Anda di halaman 1dari 88

1

Skenario
The Price of Life Infants Life
Skenario dalam bentuk video.

Sasaran belajar
1. Neonatus resiko tinggi
1.1 Kriteria
1.2 Faktor yang mempengaruhi dan Mekanisme dari faktor resiko
1.3 Pemeriksaan fisik Neonatus
1.4 Penatalaksanaan

ISI
1. Neonatus Resiko Tinggi
1.1 Kriteria resiko tinggi
Istilah resiko tinggi dimaksudkan agar bayi tersebut dapat diawasi dengan seksama oleh
dokter atau perawat yang berpengalaman. Biasanya pengawasan dilakukan beberapa
hari, tetapi dapat berkisar antara beberapa jam sampai beberapa hari. Bayi yang
termasuk risiko tinggi ialah :
1) Bayi yang lahir sebelum masa gestasi 37 minggu atau sesudah 42 minggu
2) Bayi dengan berat kurang dari 2500 gram atau lebih dari 4000 gram
3) Bayi yang menunjukan penyimpangan dari besar atau perkembanganya, misalnya
bayi yang kecil atau besar untuk umur kehamilan
4) Bayi dengan riwayat penyakit neonatus yang berat dengan kematian saudaranya
atau kematian saudaranya atau kematian 2 janin dan saudaranya
5) Bayi dengan keadaan lahir yang buruk (nilai apgar satu menit 0-3) atau yang
memerlukan resusitasi di kamar bersalin dan kemudian tempat bayi di rawat
6) Bayi lahir dari ibu dengan infeksi dan adanya riwayat penyakit selama kehamilan
7) Bayi yang lahir dari kehamilan ganda atau ibu hamil lagi sesudah tiga bulan
melahirkan
8) Bayi yang lahir dengan bedah caesar atau adanya komplikasi kehamilan seperti
hidramnion, abrusio plasenta, atau plasenta previa
9) Bayi yang mempunyai satu pembuluh darah arteri tali pusat atau setiap kecurigaan
akan cacat bayi bawaan
10) Bayi dikenal dengan anemia atau inkompartibilitas golongan darah
2

11) Bayi lahir dari ibu yang sangat menderita pada saat hamil seperti masalah emosi
yang berat, hiperemesis gravidarum, kecelakaan yang membahayakan, anestesi
umum (Sukman, 2010).
1.2 Faktor resiko dan mekanisme kriteria bayi resiko tinggi
A. Kehamilan preterm
Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang atau sama
dengan 37 minggu, tanpa memperhatikan berat badan lahir. Bayi prematur adalah
bayi yang lahir sebelum minggu ke 37, dihitung dari mulai hari pertama menstruasi
terakhir, dianggap sebagai periode kehamilan memendek. Prematuritas dan berat
lahir rendah biasanya terjadi secara bersamaan, terutama diantara bayi dengan berat
1500 gr atau kurang saat lahir. Keduanya berkaitan dengan terjadinya peningkatan
morbilitas dan mortalitas neonatus (Sidarta,2011).
Bayi prematur adalah bayi yang lahir belum cukup bulan. Berasarkan kesepakatan
WHO, belum cukup bulan ini dibagi lagi menjadi 3, yaitu :
1) Kurang bulan adalah bayi yang lahir pada usia kurang dari 37 minggu.
2) Sangat kurang bulan adalah bayi yang lahir pada usia kurang dari 34 minggu.
3) Amat sangat kurang bulan adalah bayi yang lahir pada usia kurang dari 28
minggu
Prematur adalah kelahiran bayi pada saat masa kehamilan kurang dari 259 hari
dihitung dari terakhir haid / menstruasi ibu. Prematuritas murni adalah masa
gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan
untuk masa gestasi itu (Sidarta, 2011)
I. Etiologi
1. Faktor Maternal
Toksemia, hipertensi, malnutrisi /penyakit kronik, misalnya diabetes mellitus
kelahiran premature ini berkaitan dengan adanya kondisi dimana uterus tidak
mampu untuk menahan fetus, misalnya pada pemisahan premature,
pelepasan plasenta dan infark dari plasenta
2. Faktor Fetal
Kelainan Kromosomal (misalnya trisomi autosomal), fetus multi ganda,
cidera radiasi (Cunningham, 2014).
II. Faktor yang berhubungan dengan kelahiran premature :
1. Kehamilan
a) Malformasi Uterus
3

b) Kehamilan ganda
c) TI. Servik Inkompeten
d) KPD
e) Pre eklamsia
f) Riwayat kelahiran premature
g) Kelainan Rh
2. Penyakit
a) Diabetes Maternal
b) Hipertensi Kronik
c) UTI
d) Penyakit akut lain

3. Sosial Ekonomi
a) Tidak melakukan perawatan prenatal
b) Status sosial ekonomi rendah
c) Malnutrisi
d) Kehamilan remaja (Cunningham, 2014).
III. Faktor Risiko Persalinan Prematur
1. Idiopatik
Meskipun di masa lampau dikatakan sekitar 50% penyebab persalinan
prematur tidak diketahui, saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan,
karena ternyata setelah diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan
prematur, maka sebagian besar penyebab persalinan prematur harus dapat
digolongkan ke dalamnya. Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada
sehingga penyebab prematuritas tidak dapat diterangkan, maka penyebab
persalinan prematur ini disebut idiopatik (Cunningham, 2014).
2. Iatrogenik
Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran,
menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya
(Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat
membahayakan janin, ibunya akan dipecat sebagai tempat tinggal janin, dan
janin akan dipindahkan ke lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim
ibu sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, apabila keadaan ibu
terancam oleh kehamilannya, maka dokter akan mengakhiri kehamilan
4

meskipun janin masih membutuhkan rahim ibu sebagai tempat hidupnya dan
memaksa janin hidup di dunia luar agar ibu dan janin selamat.
Kondisi tersebut menyebabkan persalinan prematur buatan/Iatrogenik yang
disebut juga sebagai Elective preterm (Cunningham, 2014).
a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan prematur elektif adalah:
1) Preeklamsi berat dan eklamsi
2) Perdarahan antepartum
3) Korioamnionitis
4) Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru/ginjal yang berat.
b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan prematur dilakukan
adalah:
1) Gawat janin, (anemia, hipoksia, asidosis atau gangguan jantung janin)
2) Infeksi intrauterin
3) Pertumbuhan janin terhambat (PJT/ IUGR-Intra Uterine Growth
Restriction)
4) Isoimunisasi Rhesus
5) Simpul Tali pusat (Cord Entanglement) pada kembar monokorionik.
(Cunningham, 2014).
IV. Faktor Sosio-demografik
Yang termasuk kedalam faktor ini adalah :
1. Faktor psiko-sosial
a. Kecemasan dan Depresi
Penelitian awal tentang pengaruh psikososial terhadap kejadian
persalinan kurang bulan, yakni mengenai kecemasan dan depresi pada
ibu. Ternyata sulit memisahkan faktor tingkat kecemasan dengan faktor
depresi. Dari 11 penelitian prospektif yang menghubungkan antara
tingkat kecemasan ibu dengan kejadian persalinan premature. Ternyata 9
penelitian menyimpulkan adanya hubungan antara kecemasan dengan
prematuritas, sedangkan 2 penelitian lainnya menyimpulkan adanya
hubungan antara kecemasan dengan gangguan pertumbuhan janin, bukan
dengan usia kehamilan; dan hanya pada golongan kulit putih
(Cunningham, 2014).
Dole dkk, membuat skoring risiko dari berbagai faktor kecemasan dan
menemukan hanya ibu hamil yang mengalami kecemasan disertai dengan
5

kenaikan berat badan tidak adekuat yang berhubungan dengan kejadian


persalinan prematur. Di Indonesia belum ada penelitian nasional
(multisenter) yang menghubungkan kecemasan dan depresi terhadap usia
kehamilan (Cunningham,2014).
b. Stres
Stresor adalah rangsang eksternal atau internal yang memunculkan
gangguan pada keseimbangan hidup individu. Karenanya, secara
sederhana stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
individu dituntut berespons adaptif. Stres pada ibu dapat meningkatkan
kadar katekolamin dan kortisol yang akan mengaktifkan placental
corticotrophin releasing hormone dan mempresipitasi persalinan melalui
jalur biologis. Stres juga menganggu fungsi imunitas yang dapat
menyebabkan reaksi inflamasi atau infeksi intraamnion dan akhirnya
merangsang proses persalinan. Moutquin , membuktikan bahwa stres
yang berhubungan dengan kejadian prematuritas adalah adanya
peristiwa kematian, keluarga yang sakit, kekerasan dalam rumah tangga,
atau masalah keuangan (Cunningham, 2014).
c. Perilaku Ibu
Faktor perilaku yang diduga ada kaitannya dengan persalinan prematur
adalah merokok, alkohol, NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya), pola makan, dan aktivitas seksual (Cunningham, 2014).
2. Faktor demografi
Faktor demografik adalah usia ibu, status marital, kondisi sosio-ekonomi,
faktor ras dan etnik. Berbagai karakteristik sosio-demografis ibu ternyata
berhubungan dengan meningkatnya kejadian persalinan prematur, antara lain
usia ibu, status marital, kondisi sosio-ekonomi, faktor ras dan etnik.
a. Usia ibu
Kehamilan remaja yang berusia < 16 tahun, terutama yang secara riwayat
ginekologis juga muda (remaja yang mendapatkan haid pertamanya < 2
tahun sebelum kehamilannya) akan meningkatkan kejadian persalinan
prematur pada usia kehamilan < 33 minggu.
Wanita usia > 35 tahun juga meningkat risikonya untuk mengalami
persalinan prematur (Cunningham, 2014).
b. Status marital
6

Persalinan prematur pada ibu yang tidak menikah meningkat pada semua
golongan etnik dan semua golongan usia ibu. Penyebab pasti belum
diketahui, diduga berkaitan dengan faktor psikososial (kecemasan, stres),
dukungan lingkungan dan faktor sosio-ekonomi. Di USA, 40%
persalinan prematur terjadi pada ibu-ibu yang tidak menikah namun
mempunyai pasangan hidup bersama (cohabitation), demikian pula di
belahan dunia lain, hubungan pasangan hidup bersama di luar nikah
meningkat dan meningkatkan kejadian persalinan prematur.
(Cunningham, 2014)
c. Kondisi sosio-ekonomi
Perbedaan kejadian persalinan prematur berdasarkan kondisi sosio-
ekonomi telah lama diketahui, bukan hanya di USA, namun juga di
negara-negara Eropa, Canada, Finlandia, Scotlandia dan Spanyol yang
pada umumnya mempunyai penduduk dengan tingkat sosio-ekonomi
yang cukup baik. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor lain yang dapat
terjadi pada kondisi tersebut seperti kecenderungan untuk hamil pada
usia muda, tidak menikah, mengalami lebih banyak stres, nutrisi yang
kurang, tidak dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan, merokok atau
pemakaian obat-obatan narkotika, dan kekerasan fisik
(Cunningham, 2014).
V. Faktor Maternal
1. Inkompetensi Serviks
Inkompetensi serviks didiagnosis secara klinis bila terdapat pembukaan
serviks pada saat kehamilan (belum ada kontraksi rahim). Beberapa peneliti
memasukkan faktor risiko ini ke dalam kelainan rahim. Angka kejadian pasti
sulit untuk diketahui, dan keadaan ini sangat mungkin menjadi persalinan
prematur apabila dipicu oleh perambatan infeksi asendens yang akan
menyebabkan pecahnya ketuban atau mengeluarkan prostaglandin dan
menyebabkan kontraksi rahim. Persalinanprematur dapat juga berlangsung
karena fetus dengan cairan ketubannya terlalu berat untuk disangga oleh
rahim dengan serviks inkompeten; ketuban dapat segera pecah atau didahului
oleh kontraksi rahim (Cunningham, 2014).
7

Pada beberapa kasus, inkompetensi serviks terjadi akibat tindakan operatif


pada serviks, misalnya pernah melakukan aborsi, dilatasi serviks yang
menimbulkan robekan, atau ada kelainan kongenital pada serviks.
Dalam kehamilan, inkompetensi serviks dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan sonografi. Funneling sebagai prediktor persalinan prematur
dapat dideteksi secara transvaginal tetapi seringkali tidak tampak bila
dilakukan pemeriksaan transabdominal (Cunningham, 2014).
2. Riwayat Reproduksi
a. Pernah mengalami persalinan prematur
Ibu yang mempunyai riwayat satu kali persalinan prematur sebelumnya
akan meningkatkan risiko untuk mendapat persalinan prematur lagi
sebesar 2,2 kalinya; dan bila ia pernah mengalami 3 kali persalinan
prematur risikonya meningkat sampai 4,9 kalinya. Penelitian lain
mendapatkan kejadian persalinan prematur 3 kali lipat pada ibu dengan
riwayat persalinan prematur. Makin muda usia kehamilan pada
persalinan prematur terdahulu, makin cepat terjadi prematuritas pada
kehamilan berikutnya (Cunningham, 2014).
b. Pernah mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD)
Risiko persalinan prematur pada ibu dengan riwayat KPD saat kehamilan
< 37 minggu (PPROM, preterm premature rupture of membrane) adalah
34-44%, sedangkan risiko untuk mengalami pPROM kembali sekitar 16-
32% (Cunningham, 2014).
c. Interval kehamilan
Beberapa penelitian membuktikan terdapatnya hubungan terbalik antara
interval kehamilan (jarak antara persalinan terakhir sampai awal
kehamilan berikutnya) dengan kejadian persalinan prematur. Risiko
mengalami persalinan prematur < 32 minggu akan meningkat 3090%
pada ibu yang mempunyai interval kehamilan < 6 bulan dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai interval kehamilan >12 bulan.
(Cunningham, 2014).
d. Kehamilan Multipel / Kehamilan Kembar
Kehamilan kembar merupakan penyebab persalinan prematur yang
penting. Rata-rata kehamilan kembar dua hanya mencapai usia kehamilan
35 minggu, sekitar 60% mengalami persalinan prematur pada usia
8

kehamilan 32 minggu sampai < 37 minggu dan 12% terjadi persalinan


sebelum usia kehamilan 32 minggu.
Pada kehamilan triplet (kembar 3) rata-rata kehamilan hanya akan
mencapai usia 32,2 minggu, quadruplet (kembar empat) hanya mencapai
29,9 minggu dan quintuplet (kembar 5) 100% akan lahir prematur dalam
usia kehamilan < 29 minggu apabila tidak dilakukan intervensi yang baik
(Cunningham, 2014).
VI. Klasifikasi pada bayi prematur :
Bayi prematur mempunyai dua klasifikasi, iaitu berdasarkan berat lahir dan usia
kehamilan si ibu. Jika berdasarkan berat badan, bayi yang memiliki berat lahir
kurang dari 2500 gram disebut dengan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Bayi yang memiliki berat badan kurang dari 1500 gram disebut bayi Berat Badan
Lahir Sangat Rendah (BBLSR). Kemudian, bayi yang punya berat badan kurang
dari 1000 gram saat lahir disebut dengan bayi Berat Badan Lahir Ekstrim
Rendah. Semakin kurang berat lahir bayi, semakin tinggi pula risiko yang akan
dialami oleh bayi. Sedangkan menurut usia kehamilan ibu, bayi prematur dapat
diklasifikasikan dalam empat jenis. Pertama, ada yang disebut dengan Extreme
Prematurity, yaitu bayi yang berada dalam kandungan kurang dari 28 minggu.
Kedua, Very Preterm, di mana bayi lahir antara 29 hingga 32 minggu dalam
kandungan ibu. Ketiga, Moderate Prematurity, bayi yang usianya 32 hingga 34
minggu di dalam perut. Terakhir, ada Late Prematurity, yaitu 34 hingga 37
minggu dalam kandungan. (Sidarta,2011)
Sistem penilaian ini dikembangkan oleh Dr. Jeanne L Ballard, MD untuk
menentukan usia gestasi bayi baru lahir melalui penilaian neuromuskular dan
fisik. Penilaian neuromuskular meliputi postur, square window, arm recoil, sudut
popliteal, scarf sign dan heel to ear maneuver. Penilaian fisik yang diamati
adalah kulit, lanugo, permukaan plantar, payudara, mata/telinga, dan genitalia
atau lebih dikenal dengan Ballard score (Sidarta, 2011).
9

Gambar 1. Ballard Score (Sidarta, 2011)


10

Patofisiologi Prematur

Faktor ibu : Faktor janin: Faktor lingkungan:


Ibu berusia <20 th atau Kehamilan ganda Terpapar asap rokok,
>35 th (gameli) radar dan zat-zat beracun
Jarak kehamilan terlalu Hidramnion
dekat infeksi
Keadaan social-ekonomi
yang rendah
Ibu yg terkena Ht & DM

Bayi lahir prematur

Sistem pernafasan yang Termoregulasi Sistem kulit


imatur

Terjadi adaptasi suhu Kulit lebih tipis dari bayi


dari hangat ke dingin yang lahir aterm
Surfaktan Paru terisi cairan

Bayi meningkatkan
panas tubuh Permeabilitas
Ekspansi paru Paru diisi oleh o2 dan
tidak maksimal mendesak cairan keluar
paru-paru
Pembakaran brown fat Penguapan

MK:
Ketidakefektifa Kegagalan pengeluaran
n pola nafas cairan Sistem termoregulasi
mencapai batas
maksimal
Reflek telan

MK: hipotermia
Cairan menumpuk di
jalan nafas

MK: Ketidak efektifan


bersihan jalan napas
11

Bayi lahir Prematur

Sistem imun yang belum Sistem kardiovaskular Sistem GI


sempurna

Alveoli terisi O2 Reflek telan imatur


Sistem kekebalan tubuh
lebih rentan terhadap
infeksi Resistensi vascular paru Daya hisap menurun

MK: Resiko infeksi


Tekanan a.pulmonalis MK: Ketidak
seimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan
Tekanan atrium kanan tubuh

Aliran darah paru masuk


ke jantung

Tekanan atrium kiri Tekanan atrium tdk


adekuat

Tertutupnya foramen Foramen ovale tdk


ovale menutup

Pencampuran darah

Hipoksia jaringan

MK: Gang. Perfusi


jaringan perifer
12

Kondisi yang menimbulkan masalah bayi prematur :


a. Sistem Pernapasan
a. Otot-otot pernapasan susah berkembang
b. Dinding dada tidak stabil
c. Produksi surfaktan penurunan
d. Pernafasan tidak teratur dengan periode apnea dan sianosis
e. Gangguan reflek dan batuk
b. Sistem Pencernaan
a. Ukuran Lambung Kecil
b. Enzim penurunan
c. Garam Empedu Kurang
d. Keterbatasan mengubah glukosa menjadi glikogen
e. Keterbatasan melepas insulin
f. Kurang koordinasi reflek menghisap dan menelan
c. Kestabilan Suhu
a. Lemak subkutaneus sedikit, simpanan glikogen & lipid sedikit
b. Kemampuan menggigil menurunan
c. Aktivitas kurang
d. Sistem Ginjal
a. Ekskresi sodium meningkat
b. Kemampuan mengkonsentrasi & mengeluarkan urin menurun
c. Jumlah tubulus glomerulus tidak seimbang untuk protein, asam Amino &
sodium
e. Sistem Syaraf
a. Respon untuk stimulasi lambat
b. Reflek gag, menghisap & menelan kurang
c. Reflek batuk lemah
d. Pusat kontrol pernafasan, suhu & vital lain belum berkabung
f. Infeksi
a. Pembentukan antibodi kurang
b. Tidak ada immunoglobulin M
c. Kemotaksis terbatas
d. Opsonization penurunan
e. Hypo fungsi kelenjar adrenal
13

g. Fungsi Liver
a. Kemampuan mengkonjugasi billirubin
b. Penurunan Hb setelah lahir (Sidarta, 2011).
VII. Komplikasi Umum Pada Bayi Prematur
1. Sindrom Gawat Napas (RDS)
Tanda Klinisnya : Mendengkur, nafas cuping hidung, retraksi, sianosis,
peningkatan usaha nafas, hiperkarbia, asiobsis respiratorik, hipotensi dan
syok
2. Displasin bronco pulmaner (BPD) dan Retinopati prematuritas (ROP)
Akibat terapi oksigen, seperti perporasi dan inflamasi nasal, trakea, dan
faring. (Whaley & Wong, 1995)
3. Duktus Arteriosus Paten (PDA)
4. Necrotizing Enterocolitas (NEC) (Sidarta, 2011).
VIII. Penatalaksannaan medis
1. Perawatan di Rumah Sakit
Mengingat belum sempurnanya kerja alat alat tubuh yang perlu untuk
pertumbuhan dan perkembangan dan penyesuaian diri dengan lingkungan
hidup di luar uterus maka perlu diperhatikan pengaturan suhu lingkungan,
pemberian makanan dan bila perlu pemberian oksigen, mencegah infeksi
sertamencegah kekurangan vitamin dan zat besi (cunningham, 2014).
a. Pengaturan suhu
Bayi prematur mudah dan cepat sekali menderita hipotermia bila berada
di lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh permukaan
tubuh bai yang relative lebih luas bila dibandingkan dengan berat badan,
kurangnya jaringan lemak di bawah kulit dan kekurangan lemak coklat
(brown flat). Untuk mencegah hipotermia perlu diusahakan lingkunagn
yang cukup hangat untuk bayi dan dalam keadaan istirahat konsumsi
okigen paling sedikit, sehingga suhu tubuh bayi tetap normal. Bila bayi di
rawat di dalam incubator maka suhu untuk bayi dengan berat badan
kurang dari 2 kg adalah 35 C dan untuk bayi dengan berat badan 2 2,5
kg adalah 34 C agar ia dapta mempertahankan suhu tubuh sekitar 37 C.
Kelembapan incubator berkisar antara 50% - 60%. Kelembapan yang
lebih tinggi diperlukan pada bayi dengan sindroma gangguan pernafasan.
Suhu incubator dapat diturunkan 1C perminggu untuk bayi dengan berat
14

