Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan


nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. 1 Istilah anestesi
dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan
Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau
sensasi nyeri. Secara harfiah anestesi berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti
yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan.
Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai
atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang
berkaitan dengan pembedahan.1,2
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid),
anestesi epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan
secara luas di bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah
dan operasi abdomen bagian bawah. Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural,
subarakhnoid) ialah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid
akan memblok konduksi impuls syaraf. Terdapat tiga bagian syarat yaitu motor, sensori dan
autonom.1,2,3
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat
pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral . Anastesi
memungkinkan pasien untuk mentolelir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa
sakit tak tertahankan yang berpotensi meyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim,
dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. 1,2,3
Pada tindakan pembedahan yang memerlukan waktu dan tindakan yang luas
digunakan anastesi umum. Sama halnya pada pembedahan ortopedi, seperti ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) yang merupakan sebuah prosedur bedah medis, yang
tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang seperti yang diperlukan
untuk beberapa patah tulang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur.
2.1.1. Definisi Fraktur
Menurut Usyinara Pradana. A dalam buku Kapita Selekta Kedokteran 2009,
Fraktur atau patah tulang didefinisikan sebagai gangguan kontinuitas jaringan tulang, tulang
rawan (sendi) dan lempeng epifisis yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.9 Sedangkan
menurut Supardi Sabroto (2009) dalam buku Ajar Ilmu Bedah Ortopedi serta Sjamsuhidajat,
R dan Wim de Jong buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 (2005) mendefinisikan fraktur adalah
hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat
total maupun yang parsial. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan
tekanan terutama tekanan untuk membengkok, memutar dan tarikan. 9,12,13
Fraktur dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin. Fraktur adalah masalah
yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus mudik dan arus
balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang sangat banyak
yang sebagian korbannya mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga
yang banyak menyebabkan fraktur. Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat
mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang
mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia pergi ke dukun
pijat, mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir.
2.1.2. Klasifikasi Fraktur
a). Klasifikasi Berdasarkan Etiologis
Fraktur Traumatik (trauma yang terjadi mendadak)
Fraktur Patologis (kelemahan tulang akibat kelainan patologis dalam tulang)
Fraktur Stress (trauma yang terjadi terus menerus pada suatu tempat)
Penyebab terjadinya fraktur dapat disebabkan oleh adanya kekersan yang terjadi secara
langsung, tidak langsung ataupun akibat tarikan otot
- Kekerasan Langsung, dapat menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Biasanya bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring
- Kekerasan Tidak Langsung, dapat menyebabkan patah tulang pada tempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan.
- Kekerasan Akibat Tarikan Otot, biasanya jarang terjadi. Kekuatannya dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan atau kombinasi dari ketiganya

2
b). Klasifikasi Klinis
- Fraktur Tertutup : Fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia
luar
- Fraktur Terbuka : Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak
- Fraktur dengan Komplikasi : Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya
malunion, delayed union, nonunion dan infeksi tulang.
Non union, dibagi menjadi:
Hypervascular (Hypertrofi)
Callus dibentuk berlebihan, pasokan darah meningkat sampai ke ujung tulang
Atrofi
Ujung fragment menjadi atropi
Pasokan darah sedikit sampai ke ujung fragment.
secara khas dilihat pada fraktur tibia.
Oligotrophic (Hypotrophic):
Callus tidak terbentuk
Secara khas terjadi setelah jarak fraktur yg besar.

c). Klasifikasi Radiologis :


- Berdasarkan Lokalisasi
1. Diafisis
2. Metafisis
3. Intra-Artikuler
4. Fraktur dengan dislokasi
- Berdasarkan Posisi Fraktur
1/3 Proksimal
1/3 Medial
1/3 Distal

- Berdasarkan Konfigurasi
1. Fraktur Transversal
2. Fraktur Oblique
3. Fraktur Spiral
4. Fraktur Pecah (Brust)

3
- Berdasarkan jumlah garis patah :
1. Fraktur Komunitif yaitu fraktur dimana terdapat garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan
2. Fraktur Segmental yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu namun tidak
saling berhubungan
3. Fraktur Multiple yaitu fraktur dimana terdapat garis patah lebih dari satu
namun tidak pada tulang yang sama
- Berdasarkan hubungan antara fragmen dengan fragmen yang lain :
1. Undisplaced (tidak bergeser)
2. Displaced (bergeser) dengan enam (6) cara yaitu Berkesampingan, Angulasi,
Rotasi, Over-riding dan Impaksi

Berdasarkan fragmen tulang yang terpisah, fraktur dapat digolongkan


menjadi fraktur komplet dan inkomplet. Pada fraktur komplet, tulang terpisah
menjadi dua fragmen atau lebih. Berdasarkan garis frakturnya, fraktur komplet
dapat digolongkan sebagai berikut :
Fraktur transversal.
Fraktur oblik atau spiral.
Fraktur segmental.
Fraktur impaksi, dan
Fraktur komunitif.
Fraktur dikatakan inkomplet apabila tulang tidak terpisah seluruhnya dan
periosteum tetap intak. Fraktur inkomplet dapat digolongkan menjadi:
Fraktur bucle atau torus.
Fraktur greenstick (pada anak-anak), serta
Fraktur kompresi.

