Anda di halaman 1dari 39

KOVER

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PERIODE 18 SEPTEMBER 2016 18 SEPTEMBER 2017

LAPORAN KASUS
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT KUSTA
diajukan guna melengkapi tugas portofolio

Disusun oleh:
Nur Muhammad Faiz Habibullah

PUSKESMAS DAGO
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE 18 SEPTEMBER 201618 SEPTEMBER 2017
PUSKESMAS DAGO KOTA BANDUNG

JUDUL : DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT KUSTA


PENYUSUN : NUR MUHAMMAD FAIZ HABIBULLAH

Bandung, Agustus 2017


Menyetujui,
Pendamping,

Dr. Vita Purnamasari


NIP. 198205082010012011
DAFTAR ISI

KOVER ....................................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
BAB I LAPORAN KASUS ...................................................................................................... 2

1.1 Identitas pasien................................................................................................................. 2


1.2 Anamnesis ........................................................................................................................ 2
1.3 Pemeriksaan fisik ............................................................................................................. 3
1.4 Pemeriksaan penunjang ................................................................................................... 6
1.5 Diagnosis.......................................................................................................................... 6
1.7 Tatalaksana ...................................................................................................................... 6
1.8 Follow up pasien .............................................................................................................. 6
1.9 Prognosis ........................................................................................................................ 12

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 13

2.1 Definisi penyakit kusta .................................................................................................. 13


2.2 Epidemiologi penyakit kusta.......................................................................................... 13
2.3 Etiologi kusta ................................................................................................................. 14
2.4 Faktor-faktor terjadinya kusta. ....................................................................................... 14
2.5 Kriteria diagnostik kusta ................................................................................................ 15
2.6 Diagnosis banding .......................................................................................................... 22
2.7 Klasifikasi ...................................................................................................................... 24
2.8 Manajemen dan tatalaksana kusta .................................................................................. 25
2.9 Reaksi kusta ................................................................................................................... 29
2.10 Upaya pengendalian penularan .................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 35


LAMPIRAN ............................................................................................................................. 36

iii
PENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menimbulkan masalah sangat


kompleks, bukan hanya dari segi medis, namun meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya,
keamanan, dan ketahanan nasional. Pada umumnya penyakit ini terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang, dan sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, disebabkan masih
kurangnya pengetahuan tentang penyakit kusta.1
Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kejadian kusta yang terbesar di
daerah Asia Tenggara. Dengan kemajuan ilmu kedokteran di bidang promotif, pencegahan,
pengobatan, dan pemulihan penyakit kusta, maka kusta saat ini sudah dapat ditangani dengan
baik dan tuntas. Oleh karena itu, menjadi peran penting bagi dokter di layanan kesehatan primer
untuk menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana kusta dengan komprehensif dan
dengan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya morbiditas dan mortalitas yang tidak
diinginkan.

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas pasien


Nama : Tn. S.
Tanggal lahir/ usia : Bandung, 4 Juli 1976/ 42 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Suku : Sunda
Alamat : Ir.H. Juanda Dalam 14/168A, Kel. Dago, Kec. Coblong, Kota Bandung
Status : BPJS Ketenagakerjaan
No. Rekam Medik : 00941/17
Terdaftar tanggal : 30 Januari 2017

1.2 Anamnesis
Sumber informasi : Autoanamnesis
Keluhan utama : Baal-baal di tangan dan kaki
Anamnesis khusus :
Pasien mengeluhkan baal-baal di kedua tangan dan kedua kaki sejak sekitar satu tahun
yang lalu. Keluhan baal-baal dirasakan semakin lama semakin memberat. Baal-baal dirasakan
terus menerus sepanjang hari, dan tidak mereda dengan istirahat. Keluhan baal-baal disertai
dengan adanya bercak pada kulit kaki kanan bagian dalam yang baru disadari pasien sejak
kurang lebih 6 bulan yang lalu. Bercak pada kaki kanan tersebut tidak terasa gatal atau perih,
namun terasa baal bila disentuh. Selain itu, pasien juga mengeluhkan jari-jari tangan kanan
yang terasa kaku dan sulit untuk dikepalkan.
Pasien tidak mengeluhkan adanya bercak pada tempat lain di tubuhnya. Pasien tidak
merasakan adanya benjolan atau penebalan dan pengerasan kulit pada tubuh. Pasien juga tidak
mengeluhkan adanya kelemahan atau kekakuan pada tangan kiri, serta pada kedua anggota
gerak bawah. Keluhan juga tidak disertai dengan adanya rambut rontok, sulit menutup mata,
atau hidung tersumbat.

