Cedera Kepala
Cedera Kepala
Halaman judul............................................................................................................
Triger......................................................................................................................... 2
BAB I
Klasifikasi....................................................................................................................3
BAB II
Definisi.......................................................................................................................6
BAB III
Epidemiologi...............................................................................................................7
BAB IV
Patofisiologi................................................................................................................8
BAB V
Faktor Resiko..............................................................................................................9
BAB VI
Manifestasi Klinis........................................................................................................10
BAB VII
Pemeriksaan Diagnostik...............................................................................................11
BAB VIII
Penatalaksanaan.........................................................................................................12
BAB IX
ASKEP.........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................23
1
TRIGGER
Seorang perempuan (18 th) mengalami kecelakaan dan dibawa ke klinik dengan kondisi darah keluar
dari telinga, mata bengkak membiru, luka robek pada tungkai kanan dan dahi, sepanjang jalan
mengigau. Perawat melakukan pengkajian pada klien pada 6 jam pertama, didapatkan respon mata
klien ada saat diberi rangsang nyeri, klien hanya menggumam aaarggghhh, sewaktu diberi rangsang
nyeri tangan meregang lurus dengan ujung telapak tangan menutup membelakangi tubuh. Perawat
menemukan tisu menutupi lubang telinga klien yang mengeluarkan darah dan melakukan Halo tes
positif. Perawat mendapatkan adanya hemotympanum, diberikan infuse NS 500 cc selama 8 jam,
manitol, direncanakan untuk pemeriksaan CT scan. Klien direncanakan untuk operasi pemasangan
ICP 2 jam lagi.
BAB I
2
KLASIFIKASI
1. Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil ), kecepatan rendah ( terjatuh atau
dipukul)
1. Cedera kepala ringan : Nilai GCS 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Di tandai
dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti fraktur pada tengkorak,
kontusio/hematoma.
2. Cedera kepala sedang : Nilai GCS 9-12 kehilangan kesadaran 30 menit 24 jam dapat
3. Cedera kepala berat : Nilai GCS 3-8 , hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi konstusio
c. Berdasarkan morfologi.
1. Fraktur tengkorak
nervus VII.
2. Lesi intrakranial
3
a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat jaringan otak
mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk menyebabkan memar pada
jaringan otak atau penurunan keasadaran yang menetap. Contohnya seperti ketika kita
membentur tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala berputar dan
diatasnya ada burung-burung emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat
setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan kesadaran
dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi, letargi, pusing.
b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius daripada concussion. Lebih banyak
disebabkan oleh adanya perdarahan arteri otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang
tengkorak dan dura. Gejala: penurunan kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.
d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi. Perdarahan pada
meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada daerah subdural (antara duramater dan
arachnoid). Biasanya mengenai vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri).
Gejala: mirip dengan epidural hematoma namun dengan onset of time yang lambat karena
sobekan pembuluh darah terjadi pada vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.
e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub akut dan memiliki prognosa
yang lebih baik karena aliran darah pada pembuluh darah yang robek berjalan relatif lambat.
Sering terjadi pada bagian frontal dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi.
Gejala: deficit neurologis yang tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik,
peningkatan tekanan intracranial.
4
f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe yaitu linear, comminuted, basilar,
dan depressed. Fraktur pada bagian depan dan tengah tulang tengkorak akan mengakibatkan
sakit kepala yang parah. Gejala: mungkin asimtomatik tergantung pada penyebab trauma,
displacemenet (perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan sensor motorik,periorbital
ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battles sign (ekimosis pada tulang mstoid),
akumulasi darah pada membran timpani.
5
BAB II
DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala, (Suriadi &
Yuliani 2001), sedangkan menurut Black & Jacobs, (1993) cedera kepala adalah trauma pada otak
yang diakibatkan kekuatan fisik eksternal yang menyebabkan gangguan kesadaran tanpa terputusnya
kontinuitas otak.
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal
91). Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang disertai / tanpa disertai perdarahan
intersisial dalam substansi otak tanpa diikutinya kontinuitas otak (CR. Syamsum Hidayat, dkk, 1997).
Cidera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan.
Beratnya cidera kepala di definisikan oleh The Traumatic Coma Data Bank berdasarkan skala koma
Gaslow.
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar
Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas .(Mansjoer Arif,dkk ,2000)
6
BAB III
EPIDIEMIOLOGI
-Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit,
80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS),
dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). 3Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53%
dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
-Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta,
RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS,
dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,
sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
7
BAB IV
PATOFISIOLOGI
TRAUMA KEPALA
Perubahan outoregulasi
Hipoksia Perubahan
perfusi jaringan 1. Bersihan
Perubahan jalan nafas
sirkulasi CSS Gangguan 2. Obstruksi
fungsi otak Gangguan
jln.nasfas
neurologis fokal 3. Dispnea
Peningkatan TIK Mual muntah. 4. Henti nafas
Papilodema.
5. Perubahan
Pandangan
kabur,
Defisit neurologis pola nafas
Penurunan
Girus medialis lobus pungsi
temporalis tergeser pendengaran,
Nyeri kepala
Gangguan persepsi
sensori RESIKO TIDAK
Herniasi unkus EFEKTIFNYA JLN NAFAS
Resiko kurangnya
Mesesenafalon volume cairan
8
BAB V
FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada
dalam rentang usia 6 bulan2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian
pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal
pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat
mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen
yang didapat.