2.1.3. Perubahan Struktural Akibat Fraktur


Fraktur menyebabkan perubahan pada arsitektur tulang, terutama pada fraktur
komplet. Perubahan yang terjadi disebut displacement. Displacement harus
dideskripsikan secara lengkap dengan menyebutkan unsur-unsur berikut:
Translasi : pergeseran ke samping, depan, atau belakang.
Angulasi : perubahan sudut antara fragmen dengan bagian proksimalnya.
Rotasi : perputaran tulang, sepintas tulang tetap lurus namun pada bagian distal
tampak deformitas rotasional.
Panjang : fragmen tulang dapat menjauh atau memendek karena spasme otot.
4
2.1.4. Deskripsi Fraktur
Deskripsi fraktur yang baik harus menyebutkan lokasi, eksten, konfigurasi, hubungan
antarfragmen, hubungan antara fraktur dengan dunia luar, dan ada tidaknya
komplikasi sesuai dengan urutan sebagai berikut :
Lokasi : diafisis, metafisis, epifisis, intraartikular, fraktur-dislokasi (selain fraktur
juga terdapat dislokasi pada sendi yang bersangkutan).
Nama tulang beserta posisi (kiri atau kanan) jika terjadi pada tulang ekstremitas.
Ekstensi : komplet atau inkomplet, sesuai klasifikasi.
Konfiguraasi : transversal, oblik, spiral, komunitif.
Hubungan fragmen fraktur yang satu dengan lainnya : sesuai nomenklatur
displacement di atas.
Komplikasi : baik lokal ataupun sistemik, diakibatkan oleh cedera itu sendiri, atau
iatrogenik.

2.1.5. Diagnosis Fraktur


a) Anamnesis
Pasien dengan trauma ringan maupun berat diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya rasa
nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, dan kelainan
gerak. Pada pemeriksaan awal perlu diperhatikan tanda-tanda syok, anemia atau
adanya perdarahan. Perhatikan ada tidaknya kerusakan pada organ-organ lain.12,13
Mekanisme terjadinya cedera harus selalu ditanyakan kepada pasien secara
rinci. Gejala yang dirasakan, seperti nyeri dan bengkak harus diperhatikan. Perlu
diingat bahwa daerah yang mengalami trauma tidak selalu merupakan daerah
fraktur. Selain itu, jangan hanya terpaku pada satu cedera utama. Perlu diperhatikan
apakah ada trauma atau keluhan di daerah lainnya.

b) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi (LOOK)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum pasien secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Ada tidaknya luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
- Perhatikan adanya deformitas (angulasi, rotasi, shortening)
- Perhatikan seluruh bagian tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
5
- Perhatikan keadaan vaskularisasi
Palpasi (FEEL)
Dilakukan secara hati-hati karena penderita mengeluh sangat nyeri.
Yang perlu diperhatikan adalah :
- Nyeri Tekan
- Krepitasi
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal (palpasi arteri radialis, arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena), temperature kulit dan warna kulit pada bagian distal daerah
trauma.

Pergerakan (MOVE)
Pergerakan dengan mengajak pasien untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan harus dilakukan dengan hati-hati. ROM (Range of joint
Movement) merupakan istilah untuk menyatakan batas/ besarnya gerakan sendi
dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau menyatakan
besarnya gerakan sendi yang abnormal. ROM pergerakan aktif dan ROM
pergerakan pasif.

c) Pemeriksaan Penunjang
Pada fraktur, pemeriksaan penunjang dasar berupa Roentgen sangatlah penting.
Foto yang baik harus mengikuti aturan dua
Dua sisi
Dua sendi,
Dua ekstremitas (terutama untuk pasien anak),
Dua jejas (di bagian proksimal jejas), serta
Dua waktu (foto serial).

2.1.6. Tata Laksana


2.1.6.1. Fraktur Tertutup
Tujuan dari penatalaksanaan fraktur adalah untuk menyatukan fragmen tulang yang
terpisah. Secara umum, prinsip dari tata laksana fraktur adalah reduksi, fiksasi, dan
rehabilitasi. Reduksi tidak perlu dilakukan apabila :
Fraktur tidak disertai atau hanya terjadi sedikit displacement,
6
Pergeseran yang terjadi tidak bermakna (misalnya pada klavikula), atau
Reduksi tidak dapat dilakukan (misalnya pada fraktur kompresi vertebra).
Reduksi tertutup harus dilakukan dengan anestesi dan relaksasi otot. Maneuver
reduksi tertutup dilakukan secara spesifik untuk masing-masing lokasi, namun pada
prinsipnya reduksi tertutup dilakukan dengan tiga langkah berikut:
Menarik bagian distal searah dengan sumbu tulang.
Reposisi fragmen ke tempat semula, dengan gaya berlawanan dari gaya
penyebab trauma
Menyusun agar fragmen terletak secara tepat di masing-masing bidang.
Reduksi terbuka pada fraktur tertutup diindikasikan pada kondisi-kondisi berikut :
Ketika reduksi tertutup gagal.
Terdapat fragmen articular yang besar, atau
Untuk traksi pada fraktur dengan fragmen yang terpisah.

2.1.6.2. Fraktur Terbuka


Tata laksana fraktur terbuka bergantung pada derajat fraktur. Klasifikasi derajat
fraktur terbuka yang banyak digunakan adalah klasifikasi Gustilo.
Tipe I : luka kecil, bersih, pin point atau kurang dari 1 cm. cedera jaringan lunak
minimal tanpa remuk. Fraktur yang terjadi bukan fraktur komunitif.
Tipe II : luka dengan panjang >1cm, tanpa hilangnya kulit penutup luka. Cedera
jaringan lunak tidak banyak. Remuk dan komunion yang terjadi sedang.
Tipe III : laserasi luas, kerusakan kulit dan jaringa nlunak yang hebat, hingga
kerusakan vaskuler.
o IIIA : laserasi luas namun tulang yang fraktur masih dapat ditutup oleh
jaringan lunak.
o IIIB : periosteal stripping ekstensif dan fraktur tidak dapat ditutup tanpa
flap.
o IIIC : terdapat cedera arteri yang memerlukan penanganan khusus (repair),
dengan atau tanpa cedera jaringan lunak.

Berdasarkan tanda manajemen fraktur terbuka pada ektremitas bawah oleh British
Orthopaedic Association dan British Association of Plastic, Reconstrutive anda
Aesthetic Sugeons 2009, fraktur terbuka semua derajat harus mendapatkan antibiotik
dalam 3 jam setelah trauma. Antibiotic yang menjadi pilihan adalah ko-amoksiklav
atau sefuroksim. Apbila pasien alergi golongan penisilin, dapat diberikan
klindamisin. Pada saat debridemen, antibiotic gentamisin ditambahkan pada regimen
tersebut.

2.2. Jenis-Jenis Fraktur


2.2.1. Fraktur Galeazzi
2.2.1.1. Pengertian Fraktur Galeazzi
7
Fraktur Galeazzi pertama kali diuraikan oleh Riccardo Galeazzi (1935), yaitu fraktur
distal radius disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal. Terjadinya
fraktur ini biasanya akibat trauma langsung sisi lateral ketika jatuh.9,10,11
Gambaran klinisnya bergantung pada derajat dislokassi fragmen fraktur. Bila
ringan, nyeri dan tegang hanya dirasakan pada daerah fraktur, bila berat, biasanya
terjadi pemendekan lengan bawah.9,10,11
2.2.1.2. Etiologi fraktur Galeazzi
Etiologi dari fraktur Galeazzi diduga akibat jatuh yang menyebabkan beban aksial
ditumpukan pada lengan bawah yang hiperpronasi.9,10
2.2.1.3. Gambaran Klinis
Terdapat gejala fraktur dan dislokasi pada daerah distal lengan bawah. Adanya
tonjolan tulang atau nyeri pada ujung ulnar adalah manifestasi yang paling sering
ditemukan. Nyeri dan edema pada jaringan lunak bisa didapatkan pada daerah
fraktur radius 1/3 distal dan pada pergelangan tangan. Cedera ini harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan radiologi.
2.2.1.4. Pemeriksaan Radiologis
Dengan pemeriksaan rontgen diagnosis dapat ditegakkan. Foto radiologi lengan
bawah posisi anteroposterior (AP) dan lateral diperlukan untuk menegakkan
diagnosis. Foto radiologi ekstremitas kontralateral bisa diambil untuk perbandingan.
2.2.1.5. Penatalaksanaan fraktur Galleazi
Fraktur bersifat tidak stabil dan terdapat dislokasi sebaiknya dilakukan
operasi dengan fiksasi interna. Pada fraktur Galeazzi harus dilakukan reposisi secara
akurat dan mobilisasi segera karena bagian distal mengalami dislokasi. Dengan
reposisi yang akurat dan cepat maka dislokasi sendi ulna distal juga tereposisi
dengan sendirinya. Apabila reposisi spontan tidak terjadi maka reposisi dilakukan
dengan fiksasi K-Wire. Operasi terbuka dengan fiksasi rigid mempergunakan plate
dan screw.9,10,11
Open reduction internal fixation merupakan terapi pilihan, karena closed
treatment dikaitkan dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Fiksasi plate dan screw
adalah terapi pilihan.9,10,11

