkatan 45)

Chairil Anwar pelopor angkatan 45, nama lain pada masa ini seperti Idrus, Mochtar Lubis
dan Pramoedya A T.

Contoh Sajak Chairil :

Awas jangan bikin beta marah


Beta bikin pala mati
Beta kirim datudatu!
Beta Pattirajaaawane, penjaga hutan pala
Beta api dipantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

b. Masa Perkembangan (1945 sekarang)

1). Periode 1945 (Angkatan 45 : 1942-1953)

2). Periode 1950 (Angkatan 50 dimulai tahun 1953)

Dimasa ini ada Nugroho Notosusanto pengarang Hujan Kepagian, AA Navis pengarang
Robohnya Surau Kami, Trisnoyuwono pengarang laki-laki dan mesiu, penyair Toto
Sudarto Bachtiar, WS Rendra (juga ada yang menggolongkan ke angkatan 70)

3). Angkatan 66

Pada tanggal 6-9 Mei 1966 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bersama dengan
KAMI dan KAPPI menyelenggarakan simposium berjudul : Kebangkitan semangat 1966 :
Menjelajah Tracee Baru Lekra dan Neolekranisme. Dominasi kebudayaan oleh politik,
tegas-tegas ditolak. Inilah mulai dinamakannya angkatan 66. Dari kelompok ini, majalah
bulanan baru, Horison, segera terbit sebagai suara sastranya.

4), Angkatan 70

Tahun 1970-1990 ada beberapa sastrawan yang terkenal misalnya : Sutardji Calzoum
Bachri, Abdul Hadi W.M., Putu Wijaya

Contoh Sajak Abdul Hadi WM : Tawangmangu

kalau kehijauan yang bangkit dari bukti-bukti


dan air terjun, dimana aku pernah lewat dan menghirup
kesegaran pagi dan kuntum melur, sekarang aku batu
yang kau angkat dari tepi sungai dan kaubiarkan abadi
seperti nyawa sekarat mengeliat, mengeliat mungkin kau
sedang menghiasku dengan retakan-retakan air hujan
dan keharuan waktu yang beragam

(dalam Tergantung pada Angin)

Anda mungkin juga menyukai