Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

Halaman judul............................................................................................................

Triger......................................................................................................................... 2

BAB I

Klasifikasi....................................................................................................................3

BAB II

Definisi.......................................................................................................................6

BAB III

Epidemiologi...............................................................................................................7

BAB IV

Patofisiologi................................................................................................................8

BAB V

Faktor Resiko..............................................................................................................9

BAB VI

Manifestasi Klinis........................................................................................................10

BAB VII

Pemeriksaan Diagnostik...............................................................................................11

BAB VIII

Penatalaksanaan.........................................................................................................12

BAB IX

ASKEP.........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................23

1
TRIGGER

Seorang perempuan (18 th) mengalami kecelakaan dan dibawa ke klinik dengan kondisi darah keluar
dari telinga, mata bengkak membiru, luka robek pada tungkai kanan dan dahi, sepanjang jalan
mengigau. Perawat melakukan pengkajian pada klien pada 6 jam pertama, didapatkan respon mata
klien ada saat diberi rangsang nyeri, klien hanya menggumam aaarggghhh, sewaktu diberi rangsang
nyeri tangan meregang lurus dengan ujung telapak tangan menutup membelakangi tubuh. Perawat
menemukan tisu menutupi lubang telinga klien yang mengeluarkan darah dan melakukan Halo tes
positif. Perawat mendapatkan adanya hemotympanum, diberikan infuse NS 500 cc selama 8 jam,
manitol, direncanakan untuk pemeriksaan CT scan. Klien direncanakan untuk operasi pemasangan
ICP 2 jam lagi.

BAB I

2
KLASIFIKASI

Menurut Mansjoer, (2000) cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,

keparahan dan morfologi cedera :

a. Berdasarkan mekanisme cedera.

1. Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil ), kecepatan rendah ( terjatuh atau

dipukul)

2. Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.

b. Berdasarkan keparahan cedera/berdasarkan nilai GCS.

1. Cedera kepala ringan : Nilai GCS 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Di tandai

dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti fraktur pada tengkorak,

kontusio/hematoma.

2. Cedera kepala sedang : Nilai GCS 9-12 kehilangan kesadaran 30 menit 24 jam dapat

mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan ( bingung)

3. Cedera kepala berat : Nilai GCS 3-8 , hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi konstusio

serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

c. Berdasarkan morfologi.

1. Fraktur tengkorak

a. Kranium : linear/selatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup.

b. Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan tanpa kelumpuhan

nervus VII.

2. Lesi intrakranial

a. Fokal : epidural, subdural, intraserebral.

b. Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

d. Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :

3
a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat jaringan otak
mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk menyebabkan memar pada
jaringan otak atau penurunan keasadaran yang menetap. Contohnya seperti ketika kita
membentur tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala berputar dan
diatasnya ada burung-burung emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat
setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan kesadaran
dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi, letargi, pusing.

b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius daripada concussion. Lebih banyak
disebabkan oleh adanya perdarahan arteri otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang
tengkorak dan dura. Gejala: penurunan kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.

c. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses ekselerasi-deselerasi atau coup-


contracoup yang menyebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pada daerah otak yang
mengalami memar. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat yang akan berlanjut
menjadi penurunan kesadaran yang progresif, sakit kepala yang parah, kompresi batang otak,
keabnormalan pernafasa (pernfasan dalam), gangguan motorik yang bersifat
kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang searah dengan trauma, kejang, perdarahan.
Epidural hematoma merupakan jenis perdarahan yang paling berbahaya karena terjadi pada
artesi otak.

d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi. Perdarahan pada
meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada daerah subdural (antara duramater dan
arachnoid). Biasanya mengenai vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri).
Gejala: mirip dengan epidural hematoma namun dengan onset of time yang lambat karena
sobekan pembuluh darah terjadi pada vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.

e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub akut dan memiliki prognosa
yang lebih baik karena aliran darah pada pembuluh darah yang robek berjalan relatif lambat.
Sering terjadi pada bagian frontal dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi.
Gejala: deficit neurologis yang tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik,
peningkatan tekanan intracranial.