2
3

Pasien merupakan penduduk asli daerah Dago, Bandung, sejak lahir hingga sampai saat
ini. Pasien saat ini tinggal bersama ibu kandung pasien, istri, dan ketiga anaknya. Ayah pasien
telah meninggal dunia pada tahun 2000. Sebelumnya, didapatkan riwayat keluhan bercak putih
di badan serta baal-baal pada ayah pasien. Namun ayah pasien tersebut belum berobat ke dokter
atau mendapatkan pengobatan untuk penyakitnya tersebut. Pasien bekerja sebagai pegawai
swasta di salah satu kantor di kota Bandung. Tidak terdapat riwayat penyakit darah tinggi,
kolesterol, ginjal, jantung, atau penyakit lainnya pada pasien. Tidak terdapat riwayat
penggunaan obat-obatan lama pada pasien.
Pasien sebelumnya berobat ke Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit
Santosa. Pasien telah mendapatkan pengobatan Rifampisin dan Dapson sebanyak 25 tablet (25
hari), namun pasien tidak mengetahui dosis yang diberikan. Pasien kemudian dirujuk ke
Puskesmas Dago untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya dikarenakan ketidaktersediaan
obat di rumah sakit tersebut.

1.3 Pemeriksaan fisik


Tanda-tanda vital:
Kondisi umum: kompos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, regular, ekual, isi cukup
Respirasi : 20x/menit, regular
Suhu : afebris

Status gizi
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 20.0
Kesimpulan : Status gizi baik

Status generalis:
Kepala : facies leonina (-), madarosis (-), lagoftalmus (-),
hidung pelana (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat
Dada : ginekomastia (-), simetris, vocal fremitus ka=ki,
4

sonor/sonor, VBS ka=ki, rhonki -/-, wheezing -/-


bunyi jantung S1 S2 murni reguler, murmur (-).
Abdomen : soepel, hepar & lien tidak teraba,
nyeri tekan (-), timpani, bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time <2.

Pemeriksaan kulit dan saraf


5

Pada pemeriksaan ditemukan:


Bercak putih disertai borok pada bagian medial kaki kanan
Crawl hand, dengan jari tangan kanan sudah tampak mulai kontraktur.
Baal jari tengah tangan kanan, jari jempol kaki kanan dan kiri.
Anestesi sebagian pada kaki kanan dan kiri.
Pembesaran saraf perifer +.
Baal-baal pada jari tengah tangan kanan dan jari jempol kaki kanan dan kiri.
6

Keadaan Cacat
Waktu Tanggal Tingkat Cacat (WHO: 0,1,2)
Mata Tangan Kaki Nilai Jumlah
Ka Ki Ka Ki Ka Ki tertinggi/umum nilai/skor
Awal 30/1/17 0 0 2 1 1 1 2 5

1.4 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksan BTA (di Rumah Sakit Santosa Bandung): hasil negatif

1.5 Diagnosis
Lepra tipe multibasilar (MB)

1.7 Tatalaksana
1.7.1 Pengobatan MDT
Pengobatan MDT (Multidrug theraphy), 12 bulan, mulai tanggal 11 Februari 2017
Dosis bulanan : Rifampisin 600 mg + DDS 100 mg + Lampren 300 mg
Dosis harian : DDS 100 mg + Lampren 50 mg, untuk 28 hari.
Kontrol satu bulan berikutnya

1.7.2 Skrining pada keluarga


Tidak ditemukan kusta pada keluarga yang tinggal serumah.

1.8 Follow up pasien


1.8.1 Bulan ke-2 (11 Maret 2017)
Subjective (S) : Mual, baal-baal.
Objective (O) : BB 57 kg, Kontraktur tangan kanan (+).
7

Assessment (A) : Tetap


Planning (P) : Paket MDT 28 dosis, B complex 1x1, B6 1x1, Kontrol 1 bulan

1.8.1 Bulan ke-3 (8 April 2017)


Subjective (S) : Batuk, mual, baal-baal tangan dan kaki +.
Objective (O) : BB 54 kg
8

Assessment (A) : Tetap


Planning (P) : Paket MDT 28 dosis, B complex 1x1, B6 1x1,
Gliseril guakolat 3x1 tab, Kontrol 1 bulan

1.8.1 Bulan ke-4 (6 Mei 2017)


Subjective (S) :-
Objective (O) : BB 55 kg
9

Assessment (A) : Tetap


Planning (P) : Paket MDT 25 dosis, Kontrol 1 bulan

1.8.1 Bulan ke-5 (3 Juni 2017)


Subjective (S) : Mual, baal-baal.
Objective (O) : BB 54 kg, jari tangan kanan manis kaku dan keras.
10

Assessment (A) : Tetap


Planning (P) : Paket MDT 25 dosis, B complex 1x1, Kontrol 1 bulan

1.8.1 Bulan ke-6 (1 Juli 2017)


Subjective (S) :-
Objective (O) : BB 54 kg
11

Assessment (A) : Tetap


Planning (P) : Paket MDT 25 dosis, B complex 1x1, B6 1x1, Kontrol 1 bulan

1.8.1 Bulan ke-7 (29 Juli 2017)


Subjective (S) :-
Objective (O) : BB 54 kg
12

Assessment (A) : Tetap


Planning (P) : Paket MDT 25 dosis, B1 1x1 tab, Kontrol 1 bulan

1.9 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi penyakit kusta


Kusta merupakan penyakit infeksi menular dan menahun yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae yang bersift intraselular obligat. Saraf tepi/perifer merupakan afinitas
pertama bakteri tersebut, lalu kulit dan mukosa saluran napas atas, kemudian dapat menyebar
ke organ tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.1

2.2 Epidemiologi penyakit kusta


Jumlah kasus baru penyakit kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075.
Dari jumlah tersebut, paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (160.132), diikuti
dengan regional Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya berada di regional
lain di dunia. Pada kawasan Asia Tenggara, India meruakan negara dengan jumlah kasus baru
terbanyak yang ditemukan pada tahun 2011, yaitu 127.295. Indonesia berada di peringkat
kedua dengan 20.023 penemuan kasus baru. Secara global, telah terjadi penurunan penemuan
kasus baru kusta selama tahun 2011, namun beberapa negara seperti India, Indonesia,
Myanmar, Srilanka, justru menunjukkan peningkatan deteksi kasus baru.1
Distribusi penyakit kusta berdasarkan beberapa faktor adalah sebagai berikut.1
a. Faktor etnis atau suku: di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada
etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Di Malaysia, kejadian kusta lepromatosa
lebih banyak pada etnik Cina dibandingkan dengan etnik Melayu atau India.
b. Faktor sosioekonomi: dengan adanya peningkatan status sosioekonomi, maka kejadian
kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk dari negara lain
ternyata tidak menular kepada orang dengan sosioekonomi tinggi.
c. Berdasarkan usia: kusta diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai
usia lanjut (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada
usia muda dan produktif.
d. Berdasarkan jenis kelamin: lebih banyak menyerang lelaki dibandingkan dengan
wanita. Rendahnya kejadian kusta pada wanita kemungkinan akibat faktor lingkungan

13
14

dan sosial budaya. Pada kebudayaan tertentu, akses peremepuan ke layanan kesehatan
sangatlah terbatas.

2.3 Etiologi kusta


Penyebab penyakit kusta yaitu bakteri Mycobacterium leprae, ditemukan pertama kali
oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1873. Mikroorganisme ini hidup secara intraseluler dan
mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (sel Schwan) dan sel-sel pada sistem
retikuloendotelial. Waktu pembelahan kuman ini sangat lama, yaitu sekitar 23 minggu. Di
luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis), kuman yang didapat dari sekret nasal dapat bertahan
sampai dengan selama sembilan hari.1,2

2.4 Faktor-faktor terjadinya kusta.


Terdapat beberapa faktor yang menentukan terjadinya kusta pada seseorang.1
a. Penyebab atau etiologi penyakit, yaitu kuman Mycobacterium leprae.
b. Sumber penularan: sampai saat ini, hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai
sumber penularan, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse, dan
pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar.
c. Cara keluar dari pejamu (host): kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung
manusia. Telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas pasien tipe lepromatosa
merupakan sumber kuman.
d. Cara penularan: rerata masa inkubasi kuman kusta adalah 25 tahun. Penularan terjadi
apabila kuman utuh keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Secara teoritis penularan ini terjadi dengan cara kontak lama dengan pasien. Pasien
yang sudah minum MDT tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain.
e. Cara masuk ke dalam pejamu: melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui
kontak kulit.
f. Faktor pejamu: hanya sediikit orang yang kontak dengan pasien kusta akan terjangkit
penyakit tersebut, disebabkan adanya kekebalan tubuh seluler. Sebagian besar (95%)
manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil (5%) yang dapat ditulari. Dari 5%
yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi
sakit.
15

2.5 Kriteria diagnostik kusta


Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda
kardinal. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda
utama di bawah ini:1
a. Kelainan kulit yang mati rasa, dapat berupa bercak putih (hipopigmentasi) atau eritema
dengan mati rasa. Bercak terutama terdapat di wajah dan telinga.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf
merupakan akibat peradangan saraf tepi kronis. Dapat berupa gangguan fungsi sensoris
(mati rasa), motoris (paresis atau paralisis otot), atau autonom (kulit kering dan retak-
retak).
c. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).

2.5.1 Pemeriksaan kulit/dermatologis


Pemeriksaan harus dilakukan pada tempat cukup cahaya dengan menjaga kenyamanan
pasien yang diperiksa. Pasien yang diperiksa menghadap sumber cahaya, berhadapan dengan
petugas, lalu pemeriksaan dimulai dari kepala sampai dengan telapak kaki. Perhatikan setiap
bercak (makula), bintil (nodus), jaringan parut, kulit yang keriput dan setiap penebalan kulit.
Perhatikan kelainan dan cacat yang terdapat pada tangan dan kaki antara lain atropi, jari kiting,
pemendekan jari, dan ulkus.
Dalam pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, gunakan sepotong kapas yang
ujungnya dilancipkan, periksakan dengan menyentuhkan ujung dari kapas secara tegak lurus
pada kelainan kulit yang dicurigai. Jika orang yang diperiksa merasakan sentuhan, ia diminta
menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya. Jika telah jelas, pemeriksaan yang sama
dilakukan dengan mata pasien tertutup.

2.5.2 Pemeriksaan saraf tepi


Pemeriksaan dilakukan pada saraf tepi yang paling sering terlibat dan dapat diraba
(Gambar 2.1 dan Tabel 2.1).
16

Gambar 2.1. Saraf tepi yang paling sering terlibat1

Tabel 2.1 Fungsi normal beberapa saraf tepi1


17

2.5.2.1 Perabaan (palpasi) saraf tepi


Pemeriksaan saraf tepi dilakukan dengan pemeriksa berhadapan dengan pasien,
perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti pasien. Perhatikan
penebalan/pembesaran, apakah saraf kiri dan kanan sama besar atau berbeda, apakah ada nyeri
atau tidak pada saraf. Perhatikan mimik pasien, apakah terdapat kesakitan atau tidak. Tiga saraf
yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis posterior (Tabel 2.2).1

Tabel 2.2 Perabaan saraf tepi1


Saraf Prosedur
Saraf ulnaris Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan
bawah penderita dengan siku sedikit ditekuk.
Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri, cari
sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi
ulnaris.
Dengan tekanan ringan, gulirkan pada saraf ulnaris,
telusuri ke atas, sambil melihat mimik/reaksi pasien,
apakah kesakitan atau tidak.
Lakukan sebaliknya untuk sisi lengan sebelah kiri.

Saraf peroneus Pasien diminta duduk dengan kaki relaks.


communis (poplitea Pemeriksa duduk depan pasien dengan tangan kanan
lateralis) memeriksa kaki kiri pasien, dan sebaliknya.
Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada
pertengahan betis bagian luar pasien sambil pelan-pelan
meraba ke atas sampai menunjukkan benjolan tulang
(kaput fibula), lalu jari pemeriksa meraba saraf peroneus
1 cm ke arah belakang.
Gulirkan bergantian ke kanan dan kiri dengan tekanan
ringan dan lihat mimik/reaksi pasien.
18

Saraf tibialis posterior Pasien duduk rileks.


Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa meraba saraf
tibialis posterior di bagian belakang bawah dari mata
kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan
menyilang antara tangan kanan dan kiri.
Gulirkan dengan tekanan ringan sambil melihat
reaksi/mimik pasien.

2.5.2.2 Pemeriksaan fungsi saraf


Pemeriksaan dilakukan secara sistematis pada mata, tangan, dan kaki. Pemeriksaan
meliputi fungsi rasa raba dan kekuatan otot. Alat yang digunakan adalah pulpen yang ringan,
kertas, dan tempat duduk untuk pasien. Periksa secara berurutan agar tidak ada yang
terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki.1

Tabel 2.3 Pemeriksaan fungsi saraf1


Mata Pasien diminta memejamkan mata.
Fungsi motorik saraf fasialis Dilihat dari depan/samping apakah mata tertutup
dengan sempurna.
Bagi mata yang tidak menutup rapat, diukur lebar
celahnya lalu dicatat, misalnya +3 mm mata kiri
atau kanan.

Tangan Tangan pasien diletakkan di paha pasien atau


Sensorik s. ulnaris & medianus meja atau bertumpu pada tangan kiri pemeriksa,
sehingga semua ujung jari tersangga.
Jelaskan pada pasien, sambil memeragakan
sentuhan ringan ujung pulpen pada lengan dan
satu atau dua titik pada telapak tangan.
19

Bila pasien merasakan sentuhan, diminta


menunjuk dengan jari tangan yang lain.
Pasien menutup mata atau menoleh ke arah
berlawanan.
Lakukan secara acak. Bila tidak dapat menunjuk
2 titik atau lebih berarti terdapat gangguan rasa
raba pada saraf tersebut.
Saraf ulnaris (kekuatan otot jari Tangan kiri pemeriksa menggenggam ujung jari
kelingking) manis, jari tengah dan telunjuk tangan kanan
pasien, dengan telapak tangan pasien menghadap
ke atas dan posisi ekstensi.
Minta pasien aduksi dan menjauhkan (abduksi)
kelingking dari jari-jari lainnya. Bila pasien dapat
melakukannya, minta ia menahan kelingking
dalam posisi tersebut, dan kemudian jari telunjuk
pemeriksa mendorong pada pangkal kelingking.
Bila jari kelingking dapat menahan dorongan ibu
jari otot kuat. Bila tidak dapat menahan
dorongan otot sedang. Bila tidak dapat
menjauh dari jari lainnya lumpuh.
Bila hasil pemeriksaan meragukan, konfirmasi
dengan minta pasien menjepit dengan kuat
sehelai kertas yang diletakkan di antara jari manis
dan jari kelingking tersebut lalu pemeriksa
menarik kertas tsb, sambil menilai ada/tidaknya
tahanan. Bila kertas terlepas dengan mudah
lemah. Bila ada tahanan otot kuat.
Saraf medianus (otot ibu jari) Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk
sampai kelingking tangan kanan pasien agar
telapak tangan pasien menghadap ke atas, dan
dalam posisi ekstensi.
Ibu jari ditegakkan ke atas, dan pasien diminta
mempertahankan posisi tersebut.
20

Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari


pasien.
Bila ada gerakan dan tahanan kuat otot kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah sedang.
Bila tidak ada gerakan lumpuh.
Bandingkan otot tangan kanan dan kiri.
Saraf radialis (pergelangan Tangan kiri pemeriksa memegang punggun
tangan) lengan bawah tangan kanan pasien.
Pasien diminta menggerakkan pergelangan
tangan kanan yang terkepal ke atas (ekstensi).
Tangan kanan pemeriksa menarik tangan pasien
ke arah pemeriksa.
Bila pasien mampu menahan tarikan otot kuat.
Bila ada gerakan tapi tidak mampu menahan
tarikan otot sedang.
Bila tidak ada gerakan - otot lumpuh.