badan 2 kg dan secara berangsur angsur ia dapat di letakkan di dalam


tempat tidur bayi dengan suhu lingkungan 27C - 29C. Bila incubator
tidak ada, pemanasan dapat dilakukan dengan membungkus bayi dan
meletakkan botol botol hangat disekitarnya atau dengan memasang
lampu petromaks di dekat tempat tidur bayi. Cara lain untuk
mempertahankan suhu tubuh bayi sekitar 36C - 37C adalah dengan
memakai alat perspexheat shield yang diselimutkan pada bayi dalam
incubator. Alat ini digunakan untuk menghilangkan panas karena radiasi.
Akhir akhir ini telah mulai digunakan incubator yang dilengkapi dengan
alat temperature sensor (thermistor probe). Alat ini ditempelkan di kulit
bayi. Suhu incubator dikontrol oleh alat servomechanism. Dengan cara ini
suhu kulit bayi dapat dipertahankan pada derajat yang telah ditetapkan
sebelumnya. Alat ini sangat bermanfaat untuk bayi dengan lahir yang
rendah (Cunningham, 2014).
Bayi dalam incubator hanya dipakaikan popok. Hal ini mungkin untuk
pengawasan mengenai keadaan umum, perubahan tingkah laku, warna
kulit, pernafasan, kejang dan sebagainya sehingga penyakit yang diderita
dapat dikenal sedini dininya dan tindakan serta pengobatan dapat
dilaksanakan secepatnya (Cunningham, 2014).
b. Pemberian ASI pada bayi premature
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik yang dapat diberikan
oleh ibu pada bayinya, juga untuk bayi premature. Komposisi ASI yang
dihasilkan ibu yang melahirkan premature berbeda dengan komposisi ASI
yang dihasilkan oleh ibu yang melahirkan cukup bulan dan perbedaan ini
berlangsung selama kurang lebih 4 minggu. Jadi apabila bayi lahir sangat
premature (Sidarta, 2011).
Sering kali terjadi kegagalan menyusui pada ibu yang melahirkan
premature. Hal ini disebabkan oleh karena ibu stres, ada perasaan
bersalah, kurang percaya diri, tidak tahu memerah ASI pada bayi prematur
refleks hisap dan menelan belum ada atau kurang, energi untuk menghisap
kurang, volume gaster kurang, sering terjadi refluks, peristaltik lambat.
Agar ibu yang melahirkan prematur dapat berhasil memberikan ASI perlu
dukungan dari keluarga dan petugas, diajarkan cara memeras ASI dan
15

menyimpan ASI perah dan cara memberikan ASI perah kepada bayi
prematur dengan sendok, pipet ataupun pipa lambung
1) Bayi prematur dengan berat lahir >1800 gram (> 34 minggu gestasi)
dapat langsung disusukan kepada ibu. Mungkin untuk hari hari
pertama kalau ASI belum mencukupi dapat diberikan ASI donor
dengan sendok / cangkir 8 10 kali sehari.
2) Bayi prematur dengan berat lahir 1500- 1800 gram (32 34 minggu),
refleks hisap belum baik, tetapi refleks menelan sudah ada, diberikan
ASI perah dengan sendok / cangkir, 10 12 kali sehari. Bayi prematur
dengan berat lahir 1250 1500 gram (30 31 minggu), refleks hisap
dan menelan belum ada, perlu diberikan ASI perah melalui pipa
orogastrik 12X sehari.
3) Bayi prematur dengan berat lahir <1250 (Sidarta, 2011).
c. Makanan bayi
Pada bayi prematur, reflek hisap, telan dan batuk belum sempurna,
kapasitas lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan terutama lipase
masih kurang disamping itu kebutuhan protein 3 5 gram/ hari dan tinggi
kalori (110 kal/ kg/ hari), agar berat badan bertambah sebaik baiknya.
Jumlah ini lebih tinggi dari yang diperlukan bayi cukup bulan. Pemberian
minum dimulai pada waktu bayi berumur 3 jam agar bayi tidak menderita
hipoglikemia dan hiperbilirubinemia.
Sebelum pemberian minum pertama harus dilakukan penghisapan cairan
lambung. Hal ini perlu untuk mengetahui ada tidaknya atresia esophagus
dan mencegah muntah. Penghisapan cairan lambung juga dilakukan setiap
sebelum pemberian minum berikutnya. Pada umumnya bayi denagn berat
lahir 2000 gram atau lebih dapat menyusu pada ibunya. Bayi dengan berat
lahir kurang dari 1500 gram kurang mampu menghisap air susu ibu atau
susu botol, terutama pada hari hari pertama, maka bayi diberi minum
melalui sonde lambung (orogastrik intubation).
Jumlah cairan yang diberikan untuk pertama kali adalah 1 5 ml/jam dan
jumlahnya dapat ditambah sedikit demi sedikit setiap 12 jam. Banyaknya
cairan yang diberikan adalah 60mg/kg/hari dan setiap hari dinaikkan
sampai 200mg/kg/hari pada akhir minggu kedua (Sidarta, 2011).
16

d. Mencegah infeksi
Bayi prematur mudah sekali terserang infeksi. Ini disebabkan oleh karena
daya tahan tubuh terhadap infeksi kurang, relatif belum sanggup
membentuk antibodi dan daya fagositosis serta reaksi terhadap
peradangan belum baik oleh karena itu perlu dilakukan tindakan
pencegahan yang dimulai pada masa perinatal memperbaiki keadaan
sosial ekonomi, program pendidikan (nutrisi, kebersihan dan kesehatan,
keluarga berencana, perawatan antenatal dan post natal), screening
(TORCH, Hepatitis, AIDS), vaksinasi tetanus serta tempat kelahiran dan
perawatan yang terjamin kebersihannya. Tindakan aseptik antiseptik
harus selalu digalakkan, baik dirawat gabung maupun dibangsal neonatus.
Infeksi yang sering terjadi adalah infeksi silang melalui para dokter,
perawat, bidan, dan petugas lain yang berhubungan dengan bayi.
Untuk mencegah itu maka perlu dilakukan :
1) Diadakan pemisahan antara bayi yang terkena infeksi dengan bayi
yang tidak terkena infeksi
2) Mencuci tangan setiap kali sebelum dan sesudah memegang bayi
3) Membersihkan temapat tidur bayi segera setelah tidak dipakai lagi
(paling lama seorang bayi memakai tempat tidur selama 1 minggu
untuk kemudian dibersihkan dengan cairan antisptik)
4) Membersihkan ruangan pada waktu waktu tertentu
5) Setiap bayi memiliki peralatan sendiri
6) Setiap petugas di bangsal bayi harus menggunakan pakaian yang telah
disediakan
7) Petugas yang mempunyai penyakit menular dilarang merawat bayi
8) Kulit dan tali pusat bayi harus dibersihkan sebaik baiknya
9) Para pengunjung hanya boleh melihat bayi dari belakang kaca (Sidarta,
2011).
e. Minum cukup
Selama dirawat, pihak rumah sakit harus memastikan bayi mengkonsumsi
susu sesuai kebutuhan tubuhnya. Selama belum bisa menghisap denagn
benar, minum susu dilakukan dengan menggunakan pipet (Sidarta, 2011).
17

f. Memberikan sentuhan
Ibu sangat disarankan untuk terus memberikan sentuhan pada bayinya.
Bayi prematur yang mendapat banyak sentuhan ibu menurut penelitian
menunjukkan kenaikan berat badan yang lebih cepat daripada jika si bayi
jarang disentuh (Sidarta, 2011).
g. Membantu beradaptasi
Bila memang tidak ada komplikasi, perawatan di RS bertujuan membantu
bayi beradaptasi dengan limgkungan barunya. Setelah suhunya stabil dan
dipastikan tidak ada infeksi, bayi biasanya sudah boleh dibawa pulang.
Namunada juga sejmlah RS yang menggunakan patokan berat badan.
Misalnya bayi baru boleh pulang kalau beratnya mencapai 2kg kendati
sebenarnya berat badan tidak berbanding lurus dengan kondisi kesehatan
bayi secara umum (Didinkaem, 2007).
2. Perawatan di rumah
a. Minum susu
Bayi prematur membutuhkan susu yang berprotein tinggi. Namun dengan
kuasa Tuhan, ibu ibu hamil yang melahirkan bayi prematur dengan
sendirinya akan memproduksi ASI yang proteinnya lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi cukup bulan. Sehingga
diusahakan untuk selalu memberikan ASI eksklusif, karena zat gizi yang
terkandung didalamnya belum ada yang menandinginya dan ASI dapat
mempercepat pertumbuhan berat anak (Cunningham, 2014).
b. Jaga suhu tubuhnya
Salah satu masalah yang dihadapi bayi prematur adalah suhu tubuh yang
belum stabil. Oleh karena itu, orang tua harus mengusahakan supaya
lingkungan sekitarnya tidak memicu kenaikan atau penurunan suhu tubuh
bayi. Bisa dilakukan dengan menempati kamar yang tidak terlalu panas
ataupun dingin (Cunningham, 2014).
c. Pastikan semuanya bersih
Bayi prematur lebih rentan terserang penyakit dan infeksi. Karenanya
orang tua harus berhati hati menjaga keadaan si kecil supaya tetap bersih
sekaligus meminimalisir kemungkinan terserang infeksi. Maka sebaiknya
cuci tangan sebelum memberikan susu, memperhatikan kebersihan kamar
(Cunningham, 2014).
18

d. BAB dan BAK


BAB dan BAK bayi prematur masih terhitung wajar kalau setelah disusui
lalu dikeluarkan dalam bentuk pipis atau pup. Menjadi tidak wajar apabila
tanpa diberi susu pun bayi terus BAB dan BAK. Untuk kasus seperti ini
tak ada jalan lain kecuali segera membawanya ke dokter
(Cunningham, 2014).
e. Berikan stimulus yang sesuai
Bisa dilakukan dengan mengajak berbicara, membelai, memijat,
mengajak bermain, menimang, menggendong, menunjukkan perbedaan
warna gelap dan terang, gambar gambar dan mainan berwarna cerah
(Cunningham, 2014).
B. Kehamilan Postterm
Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dari hari pertama haid
terakhir. Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara 38 sampai 42 minggu dan ini
merupakan periode dimana terjadi persalinan normal. Kehamilan yang melewati 294
hari atau lebih dari 42 minggu lengkap disebut sebagai postterm atau kehamilan
lewat waktu. Angka kejadian kehamilan lewat waktu kira-kira 10%; bervariasi
antara 3,5-14%. Perbedaan yang lebar disebabkan perbedaan dalam menentukan usia
kehamilan. Disamping itu, sebanyak 10% para ibu lupa akan tanggal haid terakhir
disamping sukar menentukan saat ovulasi. Perhitungan usia kehamilan umumnya
memakai rumun Naegle, tetapi selain pengaruh faktor diatas masih ada faktor siklus
haid dan kesalahan perhitungan. Sebaliknya Boyce mengatakan dapat terjadi
kehamilan lewat waktu yang tidak diketahui akibat masa proliferasi yang pendek.
(Manuaba, 2007)
Kini dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan lebih
tepat terutama bila dilakuakan pemeriksaan pada usia kehamilan 6-11 minggu
sehingga penyimpangan hanya 1 minggu. Kekhawatiran dalam menghadapi
kehamilan lewat waktu ialah meningkatnya risiko kematian dan kesakitan perinatal.
Risiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu dapat menjadi 3 kali dibandingkan
kehamilan aterm. Disamping itu ada pula komplikasi yang lebih sering menyertainya
seperti; letak defleksi, posisi oksiput posterior, distosia bahu dan perdarahan
postpartum (Manuaba, 2007).
I. Definis
19

Istilah postterm, memanjang, lewat tanggal, dan postmatur sering digunakan


secara longgar dan dan saling dipertukarkan untuk menyebutkan kehamilan yang
sudah melampaui masa kehamilan yang dianggap berada di atas batas normal.
Ketidaktepatan penggunaan istilah itu, ditambah dengan bervariasinya definisi
tentang batas atas kehamilan normal, membuat penelusuran literatur tentang
kehamilan postterm menjadi sangat membingungkan (Manuaba, 2007).
Postmatur seharusnya dugunakan untuk mendeskripsikan janin dengan ciri-ciri
klinis nyata yang menunjukkan kehamilan yang memanjang patologis. Lewat
tanggal (postdates) mungkin seharusnya seharusnya ditinggalkan, karena
masalah yang nyata pada banyak kehamilan postterm adalah lewat tanggal yang
belum dapat dijelaskan secara definitive. Oleh karena itu, kehamilan postterm
atau memanjang adalah pernyataan yang lebih disukai untuk kehamilan-
kehamilan yang lewat waktu, dan postmatur dikhususkan untuk sebuah
sindrom klinis spesifik. Perlu diperhatikan, hanya sedikit bayi yang lahir dari
kehamilan memanjang ini yang postmatur, dan penggunaan istilah ini secara tidak
pandang bulu dapat salah mengesankan kehamilan yang memanjang patologis
(Manuaba, 2007).
Definisi standar yang direkomendasikan secara internasional untuk kehamilan
memanjang, didukung oleh American College of Obstetricians and Gynecologist
(1997), adalah 42 minggu lengkap (294 hari) atau lebih sejak pertama haid
terakhir. Frase 42 minggu lengkap perlu ditekankan. Kehamilan antara 41
minggu lewat 1 hari sampai 41 minggu lewat 6 hari, meskipun telah masuk
minggu ke 42, belum lengkap 42 minggu sampai habis hari ketujuh. Jadi, secara
teknis, kehamilan memanjang dapat dimulai pada hari 294 atau pada hari 295
setelah hari pertama haid terakhir. Disinila letak kesulitan dalam menentukan
kehamilan memanjang secara definitif, sehingga perlu ditekankan bahwa adanya
sedikit ketidaktepatan dalam upaya mendefinisikan kehamilan memanjang
memang tidak dapat dihindari (Manuaba, 2007).
Definisi kehamilan postterm sebagai kehamilan yang berlangsung selama 42
minggu atau lebih sejak awitan menstruasi menganggap bahwa menstruasi
terakhir diikuti dengan ovulasi 2 minggu kemudian. Meskipun definisi ini
mungkin benar untuk 10 persen kehamilan, beberapa kehamilan mungkin
sebenarnya bukan postterm tetapi lebih merupakan akibat kesalahan penaksiran
usia gestasi.
20

Ada kemungkinan terdapat 2 kategori kehamilan yang mencapai 42 minggu


lengkap :
1. Yang benar-benar 42 minggu setelah konsepsi.
2. Yang kehamilannya belum terlalu lanjut karena bervariasinya waktu ovulasi.
Dengan demikian, kebanyakan kehamilan yang pasti 42 minggu lengkap setelah
menstruasi terakhir mungkin secara biologis tidak memanjang dan beberapa
kehamilan yang belum mencapai 42 minggu mungkin sebenarnya telah postterm.
Variasi-variasi siklus menstruasi ini kemungkinan menjelaskan, setidaknya
sebagian, mengapa sekitar 10% kehamilan manusia mencapai 42 minggu, namun
relatif sedikit janin yang terbukti mengalalmi postmaturitas. Karena tidak ada
metode untuk mengidentifikasi kehamilan yang benar-benar memanjang, semua
kehamilan yang ditetapkan sebagai 42 minggu lengkap harus ditangani seolah-
olah memanjang abnormal (Manuaba, 2007).

II. Etiologi
Kini dipahami bahwa menjelang persalinan terjadi penurunan hormon
progesterone, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin, tetapi
yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang
menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan berperan paling
penting dalam menimbulkan kontraksi uterus. Nwosu dan kawan-kawan
menemukan perbedaan dalam rendahnya kortisol pada bayi sehingga disimpulkan
kerentanan akan stress merupakan faktor tidak timbulnya his, selain kurangnya
air ketuban dan insufisiensi plasenta (Manuaba, 2007).
III. Faktor Resiko
1. Masalah perinatal
Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan
kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu, hal ini dapat dibuktikan
dengan penurunan kadar estriol dan plasental laktogen. Rendahnya fungsi
plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat dengan risiko 3 kali.
Akibat dari proses penuaan plasenta maka pemasokan makanan dan oksigen
akan menurun disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami
pertumbuhan terhambat dan penurunan berat; dalam hal ini dapat disebut
sebagai dismatur. Sirkulasi uteroplasenter akan berkurang dengan 50%
21

menjadi hanya 250ml/menit. Jumlah air ketuban yang berkurang


mengakibatkan perubahan abnormal jantung janin. Kematian janin akibat
kehamilan lewat waktu ialah terjadi pada 30% sebelum persalinan, 55% dalam
persalinan, 15% post natal. Penyebab utama kematian perinatal ialah hipoksia
dan aspirasi mekonium. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi baru lahir
ialah : suhu yang tak stabil, hipoglikemi, polisitemia, dan kelainan neurologi
(Manuaba, 2007).
2. Mortalitas Perinatal
Mortalitas perinatal meningkat setelah tanggal yang diharapkan terlampaui.
Hal ini paling jelas terlihat bila mortalitas perinatal dianalisis sejak saat
sebelum intervensi-intervensi untuk kehamilan yang melampaui 42 minggu
dilakukan secara luas. Dari beberapa data yang dikumpulkan, diketahui bahwa
semua komponen mortalitas perinatal (kematian antepartum, intrapartum, dan
neonatal) meningkat pada usia gestasi 42 minggu dan sesudahnya.
Peningkatan yang paling signifikan terjadi intrapartum. Penyebab utamanya
adalah hipertensi gravidarum, partus lama dengan disproporsi sefalopelvik,
anoksia yang tidak diketahui penyebabnya, dan malformasi. Dari beberapa
data lainnya, juga diketahui bahwa malformasi pada bayi lahir mati postterm
sering terjadi (Manuaba, 2007).
Pada kelahiran di National Maternity Hospital, Dublin antara 1979 sampai
1986, tingginya angka kematian perinatal akibat kehamilan postterm hanya
terjadi pada masa intrapartu dan neonatal (Crowley, 1991). Asfiksia intrapartu
dan aspirasi mekoneum terjadi pada hampir tiga perempat kematian ini. Selain
itu, kejang neonatal dini (yang sering digunakan sebagai indeks kejadian
intrapartum) terjadi pada 5,4 per 1000 bayi postterm disbanding 0,9 per 1000
bayi yang lahir aterm. Risiko perinatal meningkat pada kehamilan memanjang,
terutama bila terdapat mekoneum. Mekoneum ditemukan pada lebih dari
seperempat kehamilan pstterm dan sindrom aspirasi mekoneum meningkat
secara signifikan. Induksi persalinan, seksio sesarea, makrosomia, dan distosia
bahu juga meningkat secara signifikan (Manuaba, 2007).
Malformasi kongenital spesifik (anansefali dan hipoplasia adrenal) yang
menyertai kehamilan memanjang memiliki gambaran umum menyerupai
insufisiensi hipofisis dan tidak terdapat estrogen kadar tinggi yang biasanya
mencerminkan kehamilan normal. Pada kasus-kasus ini, hormone precursor,
22

dehidroisoandrosteron sulfat, disekresi dalam jumlah yang tidak memadai


untuk dikonversi menjadi estradiol dan secara tidak langsung menjadi estriol
di plasenta (Manuaba, 2007).
23

IV. Patofisiologi

Gambar 2. Pathway klinis kehamilan postterm (Price, 20007)


24

Gambar 3. WOC Kehamilan serotinus (Price, 20007)

Gambar 4. Kehamilan serotinus (Price, 20007)


25

V. Komplikasi
Pada komplikasi menggambarkan suatu sindrom klinis yang dapat dikenali pada
beberapa bayi yang dilahirkan secara aterm dan banyak mematahkan pendapat
obstetric yang berlaku bahwa tidak ada kehamilan manusia yang memanjang.
Bayi (baik hidup atau lahir mati) yang menunjukkan ciri-ciri klinis ini, ini
didiagnosis sebagai postmatur patologis. (Manuaba, 2007)
1. Sindrom Postmatur
Deskripsi tentang bayi postmatur didasarkan pada 37 kelahiran yang secara
tipikal terjadi 300 hari atau lebih setelah menstruasi terakhir. Postmatus dibagi
menjadi 3 tahapan : pada stadium 1 cairan amnion jernih, pada stadium 2 kulit
berwarna hijau, dan stadium 3 kulit menjadi berwarna kuning-hijau. (Manuaba
2007)
Bayi postmatur menunjukkan gambaran yang unik dan khas. Gambaran ini
berupa kulit keriput, mengelupas lebar-lebar, badan kurus yang menunjukkan
pengurasan energy, dan maturitas lanjut karena bayi terebut bermata terbuka,
tampak luar biasa siaga, tua dan cemas. Kulit keriput dapat amat mencolok di
telapak tangan dan kaki. Kuku biasanya cukup panjang. Kebanyakan bayi
postmatur seperti itu tidak mengalami hambatan pertumbuhan karena berat
lahirnya jarang turun di bawah persentil ke-10 untuk usia gestasinya. Namun,
dapat terjadi hambatan pertumbuhan berat, yang logisnya harus sudah lebih
dahulu terjadi sebelum 42 minggu lengkap. Banyak bayi postmatur Clifford
mati dan banyak yang sakit berat akibat asfiksia lahir dan aspirasi mekoneum.
Beberapa bayi yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak. (Manuaba,
2007)
2. Disfungsi Plasenta
Pada disfungsi plasenta mengajukan bahwa perubahan kulit pada postmatur
disebabkan oleh hilangnya efek protektil verniks kaseosa. Hipotesis keduanya
yang terus mempengaruhi konsep-konsep kontemporer menghubungkan
sindrom postmaturitas dengan penuaan plasenta naum, Clifford tidak dapat
mendemonstrasikan degenerasi plasenta secara histologist. Yang menarik, baru-
baru ini melaporkan bahwa apoptosis (kematian sel terprogam) plasenta
meningkat secara signifikan pada gestasi 41-42 minggu lengkap disbanding
26

dengan 36 sampa 39 minggu. Makna klinis apoptosis tersebut tidak jelas sampai
sekarang. (Manuaba, 2007)
Penelitian Jazayeri dkk. (1998) kadar eritropietin plasma tali pusat pada 124
neonatus tumbuh normal yang dilahirkan dari usia gestasi 37 sampai 43 minggu.
Mereka ingin menilai apakah oksigenasi janin terganggu (yang mungkin
disebabkan oleh penuaan plasenta) ada kehamilan yang berlanjut melampaui
waktu seharusnya. Penurunan tekanan parsial oksigen adalah satu-satunya
stimulator eritropoietin yang diketahui. Setiap wanita yang diteliti mempunyai
perjalanan persalinan dan perlahiran nonkomplikata tanpa tanda-tanda gawat
janin atau pengeluaran mekonium. Kadar eritropoietin plasma tali pusat
meningkat secara signifikan pada kehamilan yang mencapai 41 minggu atau
lebih dan meskipun tidak ada skor apgar dan gas darah tali pusat yang anormal
pada bayi-bayi ini, penulis menyimpulkan bahwa ada penurunan oksigenasi
janin pada sejumlah kehamilan postterm. (Manuaba, 2007)
Janin postterm mungkin terus bertambah berat badannya sehingga bayi tersebut
luar biasa besar pada saat lahir. Janin yang terus tumbuh menunjukkan bahwa
fungsi plasenta tidak terganggu. Memang, pertumbuhan janin yang berlanjut,
meskipun kecepatannya lebih lambat, adalah ciri khas gestasi antara 38 dan 42
minggu. (Manuaba, 2007)
3. Gawat janin dan Oligohidramnion
Bahaya pada janin antepartum dan dan gawat janin intrapartum merupakan
konsekuensi tali pusat yang menyertai oligohidramnion. Dari analisis yang
dilakukan oleh Leveno dkk 1994, terhadap 727 kehamilan postterm, gawat janin
intrapartum yang terdeteksi dengan pemantauan elektronik tidak disertai
deselerasi lambat yang khas untuk insufisiensi uroplasenta. Sebaliknya, satu
atau lebih deselerasi memanjang mendahului tiga perempat seksio sesarea
darurat yang dilakukan atas dasar bahaya pada janin. Pada semua kecuali dua
kasus, juga trdapat deselerasi variabel. Temuan-temuan ini sejalan dengan
oklusi tali pusat sebagai penyebab utama gawat janin. (Manuaba, 2007)
Korelasi lain yang ditemukan adalah oligohidramnion dan mekonium
kental.Penurunan volume cairan amnion biasanya terjadi ketika kehamilan telah
melewati 42 minggu. Mungkin pengeluaran mekonium oleh janin ke dalam
volume cairan amnion yang sudah berkurang merupakan penyebab
27

terbentuknya mekonium kental yang terjadi pada sindrom aspirasi mekonium.