4
f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe yaitu linear, comminuted, basilar,
dan depressed. Fraktur pada bagian depan dan tengah tulang tengkorak akan mengakibatkan
sakit kepala yang parah. Gejala: mungkin asimtomatik tergantung pada penyebab trauma,
displacemenet (perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan sensor motorik,periorbital
ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battles sign (ekimosis pada tulang mstoid),
akumulasi darah pada membran timpani.

5
BAB II

DEFINISI

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala, (Suriadi &
Yuliani 2001), sedangkan menurut Black & Jacobs, (1993) cedera kepala adalah trauma pada otak
yang diakibatkan kekuatan fisik eksternal yang menyebabkan gangguan kesadaran tanpa terputusnya
kontinuitas otak.

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal
91). Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang disertai / tanpa disertai perdarahan
intersisial dalam substansi otak tanpa diikutinya kontinuitas otak (CR. Syamsum Hidayat, dkk, 1997).

Cidera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan.
Beratnya cidera kepala di definisikan oleh The Traumatic Coma Data Bank berdasarkan skala koma
Gaslow.

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar
Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas .(Mansjoer Arif,dkk ,2000)

6
BAB III

EPIDIEMIOLOGI

-Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit,
80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS),
dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). 3Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53%
dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.

-Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta,
RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS,
dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,
sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

7
BAB IV

PATOFISIOLOGI

TRAUMA KEPALA

Extra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas , Terputusnya


Jaringan otak rusak
jaringan kulit otot dan kontuinitas
(konstusio, laserasi)
vaskuler jaringan tulang

Perubahan outoregulasi

Gangguan suplai darah

Resiko Nyeri Kejang


Perdarahan Iskemia infeksi

Hipoksia Perubahan
perfusi jaringan 1. Bersihan
Perubahan jalan nafas
sirkulasi CSS Gangguan 2. Obstruksi
fungsi otak Gangguan
jln.nasfas
neurologis fokal 3. Dispnea
Peningkatan TIK Mual muntah. 4. Henti nafas
Papilodema.
5. Perubahan
Pandangan
kabur,
Defisit neurologis pola nafas
Penurunan
Girus medialis lobus pungsi
temporalis tergeser pendengaran,
Nyeri kepala
Gangguan persepsi
sensori RESIKO TIDAK
Herniasi unkus EFEKTIFNYA JLN NAFAS
Resiko kurangnya
Mesesenafalon volume cairan

Kompresi meedula oblongata


Tonsil cereblum tergeser
Gangguan kesadaran
Resiko
Resiko gangguan
injuri
Immobilisasi integritas kulit
cemas

8
BAB V

FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada
dalam rentang usia 6 bulan2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian
pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal
pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat
mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen
yang didapat.
Adapun beberapa faktor resiko cedera kepala dilihat dari :
1. Status sosio ekonomi yang rendah
2. Adanya riwayat cedera ringan sebelumnya.
3. Adanya nyeri kepala
4. Jenis kelamin perempuan
5. Usia lebih dari 40 tahun

Ada juga beberapa faktor resiko yang dipakai untuk memperkirakan apakah gejala dialami akan
menetap seperti :
Adanya riwayat penggunan alkohol
Adanya kemampuan kognitif yang rendah sebelum terjadinya cedera kepala
Adanya gangguan jiwa
Adanya nyeri kepala yang akut
Rasa lemas dan mual
Post Traumatic Amnesia ( PTA ) yang berlangsung lebih dari 1 jam
Adanya trauma sebelumnya yang belum mengalami penyembuhan ( trauma kedua sebelum
traauma pertama sembuh )

9
BAB VI

MANIFESTASI KLINIS

1. Cedera kepala ringan

a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien
mengalami penyembuhan total dalam beberapajam atau hari.

b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya berkurang dan
cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.

2. Cedera kepala sedang

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.

b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, perubahan


tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot,
sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.(Brunner & Suddarth, 2001; www. Mediatore)

3. Cedera kepala berat

a. Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.

b. Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak
dan penurunan neurologik.