Kaki Kaki kanan pasien diletakkan pada paha kiri,


Sensorik s. tibialis posterior usahakan telapak kaki menghadap ke atas.
Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki
pasien.
Cara pemeriksaan sama dengan pada tangan.
Motorik s. peroneus komunis Dalam keadaan duduk, pasien diminta
(poplitea lateralis) mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap di
lantai, ekstensi maksimal.
Pemeriksa dengan kedua tangan menekan kedua
tangan menekan punggung kaki pasien ke
bawah/lantai.
Bila ada gerakan dan pasien mampu menahan
otot kuat.
Bila ada gerakan namun tidak mampu menahan
sedang.
Bila tidak ada gerakan lumpuh.
21

Setiap kelainan akibat kusta yang terdapat dalam tubuh pasien digambarkan dengan
simbol baku yang sudah ditetapkan (charting, Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Simbol baku dalam charting1

2.5.3 Pemeriksaan bakteriologis


Slit skin smear atau kerokan jaringan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoeh
lewat irisan dan kerokan kcil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk
melihat Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini tidak diwajibkan dalam program nasional,
namun dapat berguna untuk mempercepat penegakkan diagnosis. Pemeriksaan dapat dilakukan
22

di Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas untuk
pemeriksaan BTA.1
Kerokan jaringan diambil dari 2 atau 3 tempat, yaitu dari cuping telinga kanan dan kiri,
dan kelainan kulit (lesi) yang aktif (lesi meninggi dan berwarna kemerahan). Pewarnaan
digunakan dengan metode Ziehl-Neelsen. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan carbol
fuchsin 0.3%, lalu bilas pewarnaan dengan asam alkohol 3% untuk menghilangkan semua
warna kecuali kuman leprae. Lakukan pembilasan dengan methylene blue 0.3%. Basil kusta
akan terlihat seperti batang-batan merah pada latar belakang biru. Perhitungan BTA dalam
lapangan mikroskopi menggunakan indeks bakteri (IB) atau indeks morfologis (IM).
Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitaif kepadatan BTA dalam sediaan apus.
Kegunaan IB (Tabel 2.4) adalah untuk membantu menentukan tipe kusta dan menilai hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley.

Tabel 2.4 Indeks bakteri1


Indeks bakteri
0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang
1+ 110 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang.
2+ 110 BTA dalamp 10 LP, hitung 100 lapangan pandang.
3+ 110 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang.
4+ 10100 BTA dalam rata-rata 1 LP
5+ 1001000 BTA dalam rata-rata 1 LP
6+ >1000 BTA atau 5 clumps ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandang.

Indeksi morfologi merupakan persentase basil kusta dalam bentuh utuh terhadap
seluruh BTA. Apabila ditemukan globus/clumps, jangan dihitung. Indeks morfologi dihitung
dengan menggunakan rumus: jumlah BTA yang utuh/jumlah seluruh BTA x 100%. Indeks ini
berguna untuk mengetahui daya penularan kuman, untuk menilai hasil pengbatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.1

2.6 Diagnosis banding


Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan kulit pada penyakit
kusta. Oleh karena itu penyakit kusta sering disebut sebagai the great imitator dalam penyakit
23

kulit. Beberapa penyakit kulit yang mirip dengan kusta di antaranya adalah psorisasis, tinea,
dermatitis seboroik, vitiligo, ptiriasis versikolor, neurofibromatosis, dan veruka vulgaris.1

Gambar 2.3 Diagnosis banding kusta1


24

2.7 Klasifikasi penyakit kusta


Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya harus
ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Dikenal beberapa tipe klasifikasi penyakit kusta, misalnya
klasifikasi Madrid, Ridley-Jopling, India, dan klasifikasi WHO. Pada tahun 1982, sekelompok
ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Pasien
kusta hanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu pausibasilar (PB) dan tipe multibasilar (MB). Dasar
klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan
kerokan kulit (Tabel 2.5 dan 2.6).1,3

Tabel 2.5 Tanda utama kusta tipe PB dan MB1


Tanda utama PB MB
Bercak kusta Jumlah 1 5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi disertai Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
gangguan fungsi (mati rasa
dan atau kelemahan otot, di
daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif

Tabel 2.6 Tanda lain untuk klasifikasi kusta1


PB MB
Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas
Deformitas Terjadi lebih cepat Biasanya pada tahap lanjut
Ciri khas - Madarosis, hidung pelana,
wajah singa (facies leonina),
ginekomastia pada laki-laki
25

2.7.1 Alur diagnosis dan klasifikasi kusta


Alur untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan penyakit kusta ditampilkan pada
Gambar 2.7 di bawah ini.

