PENDAHULUAN
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang
mengandung protein.
ARDS mengakibatkan terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba tiba
ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar di kedua
belah paru. ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru
sehat, sindrom ini kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan laju
mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah
sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi
tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik, toksik, pankreatitis, eklamsia, dan
kelebihan dosis obat.
Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan intubasi dan
ventilasi mekanik. ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi sebagai
akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran
cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring jaring kapiler,
terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas
dan pengalihan ekstansif darah dalam paru paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat
menurun atau paru patru menjadi kaku, akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam
kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia.
ARDS diakui sebagai bentuk yang paling parah cedera paru akut (ALI), suatu bentuk
cedera alveolar difus. Menurut kriteria AECC, yaitu aspek keparahan hipoksemia diperlukan
untuk membuat diagnosis ARDS didefinisikan oleh rasio tekanan parsial oksigen dalam darah
arteri pasien (PaO2) untuk fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2). Dalam ARDS, rasio
PaO2 / FIO2 < 200, dan ALI < 300. Selain itu, edema paru kardiogenik harus dikeluarkan baik
oleh kriteria klinis atau dengan tekanan baji kapiler pulmonal (PCWP) lebih rendah dari 18
mmHg pada pasien dengan arteri pulmonalis (Swan-Ganz) kateter di tempat.
1
BAB II
2.1. Anatomi
2
2.1.2 Sistem Pernafasan Bawah
2.2. FISIOLOGI
3
parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu
oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan
fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomik saluran
udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida
ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah
paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75
detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu
difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat
sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu
kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama.
4
Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik
Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam
membunuh virus.
Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya
infeksi virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru yang
berulang.
4. Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian
menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan
sebagai fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :
Gerakan mukosiliar.
Faktor humoral lokal.
Reaksi sel.
Virulensi dari kuman yang masuk.
Reaksi imunologis yang terjadi.
Bergai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti
alkohol, stress, udara dingin, kortekosteroid, dan sitostatik.
5
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara berlangsung di
alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya aliran
udara timbal balik (pernafasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke
dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap
yang terhirup paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan
berbahaya lewat udara pada paparan kerja.
Proses sistem pernafasan atau sistem respirasi berlangsung dengan beberapa
tahap yaitu :
a. Ventilasi yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru.
b. Pertukaran gas dalam alveoli dan darah atau disebut pernapasan luar.
c. Transportasi gas melalui darah.
d. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan atau disebut pernapasan
dalam.
e. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut
pernapasan seluler.
6
2.2.4 Mekanisme Kerja Sistem Pernapasan
7
Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai relaksasi. Pada proses
ekspirasi biasa tekanan intra alveoli berkisar antara 1 mmHg sampai 3 mmHg.
8
2.2.7 Kontol Pernafasan
9
BAB III
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)
3.1 DEFINISI
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang
mengandung protein.
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa
tahun 1994 terdiri dari :
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi
(PaO2 / FIO2) < 200 mmHg hipoksemia berat;
3. Radiografi dada : infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru;
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg,
tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi atrial kiri / (tanpa
adanya tanda gagal jantung kiri).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor resiko terjadinya ALI dan tidak adanya
penyakit paru kronik yang bermakna.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden ARDS sangat bervariasi, sebagian karena penelitian telah menggunakan definisi
yang berbeda dari penyakit. Selain itu, untuk menentukan perkiraan yang akurat dari insiden,
semua kasus ARDS dalam populasi tertentu harus ditemukan dan disertakan. Meskipun ini
mungkin bermasalah, data terakhir yang tersedia dari Amerika Serikat dan studi internasional
yang dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya dari kondisi ini.
Pada 1970-an, ketika sebuah penelitian Institut Kesehatan Nasional (NIH) ARDS
sedang direncanakan, frekuensi tahunan diperkirakan adalah 75 kasus per 100.000 penduduk.
Penelitian selanjutnya, sebelum pengembangan definisi AECC, yaitu aspek melaporkan
angka jauh lebih rendah. Sebagai contoh, sebuah studi dari Utah menunjukkan kejadian
diperkirakan 4,8-8,3 kasus per 100.000 penduduk.
10
Data yang diperoleh baru baru ini oleh Jaringan Studi NIH disponsori ARDS
menunjukkan bahwa kejadian ARDS sebenarnya mungkin lebih tinggi dari perkiraan semula
dari 75 kasus per 100.000 penduduk. Sebuah penelitian prospektif dengan menggunakan
definisi 1994 AECC dilakukan di King County, Washington, dari April 1999 sampai Juli 2000
dan menemukan bahwa kejadian yang disesuaikan menurut umur dari ALI adalah 86,2 per
100.000 orang tahun.