10
BAB VII

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf, perubahan
kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.

b. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK melalui analisa CSF. Pada
kasus subdural hematom kronis CSF berwarna kuning dengan kandungan protein rendah).

c. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan ditemukan gelombang theta
dan delta dengan amplitude yang tinggi.

d. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada tulang tengkorak.

e. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur dalam otak

f. Anamnesa : adanya trauma harus dipastikan, dan bukan oleh karena gangguan kesadaran
yang menyebabkan penderita terjatuh.

g. Pemeriksaan umum : faal vital, tanda-tanda cedera bagian lain tubuh.

h. Tanda-tanda trauma di kepala juga adanya cedera lain di bagian kepala, misalnya patah
tulang - tulang muka.

i. Kesadaran : skala kesadaran dari Glasgow (GCS).

j. Neurologis : fungsi neurologis untuk menetapkan adanya cedera fokal serta menetapkan
letak lesi tersebut.

k. Refleks-refleks batang otak dicari bila ada kecurigaan mati otak.

l. Dalam praktek penetapan diagnosis "commotio cerebri" dan contusio cerebri didasarkan
pada keadaan klinis

m. Bila gangguan kesadaran dengan cepat pulih (GCS. 15) dan tidak didapati defisit neurologis
maka diagnosis ditulis sebagai "commotio cerebri".

11
n. Diagnosis ini tidak menutup kemungkinan adanya cedera otak. memar laserasi yang tidak
manifes secara klinis.

o. Bila gangguan kesadaran berkepanjangan dan / atau terdapat gejala neurologis foka! sebagai
cerminan cedera otak. maka diagnosis ditetapkan sebagai "contusio cerebri".

p. Hematoma intrakranial sebagai komplikasi intrakranial di diagnosis atas dasar klinis

BAB VIII

PENATALAKSANAAN

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut (Japardi, 2002):

a. Jalan nafas (Air way)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu
dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi
palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah
depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC,
emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu
memakai ventilator.

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi
disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi
akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau

12
peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan
fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.

d. Pemeriksaan fisik

Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan
cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya
kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

e. Pemeriksaan radiologi

f. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus.
Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar
0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi

Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran
tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran
darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu
dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi
selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase
ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila
terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik

Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang
masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :

13
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm

Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal
dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang
tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada
cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar
20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.

g. Keseimbangan cairan elektrolit

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan
jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti
hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat,
jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia
menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang
akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai
makanan peroral melalui pipa nasogastrik.

h. Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar

14
epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari
dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari.

i. Epilepsi/kejang

Pengobatan:

Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.

Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam
dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien
cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial
dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau bagian tulang
tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.

15
BAB IX
ASKEP
PENGKAJIAN DASAR KEPERAWATAN

A. Identitas Klien

Nama :-

Usia :18 th

Jenis kelamin :perempuan

Alamat :-

Status pernikahan :-

Agama :-

Pendidikan :-

Pekerjaan :-

B. Status Kesehatan Saat Ini

Keluhan utama : pasien mengalami kecelakaa dengan kondisi darah keluar dari telinga,
mata bengkak membiru luka robek pada tungkai kanan dan dahi

Lama keluhan : setelah mengalami kecelakaan

Kualitas Keluhan :-

Kualitas Keluhan :-

Faktor pencetus :-

16
Faktor pemberat :-

Upaya yg telah dilakukan : pasien di bawa ke klini

C. Riwayat kesehatan saat ini

Perempuan usia 18th mengalami kelakaan di bawa ke klinik dengan kondisi darah keluar dari telinga,
mata bengkak membiru , luka robek pada tungkai kana dan dahi sepanjang jalan mengigau, saat
dilakukan pengkajian respon mata klien ada saat di beri rangsang nyeri.