Adapun beberapa faktor resiko cedera kepala dilihat dari :
1. Status sosio ekonomi yang rendah
2. Adanya riwayat cedera ringan sebelumnya.
3. Adanya nyeri kepala
4. Jenis kelamin perempuan
5. Usia lebih dari 40 tahun
Ada juga beberapa faktor resiko yang dipakai untuk memperkirakan apakah gejala dialami akan
menetap seperti :
Adanya riwayat penggunan alkohol
Adanya kemampuan kognitif yang rendah sebelum terjadinya cedera kepala
Adanya gangguan jiwa
Adanya nyeri kepala yang akut
Rasa lemas dan mual
Post Traumatic Amnesia ( PTA ) yang berlangsung lebih dari 1 jam
Adanya trauma sebelumnya yang belum mengalami penyembuhan ( trauma kedua sebelum
traauma pertama sembuh )
9
BAB VI
MANIFESTASI KLINIS
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien
mengalami penyembuhan total dalam beberapajam atau hari.
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya berkurang dan
cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.
a. Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak
dan penurunan neurologik.
10
BAB VII
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf, perubahan
kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.
b. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK melalui analisa CSF. Pada
kasus subdural hematom kronis CSF berwarna kuning dengan kandungan protein rendah).
c. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan ditemukan gelombang theta
dan delta dengan amplitude yang tinggi.
d. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada tulang tengkorak.
e. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur dalam otak
f. Anamnesa : adanya trauma harus dipastikan, dan bukan oleh karena gangguan kesadaran
yang menyebabkan penderita terjatuh.
h. Tanda-tanda trauma di kepala juga adanya cedera lain di bagian kepala, misalnya patah
tulang - tulang muka.
j. Neurologis : fungsi neurologis untuk menetapkan adanya cedera fokal serta menetapkan
letak lesi tersebut.
l. Dalam praktek penetapan diagnosis "commotio cerebri" dan contusio cerebri didasarkan
pada keadaan klinis
m. Bila gangguan kesadaran dengan cepat pulih (GCS. 15) dan tidak didapati defisit neurologis
maka diagnosis ditulis sebagai "commotio cerebri".
11
n. Diagnosis ini tidak menutup kemungkinan adanya cedera otak. memar laserasi yang tidak
manifes secara klinis.
o. Bila gangguan kesadaran berkepanjangan dan / atau terdapat gejala neurologis foka! sebagai
cerminan cedera otak. maka diagnosis ditetapkan sebagai "contusio cerebri".
BAB VIII
PENATALAKSANAAN
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu
dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi
palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah
depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC,
emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu
memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi
disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi
akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau
12
peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan
fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan
cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya
kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
e. Pemeriksaan radiologi
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus.
Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar
0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran
tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran
darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu
dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi
selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase
ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila
terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang
masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
13
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal
dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang
tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada
cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar
20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan
jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti
hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat,
jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia
menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang
akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai
makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
h. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar
14
epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari
dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
i. Epilepsi/kejang
Pengobatan:
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam
dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien
cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial
dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau bagian tulang
tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.
15
BAB IX
ASKEP
PENGKAJIAN DASAR KEPERAWATAN
A. Identitas Klien
Nama :-
Usia :18 th
Alamat :-
Status pernikahan :-
Agama :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Keluhan utama : pasien mengalami kecelakaa dengan kondisi darah keluar dari telinga,
mata bengkak membiru luka robek pada tungkai kanan dan dahi
Kualitas Keluhan :-
Kualitas Keluhan :-
Faktor pencetus :-
16
Faktor pemberat :-
Perempuan usia 18th mengalami kelakaan di bawa ke klinik dengan kondisi darah keluar dari telinga,
mata bengkak membiru , luka robek pada tungkai kana dan dahi sepanjang jalan mengigau, saat
dilakukan pengkajian respon mata klien ada saat di beri rangsang nyeri.
D. Konsep diri
ANALISA DATA
Cidera otak
sekunder
Gangguan autoregulasi
gangguan metbolisme
Oedem otak
Gangguan perfusi
jaringan otak
17
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Intracranial pressure
6. Restlessness
7. Unexplained anxiety
Keterangan Penilaian :
1. severe
2. substantial
3. moderate
18
4. mild
5. none
ANALISA DATA
Cidera primer
Cidera sekunder
Rangsangan simpatis
meninggkat
Tahanan vaskuler
sistemik dan TD
DS :
Tekanan hidrostatik
meningkat
Oedema paru
19
Difusi O2 terhambat
Tujuan :Mengontrol pola nafas pasien dalam 7x24 jam agar dapat kembali
normal dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Respiratory rate
2. Respiratory rhythm
3. Depth of inspiration
5. Anxiety
Keterangan Penilaian :
1. severe
2. subtantial
3. moderate
20
4. mild
5. none
ANALISA DATA
iskemia
DS :
Di beri infus NS selama 8 jam hipoksia jaringan
ketidakseimbangan volume
cairan
21
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Indikator 1 2 3 4 5
3. Blood pressure
5. Confusion
Keterangan Penilaian :
1. severe
2. subtantial
3. moderate
4. mild
22
5. none
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, (2009), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salemba Medika
Batticaca Fransisca B, (2008), Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salemba Medika
Brunner and Suddarth (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Hardjasaputra, S.L.P. dkk (2008). DOI Data Obat Indonesia. Edisi 10 Jakarta: Grafidian Mediapress
Mansjoer Arif M. ( 2010 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aeusculapius.
23
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, (2009). Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Price, Sylvia A. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
24