Meningkat dengan usia, mencapai 306 per 100.000 orang tahun untuk orang di usia
75-84 tahun. Berdasarkan statistik ini, diperkirakan 190.600 kasus ada di Amerika Serikat
setiap tahun dan bahwa kasus kasus yang berhubungan dengan 74.500 kematian.
Internasional statistik Studi pertama yang menggunakan definisi AECC 1994 dilakukan di
Skandinavia, yang melaporkan tingkat tahunan 17,9 kasus per 100.000 penduduk untuk ALI
dan 13,5 kasus per 100.000 penduduk untuk ARDS.
ARDS dapat terjadi pada orang dari segala usia. Insiden meningkat dengan usia lanjut,
mulai dari 16 kasus per 100.000 orang tahun pada mereka yang berusia 15-19 tahun untuk
306 kasus per 100.000 orang tahun pada mereka yang berusia antara 75 dan 84 tahun.
Distribusi usia mencerminkan kejadian penyebab yang mendasari.
Untuk ARDS berhubungan dengan sepsis dan penyebab lain, tidak ada perbedaan
insidens antara pria dan wanita tampaknya ada. Namun, pada pasien trauma saja, insiden
penyakit ini mungkin sedikit lebih tinggi di antara perempuan.
3.3 ETIOLOGI
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma
jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit
apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru:
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus, bakteri
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
11
b. Shock, Luka bakar hebat, tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Transfusi darah yang banyak
j. PIH (Pregnant Induced Hipertension)
k. Peningkatan TIK
l. Terapi radiasi
m. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau
cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan
kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA adalah
merokok sigaret.Angka kejadian SGPA adalah sekitar 14 diantara 100.000 orang/tahun.
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS
adalah ;
1. Sistemik :
a. Syok karena beberapa penyebab
b. Sepsis gram negatif
c. Hipotermia
d. Hipertermia
e. Overdosis obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )
f. Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal )
g. Eklampsia
h. Luka bakar
2. Pulmonal :
a. Pneumonia (viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
c. Aspirasi (cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon)
d. Pneumositis
3. Non-Pulmonal :
12
a. Cedera kepala
b. Peningkatan TIK
c. Pascakardioversi
d. Pankreatitis
e. Uremia
3.6 PATOLOGI
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada ARDS.
Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga
cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan
prognosis. Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih
13
yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas
yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar
terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion,
memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan.
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme
perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut terjadi pengelupasan sel
epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein
pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan
jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein. Keberadaan mediator anti
inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists, soluble tumor necrosis factor receptor, auto
antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar.
14
15
3.7 PATOGENESIS
ALI / ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular.
Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut
mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang dapat dijumpai secara
tumpang tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi
faktor resiko akan menyebabkan sel sel imun dan non imun melepaskan mediator
mediator dan modulator modulator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase
amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi, tertarik dan tertahan di dalam paru. Di
dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan
protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya.
Fase ini disebut fase injury.
Kerusakan pada membrane alveolar kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas
membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein
tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh. Terdapat
tiga fase kerusakan alveolus :
1. Fase eksudatif : ditandai edema interstitial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe I
dan denudasi / terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan
pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar
dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan
berkurangnya compliance paru;
2. Fase proliferatif : paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel
epitel pneumosit tipe II;
3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
16
3.8 PATOFISIOLOGI
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial dan
penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus. Keadaan
normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan filtrasi melewati
endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik protein dan hidrostatik :
Q = K (Pc-Pt) D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya edema paru.
Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel kiri akan
menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan kapiler tersebut
akan mengencerkan protein interstitial sehingga tekanan osmotik interstitial menurun dan
mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit tipe I) sehingga
cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan interstitial, jika telah melebihi
kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli
menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya
cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan
tekanan osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi
kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi. Mikroatelektasis akan
menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi
(VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner
menyebabkan curah jantung akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya
merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik akibat
17
gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru
berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas
difusi.
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan.
Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi.
Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari
hipoksemia.
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea, pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai sehari.
c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan
dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau
biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya
oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah
sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti
gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita kurang
mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia bakterial dalam perjalanan
penyakitnya.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a. Cemas
b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh kegagalan
organ lain)
18
c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat
sakit.
Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi faktor
resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi
ditemukan ronki basah.
19
Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan perut akut dalam kasus
ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik tanpa sumber yang jelas, perhatikan
selama pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari sepsis, termasuk
tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan abdomen akut. Hati-hati
memeriksa situs garis intravaskuler, luka bedah, situs tiriskan, dan ulkus dekubitus untuk
bukti infeksi. Periksa subkutan udara, manifestasi infeksi atau barotrauma. Karena edema
paru kardiogenik harus dibedakan dari ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung
kongestif atau kelebihan beban volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis,
murmur jantung dan gallop, hepatomegali, dan edema.
20
b. Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik
dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
c. Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata
(sebagai bagian dari MODS / multiple organ dysfunction syndrome).
d. Sitokin sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat
dalam serum pasien pada risiko ARDS
2. Pencitraan
a. Foto dada : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih,
kemudian tampak bayangan radioopak difus dan tidak terpengaruh gravitasi, tanpa
gambaran kongesti jantung.
b. CT scan : pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto supine).
3.14 TATALAKSANA
1. Ambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik.
Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS meliputi:
Volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB).
Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat, untuk memberikan
oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman.
Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah titik
refleksi dari kurva pressure-volume).
Menyesuaikan rasio I:E (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap
ekspirasi dan hiperkapnia yang diperbolehkan).
2. Obat obatan :
a. Kortikosteroid pada pasien dengan fase lanjut ARDS / ALI atau fase
fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada atau
sekitar hari ketujuh ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih menunggu hasil
studi multisenter RCT besar yang sedang berlangsung.
b. Inhalasi nitric oxide (NO) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru yang
terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan arteri
pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial. Diberikan hanya
pada pasien dengan hipoksia berat dengan refrakter.
21
3. Posisi pasien : posisi telungkup meningkatkan oksigenasi, tetapi tidak mengubah
mortalitas. Perhatian terutama saat merubah posisi telentang ke telungkup, dan
mencegah dekubitus pada area yang menumpu beban.
4. Cairan : pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara :
a. Kebutuhan perfusi organ yang optimal
b. Masalah ekstravasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular mendorong akumulasi cairan di alveolus.
Fokus utama ialah mempertahankan perfusi yang adekuat tanpa mengorbankan
oksigenasi. Restriksi cairan paling baik dimonitor dengan kateter arteri pulmonal, dan cairan
dipertahankan pada level dimana tekanan hidrostatik intravaskular terendah, tetapi curah
jantung adekuat. Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil pengobatan.
3.15 KOMPLIKASI
a. Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)
b. Pneumonia nosokomial
c. Barotraumas, pneumotoraks
d. Sinusitis
e. Trauma laring
f. Trakeomalasia
g. Fistula trakeo esophageal
h. Erosi arteri inominata
i. Kematian
22
3.16 PROGNOSIS
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh :
a. Faktor resiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain lain
b. Penyakit dasar
c. Adanya keganasan
d. Adanya atau timbulnya disfungsi organ multipel
e. Usia
f. Riwayat penggunaan alkohol
g. Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio PaO2 /
FIO2 dalam 3-7 hari pertama.
Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan
mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah ekstubasi. 50%
pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan penurunan kapasitas
difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.
23
BAB IV
PENUTUP
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang
mengandung protein.
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa
tahun 1994 terdiri dari :
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi
(PaO2 / FIO2) < 200 mmHg hipoksemia berat;
3. Radiografi dada : infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru;
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg,
tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi atrial kiri / (tanpa
adanya tanda gagal jantung kiri).
Penyebabnya bisa penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung
melukai paru-paru seperti: pneumoni virus, bakteri, fungal; contusio paru, aspirasi cairan
lambung, inhalasi asap berlebih, inhalasi toksin, menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam
waktu lama, sepsis, shock, luka bakar hebat, tenggelam.
Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi
faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada
auskultasi ditemukan ronki basah. Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dapat
membantu menegakkan diagnosis seperti analisis gas darah, darah rutin, pemeriksaan fungsi
hati dan ginjal, serta sitokin. Pemeriksaan pencitraan seperti foto dada dan CT scan juga
dapat membantu diagnosis ARDS.
Penanganan untuk ARDS berupa pemakaian ventilator mekanik, obat obatan, posisi
pasien dan terapi cairan. Fokus utama ialah mempertahankan perfusi yang adekuat tanpa
mengorbankan oksigenasi. Restriksi cairan paling baik dimonitor dengan kateter arteri
pulmonal, dan cairan dipertahankan pada level dimana tekanan hidrostatik intravaskular
terendah, tetapi curah jantung adekuat. Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil
pengobatan.
24