D. Konsep diri

Gambaran diri : pasien terus mengigau

ANALISA DATA

No. Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan


Cidera kepala
1. DO : Risiko
Mata bengkak membiru ketidakefektifan
Keluar darah dari telinga Cidera otak primer perfusi jaringan otak

Cidera otak
sekunder

Kerusakan sel otak

Gangguan autoregulasi

2. DS : Aliran darah ke otak


menurun
Di lakukan CT SCAN
Operasi pemasangan ICP
O2 menurun

gangguan metbolisme

Asam laktat meninggkat

Oedem otak

Gangguan perfusi
jaringan otak

17
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan No. :1

Tujuan : mengefektifkan kembali ketidakefektifan perfusi jaringan otak saat


pasien kecelakaan agar tidak berisiko tinggi dan berakibat fatal

Kriteria hasil : intervensi NIC di dapatkan

NOC : Tissue perfussion: cerebral

No. Indikator 1 2 3 4 5

1. Intracranial pressure

2. Systolic blood pressure

3. Diastolic blood pressure

4. Mean blood pressure

5. Cerebral angiogram findings

6. Restlessness

7. Unexplained anxiety

Keterangan Penilaian :

1. severe

2. substantial

3. moderate

18
4. mild

5. none

Intervensi NIC : Cerebral perfussion promotion

1. Monitor neurological status


2. Monitor for sign of bleeding
3. Monitor patients ICP and neurological respons to care activities
4. Maintane serum glucose level within normal range
5. Calculate and monitor cerebral perfussion pressure

ANALISA DATA

No. Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan


Cidera kepala
1. DO : Gangguan pola nafas

Cidera primer

Cidera sekunder

Kerusakan sel otak

Rangsangan simpatis
meninggkat

Tahanan vaskuler
sistemik dan TD

DS :

Tekanan pembuluh darah


pulmonal meningkat

Tekanan hidrostatik
meningkat

Kebocoran cairan kapiler

Oedema paru

19
Difusi O2 terhambat

Gangguan pola nafas

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan No. :2

Tujuan :Mengontrol pola nafas pasien dalam 7x24 jam agar dapat kembali
normal dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa

Kriteria hasil : intervensi NIC di dapatkan 4

NOC : Respiratory Status: Airway Patency

No. Indikator 1 2 3 4 5

1. Respiratory rate

2. Respiratory rhythm

3. Depth of inspiration

4. Ability to clear secretions

5. Anxiety

Keterangan Penilaian :

1. severe

2. subtantial

3. moderate

20
4. mild

5. none

Intervensi NIC : Respiratory Monitoring

1. Monitor rate, rhythm, deoth, and effort of respirations


2. Monitor for increased restlessness, anxiety, and air hunger
3. Monitor patients respiratory secretions
4. Institute respiratory therapy treatments

ANALISA DATA

No. Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan


Resiko perfusi jaringan Ketidakseimbangan
1. DO : volume cairan
Darah terus keluar dari telinga
Klien terus mengigau nekrosis

iskemia

DS :
Di beri infus NS selama 8 jam hipoksia jaringan

nutrisi dan O2 menurun

tekanan pd tubuh terlalu dalam

ketidakseimbangan volume
cairan

21
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan No. :3

Tujuan : mengontrol keseimbangan cairan pasien dalam waktu 1x24 jam


agar cairan tubuh pasien dapat kembali normal

Kriteria hasil : intervensi NIC didapatkan 6

NOC : Fluid Balance

No. Indikator 1 2 3 4 5

1. 24 hour intake and output balance

2. Pulmonary wedge pressure

3. Blood pressure

4. Radial pulse rate

5. Confusion

6. Mean arterial pressure

Keterangan Penilaian :

1. severe

2. subtantial

3. moderate

4. mild

22
5. none

Intervensi NIC : Fluid Management

1. Monitor hydration status


2. Monitor nutrition status
3. Distribute the fluid intake over 24 hours, as appropriate
4. Promote oral intake
5. Monitor vital signs, as appropriate

DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, (2009), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salemba Medika

Batticaca Fransisca B, (2008), Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salemba Medika

Brunner and Suddarth (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyn, E (2011) Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3, EGC, Jakarta

Hardjasaputra, S.L.P. dkk (2008). DOI Data Obat Indonesia. Edisi 10 Jakarta: Grafidian Mediapress

Mansjoer Arif M. ( 2010 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aeusculapius.

Pearse Evelyn C, (2008), Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Jakarta.

23
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, (2009). Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

Price, Sylvia A. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai