PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fraktur.
2.1.1. Definisi Fraktur
Menurut Usyinara Pradana. A dalam buku Kapita Selekta Kedokteran 2009,
Fraktur atau patah tulang didefinisikan sebagai gangguan kontinuitas jaringan tulang, tulang
rawan (sendi) dan lempeng epifisis yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.9 Sedangkan
menurut Supardi Sabroto (2009) dalam buku Ajar Ilmu Bedah Ortopedi serta Sjamsuhidajat,
R dan Wim de Jong buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 (2005) mendefinisikan fraktur adalah
hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat
total maupun yang parsial. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan
tekanan terutama tekanan untuk membengkok, memutar dan tarikan. 9,12,13
Fraktur dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin. Fraktur adalah masalah
yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus mudik dan arus
balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang sangat banyak
yang sebagian korbannya mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga
yang banyak menyebabkan fraktur. Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat
mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang
mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia pergi ke dukun
pijat, mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir.
2.1.2. Klasifikasi Fraktur
a). Klasifikasi Berdasarkan Etiologis
Fraktur Traumatik (trauma yang terjadi mendadak)
Fraktur Patologis (kelemahan tulang akibat kelainan patologis dalam tulang)
Fraktur Stress (trauma yang terjadi terus menerus pada suatu tempat)
Penyebab terjadinya fraktur dapat disebabkan oleh adanya kekersan yang terjadi secara
langsung, tidak langsung ataupun akibat tarikan otot
- Kekerasan Langsung, dapat menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Biasanya bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring
- Kekerasan Tidak Langsung, dapat menyebabkan patah tulang pada tempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan.
- Kekerasan Akibat Tarikan Otot, biasanya jarang terjadi. Kekuatannya dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan atau kombinasi dari ketiganya
2
b). Klasifikasi Klinis
- Fraktur Tertutup : Fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia
luar
- Fraktur Terbuka : Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak
- Fraktur dengan Komplikasi : Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya
malunion, delayed union, nonunion dan infeksi tulang.
Non union, dibagi menjadi:
Hypervascular (Hypertrofi)
Callus dibentuk berlebihan, pasokan darah meningkat sampai ke ujung tulang
Atrofi
Ujung fragment menjadi atropi
Pasokan darah sedikit sampai ke ujung fragment.
secara khas dilihat pada fraktur tibia.
Oligotrophic (Hypotrophic):
Callus tidak terbentuk
Secara khas terjadi setelah jarak fraktur yg besar.
- Berdasarkan Konfigurasi
1. Fraktur Transversal
2. Fraktur Oblique
3. Fraktur Spiral
4. Fraktur Pecah (Brust)
3
- Berdasarkan jumlah garis patah :
1. Fraktur Komunitif yaitu fraktur dimana terdapat garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan
2. Fraktur Segmental yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu namun tidak
saling berhubungan
3. Fraktur Multiple yaitu fraktur dimana terdapat garis patah lebih dari satu
namun tidak pada tulang yang sama
- Berdasarkan hubungan antara fragmen dengan fragmen yang lain :
1. Undisplaced (tidak bergeser)
2. Displaced (bergeser) dengan enam (6) cara yaitu Berkesampingan, Angulasi,
Rotasi, Over-riding dan Impaksi
b) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi (LOOK)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum pasien secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Ada tidaknya luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
- Perhatikan adanya deformitas (angulasi, rotasi, shortening)
- Perhatikan seluruh bagian tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
5
- Perhatikan keadaan vaskularisasi
Palpasi (FEEL)
Dilakukan secara hati-hati karena penderita mengeluh sangat nyeri.
Yang perlu diperhatikan adalah :
- Nyeri Tekan
- Krepitasi
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal (palpasi arteri radialis, arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena), temperature kulit dan warna kulit pada bagian distal daerah
trauma.
Pergerakan (MOVE)
Pergerakan dengan mengajak pasien untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan harus dilakukan dengan hati-hati. ROM (Range of joint
Movement) merupakan istilah untuk menyatakan batas/ besarnya gerakan sendi
dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau menyatakan
besarnya gerakan sendi yang abnormal. ROM pergerakan aktif dan ROM
pergerakan pasif.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pada fraktur, pemeriksaan penunjang dasar berupa Roentgen sangatlah penting.
Foto yang baik harus mengikuti aturan dua
Dua sisi
Dua sendi,
Dua ekstremitas (terutama untuk pasien anak),
Dua jejas (di bagian proksimal jejas), serta
Dua waktu (foto serial).
Berdasarkan tanda manajemen fraktur terbuka pada ektremitas bawah oleh British
Orthopaedic Association dan British Association of Plastic, Reconstrutive anda
Aesthetic Sugeons 2009, fraktur terbuka semua derajat harus mendapatkan antibiotik
dalam 3 jam setelah trauma. Antibiotic yang menjadi pilihan adalah ko-amoksiklav
atau sefuroksim. Apbila pasien alergi golongan penisilin, dapat diberikan
klindamisin. Pada saat debridemen, antibiotic gentamisin ditambahkan pada regimen
tersebut.
8
Neglected Fracture adalah suatu fraktur dengan dislokasi yang ditangani dengan
tidak semestinya sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan,
atau kondisi yang lebih buruk bahkan kecacatan. 9,10,11
2.2.2.2. Klasifikasi
1) Neglected fraktur berdasarkan waktu
Derajat 1: fraktur yang telah terjadi antara 3 hari 3 minggu
Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu 3 bulan
Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan 1 tahun
Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1 tahun
2) Berdasarkan pada beratnya kasus akibat dari penanganan patah tulang
sebelumnya, diklasifikasikan menjadi.
Neglected derajat satu
Bila pasien datang saat awal kejadian maupun sekarang, penengananya
tidak memerlukan tindakan operasi dan hailnya sama baik
Neglected derajat dua
Keadaan dimana apabila pasien datang saat awal kejadian, penangannya
tidak memerlukan tindakan operasi, sedangkan saat ini kasusnya menjadi
lebih sulit dan memerlukan tindakan opeasi. Setelah pengobatan, hasilnya
baik
Neglected derajat tiga
Keteterlambatan menyebabkan kecatatan yang menetap bahkan setelah
dilakukan opersai.. jadi pasien datang saat awal maupun sekarang tetap
memerlukan tidakan opersi dan hasilnya kurang baik.
Neglected derajat empat
Keterlambatan disini sudah mengancam nyawa atau bahkan menyebabkkan
kematian pasien. Pada kasus ini penangannya memerlukan tindakan
amputasi.
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.
- Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah dilakukan anamnesis,
16
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana
mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes
mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya
komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
- Kebugaran Untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.
- Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
17
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
- Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. 5,6,7,8
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. 5,6,7,8
- Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat
yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari
mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2
dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya
dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
19
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-
off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk.
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang
mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
- Sungkup Muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas
anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup
trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan
mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan
untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan
nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi
yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, bisaanya
mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya
pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada
minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas. 5,6,7,8
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan
sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan
manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi
atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan
digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien. 5,6,7,8
- Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke
trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan
kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara
tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang
tabung dan kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa
diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa
diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24 cm. 5,6,7,8
- Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat
pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada
pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.
20
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan
insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi
faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau
komplians paru rensah seperti penyaki jalan nafas restriktif.
2.6.4. Ekstubasi
21
Mengangkat keluar pipa endotrakea harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang
otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis. Ekstubasi dapat
dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul atau menunggu sewaktu
pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak dalam. Dengan cara terakhir
dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut, dada dan jalan nafas.
22
anestesi lokal pada periode perioperatif, dapat membantu mengurangi kebutuhan opioid
post operatif.
24
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Lengan bawah tangan sebelah kiri terasa nyeri dan bengkak.
25
Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya:
Pasien belum pernah menjalani operasi dan belum pernah menggunakan obat-obatan
anestesi sebelumnya.
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/m
Respirasi : 20 x/m
Suhu badan : 36.50C
Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Hidung : Deformitas (-)
Telinga : Deformitas (-)
Mulut : Deformitas (-), mallampati I
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru : Suara napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak
ada,
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak
ada
Abdomen : Cembung, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema ada dilengan kiri bagian bawah
26
Status Lokalis
Regio Antebrachii Sinistra
Inspeksi : Tampak terbungkus verban, rembesan (-), udem (+), deformitas (+)
Feel : Nyeri (+)
Move : Gerak aktif terbatas
PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 25/05/2016
Ahli Anestesiologi : dr. A. Sp.An
27
Ahli Bedah : dr. F
Diagnosa Pra Bedah : Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
Diagnosa Pasca Bedah : Post ORIF Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
Laporan Operasi:
1. Pasien berbaring supine dalam anastesi GA
2. Dilakukan teknik sepsis antisepsis dan drapping prosedur
3. Area operasi dipersempit dengan duk steril
4. Identifikasi lapangan Operasi
5. Cuci dengan H2O2 dan NaCl 0,9%
6. Reduksi fraktur dan fiksasi dengan sekrup + bar internal fiksasi sit
7. Jahit lapis demi lapis
8. Pasang back slab
9. Operasi selesai
29
Instruksi Post Operasi
1. IVFD RL/8 jam
2. Inj. Metronidazole 3x500 mg
3. Inj. Ceftiakson 2 x 1 gr
4. Inj. Ketorolac 3x1 amp
Balance Cairan
Waktu Input Output
Pre operasi RL : 1000 cc IWL : 650 cc
Urin : 100 cc
Durante operasi RL : 500 cc Urin : 200 cc
Gelofussion : 500 cc Perdarahan : 200 cc
Total 2000 cc 1150 cc
30
1. Kebutuhan:
Maintenance dan replacement (puasa 10 jam):
Cairan:
40-50 cc/kgBB/hari 2600 3250 cc/hari
108 -135 cc/jam
1080 1350 cc/10 jam
Dapat diberikan RL 1000-1500 cc.