Gambar 2.7 Alur diagnosis dan klasifikasi kusta1

2.8 Manajemen dan tatalaksana kusta


Pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan multidrug
theraphy (MDT) untuk tipe PB maupun MB. Adapun tujuan pengobatan untuk tip PB maupun
MB adalah sebagai berikut:
a. Memutuskan mata rantai pengobatan.
b. Mencegah resistensi obat.
c. Memperpendek masa pengobatan.
d. Meningkatkan keteraturan berobat.
e. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan.1
Kelompok orang yang membuhkan MDT adalah pasien baru yang belum pernah
mendapat MDT, pasien ulangan yaitu pasien relaps, masuk kembali setelah default, pindahan
(pindah masuk), atau ganti klasifikasi/tipe kusta. Regimen pengobatan MDT di Indonesia
sesuai dengan rekomendai WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:1
26

a. Pasien pausibasilar (PB). Pada orang dewasa:


Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas): 2 kapsul
rifampisin @300 mg + 1 tablet Dapson/DSS 100 mg.
Pengobatan harian: hari ke 228: 1 tablet Dapson/DDS 100 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6 9
bulan.
b. Pasien multibasilar (MB) dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas): 2 kapsul
rifampisin @300 mg + 3 tablet lampren @100 mg + 1 tablet Dapson/DSS 100
mg.
Pengobatan harian: hari ke 228: 1 tablet lampren 50 mg + 1 tablet Dapson/DDS
100 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 1218
bulan.
c. Dosis MDT PB untuk anak (usia 1015 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas): 2 kapsul
rifampisin 150 mg dan 300 mg + 1 tablet Dapson/DSS 50 mg.
Pengobatan harian: hari ke 228: 1 tablet Dapson/DDS 50 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6 9
bulan.
d. Dosis MDT MB untuk anak (usia 1015 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas): 2 kapsul
rifampisin 150 mg dan 300 mg + 3 tablet lampren @50 mg + 1 tablet
Dapson/DSS 50 mg.
Pengobatan harian: hari ke 228: 1 tablet lampren 50 mg selang sehari +
Dapson/DDS 50 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 1218
bulan.

Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan, yaitu rifampisin sebesar 1015
mg/kgBB, dapson 12 mg/kgBB, dan lampren 1 mg/kgBB. Sebagai pedoman praktis untuk
dosis MT bagi pasien kusta digunakan Tabel 2.7 dan 2.8 di bawah ini.
27

Tabel 2.7 Panduan obat MDT PB1

Tabel 2.8 Panduan obat MDT MB1

Pengobatan MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada 4 macam blister untuk PB dan MB
dewasa serta PB dan MB anak. Obat MDT tersebut terdiri atas:1
28

a. DDS (Dapson), merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone, sediaan bentuk
tablet warna putih 50 dan 100 mg. Obat ini bersifat bakteriostatik. Dosis dewasa adalah
100 mg/hari dan anak-anak 50 mg/hari (untuk usia 1015 tahun).
b. Lampren (B663). Sediaan bentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg, warna cokelat,
bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi. Diminum sesudah makan.
c. Rifampisin. Sediaan bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, dan 600 mg, bersifat
bakterisidal. Hampir 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian Obat ini
diminum setengah jam sebelum makan untuk mendapatkan penyerapan yang lebih
baik.
d. Obat penunjang (vitamin/roboransia), obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, B12
dapat diberikan.

2.8.1 Efek samping MDT dan penanganannya


Efek samping obat-obatan MDT dan penanganannya terdapat pada Tabel 2.9 di bawah
ini.

Tabel 2.9 Efek samping terapi MDT1


2.9 Reaksi kusta
Salah satu peyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf adalah reaksi kusta. Oleh
karena itu, monitoring fungsi saraf secara rutin sangat penting dalam upaya pencegahan dini
cacat kusta. Bila kerusakan terjadi kurang dari 6 bulan dan diobati dengan cepat dan tepat, tidak
akan terjadi kerusakan saraf yang permanen.
Terdapat dua jenis kecacatan pada kusta, yaitu cacat primer, yang disebabkan langsung
oleh aktivitas penyakit, dan cacat sekunder, yang terjadi akibat cacat primer, seperti ulkus dan
kontraktur. Untuk mendeteksi reaksi kusta, lakukan pemeriksaan pada setiap pasien dengan
teliti.
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang sangat kronis.
Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu tipe 1/tipe seluler, saat terjadinya
peningkatan cellular mediated immunity, atau hipersensitivitas humoral (reaksi tipe 2/eritema
nodosum leprosum). Bila reaksi tidak didiagnosis dan diobati secara cepat dan tepat makan
dapat berakibat merugikan pasien, menyebabkan gangguan saraf tepi yang akhirnya
menyebabkan kecacatan.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, selama, atau setelah pengobatan.
Penyebab terjadinya reaksi masih belum jelas. Disebutkan bahwa beberapa faktor pencetus
memegang peranan penting (Tabel 2.10).

Tabel 2.10 Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan 21

Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 terdapat pada Tabel 2.11 dan 2.12 berikut.

29
30

Tabel 2.11. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 21


Tipe 1 Lebih banyak terjadi pada spektrum borderline,
karena merupakan tipe tidak stabil. Terutama terjadi
selama pengobatan.
Pada kulit, lesi yang telah ada bertambah aktif atau
timbul lesi baru dalam relatif singkat.
Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada
saraf (tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi
saraf.
Kadang terjadi gangguan keadaan umum seperti
demam dan lain-lain.

Tipe 2 Terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy


dan borderline lepromatous).
Merupakan reaksi humoral berupa reaksi antigen dan
antibodi pasien yang akan mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terbentuk kompleks imun yang
akan menimbulkan respons inflamasi. Kompleks
imun dapat mengendap dalam kulit, saraf,
limfonodus, tulang, ginjal, dan testis (orkitis).
Gejala klinis pada kulit berupa nodus, eritema, dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai.
Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3
minggu atau lebih.
31

Tabel 2.12 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 21

2.9.2 Tatalaksana reaksi kusta


Sebagian besar reaksi dapat ditangani oleh petugas pengelola program kusta di
Puskesmas, namun ada kalanya harus dirujuk. Bergantung pada tipe reaksi yang dialami, berat
ringannya reaksi tersebut, ada/tidaknya komplikasi atau kontraindikasi yang dapat
memengaruhi penanganan reaksi, obat yang tersedia, dan tingkat kemampuan penanganan
yang tersedia.1
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan identifikasi tipe reaksi
yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan
pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD) seperti:
Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir.
32

Adanya nyeri raba saraf tepi.


Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir.
Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir.
Adanya bercak pecah atau nodul pecah.
Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.
Bila terdapat salah satu gejala di atas berarti terdapat reaksi berat dan perlu diberikan
obat antireaksi. Obat antireaksi terdiri atas prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2), dan lampren
(untuk reaksi tipe 2), untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang berulang (steroid
dependent). Tatalaksana reaksi ringan dan berat terdapat pada Tabel 2.13 berikut:

Tabel 2.13 Tatalaksana reaksi ringan dan berat1


Reaksi ringan Reaksi berat
1. Berobat jalan, istirahat di rumah. 1. Imobilisasi lokal/istirahat di rumah.
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat 2. Pemberian analgetik/antipiretik.
penenang bila perlu. 3. MDT tetap diberikan.
3. MDT tetap diberikan dengan dosis 4. Menghindari faktor pencetus.
tetap. 5. Memberikan obat antireaksi.
4. Menghindari/menghilangkan faktor 6. Dikirim ke rumah sakit bila terdapat
pencetus. indikasi.

Dosis Prednison dan Lampren untuk pengobatan reaksi berat terdapat pada Tabel 2.14
dan 2.15. Rincian pengobatan untuk reaksi berat ditampilkan pada Tabel 2.16 di bawah ini.

Tabel 2.14 Skema pemberian prednison untuk reaksi kusta1


33

Tabel 2.15 Skema pemberian Lampren untuk reaksi kusta1

Tabel 2.16 Pengobatan reaksi berat kusta1


34

2.10 Upaya pengendalian penularan


Upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta dapat dilakukan melalui:1
a. Peningkatan penemuan kasus secara dini di masyarakat.
b. Pengobatan MDT pada pasien kusta.
c. Vaksinasi BCG.
d. Pelayanan kusta yang berkualitas, termasuk layanan rehabilitasi.
e. Penyebarluasan informasi tentang kusta di masyarakat.
f. Eliminasi stigma terhadap penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dirjen P2PL Kemenkes RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012.
2. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatricks colar atlas & synopsis of dermatology.
7th ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2013.
3. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS DR. Hasan Sadikin - FK Unpad. Standar
pelayanan medik ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Edisi revisi. Bandung: Bagian IKK
RSHS - FKUP; 2010.

35
LAMPIRAN

36

Anda mungkin juga menyukai