PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tangggung Jawab Pelaku Usaha Atas Produk Yang Merugikan Konsumen
Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen merupakan perihal
yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran
konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan
seberapa jauh tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pihak yang terkait. Dan kebanyakan dari
kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan yang paling banyak mengalami kerugian yang
disebabkan produk dari pelaku usaha itu sendiri. Beberapa sumber formal hukum, seperti
perundang-undangan dan perjanjian di hukum keperdataan sering memberikan pembatasan
terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen yaitu pelaku usaha.
Disisi lain, walaupun konsumen yang sering dirugikan oleh produk dari pelaku usaha, tidak
pernah henti memakai atau menggunakan produk dari pelaku usaha dengan alasan karena
kebutuhan dari konsumen. Kebutuhan-kebutuhan ini, khususnya kebutuhan ekonomi yang dalam
perkembangan saat ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, yang
ditandai dengan adanya saling ketergantungan antara pelaku usaha dan konsumen, dimana pelaku
usaha membutuhkan konsumen demi mendapatkan laba atau keuntungan, sedangkan konsumen
memakai atau menggunakan produk dari pelaku usaha dikarenakan kebutuhan.
Secara umum, tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen
mempunyai beberapa prinsip- prinsip hukum yang dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang
cukup berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. 5Prinsip ini menyatakan
seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan
melanggar hukum, mengharuskan terpenuhi empat unsur pokok, yaitu adanya perbuatan, adanya
unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan
dengan kerugian. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan
dan kesusilaan dalam masyarakat.1
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi oran
yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil
jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain. Mengenai
beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal 163 Herziene Indonesische Reglement
(HIR) atau pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG) dan pasal 1865 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. dikatakan, barangsiapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio).
Ketentuan di atas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et
alterm partem atau asas kedudukan sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus
memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki
kesempatan yang samauntuk memenangkan perkara tersebut. Persoalan yang perlu diperjelas
dalam prinsip ini, yang sebenarnya berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya, adalah definisi
tentang subjek pelaku kesalahan. Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan
corporate liability.
1
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 59
Vicarious liability mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas pihak lain
yang disebabkan oleh orang- orang/karyawan yang berada dibawah pengawasannya. Jika
karyawanitu dipinjamkan ke pihak lain, maka tanggung jawabnya beralih pada si pemakai
karyawan tadi. Sedangkan corporate liability pada prinsipnya memakai pengertian yang sama
dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok
pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya.
Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding
suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan
secara organik dengan korporasi dan mana yang tidak.
2
Ibid, hal. 61
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab
absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab
yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian
pengecualian yang memungkinkan dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force
majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak
ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkanperbedaan
keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab
dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara absolute liability,
hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang
dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut, misalnya dalam
kasus bencana alam. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam tanggung jawab pelaku usaha atas
produk yang merugikan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha,
khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Dalam hal
ini, konsumen hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku
usaha dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability.3
2.2 Pengertian dari Pelaku Usaha Dan Kepada Siapa Konsumen Dapat Menuntut Ganti
3
Ibid
4
Ibid hal 63
Rugi.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan
bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat menentukan pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi. Dari kedua pengertian tersebut terdapat kesamaan dari pengertian
pelaku usaha.
Pada penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan,
korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain- lain. 5
Pengertian pelaku usaha yang sangat luas tersebut diatas, akan memudah konsumen untuk
menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi suatu produk tidak
begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang
dapat digugat.
Ruang lingkup yang diberikan sarjana ekonomi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonsia (ISEI) mengenai pelaku usaha adalah sebagai berikut :
1. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan seperti
perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana,dsb.
2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari
barang-barang dan /atau jasa-jasa yang lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan
bahan-bahan lainnya). Pelaku usaha dalam kategori ini dapat terdiri dari orang dan/ badan
yang memproduksi sandang, orang dan/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan
perumahan, orang/badan yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan,
orang/badan yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, dsb.
3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat. Pelaku usaha pada kategori ini misalnya
pedagang retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, klinik, usaha
angkutan (darat, laut dan udara), kantor pengacara,dsb.
5
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h. 41.
Konsumen dapat menuntut ganti berdasarkan perbuatan melawan hukum Pasal 1365
KUHPerdata. Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum
harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:6
1. Perbuatan itu harus melawan hukum
Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang, melainkan
perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa: Melanggar hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan baik, berlawanan dengan
sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau
benda orang lain.
2. Ada Kerugian
Kerugian yang timbul dari perbuatan orang lain, dalam hal ini pelaku usaha, baik itu kerugian
materiil maupun kerugian immateriil.
3. Ada hubungan sebab akibat
Hubungan sebab akibat misalnya hubungan kerugian yang diterima konsumen dengan tindakan
yang dilakukan oleh pelaku usaha.
4. Ada Kesalahan (schuld)
Adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh
salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar
pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X pasal 45-48.
Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah
(ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang
telah disetujui kedua belah pihak.
BPSK dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
secara murah, cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK diatur
dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Tata Cara Penyelesaian Melalui BPSK
1. Konsiliasi:
6
http://ikhsanm.blogspot.co.id/2011/06/mekanisme-tuntutan-ganti-rugi-dalam.html
a. BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b. Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah mereka secara
menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah kompensasi;
c. Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai persetujuan rekonsiliasi
yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d. Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
2. Mediasi:
a. BPSK membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk memberikan
petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
b. Badan ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka secara
menyeluruh untuk bentuk dan jumlah kompensasinya;
c. Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi yang
diperkuat oleh keputusan BPSK;
d. Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
3. Arbitrasi:
a. Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan masalah
konsumen;
b. Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan permasalahan
mereka;
c. BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d. Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
e. Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak dapat
mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam 14 hari setelah penyelesaian di
informasikan;
f. Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai berikut:
Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut salah/palsu;
Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan di
pengadilan.
g. Pengadilan negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam 21
hari kerja;
h. Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka tetap
memberikan kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada
pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i. Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam
jangka waktu 30 hari.
Terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha atau pengurusnya dapat mengacu
pada ketentuan Pasal 62 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen, Aantara lain pidana
penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimum Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar
rupiah), apabila melanggar ketentuan termuat dalam Pasal-pasal 8,9,10,13,15,17 ayat (1) huruf
1,b,c,e dan Ayat (2), dan Pasal 18. Begitu pula dalam Pasal 62 Ayat (2), menetapkan
pelanggaran atas Pasal 11, 12, 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 Ayat (1) huruf d dan
f, diancam pidana penjara maksimum 2 (dua) tahun penjara atau denda maksimum Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha
dan/ atau pengurus yang mengakibatkan konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
meninggal maka diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku sesuai ketentuan Pasal 62 Ayat
(3).
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perlindungan konsumen di Indonesia telah
dipayungi oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Di
dalamnya, hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha telah diatur dengan baik.
Namun, mekanisme tuntutan ganti rugi yang kadang terlihat rumit membuat konsumen malas
untuk melakukan gugatan maupun tuntutan. Hal ini tidak lain karena banyak konsumen yang
berfikir tentang banyaknya tenaga dan waktu yang terbuang untuk proses penuntutan ganti rugi
dapat berhari-hari.
Jika kita telaah lagi mekanisme penuntutan dengan baik, hal yang membuat panjangnya proses
tuntutan terletak pada kepuasan antara pihak yang bersengketa. Hal ini dapat diatasi dengan
penyelesaian secara damai yang tidak memerlukan mekanisme yang rumit. Semua ini kembali
lagi kepada pihak yang bersengketa. Namun bila yang dilakukan pelaku usaha memiliki unsure
pidana, maka akan diproses sesuai hukum pidana yang berlaku.
14