(Manuaba, 2007).
Produksi urin yang berkurang juga menyertai oligohidramnion. Namun, ada
hipotesis bahwa aliran urin janin yang berkurang mungkin merupakan akibat
oligohidramnion yang sudah ada dan membatasi penelanan cairan amnion oleh
janin. Selain itu, diketahui bahwa aliran darah ginjal janin juga berkurang pada
kehamilan postterm dengan oligohidramnion. (Manuaba, 2007)
4. Pertumbuhan janin terhambat
Makna klinis pertumbuhan janin terhambat pada kehamilan yang seharusnya
tanpa komplikasi tidak begitu diperhatikan hingga kini. Pertumbuhan janin
terhambat menyertai kasus lahir mati pada usia gestasi 42 minggu atau lebih,
demikian juga untuk bayi-bayi aterm. Morbiditas dan mortalitas meningkat
secara signifikan pada bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan. Memang,
seperempat kasus lahir mati yang terjadi pada kehamilan memanjang
merupakan bayi-bayi dengan hambatan pertumbuhan yang jumlahnya relatif
kecil ini. (Manuaba, 2007)
C. Ikterus
I. Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan
bilirubin dalam tubuh atau akumulasi dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24
jam,yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar,sistem
biliary,atau sistem hematologi.ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan
bilirubin indirek (unconjugated) (Karen, 2014).
II. Etiologi
Hiperbilirubinema dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.Penyebab
yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat
inkompabilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini
juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal, perdarahan
subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh,infeksi juga memegang peranan
penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia;keadaan ini terutama terjadi pada
penderita sepsis dan gastroenteritis (Karen, 2014).
III. Patofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh.Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari Dekredasi hemoglobin darah dan
28

sebagian lagi berasal dari hembebas dari proses eritropoesis yang tidak efektif.
Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan
biliverdin serta beberapa zat lain.Biliverdin ini lah yang mengalami reduksi dan
menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa.Zat ini sulit larut dalam air tetapi
larut dalam lemak,karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan
mudah melalui membrane biologic seperti plasenta dan sawar darah otak.
Sebagian besar neonates mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan.Hal ini terjadi karena terdapatnya proses psiologic
tertentu pada neonatus.Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit
neonatus,masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari),dan belum
matangnya fungsi hepar (Karen, 2014).
IV. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis
mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar
pada bayi sebelumnya.Faktor resiko antara lain adalah kehamilan dengan
komplikasi,obat yang diberikan pada ibu selama hamil. Secara klinis ikterus pada
bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian.Pada
bayi dengan peninggian bilirubin indirek,kulit tampak berwarna kuning terang
sampai jingga,sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu
warna kuning kulit tampak kehijauan (Karen, 2014).
Ikterus fisiologis, dalam keadaan normal kadar bilirubin indirek dalam serum tali
pusat adalah 1-3 mg /dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5
mg/dl/24 jam dengan demikian ikterus baru terliahat pada hari ke 2-3,biasanya
mencapai puncak antara hari ke 2-4,dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya
lebih rendah dari 2 mg/dl diantara hari ke 5 sampai 7 kehidupan. Makna
hiperbilirubinemia terletak pada insiden kern ikaterus yang tinggi, berhubungan
dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18-20 mg/dl pada bayi aterm. Pada
bayi BBLR akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yang lebih rendah (10-
15 mg/dl) (Karen, 2014).
V. Komplikasi
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dapat
menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya
29

asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak
dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis,
hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak.
Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke
dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar
bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada
studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan
dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
(Karen, 2014).
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain:
konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin
ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin.
Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan
sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena
ensefalopati bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati
bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa
serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor
seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorderKernikterus adalah suatu
syndrome neurologic yang timbul sebagai akibat penimbunan terkonjugasi dalam
sel-sel otak (Karen, 2014).
VI. Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan
kernikterus/ancefalopati biliaris,serta mengobati penyebab langsung ikterus
tersebut.Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolism bilirubin
(plasma atau albumin),mengurangi sirkulasi enterohepatik,terapi sinar atau
transfuse tukar merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan
kadar bilirubin (Karen, 2014).
D. Kehamilan multiple
Kehamilan ganda (multifetus) adalah kehamilan yang terdiri dari dua janin atau lebih.
Kehamilan ganda dapat menghasikan anak kembar dua (gemelli), kembar tiga
30

(triplet),kembar empat (quadruplet), kembar lima (quintuplet), dan kembar enam


(sextuplet) (Mellyna,2009).
Kehamilan ganda dapat didefinisikan sebagai suatu kehamilan dimana terdapat dua
atau lebih embrio atau janin sekaligus. Kehamilan ganda terjadi apabila dua atau lebih
ovum dilepaskan dan dibuahi atau apabila satu ovum yang dibuahi membelah secara
dini hingga membentuk dua embrio yang sama pada stadium massa sel dalam atau
lebih awal. Kehamilan kembar dapat memberikan resiko yang lebih tinggi terhadap
ibu dan janin. Oleh karen aitu, dalam menghadapi kehamilan ganda harus dilakukan
perawatan antenatal yang intensif.( Francois dkk, 2005)
I. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan janin kembar
1. Faktor ras
Frekuensi kelahiran janin multiple memperlihatkan variasi yang nyata diantara
berbagai ras yang berbeda. Myrianthopoulos (1970) mengidentifikasi kelahiran
ganda terjadi 1 diantara 100 kehamilan kehamilan pada orang kulit putih,
sedangkan pada orang kulit hitam 1 diantara 80 kehamilan. Pada kawasan di
Afrika, frekuensi terjadinya kehamilan ganda sangat tinggi. Knox dan Morley
(1960) dalam suatu survey pada salah satu masyarakat pedesaan di Nigeria,
mendapatkan bahwa kehamilan ganda terjadi sekali pada setiap 20 kelahiran,
kehamilan pada orang Timur atau Oriental tidak begitu sering terjadi. Perbedaan
ras yang nyata ini merupakan akibat keragaman pada frekuensi terjadinya
kehamilan kembar dizigot. Perbedaan kehamilan ganda ini disebabkan oleh
perbedaan tingkat. Folikel Stimulating Hormone yang akan mengakibatkan
multiple ovulasi (Nylander, 2010 ).
2. Faktor keturunan
Sebagai penentu kehamilan ganda genotip ibu jauh lebih penting dari genotip
ayah. White dan Wyshak (1964) menemukan bahwa para wanita yang dirinya
sendiri dizigot dengan frekuensi 1 per 58 kelahiran. Namun, wanita yang bukan
kembar tapi mempunyai suami kembar dizigot, melahirkan bayi kembar dengan
frekuensi 1 per 116 kehamilan. Lebih lanjut, dalam analisis Bulmer (1960)
terhadap anak-anak kembar, 1 dari 25 (4%) ibu mereka ternyata juga
kembar, tetapi hanya 1 dari 60 (1,7%) ayah mereka yang kembar, keterangan
didapatkan bahwa salah satu sebabnya adalah multiple ovuasi yang diturunkan
(Nylander, 2010 ).
31

3. Faktor usia dan paritas Ibu


Untuk peningkatan usia sampai sekitar 40 tahun atau paritas sampai dengan 7,
frekuensi kehamilan ganda akan meningkat. Kehamilan ganda dapat terjadi
kurang dari sepertiga pada wanita 20 tahun tanpa riwayat kelahiran anak
sebelumnya, bila dibandingkan dengan wanita yang berusia diantara 35 sampai
40 tahun dengan 4 anak atau lebih. Di Swedia, Petterson dkk (1976),
memastikan peningkatan yang nyata pada angka kehamilan ganda yang
berkaitan dengan meningkatnya paritas. Dalam kehamilan pertama, frekuensi
janin kembar adalah 1,3% dibandingkan dengan kehamilan keempat sebesar
2,7% (Nylander, 2010 ).
4. Faktor Gizi
Nylander (1971) mengatakan bahwa peningkatan kehamilan ganda berkaitan
dengan status nutrisi yang direfleksikan dengan berat badan ibu. Ibu yang lebih
tinggi dan berbadan besar mempunyai resiko hamil ganda sebesar 25-30%
dibandingkan dengan ibu yang lebih pendek dan berbadan kecil. McGillivray
(1986) juga memaparkan bahwa kehamilan dizigotik lebih sering ditemui pada
wanita berbadan besar dan tinggi dibandingkan pada wanita pendek dan
bertubuh kecil. Haggarty dkk.,(2006) melaporkan bahwa asupan folat dan
konsentrasi folat plasma yang lebih tinggi berkaitan dengan angka kehamilan
kembar pada wanita yang menjalani IVF (Nylander, 2010 ).
5. Faktor terapi infertilitas
Induksi ovulasi dengan menggunakan FSH plus gonadotropin karionik atau
klomifen sitrat sangat meningkatkan kemungkinan ovulasi multipel. Insiden
gestasi multijanin setelah penggunaan gonadotropin sebesar 16-40%, 75%
kehamilan dengan dua janin (Schenker & co-workers, 1981). Tuppin dkk (1993)
melaporkan dari Prancis, insiden persalinan gemelli dan triplet terjadi karena
induksi ovulasi dengan terapi human menopause gonadotropin (hMG). Faktor
resiko untuk kehamilan ganda setelah ovarium distimualsi dengan hMG
berpengaruh terhadap peningkatan jumlah estradiol dan injeksi chorionic
gonadotropin pada saat bersamaan akan berpengaruh terhadap karakteristik
sperma, meningkatkan konsenterasi dan motilitas sperma. Induksi ovulasi
meningkatkan insiden kehamilan ganda dizigotik dan monozigotik (Dickey,
2009).
6. Faktor assisted reproductive technology (ART)
32

Teknik ART didesain untuk meningkatkan kemungkinan kehamilan, dan juga


meningkatkan kemungkinan kehamilan ganda. Pasien pada kasus ini,
pembuahan dilakukan melalui teknik fertilisasi in vitro dengan melakukan
seleksi terhadap ovum yang benar-benar berkualitas baik, dan dua dari empat
embrio ditransfer kedalam uterus. Pada umumnya, sejumlah embrio yang
ditransfer kedalam uterus maka sejumlah itulah akan berisiko kembar dan
meningkatkan kehamilan ganda (Wrught, 2008).
II. Patofisiologi
Fetus multipel umumnya disebabkan oleh fertilisasi dua ovum yang terpisah yang
disebut double-ovum, dizigotik, atau kembar fraternal. Sedangkan sebagian
berasal dari ovum tunggal yang difertilisasi yang kemudian berkembang menjadi
dua struktur yang serupa yang masing-masing mempunyai potensi untuk menjadi
individu yang terpisah. Kembar ini disebut single-ovum, monozigotik atau
kembar identik. Kedua jenis proses kehamilan kembar ini dapat melibatkan
pembentukkan fetus yang lebih dari dua (Mellyna,2001).
Kembar dizigotik sebenarnya bukan merupakan kembar sejati karena dihasilkan
dari fertilisasi dua ovum yang berbeda dalam satu siklus ovulasi. Selain itu juga
kembar identik atau monozigotik tidak selalu identik karena pembelahan dari satu
ovum yang difertilisasi tidak selalu menghasilkan pembagian material
protoplasma yang seimbang. Proses pembelahan pada kembar monozigotik
merupakan suatu kejadian yang teratogenik sehingga insidensi terjadinya
malformasi meningkat. (Mellyna,2001).
Kembar monozigotik diperkirakan merupakan hasil dari keterlambatan
perkembangan normal pada ovum yang sudah dibuahi. Hal ini dapat disebabkan
oleh keterlambatan transpor ovum melalui tuba fallopi karena penggunaan agen
progestasional dan kontrasepsi kombinasi serta karena trauma minor pada
blastocyst selama during assisted reproductive technology (ART) (Mellyna,2001).
Hasil dari proses kembar ini tergantung kapan pembelahannya terjadi :
1. Pembelahan terjadi dalam 72 jam setelah fertilisasi, morula belum
terbentuk dan blastocyst belum membentuk chorion. Terbentuklah dua
embrio, dua amnion dan dua chorion sehingga menjadi kehamilan kembar
monozigotik, diamnionik, dikhorionik. Plasenta dapat terbentuk tunggal
maupun ganda.
33

2. Jika pembelahan terjadi antara hari keempat dan kedelapan morula sudah
terbentuk sedangkan sel yang akan menjadi chorion sudah berdiferensiasi
tetapi belum terbentuk amnion. Pada pembelahan ini terbentuklah dua
embrio yang berada pada dua kantung amnion yang dilapisi chorion
sehingga menghasilkan kehamilan kembar monozigotik, diamnionik,
monokhorionik.
3. Jika sedemikian sehingga chorion dan amnion sudah berdiferensiasi pada
delapan hari setelah fertilisasi, pembelahan menghasilkan 2 embrio dalam
satu kantung amnion,sehingga menjadi kehamilan kembar monozigotik,
monoamnionik, monochorionik.
4. Jika pembelahannya terjadi setelah diskus embrionik telah terbentuk,
pembelahannya menjadi tidak sempurna dan terbentuklah kembar siam /
conjoined twins (Mellyna,2001).

Kembar monozigotik selalu mempunyai jenis kelamin yang sama, tetapi


perkembangannya lebih lanjut dapat berbeda tergantung dari waktu
preimplantasinya. Biasanya, kembar monozigotik mempunyai karakteristik fisik
(kulit, warna mata dan rambut, bentuk tubuh) serta genetik (golongan darah, grup
serum, haptoglobin, kecocokan pada skin graft) yang sama dan terkadang mereka
merupakan gambaran cermin dengan yang lain (dominansi tangan kanan dan kiri,
dll). Meskipun demikian sidik jari pada anak kembar monozigotik tidak sama.
Triplet monozigot merupakan hasil dari pembelahan berulang dari satu ovum yang
disebut juga supertwinning. (Mellyna,2001).
34

Gambar 5. Mitosis embriologi . (Mellyna,2001).

Kembar dizigotik merupakan produk dari dua ovum dan dua sperma. Kedua ovum
dilepaskan dari folikel yang berbeda, atau dari satu folikel tetapi sangat jarang, pada
waktu yang hampir bersamaan. Kembar dizigotik atau fraternal dapat mempunyai
jenis kelamin dan golongan darah yang sama ataupun berbeda. Kemiripan diantara
kembar dizigotik menyerupai kemiripan pada saudara kandung

Kira-kira dua pertiga kehamilan kembar adalah dizigotik yang berasal


dari 2 telur, disebut juga heterolog, binovuler, atau fraternal. Jenis kelamin sama
atau berbeda, mereka berbeda seperti anak-anak lain dalam keluarga. Kembar
dizigotik mempunyai 2 plasenta,2 korion, dan 2 amnion. Kadang-kadang 2 plasenta
menjadi satu. (Mellyna,2001).
35

Gambar 6. Plasenta pada kembar dizigotik dan gambar monozigotik dan dizigotik
(Mellyna,2001).

III. Patologi yang dapat terjadi pada kehamilan multiple


Berdasarkan waktu terjadinya yaitu:
1. Antepartum
Kelahiran prematur, Kelainan kongenital ,Tingkat abortus spontan yang
tinggi,IUGR , Anemia maternal, Twin-to-twin transfusion syndrome, Hipertensi
karena kehamilan, Hidramnion
2. Intrapartum
Placenta previa, Abruptio placenta,Vasa previa,Partus lama , Kelainan letak janin,
Prolaps tali pusat,Insidensi seksio sesarea meningkat
3. Postpartum
Insidensi transfusi darah maternal meningkat, Perdarahan post partum / atonia
uteri (Cunningham, 2014).

Selain itu patologi yang dapat terjadi dapat dibagi tiga, yaitu patologi maternal,
plasenta dan tali pusat serta patologi fetal. Lebih jelasnya dibahas sebagai berikut :

1. Patologi Maternal Meskipun volume darah meningkat, pada kehamilan multipel


sering terjadi anemia maternal karena tingginya kebutuhan fetus akan zat besi
serta peningkatan volume plasma yang tidak sebanding dengan peningkatan sel
darah merah mengakibatkan kadar hemoblobin menjadi turun, keadaan ini
36

berhubungan dengan kejadian edema pulmonum pada pemberian tokolitik yang


lebih tinggi dibandingkan kehamilan kembar. Angka kejadian persalinan preterm
(umur kehamilan kurang 37 minggu ) pada kehamilan kembar 43,6 %
dibandingkan dengan kehamilan tunggal sebesar 5,6 %.5 Volume tidal respirasi
meningkat tetapi wanita dengan kehamilan multipel umumnya breathless
(kemungkinan karena peningkatan progesteron). Distensi uterus dan peninggian
tekanan pada organ viseral sekitar dan vaskularisasi pelvis umum terjadi pada
kehamilan multipel. Terkadang kista lutein bahkan asites dapat terjadi karena
level hormon korionik gonadotropin yang meninggi secara abnormal.
Kemungkinan terjadinya plasenta previa lebih tinggi karena ukuran plasenta lebih
besar atau terdapat dua plasenta (Cunningham, 2014).
Sistem kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, renal dan muskuloskeletal ibu
mengalami stress dikombinasikan dengan tingginya kebutuhan nutrisi maternal-
fetal. Frekuensi terjadinya hipertensi yang diperberat kehamilan, preklamsia dan
eklamsia meningkat pada kehamilan kembar. Pendarahan antepartum oleh karena
solutio plasenta disebabkan permukaan plasenta pada kehamilan kembar jelek
sehingga plasenta mudah terlepas. Perdarahan postpartum dalam persalinan
kembar disebabkan oleh distensi uterus yang berlebihan, meningkatkan risiko
terjadinya atonia uterus. (Cunningham, 2014).
2. Placenta dan tali pusat Pada kembar monozigotik keadaan plasenta dan
membrannya dapat bervariasi, tergantung waktu mulainya pembelahan dari
diskus embrionik. Variasi yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut:
a. Pembelahan pada stadium morula dan diferensiasi trofoblas (hari ke-3)
menghasilkan plasenta yang terpisah atau bersatu (fusi), 2 korion, 2 amnion.
Proses ini secara umum menyerupai kembar dizigotik dan terjadi 1/3 dari
jumlah kehamilan kembar monozigotik. Hal ini mendukung manifestasi klinik
dimana kembar dizigotik berisiko komplikasi klinik (Cunningham, 2014).
b. Pembelahan setelah diferensiasi trofoblas tetapi sebelum pembentukkan
amnion (hari ke 4-8) menghasilkan satu plasenta, korion dan 2 amnion. Hal ini
terjadi sekitar 2/3 dari jumlah kehamilan kembar monozigotik (Cunningham,
2014).
c. Pembelahan yang terjadi setelah diferensiasi dari amnion (hari 8-13) akan
menghasilkan plasenta, korion, dan amnion tunggal, tetapi hal ini jarang
terjadi(Cunningham, 2014).
37

d. Pembelahan pada usia kehamilan >15 hari dapat mengakibatkan kembar yang
inkomplit, jika pembelahan terjadi pada usia 13-15 hari akan menghasilkan
kembar siam (conjoined twins) (Cunningham, 2014).

Saat persalinan, septum membranosa berbentuk T atau membran plasenta yang


membatasi antara kedua janin harus diinspeksi dan dipisahkan untuk menentukan
tipe kehamilan kembar. Kembar monozigotik umumnya memiliki septum
transparan (<2mm) yang tersusun dari 2 membran amnion (tanpa korion dan
desidua). Kembar dizigotik hampir selalu memiliki septum yang tebal dan opak
yang terdiri dari 2 korion, 2 amnion dan desidua diantaranya. (Cunningham,
2012).

Pada plasenta monokorionik dapat diidentifikasi dengan memisahkan amnion


dengan amnion untuk melihat adanya korion tunggal dengan satu plasenta.
Umumnya plasenta monokorionik mempunyai anastomosis, sebaliknya pada
plasenta dikorionik jarang memiliki anastomosis di antara pembuluh darah fetus.
Kembar monozigotik jarang sekali memiliki fenotip jenis kelamin yang sama, hal
ini dapat terjadi jika salah satu janin berjenis kelamin wanita dengan sindrom
Turner (45, XO) dan yang lain laki-laki (46,XY). (Cunningham, 2014).

Plasenta monokorionik mempunyai masalah yang lebih rumit seperti gangguan


vaskularisasi plasenta yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin.
Masalah yang lebih berat adalah kemungkinan terjadinya kelainan yang disebut
twin-twin transfusion syndrome yang disebabkan oleh adanya anastomosis
vaskuler antara janin dapat berbentuk arteri-arteri, vena-vena atau kombinasi
arteri-vena. Pada kasus yang tidak terkompensasi, janin yang secara genetik
identik berbeda jauh dalam bentuk dan ukuran. Janin yang merupakan resipien
mengalami plethoric, oedem, hipertensi, kern ikterus, ascites, jantung, hati dan
ginjal dapat membesar, hidramnion dapat terjadi akibat poliuria. Meskipun
terlihat sehat janin resipien dengan hipervolemik dapat meninggal karena gagal
jantung dalam 24 jam pertama kehidupan. Janin donor berukuran lebih kecil dan
dehidrasi karena pertumbuhan terhambat, malnutrisi dan hipovolemia dapat pula
disertai oligohidramnion, anemia berat yang berkembang menjadi gagal jantung.
Berbagai terapi untuk twin-twin transfusion syndrome telah dikembangkan antara
lain amnioreduction, amniotic septotomy dan ablasi laser pada pembuluh darah
38

yang berhubungan. Percobaan secara acak menunjukkan ablasi dengan laser


memberikan hasil yang lebih baik tetapi prosedur ini masih mempunyai
keterbatasan dalam pengadaan alat dan tenaga (Cunningham, 2014).

Kedua janin kembar berisiko mengalami prolaps tali pusat. Janin ke-2 terancam
karena pelepasan plasenta yang prematur, hipoksia, constriction ring dystocia,
manipulasi operatif atau prolonged anestesia. (Cunningham, 2014).

1) Fetus
Malformasi lebih banyak muncul pada bayi dengan kembar dibandingkan
kehamilan tunggal. Kembar monozigotik berisiko lebih besar dibandingkan
kembar dizigotik. Kembar siam atau conjoined merupakan hasil pembelahan
yang tidak sempurna dari satu ovum yang terjadi pada hari ke-13 dan ke-14.
Jika pembelahan setelah itu akan terbentuk kembar inkomplit (2 kepala, 1
badan). Kembar siam dapat dibagi berdasarkan tempat bersatunya, yaitu:
pygopagus (pada sacrum), thoracopagus (pada thoraks), craniopagus (pada
kepala), and omphalopagus (pada dinding abdomen). Bayi kembar dan
plasentanya umumnya lebih ringan dari pada bayi tunggal. Semakin besar
jumlah bayi kembar, semakin berat tingkat gangguan pertumbuhannya. Berat
badan lahir rendah pada bayi kembar kemungkinan merupakan suatu bukti
adanya nutrisi yang tidak adekuat. Hal ini merupakan salah satu penyebab
kematian bayi pada kehamilan kembar. Pada usia kehamilan lanjut, fetus dapat
mengalami kelahiran prematur, kelainan letak, dan hidramnion. (Cunningham,
2014).
Kematian satu janin pada kehamilan kembar dapat terjadi, penyebab kematian
yang umum adalah saling membelitnya tali pusat. Bahaya yang perlu
dipertimbangkan pada kematian satu janin adanya koagulopati konsumtif berat
yang dapat mengakibatkan terjadinya disseminated intravascular
coagulopathy. Fetus acardiacus adalah fetus monozigotik parasitik yang tidak
mempunyai jantung dan berkembang mengandalkan reversed circulation yang
disuplai oleh 1 anastomosis arteri-arteri dan 1 vena-vena. Hal ini disebut
sindrom twin reversed arterial perfusion (TRAP). Fetus donor berisiko
mengalami hipertropi jantung bahkan dapat terjadi gagal jantung dengan
tingkat mortalitas 35%. Berbagai cara untuk menimbulkan oklusi tali pusat
dapat dilakukan dengan terapi in-utero. Fetus papiraseous merupakan fetus
39

yang kecil, termumifikasi umumnya ditemukan saat persalinan bayi yang


sehat. Insidensinya secara umum 1 dalam 17.000-20.000 kehamilan. Fetus
papyraceous disebabkan kematian salah satu fetus yang kembar, kehilangan
cairan amnion, atau resorpsi dan kompresi oleh janin yang hidup.
(Cunningham, 2014).
VI. Diagnosis
1. Anamnesis dan manifestasi klinik
Riwayat kehamilan multipel dalam keluarga, usia ibu yang tua, paritas tinggi,
ukuran tubuh ibu yang besar dan riwayat kehamilan multipel pribadi merupakan
petunjuk yang mengarahkan diagnosis kehamilan multipel. Riwayat penggunaan
clomiphene citrate, gonadotropin dan kehamilan dengan ART semakin
memperkuat kemungkinan.
Manifestasi klinik pada kehamilan multipel pada umumnya sama dengan
kehamilan tunggal tetapi dengan intensitas yang lebih berat, seperti penekanan
berat pada pelvis, mual, nyeri punggung, varikosis, konstipasi, haemorrhoid,
distensi abdominal dan kesulitan bernapas (Cunningham, 2014).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yaitu dengan pengukuran tinggi fundus yang akurat merupakan
salah satu petunjuk yang penting. Pada trimester ke-2 ukuran uterus membesar
lebih dari usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan hari pertama haid terakhir
(HPHT). Menurut cunningham F tinggi fundus uteri pada 336 kehamilan, pada usia
kehamilan 20-30 minggu tinggi fundus pada kehamilan kembar rata-rata lebih
tinggi 5cm daripada kehamilan tunggal dengan usia kehamilan yang sama
(Cunningham, 2014).
Pada palpasi uterus teraba 2 kepala janin yang biasanya terdapat pada kuadran
uterus yang berbeda. Diagnosis dengan palpasi ini sulit ditegakkan sebelum
trimester ketiga, bahkan jika posisi janin bertumpuk, ibu obesitas dan adanya
hidramnion palpasi abdominal sulit untuk mengidentifikasi kehamilan multipel
meskipun pada usia kehamilan tua (Cunningham, 2014).
Pada timester pertama, denyut jantung janin dapat dideteksi dengan USG doppler.
Pemeriksaan teliti dengan aural fetal stethoscope dapat mengidentifikasi bunyi
jantung janin pada usia 18-20 minggu.Secara umum pemeriksaan fisik yang dapat
mengarahkan diagnosis kehamilan multipel yaitu: Uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan. , Peningkatan berat badan ibu yang berlebihan tanpa adanya obesitas
40

atau oedem, Polihidramnion, Terdapat ballotement yang lebih dari satu fetus. ,
Bagian kecil yang multipel,Bunyi jantung yang berbeda dengan denyut jantung
janin dan ibu, dengan perbedaan 8 denyut per menit. (Cunningham F,2012).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah Nilai hematokrit, hemoglobin dan jumlah eritrosit biasanya
menurun berhubungan dengan peningkatan volume darah. Anemia hipokrom
normositer sering terjadi pada kehamilan multipel karena peningkatan
kebutuhan zat besi pada trimester kedua. Tes toleransi glukosa menunjukkan
diabetes melitus gestasional dan hipoglikemia gestasional meningkat pada
kehamilan multipel daripada kehamilan tunggal.
Jumlah korionik gonadotropin dalam plasma dan urine rata-rata lebih tinggi
daripada kehamilan tunggal, level alfa-fetoprotein juga dapat
meningkat.Jumlah rata-rata serum alfa-fetoprotein maternal 2,5 kali lebih
tinggi pada kehamilan multipel dibandingan kehamilan tunggal. Hal ini diduga
disebabkan tingginya tingkat protein yang dilepaskan oleh hati janin yang
multipel dan ditemukan pada darah ibu dibandingkan janin tunggal
(Cunningham, 2014).
b. USG
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis kehamilan multipel dan
dapat ditentukan pada usia kehamilan 4 minggu dengan probe intravaginal.
Selain itu dapat ditentukan keadaan plasenta. Untuk dapat mengidentifikasi
kehamilan multipel USG rutin sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan 18-20
minggu. Diagnosis kehamilan multipel pada trimester pertama harus dilakukan
dengan hati-hati sampai dengan pasti dapat dua embrio yang viabel. Kesalahan
diagnosis dengan bekuan darah intrauterin atau koleksi cairan sebagai janin
non-viabel dapat menimbulkan trauma pada pasien. USG pada trimester
pertama kehamilan penting untuk menentukan sifat korion. Pada janin
dikorionik biasanya ditemukan jenis kelamin yang berbeda, plasenta yang
berbeda, membran pembagi yang tebal (>2mm) atau adanya tanda twin peak
yaitu berupa membran yang menyusup diantara 2 plasenta yang berfusi.Bila
salah satu plasenta berada pada dinding bagian depan uterus sedangkan plasenta
yang lain pada dinding belakang, saat pencitraan dengan USG akan terlihat
plasenta yang menumpuk seperti satu plasenta. Pada kasus seperti ini akan
41

terlihat bentuk segitiga pada pertemuan membran dan plasenta disebut tanda
lambda.Menurut penelitian oleh Sepulveda W dan teman-teman, pemeriksaan
dengan USG pada usia kehamilan 10-14 dapat menentukan kehamilan multipel
diklasifikasikan sebagai monokorionik atau dikorionik. Kehamilan multipel
diklasifikasikan sebagai monokorionik jika terdapat satu plasenta tanpa tanda
lambda pada hubungan membran-plasenta diantara janin dan diklasifikasikan
sebagai dikorionik jika terdapat satu plasenta dengan tanda lambda atau terdapat
dua plasenta. Cara ini merupakan cara yang dapat diandalakan dan akurat dalam
menentukan jenis kehamilan multipel. Pada janin multipel monokorionik
diamnionik, terdapat satu plasenta dan janin dipisahkan hanya dengan membran
amnion yang tipis sehingga akan terbentuk tanda berbentuk huruf T
(Cunningham, 2014).

Kriteria USG untuk mendiagnosis sifat koriondan amnion pada kehamilan


ganda dapat dilihat pada tabel berikut ini :
1) Gambaran USG : Sifat korion dan amnion
2) Jenis kelamin fetus berbeda : Dikorionik/diamniotik
3) Plasenta yang terpisah : Dikorionik/diamniotik
4) Tanda lambda atau twin peak : Dikorionik/diamniotik
5) Membran pembatas yang tebal (subjektif) : Dikorionik/diamniotik
6) Membran pembatas yang tipis (subjektif) : Monokorionik/diamniotik
7) Tidak ada membran pembatas : Monokorionik/monoamniotik
(Cunningham, 2014).

.
42

Gambar 7. USG pada kehamilan 7 minggu, tampak dua kantong gestasi


berisi fetus (Cunningham, 2014).

Gambaran 8. USG dari tanda berbentuk huruf T (T shape) pada kembar


monokorionik diamnionik (Cunningham, 2014).
43

Keterangan gambar: Panah pada sebelah kiri menujuk pada septum membran
interfetal (<1,5 mm) pada kembar monokorionik yang membentuk huruf T
pada dasarnya.

Pada kehamilan multipel yang lebih dari dua janin, evaluasi dengan USG untuk
menentukan jumlah janin dan posisinya terutama pada trimester pertama sulit
dilakukan. Pada 50% kasus kehamilan multipel ditemukan presentasi kepala
untuk kedua janin. Sedangkan 33% kasus presentasi janin A kepala dan janin B
bokong, pada 10% kasus kedua janin dalam presentasi bokong dan sisanya dapat
salah satu atau keduanya dalam posisi lintang (Cunningham, 2014).

c. Pemeriksaan radiologi
Foto sinar X abdomen ibu dapat membantu jika belum diketahui pasti jumlah
janin pada kehamilan dengan jumlah janin banyak .Namun, radiografi biasanya
tidak bermanfaat dan dapat menyebabkan kesalahan diagnosis jika terdapat
hidroamnion,obesitas, gerakan janin selama pemotretan atau waktu pajanan
yang kurang sesuai. Selain itu ,tulang janin sebelum 18 minggu kurang
radioopak serta mungkin tidak terlihat jelas. Meskipun biasanya tidak
digunakan untuk mendiagnosis kehamilan multijanin,MRI dapat membantu
memperjelasn penyulit kembar monokorion (Hu,dkk., 2006)
VII. Komplikasi
Dibandingkan dengan kehamilan tunggal, kehamilan multiple lebih mungkin terkait
dengan banyak komplikasi kehamilan
1. Ibu
a. Anemia
b. Hipertensi
c. Partus prematurus
d. Atonia uteri
e. Perdarahan pasca persalinan
2. Janin
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada janin yang dilahirkan pada kehamilan
kembar adalah:
a. Prematuritas
Janin dari kehamilan multipel cenderung dilahirkan preterm dan kebanyakan
memerlukan perawatan pada neonatal intensive care unit (NICU). Sekitar 50%
44

kelahiran kembar terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. Lamanya


kehamilan akan semakin pendek dengan bertambahnya jumlah janin di dalam
uterus. Sekitar 20% bayi dari kehamilan multipel merupakan bayi dengan berat
badan lahir rendah (Cunningham, 2014).
b. Hyalin Membran Disease (HMD)
Bayi kembar yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 35 minggu dua kali lebih
sering menderita HMD dibandingkan dengan bayi tunggal yang dilahirkan pada
usia kehamilan yang sama. Prevalensi HMD didapatkan lebih tinggi pada
kembar monozigotik dibandingkan dengan kembar dizigotik. Bila hanya satu
bayi dari sepasang bayi kembar yang menderita HMD, maka bayi kedua
cenderung menderita HMD dibandingkan bayi pertama (Cunningham, 2014).
c. Asfiksia saat kelahiran atau depresi napas perinatal
Bayi dari kehamilan multipel memiliki peningkatan frekuensi untuk mengalami
asfiksia saat kelahiran atau depresi napas perinatal dengan berbagai sebab.
Prolaps tali pusat, plasenta previa, dan rupture uteri dapat terjadi dan
menyebabkan asfiksia janin. Kejadian cerebral palsy 6 kali lebih tinggi pada
bayi kembar dua dan 30 kali lebih sering pada kembar tiga dibandingkan dengan
janin tunggal. Bayi kedua pada kehamilan kembar memiliki risiko asfiksia saat
lahir atau depresi napas perinatal paling tinggi (Cunningham, 2014).
d. Infeksi Streptococcus group
Infeksi onset cepat Streptococcus group pada bayi lahir rendah adalah 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan tunggal dengan berat
badan yang sama (Cunningham, 2014).
b. Kelainan kongenital/Akardia/Rangkaian perfusi balik arteri pada janin kembar
(twin reverse-arterial-perfusion/TRAP)
Pada plasenta monokorionik, vaskularisasi janin biasanya tergabung, kadang
kadang amat kompleks. Anastomosis pada plasenta monokorionik dapat dari
arteri ke arteri, vena ke vena, atau arteri ke vena. Biasanya cukup berimbang
dengan baik sehingga tidak ada salah satu janin yang menderita. Pada TRAP,
terjadi pirau dari arteri ke arteri plasenta, yang biasanya diikuti dengan pirau
vena ke vena. Tekanan perfusi pada salah satu kembar mengalahkan yang lain,
yang kemudian mengalami pembalikan aliran darah dari kembarannya. Darah
arteri yang sudah terpakai dan mencapai kembar resipien cenderung mengalir
ke pembuluh pembuluh iliaka sehingga hanya member perfusi bagian bawah
45

tubuh dan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan tubuh


bagian atas (Cunningham, 2014).
c. Vanishing Twin Syndrome
Kehamilan kembar sekarang diperkirakan terjadi pada 12% diantara semua
konsepsi spontan, tetapi hanya 14% diantaranya bertahan sampai aterm. Pada
sebagian kasus, seluruh kehamilan lenyap, tetapi pada kebanyakan kasus, satu
janin yang meninggal atau sirna (vanish), dan kehamilan berlanjut sebagai
kehamilan tunggal. Pada 21 63% konsepsi kembar meninggal atau sirna
(vanish) pada trimester kedua. Kelainan ini dapat menyebabkan kelainan
genetik atau kelainan neurologic/defek neural tube pada janin yang tetap
bertahan hidup (Cunningham, 2014).
d. Twin-to-twin Transfusion Syndrome
Darah di transfusikan dari satu kembaran (donor) ke dalam vena kembaran
lainnya (resepien) sedemikian rupa sehingga donor menjadi anemic dan
pertumbuhannya terganggu, sementara resepien menjadi polisitemik dan
mungkin mengalami kelebihan beban sirkulasi yang bermanifestasi sebagai
hidrops fetalis. Menurut ketentuan, terdapat perbedaan hemoglobin 5 g/dl dan
20% berat badan pada sindrom ini. Kematian kembar donor dalam uterus dapat
mengakibatkan thrombus fibrin di seluruh arteriol yang lebih kecil milik kemar
resepien. Hal ini kemungkinan di akibatkan oleh transfuse darah yang kaya
tromboplastin dari janin donor yang mengalami maserasi. Kembar yang
bertahan hidup mengalami koagulasi intravaskular diseminata (Cunningham,
2014).
e. Kembar Siam
Apabila pembentukan dimulai setelah cakram mudigah dan kantung amnion
rudimeter sudah terbentuk dan apabila pemisahan cakram mudigah tidak
sempurna, akan terbentuk kembar siam/kembar dempet (Cunningham, 2014).
f. Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)
Pada kehamilan kembar, pertumbuhan dan perkembangan salah satu atau kedua
janin dapat terhambat. Semakin banyak jumlah janin yang terbentuk, maka
kemungkinan terjadinya IUGR semakin besar (Cunningham, 2014).
46

E. BBLR
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram
tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam
1 (satu) jam setelah lahir.
I. Faktor resiko
1. Faktor Ibu
a. Gizi saat hamil yang kurang
b. Umur kurang dari 20 tahun dan diatas 35 tahun
c. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat.
d. Penyakit menahun ibu: hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah
(perokok)
e. Faktor pekerja yang terlalu berat (wikojosastro, 2009).
2. Faktor Kehamilan
a. Hamil dengan hidramnion
b. Hamil ganda
c. Perdarahan antepartum
d. Komplikasi hamil: preeklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini
(wikojosastro, 2009).
3. Faktor Janin
a. Cacat bawaan
b. Infeksi dalam rahim (wikojosastro, 2009).
4. Faktor genetik dan bawaan meliputi jenis kelamin bayi, suku, tinggi badan ibu
hamil, berat badan sebelum hamil, haemodynamic ibu hamil, tinggi dan berat
badan bapak dan faktor genetik lainnya (wikojosastro, 2009).
5. Faktor demografik dan psikososial meliputi umur ibu, status sosial ekonomi
(pendidikan, pekerjaan, dan/atau pendapatan), status perkawinan, faktor
kejiwaan ibu hamil (wikojosastro, 2009).
6. Faktor obstetrik meliputi paritas, interval melahirkan anak, kegiatan seksual,
pertumbuhan janin dan umur kehamilan anak sebelumnya, pengalaman
abortus spontan sebelumnya, pengalaman induced abortion, pengalaman lahir
mati atau kematian neonatal sebelumnya, pengalaman tidak subur sebelumnya
dan paparan janin terhadap diethyl stilbestrol (wikojosastro, 2009).
7. Faktor Gizi meliputi pertambahan berat badan masa kehamilan, asupan energi,
pengeluaran energi, kerja dan aktivitas fisik, asupan/status protein, zat besi dan
47

anemia, asamfolat dan vitamin B12, mineral, seng dan tembaga, kalsium, fosfor,
dan vitamin D, vitamin B6, dan vitamin dan mineral lainnya
8. Faktor morbiditas ibu waktu hamil meliputi morbiditas umum, dan penyakit
episodik, malaria, infeksi saluran kemih, infeksi saluran kelamin
9. Faktor paparan zat racun meliputi merokok, minum alkohol, konsumsi kafein
dan kopi, penggunaan marijuana, ketergantungan pada narkotik, dan paparan zat
racun lainnya.
10. Perawatan antenatal meliputi kunjungan antenatal pertama, jumlah kunjungan
antenatal, dan mutu pelayanan antenatal(wikojosastro, 2009).
II. Komplikasi
Masalah pada BBLR Masalah yang terjadi pada bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) terutama yang prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ pada
bayi tersebut. Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada sistem
pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskuler, hematologi, gastrointestinal, ginjal,
dan termoregulasi (wikojosastro, 2009).
1. Sistem pernafasan
Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernafas segera setelah
lahir oleh karena jumlah alveoli yang berfungsi masih sedikit, kekurangan
surfaktan (zat di dalam paru yang diproduksi dalam paru serta melapisi bagian
dalam alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat ekspirasi). Lumen sistem
pernafasan yang kecil, kolaps atau obstruksi jalan nafas, insufisiensi klasifikasi
dari tulang thoraks, lemah atau tidak adanya gag refleks dan pembuluh darah yang
imatur. Hal-hal inilah yang mengganggu usaha bayi untuk bernafas dan sering
mengakibatkan gawat nafas (distress pernafasan).
2. Sistem neurologi (susunan saraf pusat)
Bayi dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan saraf pusat.
Hal ini disebabkan antara lain, perdarahan intracranial karena pembuluh darah
yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses koagulasi, hipoksia dan hipoglikemia.
Sementara itu asfiksia berat yang terjadi pada BBLR juga sangat berpengaruh
pada sistem susunan saraf pusat (SSP) yang diakibatkan karena kekurangan
oksigen dan kekurangan perfusi/iskemia (Cunningham, 2014).
3. Sistem kardiovaskuler
Bayi dengan BBLR paling sering mengalami gangguan/kelainan janin, yaitu
Patent Ductus Arteriosus, yang merupakan akibat dari gangguan adaptasi dari
48

kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterine berupa keterlambatan


penutupan ductus arteriosus. Terdapat beberapa faktor yang memperlambat
penutupan ductus arteriosus, antara lain berupa kurangnya otot polos pembuluh
darah, dan rendahnya kadar oksigen pada bayi BBLR.
4. Sistem gastrointestinal
Bayi dengan BBLR terutama yang kurang bulan umumnya saluran
pencernaannya belum berfungsi seperti pada bayi cukup bulan. Hal ini
diakibatkan antara lain karena tidak adanya koordinasi mengisap dan menelan
sampai usia gestasi 33-34 minggu, kurangnya cadangan beberapa nutrisi seperti
kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein, jumlah enzim yang belum
mencukupi, waktu pengosongan lambung yang lambat dan penurunan/ tidak
adanya motilitas, dan meningkatkan resiko NEC (Netrikans Entero Colitis)
(Cunningham, 2014).
5. Sistem termoregulasi
Bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain:
a. Kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan kulit dengan berat
b. badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatif luas )
c. Kurangnya lemak subkutan (brown fat / lemak cokelat )
d. Jaringan lemak dibawah kulit lebih sedikit
e. Kekurangan oksigen yang dapat berpengaruh pada penggunaan kalori
f. Tidak memadainya aktivitas otot
g. Ketidakmatangan pusat pengaturan suhu di otak
h. Tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit(wikojosastro,
2009).
6. Sistem hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi bila
dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan. Penyebabnya antara lain karena
bayi BBLR terutama yang kurang bulan, adalah:
a. Usia sel darah merahnya lebih pendek
b. Pembentukan sel darah merah yang lambat
c. Pembuluh darah kapilernya mudah rapuh
d. Hemolisis dan berkurangnya darah akibat dari pemeriksaan laboratorium yang
sering
49

e. Deposit vitamin E yang rendah


7. Sistem perkemihan
Bayi dengan BBLR mempunyai masalah pada sistem perkemihannya, dimana
ginjal bayi tersebut karena belum matang maka tidak mampu untuk mengelola
air, elektrolit dan asam basa, tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme dan
obat-obatan dengan memadai serta tidak mampu memekatkan urine
8. Sistem integumen
Bayi dengan BBLR mempunyai struktur kulit yang sangat tipis dan transparan
sehingga mudah terjadi gangguan integritas kulit (Cunningham, 2014).
F. BBLSR
Berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) adalah bayi baru lahir dengan berat
badan dibawah normal (kurang dari 1500 gram). Bayi dengan berat lahir kurang
dari 1500 gram tanpa memandang masa kehamilan.
I. Faktor resiko
Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu :
1. Penyakit ibu
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan, misalnya toxemia
gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisik dan psikologis. Selain itu
penyakit lain seperti nefritis akut, infeksi akut, dll.
2. Usia ibu
Angka kejadian tertinggi pada bayi BBLSR adalah umur ibu dibawah
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, multigravida dengan jarak
kehamilan terlalu dekat.
3. Keadaan social
Keadaan ini sangat berperan sekali terhadap timbulnya BBLSR. Hal ini
disebabkan oleh gizi yang kurang baik dan antenatal care yang kurang.
4. Faktor Janin
Hidramnion, gameli, kelainan kromosom dan Syphilis termasuk juga
infeksi kronis.
5. Faktor lingkungan
Radiasi, tinggal di daratan tinggi, zat racun (sidarta, 2011).
50