2. Aktual cairan yang diberikan : RL 1000 cc
b. Durante Operatif
1. Kebutuhan
Urin 200 cc, perdarahan 200 cc, IWL 650 cc
- Dehidrasi ringan : 3-5% x BB = 195 325 cc
- Pemeliharaan (operasi sedang) = 6 cc/kgBB/jam = 390 cc/jam
- EBV = 70 x kgBB (65 kg) 4550 cc
- EBL = % perdarahan x EBV = 200 cc 4% EBV
- Replacement :
Kristaloid 2-4 x EBL = 400 800 cc
Koloid 1 x EBL = 200 cc
2. Aktual Cairan yang diberikan: RL 500 cc + Gelofussion 500 cc = 1000 cc
Sudah mengganti jumlah yang hilang selama operasi
c. Post Operative
1. Kebutuhan:
Maintenance:
- Cairan : 40 -50 cc/kgBB/hari = 2600 -3250 cc/hari
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 130 - 260 mEg/hari
- Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 65 - 195 mEq/hari
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1625 kkal/hari
2. Actual cairan yang diberikan: RL 1500 cc/hari
32
A: Post pemasangan ORIF pada neglected
fracture galeazzi sinistra
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang pasien, laki-laki usia 34 tahun pada kasus diatas akan dilakukan tindakan
pemasangan internal fiksasi dengan aneestesi umum atau general Anestesi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit saluran
pernapasan, riwayat penyakit kardiovaskular, alergi, maupun riwayat penyakit metabolic.
Berdasarkan hasil pemeriksaan preoperative tersebut, pasien tergolong pada PS ASA I sesuai
dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist.
Pasien dengan PS ASA I adalah pasien yang tidak memiliki gangguan organic, biokimia, dan
psikiatrik.5,6,7,8 Ini disimpulkan karena dari pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien
dalam keadaan stabil dan tidak didapatkan adanya gangguan sistemik yang dapat
mengganggu proses operasi dan anestesi.
Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan K-
WIRE dibawah anestesi umum dengan mengunakan inhalasi isofluran 2%. Anestesi
umum/general anestesi dipilih dengan pertimbangan kemungkinan tindakan pembedahan
yang akan berlangsung lama dan pembedahan pada pasien ini tidak dapat menggunakan
anestesi local karena tidak praktis dan ditakutkan hasil anestesi yang diharapkan tidak akan
memuaskan.6,7 Selain itu General Anastesi pada pembedahan memiliki beberapa keuntungan
yaitu pasien menjadi tidak sadar sehingga mencegah kesakitan selama prosedur medis
berlangsung, efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin memberikan trauma psikologis, serta
memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu yang lama. Keuntungan-
keuntungan anaestesi spinal tersebut menyebabkan tidak dipilihanya anestesi regional untuk
tatalaksana anestesi pada kasus ini. Hal ini disebabkan karena pada anestesi regional sebagian
besar pasien tetap sadar sehingga ditakutkan akan menyebabkan kecemasan pada pasien
karena akan tetap menyadari sedang dilakukannya tindakan pada anggota tubuhnya, anestesi
regional juga terkadang berisiko menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik selain itu
33
anestesi regional tidak dapat dijadikan pilihan pada operasi yang memakan waktu yang lama
seperti pada pasien yang menjalani operasi selama 2 jam 20 menit.5,6,7,8
Berdasarkan hal-hal diatas tersebut, maka pemilihan tatalaksana anestesi pada pasien
ini dengan menggunakan anestesi umum merupakan pilihan yang tepat.
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum dengan inhalasi
dan intravena. Untuk anestesi inhalasi digunakan Isofluran 2%. 6,7 Isofluran merupakan salah
satu halogenasi eter yang sering digunakan. Obat ini bekerja menekan pernapasan dan kurang
mempunyai pengaruh menekan jantung, dan tidak mencetuskan disritmia. Obat ini juga
hanya dimetabolisme sebanyak 0,2%, sehingga tidak menimbulkan toksisitas yang bermakna
pada hepar atau ginjal. Setelah induksi, obat anestesi intravena juga diberikan untuk rumatan
anestesi diantaranya fentanil dan propofol (recofol). Rumatan anestesi ini mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis), analgesia cukup, dan diusahakan selama pembedahan
pasien tidak mengalami nyeri dan diharapkan relaksasi otot lurik yang cukup. Fentanil
sebagai opioid diberikan dengan harapan akan menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
yang cukup dan pemberian Propofol pada pasien ini diberikan untuk memberikan efek
sedative dengan cepat.6,7
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing system organ dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan mengenai
terapi cairan selama masa perioperative. Terapi cairan sendiri adalah tindakan untuk
memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus
krsitaloid atau koloid secara intravena.7,8
Dengan mempertimbangkan hal diatas dan berdasarkan perhitungan kebutuhan cairan
preoperative untuk maintenance dan sekaligus untuk mengganti deficit selama puasa 10 jam
dibutuhkan 1080 1350 cc/10 jam, maka dapat dilakukan terapi cairan untuk resusitassi
dengan cairan Ringer Laktat 1000 1500 cc sebelum pembedahan sehingga pemberian cairan
pre operatif berupa cairan RL 1000 cc cepat dan tepat.
Operasi pemasangan K_WIRE pada pasien dijalani selama 2 jam 20 menit dengan
total perdarahan 200 cc. perkiraan volume darah pada pasien (Estimaed Blood Volume/EBV)
adalah 70 cc x 65 kg yaitu 4550 cc, sehingga jumlah kehilangan darah (Estimated Blood
Loss/EBL) sekitar 200 cc atau sekitar 4% dari EBV. Jika dijumlahkan dengan jumlah urin
yang keluar selama operasi sebesar 200 cc dan IWL pasien 650 cc, maka pemberian actual
cairan yang diberikan pada pasien selama durante operasi berupa cairan kristaloid RL 500 cc
dan Gelofussion 500 cc dapat dikatakan sudah cukup untuk menggantikan kehilangan cairan
pada pasien selama proses operasi.
Setelah operasi, pasien diobservasi diruang pemulihan dan dipindahkan ke ruang
perawatan ortopedi. Aktualnya pasien sudah diperbolehkan makan sedikit-sedikit 6 jam post
operasi, sehingga kebutuhan cairan dan kalori dapat terpenuhi bukan hanya dari cairan infus
tetapi juga melalui konsumsi per oral.8 Kebutuhan cairan pasien ini adalah 2600-3250 cc/hari
dengan kebutuhan Natrium 130 - 260 mEg/hari, Kalium 65 - 195 mEq/hari, dan Kalori 1625
kkal/hari. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa stress pembedahan menyebabkan pelepasan
Aldosteron dan ADH sehingga terjadi kecenderungan tubuh untuk menahan air dan Natrium.
Penggunaan cairan intravena diharapkan dapat menunjang pemenuhan kebutuhan cairan dan
35
kalori disamping melalui intake oral.7,8 Actual cairan yang diberikan pada pasien berupa
Ringer Laktat 1500 cc/hari. Ringer Laktat yang diberikan pada pasien ini mengandung 130
mEq Natrium sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Natrium, karena tidak
terdapatnya cadangan Natrium dalam tubuh. Walaupun pemberian cairan intravena ini
diberikan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien, namun tetap saja harus
didukung dengan intake oral yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori perhari.8
36
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serat pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis neglected fracture Galeazzi sinistra yang direncanakan dilakukan tindakan
pemasangan K_WIRE dengan general anestesi.
Pemilihan anestesi ini sudah sesuai indikasi, yaitu untuk pembedahan yang
diperkirakan kemungkinan akan memakan waktu yang lama.
Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA I karena pada pasien ini berdasarkan
pemeriksaan preoperative dalam keadaan stabil dan tidak ditemukan gangguan
organic, fisiologis, biokimia, dan psikiatrik.
Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi kebutuhan
cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya hemodinamik durante
dan post operative.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Schiwatch, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran; 2000.
2. Reksoprodjo S. Buku Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; 2010.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran;
2004.
4. Anonim. BAB I PENDAHULUAN. [serial online] 2010. [Diunduh 09 Oktober 2014].
Tersedia dari: URL: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/147/jtptunimus-gdl-lutfilkhak-
7335-1-babi.pdf
5. Anestesi [Internet]. 2015. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi
6. Gede M, Senapathi T.G.A, Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta. PT Indeks.
2010.
7. Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2010.
8. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio, Dachlan Ruswan. Anestesiologi. Jakarta. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004
9. Pradana A, Usyinara. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Aesculapius; 2009
10. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone; 2007.
11. Solomon L, Apley AG. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi Ke-7.
Jakarta: Widya Medika; 1995.
12. Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong, Wim (Editor). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta: EGC.
13. Supardi Sabroto. Ortopedi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, 2009. Jakarta. Penerbit:
Bagian Ilmu Bedah Universitas Indonesia.
38