II. Komplikasi
1. Hipotermi
Tanda terjadinya hipotermi adalah :
a. Suhu tubuh bayi kurang dari 36,5
b. Kurang aktif dan tangis lemah
c. Malas minum
d. Bayi teraba dingin
e. Kulit mengeras kemerahan
f. Frekuensi jantung < 100x/menit
g. Nafas pelan dan dalam (Cunningham, 2014).
2. Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan :
a. Kadar glukosa darah < 45mg/dl
b. Kejang, tremor, kurang aktif
c. Riwayat ibu dengan diabetes
d. Keringat dingin
e. Hipotermia, sianosis, apneu intermitten (Cunningham, 2014).
3. Ikterus/hiperbilirubin
Hiperbilirubin pada BBLSR terjadi karena belum maturnya fungsi hepar
pada bayi premature, bila tidak segera diatasi dapat menyebabkan kern
ikterus yang akan menimbulkan gejala sisa yang permanen. Hiperbilirubin di
tandai dengan :
a. Selera, puncak hidung, sekitar mulut, dada, perut dan ekstermitas
berwama kuning.
b. Konjungtiva berwama kuning pucat
c. Kejang
d. Kemampuan menghisap menurun
e. Letargi
f. Kadar bilirubin pada bayi premature lebih dari l0 mg/dl (Lawrence, 2011).
4. Infeksi/sepsis
Infeksi pada BBLSR dapat terjadi bila ada riwayat ibu demam sebelum dan
selama persalinan, ketuban pecah dini, persalinan dengan tindakan,
terjadinya asfiksia saat lahir dll. Tanda terjadinya infeksi pada BBLSR antara
lain :
51

a. Pada pemeriksaan labomterium terdapat lekositosis atau lekositopenia


dan trombositopenia.
b. Bayi malas minum
c. Suhu tubuh bayi hipertermi ataupun hipotermi
d. Terdapat gangguan nafas
e. Letargi
f. Kulit ikterus, sklerema
g. Kejang (Lawrence, 2011).
5. Gangguan permafasan
a. Deflsiensi surfaktan paru yang mengarah ke sindrom gawat nafas/RDS
b. Resiko aspirasi akibat belum terkoordiansinya reflek batuk,reflek
menghisap dan reflek menelan.
c. Thoraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
d. Pemafasan tidak teratur (sidarta, 2011).
6. Penyakit membrane pada neonates/HDN
Penyebabnya adalah defisiensi faktor koagulasi yang bergantung pada
vitamin K (Cunningham, 2014).
VII. Penatalaksanaan
Dengan memperhatikan gambaran klinik dan berbagai kemungkinan yang dapat
terjadi pada bayi prematuritas, maka perawatan dan pengawasan bayi prematuritas
ditujukan pada pengaturan panas badan, pemberian makanan bayi, dan
menghindari infeksi.
1. Pengaturan suhu badan bayi prematuritas/BBLSR
Bayi prematuritas dengan cepat akan kehilangan panas badan dan menjadi
hipotermia, karena pusat pengaturan panas badan belum berfungsi dengan
baik, metabolismenya rendah, dan permukaan badan relatif luas. Oleh karena
itu, bayi prematuritas harus dirawat di dalam inkubator sehingga panas
badannya mendekati dalam Rahim.
Bila belum memiliki inkubator, bayi prematuritas dapat dibungkus dengan
kain dan di sampingnya ditaruh botol yang berisi air panas, sehingga panas
badannya dapat dipertahankan (kumar, 2007).
2. Makanan bayi prematur/BBLSR
Alat pencernaan bayi prematur masih belum sempurna, lambung kecil, enzim
pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3 sampai 5gr/kgBB
52

dan kalori 110 kal/kgBB badan, sehingga pertumbuhannya dapat meningkat.


Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului dengan
mengisap cairan lambung. Reflek mengisap masih lemah, sehingga pemberian
minum sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi dengan frekuensi yang lebih
sering (kumar, 2007).
ASI merupakan makanan yang paling utama, sehingga ASI-lah yang paling
dahulu diberikan. Bila faktor mengisapnya kurang maka ASI dapat diperas dan
diminumkan dengan sendok perlahan-lahan atau dengan memasang sonde
menuju lambung. Permulaan cairan yang diberikan sekitar 50 sampai 60
cc/kgBB/hari dan terus dinaikkan sampai mencapai sekitar 200 cc/kgBB/hari
(kumar, 2007).
3. Menghindari infeksi
Bayi prematuritas mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang
masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang, dan pembentukan antibodi
belum sempurna. Oleh karena itu, upaya preventif sudah dilakukan sejak
pengawasan antenatal sehingga tidak terjadi persalinan prematuritas (BBLSR).
Dengan demikian perawatan dan pengawasan bayi prematuritas secara khusus
dan terisolasi dengan baik (Cunningham, 2014).
4. Penimbangan ketat
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi/nutrisi bayi dan erat
kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan
harus dilakukan dengan ketat (kumar, 2007).
G. Pertumbuhan janin terhambat
Gangguan pertumbuhan intra uterin dan postnatal selama periode kritis
perkembangan manusia akan berdampak jangka panjang terhadap pertumbuhan
saat dewasa. Janin atau bayi muda kekurangan gizi, akibat pengaruh metabolisme,
hormonal. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa subyek dengan gangguan
tumbuh kejar memiliki risiko yang besar menjadi sequele. Kecepatan pertumbuhan
pada bayi IUGR/PJT (Intra Uterine Growth Retardation/Pertumbuhan Janin
Terhambat) dibandingkan bayi AGA/SMK (Appropriate for Gesatational
Age/Sesuai Masa Kehamilan) dalam beberapa bulan pertama sangat tinggi, namun
hal ini berbeda pada usia selanjutnya. (Resnik, 2013)
Pertumbuhan janin terhambat (PJT) ditegakkan apabila pada pemeriksaan
ultrasonografi (USG) perkiraan berat badan janin berada di bawah persentil 10
53

dibawah usia kehamilan atau lebih kecil dari yang seharusnya (sesuai grafik).
Terminologi kecil untuk masa kehamilan adalah berat badan bayi yang tidak
sesuai dengan masa kehamilan dan dapat muncul pada bayi cukup bulan atau
prematur. Pada umumnya janin tersebut memiliki tubuh yang kecil dan risiko
kecacatan atau kematian bayi kecil akan lebih besar baik pada saat dilahirkan
ataupun setelah melahirkan. (Wikojosastro, 2009)
Kejadian PJT bervariasi, berkisar 4-8% pada negara maju dan 6-30% pada negara
berkembang. Hal ini perlu menjadi perhatian karena besarnya kecacatan dan
kematian yang terjadi akibat PJT. PJT terbagi atas dua, yaitu:
a. Gangguan pertumbuhan janin simetris
Memiliki kejadian lebih awal dari gangguan pertumbuhan janin yang tidak
simetris, semua organ mengecil secara proporsional. Faktor yang berkaitan
dengan hal ini adalah kelainan kromosom, kelainan organ (terutama jantung),
infeksi TORCH (Toxoplasmosis, Other Agents <Coxsackie virus, Listeria),
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex/Hepatitis B/HIV, Syphilis),
kekurangan nutrisi berat pada ibu hamil, dan wanita hamil yang merokok .
(Resnik, 2013)
b. Gangguan pertumbuhan janin asimetris (tidak simetris)
Gangguan pertumbuhan janin asimetris memiliki waktu kejadian lebih lama
dibandingkan gangguan pertumbuhan janin simetris. Beberapa organ lebih
terpengaruh dibandingkan yang lain, lingkar perut adalah bagian tubuh yang
terganggu untuk pertama kali, kelainan panjang tulang paha umumnya
terpengaruhi belakangan, lingkar kepala dan diameter biparietal juga berkurang.
Faktor yang mempengaruhi adalah insufisiensi (tidak efisiennya) plasenta yang
terjadi karena gangguan kondisi ibu termasuk diantaranya tekanan darah tinggi
dan diabetes dalam kehamilan dalam kehamilan. (Wikojosastro, 2009)
Manifestasi klinik
Bayi-bayi lahir IUGR biasanya tampak kurus, pucat dan berkulit keriput; tali
pusat umunya tampak rapuh dan layu dibandingkan pada bayi normal yang
tampak tebal dan kuat; Intra Uterin Growt Syndrom (IUGR) muncul sebagai
akibat dari berhentinya pertumbuhan jaringan atau sel . (Resnik, 2013)
54

I. Penyebab
Pada umumnya 75% janin dengan PJT memiliki proporsi tubuh yang kecil, 15-25%
terjadi karena insufisiensi uteroplasenta, 5-10% terjadi karena infeksi selama
kehamilan atau kecacatan bawaan.
1. Penyebab ibu
a. Fisik ibu yang kecil dan kenaikan berat badan yang tidak adekuat
b. Faktor keturunan dari ibu dapat mempengaruhi berat badan janin. Kenaikan
berat tidak adekuat selama kehamilan dapat menyebabkan PJT. Kenaikan
berat badan ibu selama kehamilan sebaiknya 9-16 kg. apabila wanita dengan
berat badan kurang harus ditingkatkan sampai berat badan ideal ditambah
dengan 10-12 kg
c. Penyakit ibu kronik
d. Kondisi ibu yang memiliki hipertensi kronik, penyakit jantung sianotik,
diabetes, serta penyakit vaskular kolagen dapat menyebabkan PJT. Semua
penyakit ini dapat menyebabkan pre-eklampsia yang dapat membawa ke PJT
e. Kebiasaan seperti merokok, minum alkohol, dan narkotik (Resnik, 2013).
2. Penyebab janin
a. Infeksi selama kehamilan
Infeksi bakteri, virus, protozoa dapat menyebabkan PJT. Rubela dan
cytomegalovirus (CMV) adalah infeksi yang sering menyebabkan PJT
b. Kelainan bawaan dan kelainan kromosom
Kelaianan kromosom seperti trisomi atau triploidi dan kelainan jantung
bawaan yang berat sering berkaitan dengan PJT. Trisomi 18 berkaitan dengan
PJT simetris serta polihidramnion (cairan ketuban berlebih). Trisomi 13 dan
sindroma Turner juga berkaitan dengan PJT
c. Pajanan teratogen (zat yang berbahaya bagi pertumbuhan janin)
Berbagai macam zat yang bersifat teratogen seperti obat anti kejang, rokok,
narkotik, dan alkohol dapat menyebabkan PJT (Resnik, 2013).
3. Penyebab plasenta (ari-ari)
a. Kelainan plasenta sehingga menyebabkan plasenta tidak dapat menyediakan
nutrisi yang baik bagi janin seperti, abruptio plasenta, infark plasenta
(kematian sel pada plasenta), korioangioma, dan plasenta previa
b. Kehamilan kembar
c. Twin-to-twin transfusion syndrome (wikojosastro, 2009).
55

II. Tanda dan Gejala


PJT dicurigai apabila terdapat riwayat PJT sebelumnya dan ibu dengan penyakit
kronik. Selain itu peningkatan berat badan yang tidak adekuat juga dapat mengarah
ke PJT. Dokter dapat menemukan ukuran rahim yang lebih kecil dari yang
seharusnya. Pengukuran yang cermat terhadap panjang dan berat badan saat lahir
sangat penting untuk menentukan apakah bayi lahir disebut SGA(Small for
Gestational Age ) atau KMK (Kecil Masa Kehamilan), AGA/SMK (Appropriate
for Gesatational Age/Sesuai Masa Kehamilan) atau LGA/BMK (Large for
Gestational Age/Besar Masa Kehamilan), namun akurasi penghitungan umur
gestasi merupakan prasyarat utama. Usia kehamilan di ukur secara akurat dengan
menggunakan USG selama hamil dan hari pertama haid terakhir (Resnik, 2013).
Istilah tumbuh kejar secara umum di definisikan sebagai kecepatan pertumbuhan
(cm/tahun) (kecepatan pertambahan berat badan, kecepatan pertambahan tinggi
badan, keceptan pertambahan lingkar kepala) lebih besar daripada rata-rata usia
kronologis dan jenis kelamin, berdasarkan rentang tinggi normal dari populasi
(tumbuh kejar dicapai bila tinggi badan/berat badan diatas persentil ke tiga) tidak
termasuk tinggi yang diharapkan saat dewasa berdasarkan tinggi badan orang tua,
hal ini penting karena target tinggi bedasarkan potensi genetiknya. Target tinggi
biasanya diperkirakan berdasarkan koreksi dari midparental height sesuai jenis
kelamin. Anak yang lahir KMK dapat mencapai tumbuh kejar tinggi maupun berat
badan > -2 SD. Tumbuh kejar anak KMK biasanya mencapai puncak pada umur 2
tahun, namun >80% anak yang lahir KMK sudah dapat mengalami tumbuh kejar
pada umur 6 bulan kehidupan, pemantauan pertumbuhan selama periode postnatal
memberikan informasi yang berguna dan pola pertumbuhan dapat diidentifikasi
pada bayi usia 3 bulan (Resnik, 2013).
Bayi Berat Lahir Rendah ( BBLR ) di definisikan sebagai bayi yang memiliki berat
kurang dari 2500 gram, melambangkan besarnya ketidakseimbangan komponen
pada angka mortalitas neonatus dan bayi. Meskipun kelahiran BBLR hanya 6 %
sampai 7 % untuk semua kelahiran, mereka terhitung cukup besar daripada 70 %
kematian neonatus. PJT merupakan penyebab yang sering terjadi untuk BBLR di
Negara berkembang, sedangkan di Negara maju merupakan sekunder prematuritas.
Berdasarkan konsensus dalam konferensi di Amerika dan Eropa, definisi bayi lahir
dengan KMK adalah bayi yang lahir dengan berat lahir dan atau panjang lahir atau
keduanya sama atau kurang dari 2 standar deviasi di bawah rata-rata (kurang dari -
56

2 SD) sesuai perkiraan persentil 3, untuk umur gestasi dan jenis kelamin yang sama
menggunakan standar population-specific. Istilah KMK tidak menunjukkan
pertumbuhan janin melainkan pengukuran saat bayi lahir, istilah PJT menunjukkan
berkurangnya kecepatan pertumbuhan pada janin yang di catat dengan setidaknya
dua kali pemeriksaan pertumbuhan intrauterin. KMK dan PJT tidak sama, PJT
menunjukkan proses patofisiologi yang terjadi dalam uterus yang menghambat
pertumbuhan janin. Anak yang lahir dengan KMK menderita PJT dan bayi yang
lahir menjadi pendek karena PJT tidak selalu KMK. Lebih dari 90% anak yang
lahir dengan KMK menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Tumbuh kejar saat
Postnatal mulai secara cepat setelah lahir dengan maksimal tumbuh kejar terjadi
usia 6 bulan. Tiga puluh tiga persen menunjukkan tumbuh kejar pada usia 2 tahun.
Bayi KMK yang tumbuh kejar pada usia 2 tahun separuhnya menjadi pendek pada
masa anak-anak. Risiko relative menjadi pendek pada usia 18 tahun yaitu 5,2 untuk
anak yang lahir muda dan 7,1 lahir pendek (Resnik, 2013).
Menurut National Center for Health Statistics (NCHS) (1999), pada akhir tahun
data kelahiran orang dewasa 3.959.417 bayi yang lahir di USA, 2,3 % dikatakan
KMK (-2 SD ekivalen dengan persentil 2,3 ), yang dapat diperkirakan bahwa
91.000 bayi di USA lahir bayi KMK setiap tahunnya. Penelitian di swedia
didapatkan 3650 lahir bayi full-term yang sehat pada tahun 1973, 1974, 1975, 5,4
% (198) merupakan KMK, sesuai definisi yaitu < -2 SD untuk berat dan atau
panjang lahir. Beberapa anak yang lahir dengan KMK gagal untuk tumbuh secara
spontan. Perawakan pendek yang persisten telah dihubungkan dengan gangguan
psikologis dan masalah perilaku yang bisa atau tidak bisa membuat kelemahan
kognitif. Status sosial ekonomi berpengaruh pada pertumbuhan intrauterine,
terutama status ekonomi rendah berhubungan dengan status nutrisi ibu terhadap
perkembangan janin dalam kandungan. Hambatan pertumbuhan bayi KMK
dikarenakan gangguan pertumbuhan substansial setelah melahirkan, sebagian
karena asupan gizi yang tidak adekuat. Embleton dkk menyatakan bahwa
pemberian asupan nutrisi 45% akan meningkatkan berat badan bayi KMK sesuai
asupan nutrisi yang di rekomendasikan akan mengalami tumbuh kejar (Resnik,
2013).
Tujuan Pendidikan kesehatan diharapkan terjadi perubahan perilaku ibu dan
keluarga tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, masa nifas,
dan bayinya. Untuk mencapai tersebut dapat dilakukan strategi dengan pendekatan
57

secara individual yaitu pada saat ibu datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk
pemeriksaan kehamilannya. Keberhasilan pendidikan kesehatan dapat secara
efektif dan efisien jika jumlah kelompok ibu-ibu tidak melebihi dari 10 orang.
Bjerre dkk (2011) bahwa bayi laki-laki yang lahir dengan KMK meningkatnya
metilasi DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) sebagai kunci pengatur metabolik
peroxisome proliferator-activated receptor gamma, coactivator 1 alpha
(PPARGC1A) mempengaruhi aksi insulin didalam otot. Usia kehamilan dan status
gizi saat lahir sangat penting sebagai determinasi pola pertumbuhan bayi. Di
Bangladesh berat badan lahir rendah secara predominan disebabkan oleh PJT yang
merupakan angka tertinggi di dunia. Kebijakan rekomendasi penggalakan tentang
breast-feeding dan complementary-feeding sepenuhnya dipahami pada hubungan
antara status gizi dan pertumbuhan saat bayi sangat diperlukan (wikojosastro,
2009).
Pada sistem endokrin, terutama hormon pertumbuhan dan hormon tiroid, berperan
penting pada pertumbuhan postnatal karena pertumbuhan intrauterin sangat
tergantung pada hormon pituitari janin. Insulin dan Insuline-like growth factors
memberikan efek yang besar terhadap pertumbuhan janin dan ukuran saat lahir.
Insulin merangsang akumulasi pada jaringan adipose, mempengaruhi sintesis
protein dan penyimpanan hepatic glycogen dan memungkinkan pengeluaran
hormon pertumbuhan yang berbeda dari jaringan-jaringan janin. IGF-I dan IGF-II
pada janin berfungsi tergantung pada Growth Hormone, memberikan efek penting
dalam pertumbuhan dan diferensiasi jaringan. (wikojosastro, 2009).

Definisi secara umum dari pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah


pertumbuhan intrauterin dimana beratnya dibawah persentil ke-10 pada usia gestasi
yang sesuai, dijumpai 3-7% dari semua persalinan sesuai dengan kriteria
diagnostik. Di dalam literatur dikenal beberapa istilah mengenai pertumbuhan
intrauterin terhambat, misalnya : gawat janin kronik, dismaturitas, prematuritas
semu, malnutrisi janin, bayi kecil untuk kehamilan aterm, bayi kecil untuk masa
kehamilan, bayi ringan untuk masa kehamilan, kecil untuk masa kehamilan dan
pertumbuhan janin terhambat (wikojosastro, 2009).

Semua istilah tersebut digunakan untuk menyatakan pertumbuhan janin atau berat
lahir bayi pada usia kehamilan tertentu berada di bawah nilai batas normal. Banyak
58

penulis menggunakan cut off point 10 persentil sebagai batasan dalam menyatakan
PJT. Penulis lainnya mengambil batasan 5 persentil, bahkan ada juga yang
menggunakan batasan 2 deviasi standar. Banyak dijumpai bayi-bayi yang lahir
dengan berat di bawah 10 persentil tidak menunjukkan tanda-tanda malnutrisi,
sebaliknya banyak bayi-bayi yang lahir dengan berat di atas 10 persentil
menunjukkan tanda-tanda malnutrisi yang jelas. Penulis lainnya menyatakan
bahwa definisi PJT merupakan definisi postnatal, oleh karena diagnosis pasti PJT
baru diketahui setelah bayi dilahirkan (wikojosastro, 2009).
Memang hingga kini belum ditemukan suatu cara yang dapat menentukan berat
janin secara akurat. Namun banyak penelitian telah membuktikan bahwa dengan
mengenali secara dini adanya gangguan pertumbuhan janin intrauterin, maka
mortalitas dan morbiditas perinatal akibat PJT akan dapat dikurangi. Pertumbuhan
janin intrauterin dapat dipandang sebagai suatu perubahan dimana terjadi
penambahan ukuran janin dan peningkatan fungsi system organ janin yang
berlangsung selama kehamilan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik
dan faktor lingkungan, yang keduanya berinteraksi terhadap pertumbuhan sel,
diferensiasi organ, dan perkembangan metabolic selama pertumbuhan janin. Pada
keadaan tertentu pengaruh tersebut dapat berupa pengurangan potensi
pertumbuhan janin, atau berupa pembatasan pertumbuhan janin yang terjadi
sekunder akibat berkurangnya suplai oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin
(Cunningham, 2014).
Adapun penentuan usia kehamilan berdasarkan pemeriksaan USG didasarkan pada
hubungan antara usia kehamilan dan ukuran biometri janin. Yang paling ideal
adalah bahwa setiap populasi mempunyai nomogram sendiri yang dapat digunakan
untuk menentukan usia kehamilan dengan USG. Beberapa prinsip yang perlu
difahami di dalam penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG adalah :
Ketepatan prakiraan usia kehamilan berbanding terbalik dengan usia janin. Laju
pertumbuhan janin selama kehamilan tidak berjalan konstan, yaitu berlangsung
cepat pada awal masa kehamilan, kemudian semakin melambat dengan
bertambahnya usia kehamilan. Semakin cepat pertumbuhan janin, berarti semakin
besar pula pertumbuhan parameter biometri janin per satuan waktu (variabilitasnya
semakin kecil), dan sebaliknya. Pada awal kehamilan, pertumbuhan janin
ditentukan oleh potensi petumbuhan janin (faktor intrinsik), kemudian petumbuhan
janin ditentukan oleh interaksi antara faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (faktor
59

lingkungan). Pengaruh faktor ekstrinsik dapat mempercepat atau memperlambat


pertumbuhan janin. Pengaruh faktor ekstrinsik akan semakin kuat dengan semakin
tuanya kehamilan, sehingga variabilitas pertumbuhan janin akan semakin lebar.
Hal ini akan berpengaruh terhadap ketepatan penentuan usia kehamilan
berdasarkan pengaruh biomerti janin. Ketepatan pemeriksaan USG akan semakin
baik apabila dilakukan pada kehamilan trimester I (wikojosastro, 2009).
Cara optimal dalam penentuan usia kehamilan berdasarkan pengukuran biometri
janin bervariasi menurut usia kehamilan. Pada kehamilan 4-6 minggu, parameter
yang dipakai untuk menentukan usia kehamilan adalah diameter kantung gestasi.
Pada kehamilan 7-12 minggu parameter yang dipakai adalah jarak kepala bokong
(crown-rump length; CRL), dengan kesalahan sekitar 3-4 hari. Pada kehamilan 12-
20 minggu parameter yang dipakai adalah diameter biparietal (DBP) dengan
kesalahan sekitar 7 hari. Pada kehamilan trimester II dan III penentuan usia
kehamilan dapat juga dilakukan dengan menggunakan parameter biometri lainnya,
seperti lingkar kepala, femur, humerus, jarak biorbita, dan sebagainya
(wikojosastro, 2009).
Kesalahan teknis dalam pengukuran umumnya konstan dan minimal. Peralatan
USG yang ada saat ini umumnya sudah cukup baik mutunya, yaitu mempunyai
resolusi aksial sekitar 0,2 mm. Oleh karena itu kesalahan di dalam pengukuran
menjadi minimal, asalkan pengukuran dilakukan dengan cara yang benar.
Ketepatan dalam memperkirakan usia kehamilan akan semakin baik apabila lebih
banyak variable biometri yang diukur. Tidak ada variable biometri tunggal yang
terbukti sangat akurat untuk menentukan usia kehamilan (khususnya pada trimester
II-III). Tingkat kesalahan alan lebih kecil bila menggunakan variable multiple
dibandingkan dengan hanya menggunakan 1 variabel. Dengan menggunkan
variable DBP, lengkar kepala, dan femur pada kehamilan 12-28 minggu, tingkat
kesalahan dapat dikurangi sampai 8%, sedangkan pada kehamilan 36-42 minggu
tingkat kesalahan dapat dikurangi hingga 28%. Namun belum diketahui seberapa
banyak variable, dan variable apa saja yang paling banyak digunakan dalam
penentuan usia kehamilan. Apabila terlalu banyak variable yang digunakan, tentu
saja pemeriksaan USG menjadi semakin tidak praktis (Cunningham, 2014).
Pada kehamilan yang lanjut, ketepatan penentuan usia kehamilan akan menjadi
lebih baik dengan melakukan pengukuran serial. Hal ini terutama bagi pasien yang
tidak diketahui kehamilannya, dan baru pertama kali memeriksa kehamilannya
60

pada usia kehamilan yang cukup lanjut. Kesalahan usia kehamilan dengan
pemeriksaan USG tunggal pada usia kehamilan diatas 20 minggu mencapai 2-4
minggu. Cara mengurangi kesalahan tersebut adalah dengan menggunakan
pemeriksaan serial, dengan interval waktu sedikitnya 2 minggu. Jika dilakukan
pada usia kehamilan 24-32 minggu, maka kesalahannya dapat dikurangi menjadi
10 hari (Sylvia, 2007).
Cara yang paling umum digunakan dalam menentukan pertumbuhan janin adalah
dengan memperkirakan berat massa janin pada usia kehamilan tertentu. Disini
dianggap bahwa usia kehamilan sudah dikatahui dengan tepat. Dugaan adanya PJT
adalah apabila pada usia kehamilan tertentu berat janin yang diobservasi ternyata
lebih kecil dari berat janin yang diharapkan pada nomogram.Prakiraan berat janin
ditentukan dari ukuran biometri janin, dengan anggapan adanya korelasi antara
biometri janin dengan volume janin. Disini juga dianggap bahwa densitas (berat
jenis) janin adalah sama untuk semua janin (baik janin normal maupun abnormal),
pada berbagai usia kehamilan (Sylvia, 2007).
Berdasarkan hal di atas, maka diciptakan berbagai macam bentuk formula yang
menggunakan parameter biometri janin tertentu untuk menghitung berat janin
intrauterin. Formula tersebut dibuat berdasarkan penelitian pada populasi kecil
yang distribusi sampelnya tidak adekuat, dan tidak mempertimbangkan usia
kehamilan. Interval waktu antara saat pengukuran dan saat persalinan seringkali
juga kurang dipertimbangkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesalahan
penghitungan. Kenyataannya adalah, hingga saat ini belum ada formula
perhitungan berat janin yang dianggap akurat dan dapat berlaku pada berbagai usia
kehamilan (Sylvia, 2007)
Yang menjadi masalah adalah, bahwa densitas janin akan berbeda sepanjang
kehamilan, sesuai dengan pertumbuhan organ. Densitas akan berbeda antar janin.
Dari penelitian diketahui bahwa densitas rata-rata janin berkisar antara 0,833-1,012
g/ml, sehingga perhitungan berat janin berdasarkan volume janin akan memberikan
tingkat kesalahan sekitar 8-21%. Densitas juga berbeda untuk masing-masing
struktur, misalnya densitas kepala janin adalah 0,571 g/ml, sedangkan densitas
tubuh adalah 1,118 g/ml (Sylvia, 2007).
Densitas janin yang mengalami PJT kemungkinan juga akan berbeda. Janin yang
menderita PJT akan mengalami perubahan, misalnya jaringan lemak tubuhnya
akan berkurang, begitu pula dengan jumlah glikogen dan cairan tubuhnya. Hal ini
61

tentunya akan memberikan problema di dalam perhitungan berat janin berdasarkan


pengukuran biometri. Menyadari kesulitan ini, beberapa penulis menganjurkan
cara lain. Dalam hal ini dengan pengamatan serial terhadap laju pertumbuhan
parameter biometri, misalnya DBP dan lingkar perut, tanpa perhitungan berat janin.
Dari nomogram akan mudah terlihat bahwa apabila pertumbuhan biometri janin
mengalami deviasi sampai di bawah nilai normal tertentu (misalnya di bawah nilai
10 persentil), maka kemungkinan sekali janin mengalami PJT. (wikojosastro,
2009).

Interval pengamatan tergantung pada usia kehamilan (semakin tua usia kehanilan,
interval waktu pengamatan semakin pendek), prakiraan beratnya PJT,
kesejahteraan janin, kondisi ibu dan hasil penilaian sebelumnya. Bila kondisi ibu
dan janin masih baik, maka pengamatan sebaiknya dilakukan setiap 2 minggu.
Pengamatan tanda-tanda fungsional janin intrauterin dengan USG dibedakan atas
tanda-tanda yang sangat erat dengan PJT (hard signs), dan tanda-tanda yang kurang
erat kaitannya (soft signs). Tanda-tanda fungsional janin yang erat kaitannya
dengan PJT bermanfaat untuk menentukan etiologi dan prognosis janin, antara lain
a. Volume cairan amnion, dimana penilaian cairan amnion dilakukan secara
semikuantitatif. Bila terdapat obligohidramnion (bukan karana pecah ketuban),
maka nilai prediksi PJT antara 79-100%. Meskipun demikian, volume cairan
amnion yang normal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
PJT. Bila ada obligohidramnion angka mortalitas perinatal meningkat 50 kali
lipat akibat komplikasi asfiksia. Untuk itu biasanya kehamilan diterminasi bila
janin viable. Kemungkinan adanya agenesis atau disgenesis ginjal perlu
diwaspadai.
b. Kesejahteraan janin, dimana berguna untuk mendeteksi adanya asfiksia
intrauterin. Beberapa cara pemeriksaan yang bisa dilakukan antara lain penilaian
profil biofisik janin, kardiotokografi dan analisa gas darah.
c. Sistem organ janin, digunakan untuk menentukan etiologi dan derajat beratnya
PJT. Misalnya rasio lingkar kepala terhadap lingkar abdomen (rasio K/A) akan
meningkat pada PJT tipe II, sedangkan pada PJT tipe I rasio K/A normal.
Pemeriksaan Doppler, ditujukan untuk menilai perubahan resistensi vaskular
uterus-plasenta-janin melalui pengukuran velositas arus darah dengan gelombang
62

ultrasonik, dimana bila terjadi peningkatan resistensi vaskuler menunjukkan


adanya insufisiensi plasenta yang dapat menyebabkan PJT (wikojosastro, 2009).

Tanda-tanda fungsional janin yang kurang erat kaitannya dengan PJT, misalnya
penilaian maturasi plasenta, ketebalan lemak subkutan janin, dan sebagainya. Di
dalam referat ini batasan yang digunakan untuk PJT adalah berat lahir bayi pada
usia kehamilan tertentu berada di bawah nilai 10 persentil. Nilai persentil berat
lahir ditentukan dari kurva distribusi yang menggambarkan hubungan berat lahir
dan usia kehanilan. Kurva tersebut biasanya spesifik untuk populasi tertentu yang
tinggal di daerah geografi tertentu, sehingga tidak bisa digeneralisasikan begitu
saja. Kurva pertumbuhan yang dibuat untuk populasi yang tinggal di daerah yang
letaknya tinggi di atas permukaan laut (seperti halnya kurva Battaglia dan
Lubchenco yang dibuat untuk masyarakat kulit putih yang tinggal di Colorado yang
letaknya kira-kira 5000-6000 kaki di atas permukaan laut), belum tentu cocok
digunakan pada populasi yang berbeda rasnya, berbeda tingkat heterogenisitasnya,
dan tinggal di daerah yang rendah dari permukaan laut (wikojosastro, 2009).

Diskordansi pertumbuhan janin didefinisikan sebagai perbedaan berat antar janin


>15-40%. Semakin besar perbedaan berat antar janin menunjukkan suatu
pertumbuhan intrauterin yang terhambat dan peningkatan mortalitas dan
morbiditas perinatal. Semakin banyak jumlah janin maka semakin tinggi kejadian
PJT pada janin kembar tersebut. Data di Amerika Serikat pada tahun 1994
menyebutkan bahwa kehamilan kembar triplet 90% dengan BBLR (<2500 gram)
dan 50% pada kehamilan kembar dua. Sedangkan 32% kehamilan kembar tiga akan
mengalami berat lahir sangat rendah (<1500 gram ) dan 10% pada kehamilan
kembar dua (wikojosastro, 2009).
Telah dilakukan penelitian pertumbuhan janin intrauterin sampai akhir trimester
kedua, pada kembar dua pertumbuhan intrauterin berhenti pada usia kehamilan 30
minggu, pada kembar tiga berhenti pada kehamilan 27 minggu dan kembar empat
pada kehamilan 26 minggu. Kembar dua lahir pada usia kehamilan 40 minggu
dimana berat bayi lahir lebih rendah dibanding bayi lahir tunggal dengan usia
gestasi 38-39 minggu, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan janin intrauterine
pada kehamilan kembar terhenti setelah usia kehamilan 39 minggu. Pertumbuhan
janin intrauterin pada kehamilan kembar mencapai puncaknya lebih awal
63

dibanding pada kehamilan tunggal dengan pengurangan berat badan pada saat atau
sebelum rata-rata pematangan kehamilan tunggal (38-41 minggu). Risiko
terjadinya pertumbuhan janin terhambat diikuti dengan kematian neonatus dan
morbiditas postneonatal meningkat seiring semakin tuanya usia kehamilan.
Insidensinya dimana berat bayi dibawah persentil ke 10 pada kembar dua usia
gestasi 35-37 minggu 13%, pada saat usia gestasi 37-38 minggu meningkat 23%
dan pada saat usia gestasi 39-41 minggu meningkat menjadi 38%. Odds Rasio
kehamilan kembar dua untuk terjadinya PJT sebesar 5,23 (CI=1,4-19,0). Pada
kehamilan kembar tiga dimana berat bayi dibawah persentil 10 meningkat 12%
pada usia gestasi 31-34 minggu dan meningkat 64% pada usia gestasi 35-36
minggu. Pada kehamilan kembar empat penurunan berat badan terjadi lebih cepat
dan lebih dramatis. Dua faktor penting yang berpengaruh terhadap ketahanan
perinatal setalah lahir adalah usia gestasi dan berat badan relatif dimana
pertumbuhan yang kuat intrauterine dan maturitas yang optimal menentukan
morbiditas dan mortalitasnya (wikojosastro, 2009).
Pada studi yang dilakukan oleh Luke dkk terhadap 183.562 hamil kembar dua
dimana didapatkan pencapaian pertumbuhan janin intrauterin dengan berat badan
optimal 2500-2800 gram pada usia gestasinya 35-38 minggu. Sedangkan pada
kehamilan kembar tiga berat badan optimal 1900-2200 gram pada usia gestasi 34-
35 minggu. Dikarenakan tingginya insiden PJT dan prematuritas pada kehamilan
kembar menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal. Insidensi
RDS komplikasi tersering pada prematuritas dilaporkan pada kehamilan kembar
dua sebesar 19-29%, 45% pada kembar tiga dan 38-75% pada kembar empat
(wikojosastro, 2009).
Berdasarkan penelitian Luke dkk insiden mortalitas bayi kembar dua dibandingkan
dengan kehamilan tunggal mempunyai relative risk 6,6 (CI=15,8-32,5) dan pada
kembar tiga relative risknya 15,9 (CI=11,1-27,3) dibandingkan dengan kehamilan
tunggal. Dibandingkan dengan kehamilan tunggal, anak dengan kehamilan kembar
mempunyai kondisi fisik yang lebih rendah secara signifikan demikian pula
kemampuan kognitifnya dibanding anak dengan kehamilan tunggal. Anak dengan
PJT dan premature mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan anak dengan kehamilan tunggal. Rata-rata perkembangan mayornya
mengalami hambatan pada 1 tahun pertama sebesar 25% pada kehamilan kembar
dua dengan berat badan 1000 gram (wikojosastro, 2009).
64

Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya morbiditas dan mortalitas


perinatal meliputi : jenis kelamin dan zigositas, kelainan kongenital pada bayi dan
plasenta, diskordansi berat badan dan kematian janin dari saudara kandung.
a. Pengaruh jenis kelamin zigositas
Salah satu faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kehamilan
kembar adalah pengaruh gender, kembar yang memiliki gender yang sama
memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi, hal ini terjadi pada kembar
monozigot (kembar identik). Pada kembar monozigot risiko meningkat dengan
komplikasi pada plasenta dan tali pusat, RDS dan kelainan kongenital. Insiden
kembar monozigot 25-30% dari seluruh kehamilan kembar dua. Data dari
survey nasional AS menunjukkan kematian saudara kandung pada kembar tiga
6,4% 65,8% kombinasi antara kembar identik dan fraternal dan 27,8% pada
kembar fraternal (dizigotik).
b. Diskordansi berat badan
Faktor unik lain pada kehamilan kembar adalah diskondasi, dimana terdapat
perbedaan berat badan antar saudara kandung. Beberapa peneliti mendefinisikan
diskordasi sebagai rasio janin terkecil dibanding janin terbesar dikali 100% dari
kembar dua. Dimana dengan adanya diskordansi meningkatkan morbiditas dan
mortalitas serta menunjukkan suatu PJT pada hamil kembar.
c. Kelainan kongenital
Tipe dan frekuensi kelainan kongenital dipengaruhi oleh gender, ras dan
zigositas. Kembar laki-laki mempunyai frekuensi tertinggi untuk terjadinya
kelainan kongenital dan malformasi mayor dibanding kembar wanita. Ras kulit
hitam lebih sering mengalami kelainan kongenital, kembar monozigot lebih
berisiko untuk terjadinya kelainan kongenital dibanding kembar dizigot.
d. Kematian janin saudara kandung
Faktor unik lainnya adalah kematian saudara kandung dan hasilnya juga terjadi
peningkatan risiko postnatal berupa morbiditas, mortalitas atau kecacatan bagi
bayi yang bertahan. Bila kematian janin intrauterin terjadi pada trimester
pertama dan kedua, janin yang mati berupa janin papyraceus dengan keadaan
dekomposisi dan dehidrasi. Janin yang bertahan perkembangannya akan
memiliki efek terapetik dimana terjadi peningkatan berat badan rata-rata dan
pemanjangan usia gestasi (Cunningham, 2014).
65

Karakteristik pertumbuhan janin intrauterin yang adekuat pada hamil kembar


mempunyai masalah khusus. Pertumbuhan janin intrauterin bergantung pada uterus
dan plasentanya. Pertumbuhan janin terhambat lebih sering terjadi pada kembar
monokorionik dibanding kembar dikorionik. Sangat penting untuk mencapai
korionisiti pada kehamilan kembar selama trimester I, penilaian korionisiti dengan
USG transvaginal lebih mudah dilakukan pada usia gestasi <14 minggu dan bisa
diketahui sejak awal pertumbuhan janin dan diskordansinya pada saat ini.
Monteagudo dkk melaporkan bahwa pemeriksaan USG transvaginal lebih mudah
dilakukan pada usia gestasi <14 minggu dengan pemeriksaan ini diskordansi dan
pertumbuhan janin bisa dinilai. Dickey dkk meneliti terhadap 235 hamil kembar
dengan menilai CRL dan GS pada janin yang kembar dimana hasilnya bila
perbedaan CRL atau GS >3 mm berhubungan dengan peningkatan kehilangan
embrio 50 dibanding <1mm. Perbedaan diameter GS dan CRL pada kehamilan
awal tidak berhubungan dengan perbedaan berat badan, panjang badan atau jenis
kelamin, hal ini menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang tinggi pertumbuhan
janin manusia pada awal kehamilan (Cunningham, 2014).
Check dkk melaporkan pengukuran CRL pada bayi kembar yang satu 16 mm (7,9
minggu 2 SD) dan 10 mm (6,9 minggu 2 SD) yang difollow up
pertumbuhannya, ternyata didapati diskordansi sebesar 25% pada usia kehamilan
34 minggu. Achiron dkk melaporkan diskordansi pada trimester I pada bayi IVF
dimana terdapat perbedaan CRL dan usia gestasi 7 dan 11 minggu dan follow up
diskordansinya pada trimester II dengan mengukur AC (abdominal circumference)
dan taksiran berat janin (TBJ) dengan USG, didapatkan BB diskordansi 26,6%.
Pada tahun 1990 Rodis dkk membandingkan pertumbuhan janin trimester II antara
yang diskordan dan yang tidak mengalami diskordansi, hasilnya terjadi
perlambatan pertumbuhan rata-rata pada usia kehamilan 33-37 minggu pada janin
yang terkecil dengan kehamilan diskordan dan timbulnya diskordansi dimulai pada
usia gestasi 23-24 minggu (wikojosastro, 2009).
Deter dkk meneliti pada 34 hamil kembar dengan USG didapatkan pada kehamilan
trimester I pertumbuhan antara yang kembar dan yang tidak tetap sam tapi
menjelang trimester III terjadi PJT pada hamil kembar. Sindroma twin-twin
transfusion terjadi pada trimester I dan terjadi pada kembar monokorionik.Banyak
studi menemukan terjadinya penurunan pertumbuhan janin berdasarkan parameter
66

biometrik pada usia gestasi 30-32 minggu dibandingkan dengan kehamilan tunggal
(wikojosastro, 2009).

Gambar 9. Taksiran berat janin berdasarkan BPD dab AC dan BPD


dengan FL pada hamil kembar berdasarkan usia gestasi. Dikutip dari
Rodis JF17

Parameter sonografik untuk menilai prediksi diskordansi pertumbuhan adalah AC


diikuti dengan TBJ. Pada AC dengan perbedaan 20 mm akan mempunyai
sensitivitas 80%, spesifisitas 62% dan nilai duga positif 62% dan nilai duga negatif
93%. Sedangkan dengan menggunakan TBJ sensitivitasnya 80%, spesifisitasnya
93%, nilai duga positif 80% dan nilai duga negatif 93% dalam memprediksi
diskordansi pertumbuhan janin kembar (wikojosastro, 2009).
Data ini menunjukkan bahwa pengukuran AC 20 mm bisa digunakan sebagai alat
skrining dalam memprediksi PJT pada hamil kembar. Doppler velosimetri dapat
juga memperkuat diagnosis PJT dimana akan tampak gambaran sirkulasi
fetoplasenta yang tidak adekuat dan terjadi konstribusi yang berlebihan pada janin
satunya (wikojosastro, 2009).
III. Penatalaksanaan
Persalinan pada PJT Beberapa keadaan dimana janin dengan PJT harus dilahirkan,
adalah :
1. Janin dengan kromosom normal dengan usia kehamilan lebih dari 36 minggu
67

lengkap
2. Oligohidramnion pada kehamilan 36 minggu atau lebih
3. Deselerasi lambat berulang pada usia kehamilan berapapun
4. Tidak terdapat pertumbuhan pada pemeriksaan USG dalam jangka waktu 3
minggu (wilkins, 2010).

Sedangkan pada usia kehamilan kurang dari 36 minggu, persalinan harus


dipikirkan pada keadaan berikut ini :
1. Tidak terdapatnya pertumbuhan janin dalam jangka waktu 3 minggu dan
memiliki paruyang matang
2. Anhidramnion pada kehamilan 30 minggu atau lebih
3. Terdapat AEDF (absent umbilical artery end diastolic flow) dan REDF
(reversed umbilical artery end distolic flow)
4. Pola denyut jantung janin yang abnormal menetap (wilkins, 2010).

Cara persalinan tergantung dari etiologi yang mendasari, adanya asidosis dan usia
kehamilan.Janin normal yang kecil dapat dilahirkan bila tanpa adanya komplikasi.
Begitu juga pada janindengan PJT tanpa adanya hipoksemia. Janin dengan anomali
yang tidak dapat hidup juga harusdilahirkan pervaginam. Janin dengan kelainan
yang tidak mematikan harus ditangani sesuaidengan jenis kelainannya. Secara
umum, kelainan yang dapat dikoreksi dengan pembedahanharus ditunda
kelahirannya selama mungkin, secara tehnik makin besar dan tua janin
makinmudah dilakukan koreksi bedah (wikojosastro, 2009).
Kecacatan dan kematian janin meningkat sampai 2-6 kali pada janin dengan PJT.
Tatalaksana untuk kehamilan dengan PJT bertujuan, karena tidak ada terapi yang
paling efektif sejauh ini, adalah untuk melahirkan bayi yang sudah cukup usia
dalam kondisi terbaiknya dan meminimalisasi risiko pada ibu. Tatalaksana yang
harus dilakukan adalah :
PJT pada saat dekat waktu melahirkan. Yang harus dilakukan adalah segera
dilahirkan. PJT jauh sebelum waktu melahirkan. Kelainan organ harus dicari pada
janin ini, dan bila kelainan kromosom dicurigai maka amniosintesis (pemeriksaan
cairan ketuban) atau pengambilan sampel plasenta, dan pemeriksaan darah janin
dianjurkan (wilkins, 2010)
68

a. Tatalaksana umum : setelah mencari adanya cacat bawaan dan kelainan


kromosom serta infeksi dalam kehamilan maka aktivitas fisik harus dibatasi
disertai dengan nutrisi yang baik. Apabila istirahat di rumah tidak dapat
dilakukan maka harus segera dirawat di rumah sakit. Pengawasan pada janin
termasuk diantaranya adalah melihat pergerakan janin serta pertumbuhan janin
menggunakan USG setiap 3-4minggu (wilkins, 2010).
b. Tatalaksana khusus : pada PJT yang terjadi jauh sebelum waktunya dilahirkan,
hanya terapi suportif yang dapat dilakukan. Apabila penyebabnya adalah
nutrisi ibu hamil tidak adekuat maka nutrisi harus diperbaiki. Pada wanita
hamil perokok berat, penggunaan narkotik dan alkohol, makasemuanya harus
dihentikan (wilkins, 2010).
c. Proses melahirkan : pematangan paru harus dilakukan pada janin prematur.
Pengawasan ketat selama melahirkan harus dilakukan untuk mencegah
komplikasi setelah melahirkan. Operasi caesar dilakukan apabila terjadi
distress janin serta perawatan intensif neonatal care segera setelahdilahirkan
sebaiknya dilakukan. Kemungkinan kejadian distress janin selama melahirkan
meningkat pada PJT karena umumnya PJT banyak disebabkan oleh
insufisiensi plasenta yang diperparah dengan proses melahirkan Kondisi bayi.
Janin dengan PJT memiliki risiko untuk hipoksia perinatal (kekurangan
oksigen setelah melahirkan) dan aspirasi mekonium (terhisap cairan
mekonium). PJT yang parah dapat mengakibatkan hipotermia (suhu tubuh
turun) dan hipoglikemia (gula darah berkurang). Pada umumnya PJT simetris
dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan pertumbuhan bayi yang
terlambat setelah dilahirkan, dimana janin dengan PJT asimetris lebih dapat
catch-up pertumbuhan setelah dilahirkan (wilkins, 2010).
Beberapa penyebab dari PJT tidak dapat dicegah. Bagaimanapun juga, faktor
seperti diet, istirahat, dan olahraga rutin dapat dikontrol. Untuk mencegah
komplikasi yang serius selama kehamilan, sebaiknya seorang ibu hamil mengikuti
nasihat dari dokternya; makan makanan yang bergizi tinggi; tidak merokok,
minum alkohol dan menggunakan narkotik; mengurangi stress; berolahraga
teratur; serta istirahat dan tidur yang cukup. Suplementasi dari protein, vitamin,
mineral, serta minyak ikan juga baik dikonsumsi. Selain itu pencegahan dari
anemia serta pencegahan dan tatalaksana dari penyakit kronik pada ibu maupun
infeksi yang terjadi harus baik (wilkins, 2010).
69

Pada kasus- kasus IUGR yang sangat parah dapat berakibat janin lahir mati
(stilbirth) atau jika bertahan hidup dapat memiliki efek buruk jangka panjang
dalam masa kanak-kanak nantinya. Kasus IUGR dapat muncul sekalipun ibu
dalam kondisi sehat. Untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan
dengan menanyakan riwayat ibu apakah faktor-faktor ibu seperti dijelaskan diatas
ada atau tidak, periksa tinggi fundus uteri (TFU) apakah sesuai atau tidak dengan
kehamilan, lakukan Ultrasonograf (USG) fetomaternal, periksa denyut jantung
janin dengan menggunakan Doppler velocimetry (wilkins, 2010).
VI. Komplikasi
1. Anomali janin
2. Asfiksia perinatal
3. Persalinan operatif
4. Kematian perinatal
5. Hipoglikemia dan hipokalsemia neonatal
6. Enterokolitis nekrotikan
7. longterm handicap
Penurunan jumlah cairan amnion sangat berhubungan dengan PJT. Morbiditas
akan terjadi bila AFI < 5 cm (wilkins, 2010).
1.3 Pemeriksaan neonatus
I. Pemeriksaan baayi baru lahir
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik pada BBL perlu diketahui riwayat keluarga,
riwayat kehamilan sekarang dan sebelumnya, serta riwayat persalinan. Pemeriksaan
bayi perlu dilakukan dalam keadaan terlanjang di bawah lampu yang terang
sekaligus berfungsi untuk pemanas. Tangan serta alat yang digunakan harus bersih
dan hangat. Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir paling kurang tiga kali yaitu : (1)
pada saat lahir (2) pemeriksaan yang dilakukan 24 jam diruang perawatan dan (3)
pada waktu pulang.Pemeriksaan pertama BBL harus dilakukan di kamar bersalin,
tujuannya adalah :
1. Menilai gangguan adaptasi BBL dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterine
yang memerlukan resusitasi
2. Menemukan kelainan seperti cacat bawaan yang memerluka tindakan segera
(misal atresia ani, atresia esophagus, trauma lahir)
3. Menentukan BBL dapat dirawat bersama ibu (rawat gabung) atau di tempat
perawatan khusus, di ruang intensif untuk di awasi atau segera di operasi.
70

Pemeriksaan kedua harus dilakukan kembali dalam 24 jam, yaitu sesudah bayi
berada dalam ruang perawatan. Tujuannya adalah kelainan yang luput dari
pemeriksaan pertama akan ditemukan pada pemeriksaan ini. Pemeriksaan di kamar
bersalin dan di ruang perawat sebaiknya di bawah lampu pemanas untuk mencegah
hipotermi. Pemeriksaan di ruang rawat harus dilakukan di depan ibunya, sehingga
jika ditemukan kelainan bawaan (bahaya atau tidak) bisa langsung dijelaskan ke
ibunya. Bayi tidak boleh dipulangkan sebelum dilakukan pemeriksaan terakhir. Hal
ini disebabkan kelainan pada BBL yang belum menghilang saat dipulangkan
(hematoma sefal, ginekomasti, ikterus). Data yang harus dicatat dari pemeriksaan
fisik adalah lingkar kepala, berat badan, panjang badan, kelainan fisik yang
ditemukan, frekuensi napas, nadi, dan keadaan tali pusat. Pemeriksaan BBL
memerlukan kesabaran, keluwesan dan ketelitian. Bila bayi dalam keadaan tenang,
kita dahulukan pemeriksaan auskultasi bunyi jantung, paru dan palpasi abdomen.
Pemeriksaan lainnya kita lakukan setelahnya (Kumar, 2007).

II. Pemeriksaan di Kamar Bersalin

1. Menilai adaptasi
Perlu segera diperiksa di kamar bersalin apakah bayi beradaptasi dengan baik
atau perlu resusitasi. Bayi yang perlu resusitasi adalah bayi yang lahir dengan
pernapasan tidak adekuat, tonus otot kurang, ada mekonium dalam cairan
amnion atau lahir kurang bulan.
Nilai yang digunakan untuk menilai adaptasi ini adalah APGAR. Nilai ini
dipakai untuk melihat keadaan bayi pada usia 1 menit dan 5 menit. Nilai
APGAR tidak bisa dipakai untuk menentukan perlunya resusitasi, melainkan
untuk menilai respon dari resusitasi.
Nilai APGAR adalah suatu ekspresi keadaan fisiologis BBL yang dibatasi oleh
waktu. Gangguan biokimia harus cukup signifikan agar bisa mempengaruhi
nilai APGAR. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai APGAR antara lain :
pengaruh obat, trauma lahir, kelainan bawaan, infeksi, hipoksia, hipovolemia,
dan kelahiran premature. Bayi prematur danpa asfiksia bisa saja mendapat nilai
APGAR yang rendah (Kumar, 2007).
71

Sign 0 1 2
Colour Blue, pale Pink trunk blue Pink all over
extremities
Heart rate Absent <100 >100
Reflex irritability None Grimace Cry
Tone, activity Limp Some limb flexion Active movement
Respiratory effort absent Slow, irregular Good strong cry

Setiap variabel dinilai : 0, 1 dan 2


a. Nilai tertinggi adalah 10
b. Nilai 7 10 menunjukkan bayi dalam keadaan baik
c. Nilai 4 6 menunjukkan bayi mengalami depresi sedang dan butuh tindakan
resusitasi
d. Nilai 0 3 menunjukkan bayi mengalami depresi serius dan butuh resusitasi
segera sampai ventilasi (Kumar, 2007).
2. Mencari kelainan kongenital
Pemeriksaan di kamar bersalin juga bertujuan untuk menentukan adanya
kelainan kongenital pada bayi terutama yang memerlukan penanganan segera.
Pada anamnesis perlu ditanyakan apakah ibu menggunakan obat-obatan
teratogenik, terkena radiasi, infeksi virus pada trisemester pertama, adakah
kelainan bawaaan pada keluarga. Ibu juga perlu ditanyakan mengenai penyakit
yang dapat mengganggu pertumbuhan janin seperti Diabetes mellitus, asma
bronchial dan sebagainya. Sebelum memeriksa bayi, perlu diperiksa cairan
amnion, tali pusat dan plasenta. Setelah itu dilakukan pemeriksaan bayi secara
cepat dan menyeluruh (Kumar, 2007).
3. Pemeriksaan Fisik
a. Berat lahir dan masa kehamilan
b. Mulut
Inspeksi
Apakah terdapat labio-gnato-palatoskizis, hipersalivasi yang mungkin
disebabkan adanya atresia esophagus. Pemeriksaam patensi esophagus
dilakukan dengan cara memasukkan kateter ke dalam lambung, setelah itu
72

cairan di dalam amnion di aspirasi. Bila terdapat cairan melebihi 30 ml


pikirkan kemungkinan atresia usus bagian atas.
Pada pemeriksaan mulut perhatikan juga terdapatnya hipoplasia otot
depressor anguli oris. Pada keadaan ini terlihat asimetri wajah apabila bayi
menangis, sudut mulut dan mandibula akan tertarik ke bawah dan garis
nasolbialis akan kurang tampak pada daerah yang sehat (sebaliknya pada
paresis N. fasialis).
c. Anus
Perhatikan adanya anus imperforatus dengan memasukkan thermometer ke
dalam anus. Walaupun seringkali atresia yang tinggi tidak dapat dideteksi
dengan cara ini. Bila ada atresia perhatikan adanya fistula rekto-vaginal.
d. Kelamin pada garis tengah
Perlu dicari kelainan pada garis tengah berupa spina bifida, meningomielokel,
sinus pilonidais, ambigus genitalia, eksomfalos dan lain-lain.
e. Jenis kelamin
Biasanya orang tua ingin segera mengetahui jenis kelamin anaknya. Bila
terdapat keraguan misalnya klitoris pada bayi perempuan atau terdapatnya
hipospadia/epispadia pada bayi laki-laki, sebaiknya pemberitahuan jenis
kelamin ditunda sampai dilakukan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan
kromosom (Kumar, 2007).
III. Pemeriksaan di Ruang Rawat
Pemeriksaan ini harus dilakukan dalam 24 jam untuk mendeteksi kelainan yang
mungkin terabaikan pemeriksaan di kamar bersalin. Pemeriksaan ini meliputi:
a. Aktivitas fisik
Keaktifan BBL dinilai dengan melihat posisi dan gerakan tungkai dan
lengan. Pada BBL cukup bulan yang sehat, ekstremitas berada dalam
keadaan fleksi, dengan gerakan tungkai serta lengan aktif dan simetris. Bila
ada asimetri pikirkan terdapatnya kelumpuhan dan patah tulang. Aktivitas
fisik mungkin saja tidak tampak pada BBL yang sedang tidur atau lemah
karena sakit atau pengaruh obat. Gerakan kasar atau halus (tremor) yang
disertai klonus pergelangan kaki atau rahang sering ditemukan pada BBL,
keadaan ini tidak berarti apa-apa. Berlainan halnya bila terjadi pada
golongan umur yang lebih tua. Gerakan tersebut cenderung terjadi pada
BBL yang aktif, tetapi bila dilakukan fleksi anggota gerak tersebut masih
73

tetap bergerak-gerak, maka bayi tersebut menderita kejang dan perlu di


evaluasi lebih lanjut.
b. Tangisan bayi
Tangisan bayi dapat memberikan keterangan tentang keadaan bayi.
Tangisan melengking ditemukan pada bayi dengan kelainan neurologis,
sedangkan tangisan yang lemah atau merintih terdapat pada bayi dengan
kesulitan pernapasan.
c. Wajah BBL
Wajah BBL dapa menunjukkan kelainan yang khas, misalnya sindrom
down, sindrom Pierre-Tobin, sindrom de Lange dan sebagainya.
d. Keadaan gizi
Dinilai dari berat dan panjang badan, disesuaikan dengan masa kehamilan,
tebal lapisan subkutis serta kerutan pada kulit. Edema pada bayi dapat
memberikan kesan bayi dalam status gizi baik karena kulitnya halus dan
licin. Edema kelopak mata biasanya karena iritasi tetesan obat pada mata.
Edema yang menyeluruh ditemukan pada bayi prematur, hipoproteinemia,
eritroblastosis fetalis, sindrom nefrotik kongenital, sindrom Hurler atau
sebab lain yang tidak diketahui. Edema setempat dapat disebabkan oleh
cacat bawaan sistem limfe. Salah satu gejala sindrom turner adalah edema
yang terbatas pada salah satu atau lebih ekstremitas bayi perempuan.
e. Pemeriksaan suhu
Suhu tubuh BBL diukur pada rektal. Suhu BBl normal adalah antara 36,5-
37,50C. Suhu meninggi dapat ditemukan pada dehidrasi, gangguan serebral,
infeksi, atau kenaikan suhu lingkungan. Apabila ekstremitas dingin dan
tubuh panas kemngkinan besar disebabkan oleh sepsis, perlu diingat bahwa
sepsis/infeksi pada BBl dapat saja tidal disertai kenaikan suhu tubuh,
bahkan sering terjadi hipotermi (Kumar, 2007).
IV. Pemeriksaan Secara Rinci
a. Kepala
Raba sepanjang garis sutura dan fontanel, apakah ukuran dan tampilannya
normal. Sutura yang berjarak lebar mengindikasikan bayi preterm,
moulding yang buruk atau hidrosefalus. Pada kelahiran spontan letak
kepala, sering terlihat tulang kepala tumpang tindih yang disebut
moulding/moulase. Keadaan ini normal kembali setelah beberapa hari
74

sehingga ubun-ubun mudah diraba. Perhatikan ukuran dan ketegangannya


Fontannel anterior harus diraba fontanel yang besar dapat terjadi akibat
prematuritas atau hidrosefalus, sedangkan yang terlalu kecil terjadi pada
mikrosefali. Jika fontanel menonjol, hal ini diakibatkan peningkatan
tekanan intra kranial, sedangkan yang cekung terjadi akibat dehidrasi.
Terkadang teraba fontanel ketiga antara fontanel anterior dan posterior.
b. Wajah
Wajah harus tampak simetris. Terkadang wajah bayi tampak asimetris hal
ini dikarenakan posisi bayi di intrauteri. Perhatikan kelainan wajah yang
khas seperti sindrom down atau sindrom pierre robin. Perhatikan juga
kelainan wajah akibat trauma lahir seperti laserasi, paresi N.fasialis.
c. Mata
Goyangkan kepala bayi secara perlahan-lahan supaya mata bayi terbuka.
Periksa jumlah posisi atau letak mata, dan perksa adanya strabismus yaitu
koordinasi mata yang belum sempurna. Periksa adanya glaukoma
kongenital, mulanya akan tampak sebagai pembesaran kemudian sebagai
kekeruhan pada kornea. Katarak kongenital akan mudah terlihat yaitu pupil
berwarna putih. Pupil harus tampak bulat. Terkadang ditemukan bentuk
seperti lubang kunci (kolobama) yang dapat mengindikasikan adanya defek
retina.
Periksa adanya trauma seperti palpebra, perdarahan konjungtiva atau retina.
Periksa adanya sekret pada mata, konjungtivitis oleh kuman gonokokus
dapat menjadi panoftalmia dan menyebabkan kebutaan. Apabila
dietemukan epichantus melebar kemungkinan bayi mengalami sindrom
down.
d. Hidung
Kaji bentuk dan lebar hidung, pada bayi cukup bulan lebarnya harus lebih
dari 2,5 cm. Bayi harus bernapas dengan hidung, jika melalui mulut harus
diperhatikan kemungkinan ada obstruksi jalan napas karena atresia koana
bilateral, fraktur tulang hidung atau ensefalokel yang menonjol ke
nasofaring. Periksa adanya sekret yang mukopurulen yang terkadang
berdarah, hal ini kemungkinan adanya sifilis kongenital. Perikas adanya
pernapasan cuping hidung, jika cuping hidung mengembang menunuukkan
adanya gangguan pernapasan.
75

e. Mulut
Perhatikan mulut bayi, bibir harus berbentuk dan simetris.
Ketidaksimterisan bibir menunjukan adanya palsi wajah. Mulut yang kecil
menunjukkan mikrognatia. Periksa adanya bibir sumbing, adanya gigi atau
ranula (kista lunak yang berasal dari dasar mulut). Periksa keutuhan langit-
langit terutama pada persambungan antara palatum keras dan lunak.
Perhatikan adanya bercak putih pada gusi atau palatum yang biasanya
terjadi akibat Episteins pearl atau gigi. Periksa lidah apakah membesar
atau sering bergerak. Bayi dengan edema otak atau tekanan intrakranial
meninggi seringkali lidahnya keluar masuk (footes sign).
f. Telinga
Periksa dan pastikan jumlah, bentuk dan posisinya. Pada bayi cukup bulan,
tulang rawan sudah matang. Daun telinga harus berbentuk sempurna
dengan lengkungan yang jelas dibagian atas. Perhatikan letak daun telinga.
Daun telinga yang letaknya rendah (low set ears) terdapat pada bayi yang
mengalami sindrom tertentu (Pierre-robin). Perhatikan adanya kulit
tambahan atau aurikel, hal ini dapat berhubungan dengan abnormalitas
ginjal.
g. Leher
Leher bayi biasanya pendek dan harus diperiksa kesimetrisannya.
Pergerakkannya harus baik. Jika terdapat keterbatasan pergerakan
kemungkinana ada kelaianan tulang leher. Periksa adanya trauma leher
yang dapat menyebabkan kerusakan pada fleksus brakhjialis. Lakukan
perabaan untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan, periksa adanya
pembesaran kelenjar tyroid dan vena jugularis. Adanya lipatan kulit yang
berlebihan di bagian belakang leher menunjukkan adanya kemungkinan
trisomi 21.
Perlu diukur panjang kepala-simpisis dan simpisis-kaki untuk menilai
proporsi tubuh bayi, agar kelainan akondroplasia dapat dideteksi (Kumar,
2007).
V. Pemeriksaan Neurologis (Reflek primitif pada BBL)
Reflek primitif adalah aksi reflek yang berasal dari dalam pusat sistem saraf
yang ditunjukkan oleh bayi baru lahir normal namun secara neurologis tidak
lengkap seperti pada orang dewasa dalam menanggapi rangsang tertentu.
76

Reflek ini tidak menetap hingga dewasa, namun lama-kelamaan akan


menghilang karena dihambat oleh olbus frontal sesuai dengan tahap
perkembangan anak normal. Reflek primitif ini sering juga disebut infantile
atau reflek bayi baru lahir.
Anak-anak dan dewasa yang mengalmi kelainan atau gangguan saraf (sebagai
contoh, penderita cerebral palsy) akan tetap mempunyai reflek primitif ini dan
akan timbul kembali hingga masa dewasa mengacu pada keadaaan saraf
tertentu termasuk demensia, lesi trauma dan stroke. Seseorang dengan
gangguan cerebral palsy dan keterbatasan mental kecerdasan dapat belajar
untuk lebih menekan reflek ini agar tidak muncul pada kondisi tertentu seperti
selama memulai reaksi yang ekstrim. Reflek dapat dibatasi pada area tubuh
tertentu saja yang dipengaruhi oelh gangguan saraf seperti reflek Babinsky
pada kaki untuk penderita cerebral palsy. Atau juga dapat terjadi pada orang
normal dengan hemiplegia, reflek dapat diliha pada kaki di daerah yang
terserang saja.
Reflek primitif juga diperiksa pada seseorang yang diduga mengalami luka di
otaknya untuk menguji fungsi dari lobus frontal. Jika tidak ada penekanan
secara tepat maka terjadi tanda-tanda penurunan fungsi tulang depan kepala
(frontal). Selain itu gangguan reflek primitif juga diperiksa sebagai tanda
peringatan awal terjadinya gangguan autis.
Reflek pada bayi baru lahir beraneka ragam. Sebuah contoh pasti adalah reflek
rooting yang membantu proses inisiasi menyusui dini dan proses menyusui
nantinya. Bayi hanya akan menunjukkan reflek ini pada saat kelaparan dan
disentuh disekitar bibirnya oleh orang lain, tapi bukan termasuk bayi itu
sendiri. Ada beberapa reflek yang kemungkinan akan membantu bayi bertahan
selama masa adaptasi lingkungan kehidupan barunya seperti reflek moro.
Reflek yang lain seperti reflek menelan dan memegang sesuatu akan
membantu menjalin interaksi positif antara orang tua dan bayi baru lahir.
Reflek tersebut dapat memacu orang tua untuk memberikan respon dengan
penuh cinta dan kasih sayang serta lebih memotivasi ibu untuk menyusui.
Reflek primitif ini juga membantu orang tua merasa nyaman dengan bayinya
karena reflek primitif tersebut akan mendorong bayi untuk mengontrol dirinya
serta menerima dan menanggapi stimulasi atau rangsangan dari orang tuanya.
(Berk, Laura E.. Child Development. 8th. USA: Pearson, 2009.)
77

Macam reflek primitif BBL :


a. Reflek ketuk Glabella
Reflek ini diperiksa dengan mengetuk secara berulang pada dahi. Ketukan
akan diterjemahkan sebagai sinyal yang diterima oleh saraf sensori aferen
yang akan dipindahkan oleh nervus trigeminal dan sinyal saraf eferen akan
kembali ke otot orbicularis oculi melalui saraf facial yang akan
menggerakkan reflek pada mata yaitu berkedip. Kedipan mata akan muncul
sebagai reaksi terhadap ketukan tersebut namun hanya timbul sekali yaitu
pada ketukan pertama. Jika kedipan mata terus berlangsung pada ketukan
selanjutnya, maka disebut tanda-tanda Myerson, yang merupakan gejala
awal penyakit Parkinson, dan hal tersebut tidak normal.
b. Refleks mata boneka
Refleks ini diperiksa sebagai salah satu cara untuk menentukan mati batang
otak. Jika kepala diputar-putar (ditolehkan kesamping kanan dan kiri) maka
bola mata akan bergerak. Namun jika pada pemeriksaan ini bola mata tetap
berhenti atau tidak bergerak sama sekali berarti dimungkinkan adanya
kematian batang otak.
c. Refleks rooting
Reflek ini ditunjukkan pada saat kelahiran dan akan membantu proses
menyusui reflek ini akan mulai terhambat pada usia sekitar 4 bulan dan
berangsur-angsur akan terbawa di bawah sadar. Seorang bayi baru lahir
akan menggerakkan kepalanya menuju sesuatu yang menyentuh pipi atau
mulutnya, dan mencari objek tersebut dengan menggerakkan kepalanya
terus menerus hingga ia berhasil menemukan objek tersebut. Setelah
merespon rangsang ini (jika menyusui, kira-kira selama 3 minggu setelah
kelahiran) bayi akan langsung menggerakkan kepalanya lebih cepat dan
tepat untuk menemukan objek tanpa harus mencari-cari.
78

d. Refleks sucking
Reflek ini secara umum ada pada semua jenis mamalia dan dimulai sejak
lahir. Reflek ini berhubungan dengan reflek rooting dan menyusui, dan
menyebabkan bayi untuk secara langsung mengisap apapun yang disentuh
di mulutnya. Ada 2 tahapan dari reflek ini yaitu :
Tahap expression
Dilakukan pada saat puting susu diletakkan di antara bibir bayi dan
disentuhkan di permukaan langit-langitnya. Bayi akan se cara langsung
menekan (mengenyot) puting dengan menggunakan lidah dan langit-
langitnya untuk mengeluarkan air susunya.
Tahap milking
Saat lidah bergerak dari aerola menuju puting, mendorong air susu dari
payudara ibu untuk ditelan oleh bayi.
e. Refleks tonick neck
Refleks tonick neck dan asymmetric tonick neck ini disebut juga posisi
menengadah dan muncul pada usia 1 bulan dan akan menghilang usia 5
bulan. Saat kepala bayi digerakkan ke samping, lengan pada sisi tersebut
akan lurus dan lengan yang berlawanan akan menekuk (kadang-kadang
pergerakan akan sangat halus atau lemah) jika bayi baru lahir tidak mampu
untuk melakukan posisi ini atau jika reflek ini terus menetap hingga lewat
6 bulan, bayi dimungkinkan mengalami gangguan pada neuron motorik
atas. Berdasarkan penelitian reflek tonick neck merupakan suatu tanda awal
koordinasi mata dan kepala bayi yang akan menyiapkan bayi untuk
mencapai gerakan sadar.
79

f. Refleks palmar grasping


Refleks ini muncul pada saat kelahiran dan akan menetap hingga usia 5-6
bulan. Saat sebuah benda diletakkan di tangan bayi dan menyentuh telapak
tangannya, maka jari-jari tangan akan menutup dan menggenggam benda
tersebut. Genggaman yang ditimbulkan sangat kuat namun tidak dapat
diperkirakan, walaupun juga dimungkinkan akan mendorong badan bayi,
bayi mungkin juga akan menggenggam tiba-tiba dfan tanpa rangsangan.
Genggaman bayi dapat dikurangi kekuatannya dengan menggosok
punggung atau bagian samping tangan bayi.

g. Refleks plantar
Refleks ini juga disebut plantar grasp, muncul sejak lahir dan berlangsung
hingga usia sekitar satu tahun kelahiran. Reflek plantar ini juga dapat
diperiksa dengan menggosokkan sesuatu ke telapak kakinya, maka jari-jari
kakinya akan melekuk secara erat.
80

h. Refleks babinski
Muncul sejak lahir berlangsung kira-kira hingga satu tahun. Reflek ini
ditunjukkan pada saat bagian samping telapak kaki digosok, dan
menyebabkan jari-jari kaki menyebab dan jempol kaki ekstensi. Reflek
disebabkan oleh kurangnya myelinasi traktus corticospinal pada bayi.
Reflek babinski juga merupakan tanda abnormalitas saraf seperti lesi
neuromotorik atas pada orang dewasa.
i. Refleks galant
Refleks ini dikenal sebagai reflek galants infantile ditemukan seorang
neurolog dari Rusia, Johan Susman Galant reflek ini muncul sejak lahir dan
berlangsung sampai pada usia 4 hingga 6 bulan. Pada saat kulit di sepanjang
sisi punggung bayi digosok, maka bayi akan berayun menuju sisi yang
digosok. Jika reflek ini menetap hingga lewat 6 bulan dimungkinkan ada
patologis.

j. Refleks swimming
Refleks ini ditunjukkan pada saat bayi diletakkan di kolam yang berisi air, ia
akan mulai mengayuh dan menendang seperti gerakan berenang. Reflek ini
akan menghilang pada usia 4-6 bulan. Reflek ini berfungsi untuk membantu
81

bayi bertahan jika ia tenggelam. Meskipun bayi akan mulai mengayuh dan
menendan seperti berenang, namun meletakkan bayi di air sangat berisiko.
Bayi akan menelan banyak air pada saat itu. Disarankan untuk menunja
meletakkan bayi di air.
k. Refleks moro
Reflek ini ditemukan oleh pediatri bernama Ernst Moro. Reflek ini muncul
sejak lahir, paling kuat pada usia 1 bulan dan akan mulai menghilang pada
usia 2 bulan. Reflek ini terjadi jika kepala bayi tiba-tiba terangkat, suhu tubuh
bayi berubah secara drastis atau pada saat bayi dikagetkan oleh suara yang
keras. Kaki dan tangan akan melakukan gerakan ekstensi dan lengan akan
tersentak ke atas dengan telapak tangan ke atas dan ibu jarinya bergerak
fleksi. Singkatnya kedua lengan akan terangkat dan tangan seperti ingin
mencengkram atau memeluk tubuh dan bayi menangis sangat keras. Reflek
ini normalnya akan menghilang 3-4 bulan, meskipun terkadang menetap
hingga usia 6 bulan.

Tidak adanya reflek ini pada kedua sisi tubuh atau bilateral (kanan dan kiri)
menandakan adanya kerusakan pada sistem saraf pusat bayi, sementara tidak
adanya reflek moro unilateral (pada satu sisi) dapat menandakan adanya
trauma persalinan seperti fraktur klavikula atau perlukaan pada pleksus
brakhialis. Erbs palsy atau beberapa jenis paralysis kadang juga timbul pada
beberapa kasus. Sebuah cara untuk memeriksa keadaan reflek adalah dengan
meletakkan bayi secara horizontal dan meluruskan punggungnya dan biarkan
kepala bayi turun secara pelan-pelan atau kagetkan bayi dengan suara yang
keras dan tiba-tiba. Reflek moro in akan membantu bayi untuk memeluk
ibunya saat ibu menggendong bayinya sepanjang hari. Jika bayi kehilangan
82

keseimbangan, reflek ini akan menyebabkan bayi memeluk ibunya dan


bergantung pada tubuh ibunya.
l. Refleks walking / stepping
Refleks ini muncul sejak lahir walaupun bayi tidak dapat menahan berat
tubuhnya, namun saat tumit kakinya disentuhkan pada suatu permukaan yang
rata, bayi akan terdorong untuk berjalan dengan menempatkan satu kakinya
di depan kaki yang lain. Reflek ini akan menghilang sebagai sebuah respon
otomatis dan muncul kembali sebagai kebiasaan secara sadar pada sekitar
usia 8 bulan-1 tahun untuk persiapan kemampuan berjalan.
VI. Pemeriksaan pada waktu memulangkan
Pada waktu memulangkan dilakukan lagi pemeriksaan untuk meyakinkan
bahwa tidak ada kelainan kongenital atau kelainan akibat trauma yang
terlewatkan. Perlu diperhatikan :
a. Susunan saraf pusat : aktivitas bayi, ketegangan ubun-ubun
b. Kulit : adanya ikterus, pioderma
c. Jantung : adanya bising yang baru timbu kemudian
d. Abdomen : adanya tumor yang tidak terdeteksi sebelumnya
e. Tali pusat : adanya infeksi
f. Disamping itu perlu diperhatikan apakah bayi sudah pandai menyusui dan ibu
sudah mengerti cara pemberian ASI yang benar (Kumar, 2007).
1.4 Penatalaksanaan
1. Hipotermi
Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal. Adapun suhu
normal bayi adalah 36,5-37,5 C. Suhu normal pada neonatus 36,5-37,5 C (suhu
ketiak). Gejala awal hipotermi apabila suhu <36 C atau kedua kaki & tangan teraba
dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi
sedang (suhu 32-36C). Disebut hipotermi berat bila suhu <32C, diperlukan
termometer ukuran rendah (low reading thermometer) yang dapat mengukur sampai
25C.Disamping sebagai suatu gejala, hipotermi merupakan awal penyakit yang
berakhir dengan kematian.Sedangkan menurut Sandra M.T. (1997) bahwa hipotermi
yaitu kondisi dimana suhu inti tubuh turun sampai dibawah 35C (Antonius H,
2015).
Etiologi Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :
a. Jaringan lemak subkutan tipis.
83

b. Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.


c. Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.
d. BBL (Bayi Baru Lahir) tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada
reaksi kedinginan.
e. Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi
mengalami hipotermi (Antonius H, 2015).

Pencegahan dan Penanganan Hipotermi Pemberian panas yang mendadak,


berbahaya karena dapat terjadi apnea sehingga direkomendasikan penghangatan 0,5-
1C tiap jam (pada bayi < 1000 gram penghangatan maksimal 0,6 C) (Antonius H,
2015).

Alat-alat Inkubator Untuk bayi < 1000 gram, sebaiknya diletakkan dalam inkubator.
Bayi-bayi tersebut dapat dikeluarkan dari inkubator apabila tubuhnya dapat tahan
terhadap suhu lingkungan 30C. Radiant warner Adalah alat yang digunakan untuk
bayi yang belum stabil atau untuk tindakan-tindakan. Dapat menggunakan servo
controle (dengan menggunakan probe untuk kulit) atau non servo controle (dengan
mengatur suhu yang dibutuhkan secara manual) (Antonius H, 2015).

Pengelolaann bayi untuk mempertahankan suhu tubuh bayi dalam mencegah


hipotermi adalah:
b. Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering dan bersih.
c. Mengeringkan tubuh bayi yang baru lahir/air ketuban segera setelah lahir
dengan handuk yang kering dan bersih.
d. Menjaga bayi hangat dengan cara mendekap bayi di dada ibu dengan keduanya
diselimuti (Metode Kangguru).
e. Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang
pooting reflex dan bayi memperoleh kalori dengan menyusui bayi. Pada bayi
kurang bulan yang belum bisa menetek ASI diberikan dengan sendok atau pipet.
Selama memberikan ASI bayi dalam dekapan ibu agar tetap hangat.
f. Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu
rujukan.
g. Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.
h. Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.
84

i. Menunda memandikan bayi lahir sampai suhu tubuh normal Untuk mencegah
terjadinya serangan dingin
j. Pada bayi lahir sehat yaitu cukup bulan, berat < 2500 gram, langsung menangis
kuat, memandikan bayi ditunda 24 jam setelah kelahiran. Pada saat memandikan
bayi, gunakan air hangat.
k. Pada bayi lahir dengan resiko, keadaan umum bayi lemah atau bayi dengan berat
lahir 2000 gram sebaiknya jangan dimandikan. Tunda beberapa hari sampai
keadaan umum membaik yaitu bila suhu tubuh stabil, bayi sudah lebih kuat dan
dapat menghisap ASI dengan baik (Antonius H, 2015).

Penganana hipotermi :

a. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam


inkubator atau melalui penyinaran lampu
b. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan setiap orang ialah
metode dekap, yaitu bayi diletakkan telungkup dalam dekapan ibunya dan
keduanya diselimuti agar bayi senantiasa hangat.
c. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika
terlebih dahulu yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan
berulangkali sampai tubuh bayi hangat. Tidak boleh memakai buli-buli panas,
bahaya luka bakar.
d. Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia sehingga bayi harus diberi
ASI sedikit-sedikit dan sesering mungkin. Bila bayi tidak dapat menghisap beri
infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari (Antonius H, 2015).
1. Asfiksia
Asfiksia neonatus akan terjadi apabila saat lahir mengalami gangguan pertukaran
gas dan transport O2 sehingga bayi kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
pengeluaran CO2. Pada bayi dengan asfiksia bisa terjadi sindrom gangguan napas.
Aspirasi mekonium, infeksi dan kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi
pasca asfiksia. Pada bayi dengan asfiksia dapat pula ditemukan komplikasi lain yaitu
gangguan fungsi jantung, renjatan neonatus, gangguan fungsi ginjal, lebih
merupakan indikator maturitas tumbuh kembang bayi (Antonius H, 2015).
Akibat yang mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan mengalami
kematian 10-20%, sedangkan 20-45% dari yang hidup mengalami kelainan
neurologi, kira-kira 60%-nya dengan gejala sisa berat. Sisa normal. Gejala sisa
85

neurologik berupa cerebral palsy, mental retardasi, epilepsi, microceflus,


hidrosefalus dan lain-lain.
1. Penatalaksaan
Resusitasi dengan langkah mengikuti ABC yaitu:
A: pertahankan perjalanan napas bebas, jika perlu dengan intubasi endotrakeal.
B: bangkitkan napas spontan dengan stimulasi taksil dan tekanan positif
menggunakan ambu bag and mask atau lewat pipa endotrakeal
C: pertahankan sirkulasi jika perlu dengan konpresi dada dan obat-obatan
Pada asfiksia ringan, berikan bantuan napas dengan oksigen 100% melalui bag
and mask selama 15-30 detik.Pada asfiksia berat dapat terjadi syok kardiogenik.
Pada keadaan ini diberikan dopamin per infus 5-20 mg/KgBB/mnt.Bila terdapat
riwayat pemberian analgesik narkotik pada ibu hamil berika narcan 0,1 mg/KgBB
dapat diberikan secara subkutan intramuskular, intravena atau melalui pipa
endotrakeal (Antonius H, 2015).
2. Hipertermi
Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko
mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8C per oral atau 38,8C
per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor ekstern. Hipertermia
adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh mekanisme pengaturan
panas hipotalamus (wilkins, 2010).
Penanganan hipertermi
1. Bila suhu diduga karena paparan panas berlebihan:
a. Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 26-28C
b. Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan
menggunakan air es).
c. Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai dehidrasi
teratasi
d. Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
e. Bila bayi pernah diletakan di bawah pemancar panas atau inkubator
f. Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator, buka incubator
sampai suhu dalam batas normal
g. Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian
h. Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakanPeriksa suhu
bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batar normal
86

i. Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan
pengatur suhu (wilkins, 2010).
2. Manajemen lanjutan suhu lebih 37,5
a. Bayi mendapatkan masukan cukup cairan
b. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat menyusui, beri
ASI panas dengan salah satu alternative cara pemberian minum
c. Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani dehidrasinya
d. Setelah suhu bayi normal, lakukan perawatan lanjutan
e. Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam
f. Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta
tidak ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan, nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi
dari pancaran panas yang berlebihan
g. Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat menyusu, berikan perasan
ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan alternative
h. Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau fontanel cekung, kehilangan
elastisitas kulit, atau lidah atau membran mukosa kering)
i. Pasang slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan
usia bayi
j. Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat badan bayi pada hari pertama
dehidrasi terlihat
k. Ukur glukosa darah, jika glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l),
atasi glukosa darah yang rendah (wilkins, 2010).
3. Hipoglikemi
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45
mg/dL (2.6 mmol/L).

Penatlaksanaan

1. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor
dalam 3 hari pertama :
a. Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam
b. Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal
dalam 2 kali pemeriksaan
87

c. Kadar glukosa 45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia


d. Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan
hipoglikemia selesai
e. Penanganan hipoglikemia dengan gejala :
Bolus glukosa 10% 2 ml/ kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 ml/menit
Pasang jalur iv D 10 sesuai kebutuhan (kebutuhan infus glukosa 6-8
mg/kg/menit).
Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt = 18 mg/mnt =
25920 mg/hari. Bila dipakai D 10% artinya 10 g/100cc, bila perlu 25920
mg/hari atau 25,9 g/hari berarti perlu 25,9 g/ 10 g x 100 cc= 259 cc D 10%
/hari (wilkins, 2010).
88

DAFTAR PUSTAKA

Antonius, H. 2015. Pediatri Gawat Darurat. Jakarta : UKK Pediatrik Gawat darurat IDAI
Cunningham G.F, Gant N.F, dkk.2014. Obstetri Williams. Edisi 2. Volume 2. Jakarta : ECG
Kumar, Vinay at all. 2007. Pemeriksaan fisik pada bayi. Ed.VII. Jakarta : EGC h. 80-4.
Karen, j. 2014. Ilmu kesehatan Anak Esensial. Edisi keenam. Singapura : saunders
Lawrence M, Sam W, 2011. The management of respiratory distress in the moderately preterm
newborn infant. BMJ; 1-8.
Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, A. Sylvia dan Wilson, M. Lorraine. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Resnik R. High Risk Pregnancy. In: Emedicine Journal Obstetrics and Gynecology. Volume
99. No: 3. Maret 2013.
Sidarta, Ilyas, Rendy, 2011. Ilmu kesehatan anak: bayi prematur. FKUI. Jakarta. h. 131-9.
Wikojosastro H, Abdul Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi. Buku Ajar Ilmu Kebidanan,
edisi ke 5. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2009: 781-83.
Wilkins I.2010. Yorkshire neonatal network: respiratory morbidity in preterm birth. JAMA.;
216: 309-18.

Anda mungkin juga menyukai