2.2.2. Neglected Fracture


2.2.2.1. Pengertian Neglected Fracture

8
Neglected Fracture adalah suatu fraktur dengan dislokasi yang ditangani dengan
tidak semestinya sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan,
atau kondisi yang lebih buruk bahkan kecacatan. 9,10,11
2.2.2.2. Klasifikasi
1) Neglected fraktur berdasarkan waktu
Derajat 1: fraktur yang telah terjadi antara 3 hari 3 minggu
Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu 3 bulan
Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan 1 tahun
Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1 tahun
2) Berdasarkan pada beratnya kasus akibat dari penanganan patah tulang
sebelumnya, diklasifikasikan menjadi.
Neglected derajat satu
Bila pasien datang saat awal kejadian maupun sekarang, penengananya
tidak memerlukan tindakan operasi dan hailnya sama baik
Neglected derajat dua
Keadaan dimana apabila pasien datang saat awal kejadian, penangannya
tidak memerlukan tindakan operasi, sedangkan saat ini kasusnya menjadi
lebih sulit dan memerlukan tindakan opeasi. Setelah pengobatan, hasilnya
baik
Neglected derajat tiga
Keteterlambatan menyebabkan kecatatan yang menetap bahkan setelah
dilakukan opersai.. jadi pasien datang saat awal maupun sekarang tetap
memerlukan tidakan opersi dan hasilnya kurang baik.
Neglected derajat empat
Keterlambatan disini sudah mengancam nyawa atau bahkan menyebabkkan
kematian pasien. Pada kasus ini penangannya memerlukan tindakan
amputasi.

2.3. Jenis Pembedahan


Prinsip penatalaksanaan fraktur adalah recognition, reduction, retentention
dengan imobilisasi dan rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin. Penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan
gips atau dilakukan operasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation). 9,10,11
2.3.1. Tujuan pengobatan fraktur
2.3.1.1. Reposisi
Dengan tujuan mengembalikan fragmen ke posisi anatomi. Teknik reposisi terdiri
dari reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka
yang dilakukan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen
bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel dan fraktur patologis. 9,10,11
2.3.1.2. Imobilisasi / Fiksasi
9
Dengan tujuan memepertahankan posisi fragmen post reposisi samapai union.
Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan, fraktur unstabel serta
kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar. 9,10,11
2.3.2. Penatalaksanaan fraktur melalui tindakan operatif
Fraktur bersifat tidak stabil dan terdapat dislokasi sebaiknya dilakukan operasi
dengan fiksasi interna. Pada fraktur Galeazzi harus dilakukan reposisi secara akurat
dan mobilisasi segera karena bagian distal mengalami dislokasi. Dengan reposisi yang
akurat dan cepat maka dislokasi sendi ulna distal juga tereposisi dengan sendirinya.
Apabila reposisi spontan tidak terjadi maka reposisi dilakukan dengan fiksasi K-Wire.
Operasi terbuka dengan fiksasi rigid mempergunakan plate dan screw.9,10,11
2.3.2.1. Internal ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
a. Definisi
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah sebuah prosedur bedah
medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang,
seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu
pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkkan atau memfasilitasi
penyembuhan.
ORIF adalah suatu tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan
teknik pembedahan yang mencakup didalamnya, menggunakan K-wire, Plating,
screw, K-nail. Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini
tanpa fiksasi luar. Bila dipasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan
fraktur dengan aman sehingga gerakan dapat segera dilakukan. Semakin segera
gerakan dapat dilakukan, semakinbrendah pula risiko terjadinya kekakuan dan
edema. Dalam hal kecepataan, pasien dapat meninggalkan rumah sakit segera
setelah luka sembuh, dikarenakan fraktur yang terjadi dipertahankan dengan
jembatan logam.
b. Indikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Fraktur yang tidak dapat sembuh atau bahaya avascular nekrosis tinggi
(fraktur talus dan fraktur collum femur)
Fraktur yang tidak bisa reposisi tertutup (fraktur avulse dan fraktur
dislokasi)
Fraktur yang direposisi tapi sulit dipertahankan (fraktur Galleazi, fraktur
antebrachii).
Fraktur yang dengan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan
operasi.
UNION
Rehabilitasi
10
c. Kontrandikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
Jaringan lunak diatasnya berkulaitas buruk
Terdapat infeksi
Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.

d. Keuntungan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar
Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf disekitarnya.
Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai
Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi.
Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal serta
kekuatan otot selama perawatan fraktur.
e. Kerugian ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Setiap anestesi dan operasi mempunyai risiko komplikasi bahkan kematian
akibat dari tindakan tersebut.
Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan
pemasangan gips atau traksi.
Penggunaan stabilissi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu
sendiri.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan
struktur yang sebelumnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong
atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) atau reduksi terbuka dengan fiksasi
internal akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukan paku, skerup atau pen ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi
bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan.

2.4. Anestesi Umum Pada Operasi Neglegted Galleazi Fracture


2.4.1. Definisi Anastesi Umum
Anastesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien di berikan obatobatan untuk amnesia, analgesia, elumpuhan
otot, dan sedasi. Pada pasien yang diberikan anastesi dapat dianggap berada dalam
keadaan ketikdaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anastesi memungkinkan
pasien untuk mentolelir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan yang berpotensi meyebabkan perubahan fisiologis yubuh yang ekstrim, dan
menghasilkan kenangan yang tidak meyenangkan. Komponen anatesi yang ideal terdiri
dari : 1. Hipnotik, 2. Analgesik, 3. Relaksasi otot.
Anastesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana kan dilakukan operasi.
11
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anastesi umum mungkin tidak selalu menjadi
pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien. Suatu keadaan tidak sadar
yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat
pemberian obat anestesia.5,6,7,

2.4.2.Metode Anastesi Umum


2.4.2.1. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular bisaanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anestesia. 5,6,7,8
2.4.2.2. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun
tindakan singkat. 5,6,7
2.4.2.3. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent)
dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantunug dari
tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial yang
rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat. 5,6,7,8

2.4.3. Obat Anestesia


Obat-obat anestetika adalah obat-obat yang mempunyai khasiat: sedasi atau hypnosis,
analgesia, dan/atau relaksasi. Obat-obat anestetika dapat digolongkan menjadi: 5,6,7,8
- Golongan obat premedikasi
- Golongan obat anestesia intravena
- Golongan obat anestesia inhalasi
- Golongan obat analgesia lokal
- Golongan obat pelumpuh otot

2.4.3.1. Golongan obat premedikasi


Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik, sedatif, dan
analgetik. Tujuan dari premedikasi adalah mennimbulkan rasa nyaman bagi pasien,
mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus, mempermudahkan/
memperlancar induksi, mengurangi dosis obat anestesia, mengurangi rasa sakit dan
kegelisahan pasca bedah. 5,6,7,8
Obat-obat yang sering digunakan adalah obat antikolinergik (sulfas atropin,
skopolamin), obat sedatif (derivat fenothiazin, derivat benzodiazepin, derivat
butirofenon, derivat barbiturat, antihistamin), obat analgetik narkotik. 5,6,7,8
12
2.4.3.2. Golongan obat anestesia intravena
Obat anestesia intravena adalah obat anestesia yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah masuk kedalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju ke target
organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan, sesuai dengan farmakokinetiknya
masing-masing. Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka semua obat-obat yang
diberikan selama induksi dan pemeliharaan yang mempunyai khasiat hipnotik,
analgesia dan pelumpuh otot, termasuk di dalamnya. 5,6,7,8
Obat-obat anestesia intravena yang sampai saat ini ada adalah : 5,6,7,8
- Thiopentone
- Diazepam
- Dehidrobenzperidol
- Fentanil
- Ketamin klorida
- Midazolam
- Propofol
Obat-obat tersebut di atas dapat digunakan untuk premedikasi, induksi
anestesia, pemeliharaan, obat tambahan pada tindakan analgesia regional, anestesia
tunggal. 5,6,7,8
2.4.3.3. Golongan obat anestesia inhalasi
Obat-obat anestesia inhalasi adalah obat-obat anestesia yang berupa gas atau
cairan mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas
atau uap obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi
seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler pare sesuai
dengan sifat masing-masing gas. Konsentrasi minimal fraksi gas atau uap obat
anestesia di dalam alveoli yang sudah menimbulkan efek analgesia pada pasien,
dipakai sebagai satuan potensi dari obat anestesia inhalasi disebut dengan MAC
(Minimal Alveolar Consentration). 5,6,7,8
Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2 macam yaitu:
obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah menguap, yaitu:
derivat halogen hidrokarbon (halotan, trikholroetilin, khloroform), derivat eter (dietil
eter, metoksifluran, enfluran, isofluran). Dan obat anestesia umum yang berupa gas,
yaitu: nitrous oksida dan siklopropan.

2.4.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum5,6,7,8


2.4.4.1. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:
13
Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial.
2.4.4.2. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada
darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena.
Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali
melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.Aliran
darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
2.4.4.3. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan. Koefisien
partisi jaringan/darah.
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh
darah/JSPD)
2.4.4.4. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
2.4.4.5. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi. Curah
jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman
anestesia.Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.

2.4.5. Keuntungan Anestesi Umum5,6,7,8


- Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
- Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local
- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
14
- Dapat diberikan dengan cepat.
- Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang.

2.4.6. Kekurangan Anestesi Umum5,6,7,8


- Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien.
- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental
yang normal.
- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen
anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.

2.4.7. Indikasi Anestesi Umum5,6,7,8


- Infant dan anak usia muda
- Dewasa yang memilih anestesi umum
- Pembedahan luas
- Penderita sakit mental
- Pembedahan lama
- Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
- Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi local
- Penderita dengan pengobatan antikoagulan

2.5. Prosedur Anestesi Umum


2.5.1. Persiapan Pra Anestesi Umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan
sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah
elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu
yang tersedia lebih singkat. 5,6,7,8
Tujuan kunjungan pra anestesi: 5,6,7,8
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan
fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi
dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.
a. Persiapan Pasien5,6,7,8
15
- Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan
psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit
paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan
hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati,
dan penyakit ginjal.
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit
jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino
oxidase inhibitor, bronkodilator.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali,
dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti
kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
Kebisaaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.

- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.

- Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah dilakukan anamnesis,
16
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana
mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes
mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya
komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
- Kebugaran Untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.

- Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

- Klasifikasi Status Fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok
atau kategori sebagai berikut:

ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.


ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

17
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
- Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. 5,6,7,8
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. 5,6,7,8

b. Persiapan Peralatan Anestesi5,6,7,8


- Mesin Anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas
anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh
pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi
sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur
oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi
persyaratan berikut:
Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
Ruang rugi (dead space) minimal
Mengeluarkan CO2 dengan efisien
Bertekanan rendah
Kelembaban terjaga dengan baik
Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari: 5,6,7,8
- Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
18
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau
dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar bisaanya menyediakan
O2, N2O, dan udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah
sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang obstetrik, dll.
- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2
berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai
karakteristik mesin anestesi.
- Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai
35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang
telah disepakati ialah:

Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran


Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru Kuning
hitam abu
kuning

- Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat
yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari
mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2
dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya
dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea

19
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-
off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk.
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang
mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
- Sungkup Muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas
anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup
trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan
mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan
untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan
nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi
yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, bisaanya
mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya
pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada
minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas. 5,6,7,8
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan
sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan
manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi
atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan
digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien. 5,6,7,8
- Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke
trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan
kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara
tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang
tabung dan kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa
diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa
diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24 cm. 5,6,7,8
- Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat
pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada
pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.
20
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan
insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi
faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau
komplians paru rensah seperti penyaki jalan nafas restriktif.

2.6. Teknik Anestesia5,6,7,8


2.6.1. Teknik anestesia nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi:
Untuk tindakan yang singkat (30-60 menit) tanpa membuka rongga perut
Keadaan umum pasien cukup baik (ASA 1 atau 2)
Lambung harus kosong
Obat yang biasa dipersiapkan lebih dahulu. Tiopental 2.5% (dosis 4-6mg/kgBB).
Selalu diperhatikan agar tidak menyuntik diluar vena. Kalau ada segera hentikan
penyuntikan dan mencari vena lain. Tingkat kedalaman anestesia dinilai dari refleks
bulu mata. Tiopental disuntik sampai refleks ini hilang. Cadangan tiopental harus
selalu disediakan untuk ditambahkan kalau ternyata dosis awal tidak mencukupi.

2.6.2. Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakea


Pipa endotrakea dapat dimasukan melalui oro atau nasotrakea. Rata-rata yang
digunakan no. 7.5 untuk pipa orotrakea dan no.7 untuk pipa nasotrakea. Untuk anak
ukuran ini rata-rata sebesar jari kelingking.
Indikasi:
Operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesia dengan
sungkup muka. Persiapan obat: selain tiopental harus disediakan obat pelemas otot
jangka pendek: suksinil-kolin 2% dan pelemas otot jangka panjang: pavulon
4mg/ampul atau alkuronium (alloferin) 10 mg/ampul.

2.6.3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali


Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan 10ml/kgBB dengan frekuensi
10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual harus diperhatikan
pergerakan dada kanan kiri yang simetris.

2.6.4. Ekstubasi

21
Mengangkat keluar pipa endotrakea harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang
otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis. Ekstubasi dapat
dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul atau menunggu sewaktu
pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak dalam. Dengan cara terakhir
dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut, dada dan jalan nafas.

2.7. Anastesi Pada Pembedahan Brakial


Operasi brakial mungkin bisa secara terbuka atau dengan arthroscopic. Prosedur ini
jarang dilakukan secara posisi duduk (beach chair) atau kurang umum, posisi lateral
dekubitus. Posisi kursi pantai mungkin berhubungan dengan penurunan perfusi serebral
yang diukur dengan oxymetri; kasus kebutaan, stroke, dan bahkan kematian otak telah
dijelaskan, menekankan kebutuhan secara akurat mengukur tekanan darah pada tingkat
orak. Saat meenggunakan pemantauan tekanan darah non invasive, manset harus
diterapkan pada lengan atas karena pembacaan tekanan darah sistolik dari betis dapat
40mmHg lebih tinggi dari pembacaan brakialis pada pasien yang sama. Jika dibedah
diminta hipotensi dikendalikan, dianjurkan pasang infus untuk monitoring tekanan
darah yang invasive, dan transduser harus diposisikan setinggi jantung atau lebih baik,
batang otak (meatus externa dari telinga).
Blok Plexus brakialis yang tidak sama menggunakan ultrasound atau rangsangan listrik
sangat ideal untuk prosedur brakial. Pendekatan supraclavicular juga dapat digunakan.
Bahkan ketika anestesi umum digunakan, sebuah blok interscalene dapat suplemen
anestesi dan memberikan analgesia pasca operasi yang efektif. Intensitas relaksasi otot
biasanya diperlukan untuk operasi brakial yang besar selamat anestesi umum, terutama
bila tidak dikombinasikan dengan blok plexus brakialis.
Pra operatif dimasukan dari tempat infus perineural dengan infus berikutnya dari
larutan anestesi lokal memungkinkan analgesia pasca operasi selama 48-72 jam dengan
sebagian besar penampungan tetap suntik dipoma mengikuti arthroscopic atau operasi
brakial secara terbuka. Dengan kata lain, ahli bedah dapat memasukan infus akromial
untuk memberikan anestesi lokal secara terus menerus dari analgesia post operatif.
Penempatan langsung infus intraartikular ke dalam glenohumeral sendi dengan infus
bupivacain telah dikaitkan dengan post arthroscopic glenohumeral chondrolysis dalam
studi retrospektif manusia dan hewan dan saat ini tidak direkomendasikan. Anestesi
multimodal, termasuk NSAIDs sistemik (jika tidak ada kontraindikasi) dan infus

22
anestesi lokal pada periode perioperatif, dapat membantu mengurangi kebutuhan opioid
post operatif.

2.8. Anastesi Umum Pada Pembedahan Ortopedi Khususnya ORIF


Anastesi merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali, dan komponen trias ideal
anastesi, hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Pada pembedahan ortopedi, ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) yang mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur
tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal dengan
sekrup dan piring untuk mengaktifkkan atau memfasilitasi penyembuhan. 5,6,7,8
Penggunaan anastesi umum pada ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
merupakan pilhan untuk anastesi yang adekuat pada tindakan pembedahan yang
memerlukan tindakan yang lama, mengurangi kesadaran pasien intraoperatif, dapat
disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga, memfasilitasi kontrol
penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi, seperti pada ORIF yang
dilakukan pemasangan K-Wire pada Neglegted Galleazi Fracture.5,6,7,8
Indikasi penggunaan anastesi umum pada ORIF (Open Reduction Internal
Fixation), apabila pasien tidak menolak penggunaan anastesi umum, pembedahan pada
ekstremitas atas. Fraktur yang direposisi tapi sulit dipertahankan (fraktur Galleazi,
fraktur antebrachii). Fraktur yang dengan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi. mobilisasi dini tanpa fiksasi luar, kelitian reposisi fragmen-fragmen
fraktur, kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf disekitarnya, stabilitas
fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai, perawatan di RS yang relatif singkat pada
kasus tanpa komplikasi, potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati
normal serta kekuatan otot selama perawatan fraktur. 5,6,7,8
Kekurangan anestesi umum, memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi
pasien, terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang
normal, terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen
anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia. Setiap anstesi dan operasi
mempunyai risiko komplikasi bahkan kematian akibat dari tindakan tersebut.
Pada tindakan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) pada Neglegted
Galleazi Fracture terdapat resiko yang dapat terjadi diantaranya, penanganan operatif
memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan pemasangan gips atau traksi,
23
penggunaan stabilissi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu sendiri,
pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur yang
sebelumnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami
kerisakan selama tindakan operasi.

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Y. W
Umur : 34 tahun
/Alamat : Polimak I
BB : 65 Kg
TB : 165 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Ruangan : Ortopedi
Tanggal masuk rumah sakit : 23 Mei 2016
Tanggal operasi : 25 Mei 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Lengan bawah tangan sebelah kiri terasa nyeri dan bengkak.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan kiriman dari poli ortopedi RSU Dok II dengan neglected
Galeazzi fracture sinistra dan direncanakan dilakukan ORIF. Pasien memiliki riwayat
jatuh 1 bulan sebelum masuk rumah sakit dengan posisi tangan kiri menyangga tubuh
pasien saat terjatuh. Setelah terjatuh pasien tidak langsung memeriksakan dirinya ke
rumah sakit. Pasien akhirnya memeriksakan diri ke poli ortopedi karena tangan kiri yang
digunakan untuk menyangga tubuh pasien saat jatuh masih tetap terasa nyeri dan
membengkak.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Hipertensi (-), Asma (-), DM (-), penyakit jantung (-), riwayat alergi obat (-).

Riwayat Obat Yang Diminum:


Riwayat mengkonsumsi obat-obatan disangkal oleh pasien.
Riwayat Alergi:
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal oleh pasien.

25
Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya:
Pasien belum pernah menjalani operasi dan belum pernah menggunakan obat-obatan
anestesi sebelumnya.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 65 kg

Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/m
Respirasi : 20 x/m
Suhu badan : 36.50C
Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Hidung : Deformitas (-)
Telinga : Deformitas (-)
Mulut : Deformitas (-), mallampati I
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru : Suara napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak
ada,
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak
ada
Abdomen : Cembung, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema ada dilengan kiri bagian bawah

26
Status Lokalis
Regio Antebrachii Sinistra
Inspeksi : Tampak terbungkus verban, rembesan (-), udem (+), deformitas (+)
Feel : Nyeri (+)
Move : Gerak aktif terbatas

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 23 Mei 2016
Hemoglobin 15,7 g/dl
Leukosit 5.220/mm3
Trombosit 241.000/mm3
CT 830
BT 230

Foto Rontgen AP/Lateral

3.5 Konsultasi Bidang Yang Terkait


Pada pasien ini tidak dilakukan konsultasi ke bagian lainnya.
3.6 Status Anestesi
3.6.1 Persiapan Anestesi
Informed consent, Surat Ijin Operasi, Persiapan darah (1 kantong), pasang IV line
dan pastikan IV line mengalir dengan lancar, ganti baju, transportasi, pasang
monitor, dan dilaporkan ke supervisor.

3.6.2 Laporan Anestesi

PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 25/05/2016
Ahli Anestesiologi : dr. A. Sp.An
27
Ahli Bedah : dr. F
Diagnosa Pra Bedah : Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
Diagnosa Pasca Bedah : Post ORIF Neglected Galeazzi Fracture Sinistra

Keadaan Pra Bedah


KU : Tampak baik
Makan terakhir : 10 jam yang lalu
TB : 165 cm
BB : 65 Kg
TTV : TD :120/70 mmHg, N: 82 x/m, SB: 36,5oC
SpO2 : 100 %
B1 Airway bebas, malampati score : I, gigi palsu (-), gigi
goyah (-), thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 20
:
x/m, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-,
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilarry Refill Time
: < 2 detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis
-/-
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15 (E4V5M6),
:
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 Terpasang DC, produksi urin pre op 200 cc, warna
:
kuning jernih.
B5 Perut tampak datar, nyeri tekan (-), BU (+) normal,
:
hepar dan lien tidak teraba membesar
B6 Akral hangat (+), edema (+) diregio antebrachii
:
sinistra, fraktur galeazzi sinistra (+)

Medikasi Pra Bedah : 1. Sedacum 3 ml


2. Fentanil 100 ml
Jenis Pembedahan : Pemasangan internal fiksasi
Lama Operasi : 2 jam 20 menit (09.30-11.50 WIT)
Jenis Anestesi : General Anestesi
Anestesi Dengan : Isoflurance 2%
Teknik Anestesi : Pasien ditidurkan preoksigenasi 5 menit induksi
intubasi apnea pasang ETT no. 7.5 cuff (+)
dada terangkat kiri dan kanan
28
Pernafasan : Controlled Respiration
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -
Tanda vital pada akhir : TD: 130/80 mmHg, N:80 x/m, SB: 36,7, RR: 18 x/m,
pembedahan SpO2: 99%
Medikasi : Durante operasi:
- Fentanil 50 mg
- Recofol 70 mg
- Dexamethason 10 ml
- Ondansentron 4 ml
- Ranitidin 50 mg
- Recofol 30 mg

3.7 Laporan Operasi


Nama Pasien : Tn. Y W
Umur : 34 tahun
Nama Ahli Bedah : dr. F
Nama Perawat : Br. Timo
Nama Ahli Anestesi : dr. Albinus Cobis, Sp.An., M.Kes
Jenis Anastesi : General Anestesi
Diagnosis Pre Operatif : Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
Diagnosis Post Operatif : Post ORIF Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
Tanggal Operasi : 24 Mei 2016 pukul 09.30

Laporan Operasi:
1. Pasien berbaring supine dalam anastesi GA
2. Dilakukan teknik sepsis antisepsis dan drapping prosedur
3. Area operasi dipersempit dengan duk steril
4. Identifikasi lapangan Operasi
5. Cuci dengan H2O2 dan NaCl 0,9%
6. Reduksi fraktur dan fiksasi dengan sekrup + bar internal fiksasi sit
7. Jahit lapis demi lapis
8. Pasang back slab
9. Operasi selesai

29
Instruksi Post Operasi
1. IVFD RL/8 jam
2. Inj. Metronidazole 3x500 mg
3. Inj. Ceftiakson 2 x 1 gr
4. Inj. Ketorolac 3x1 amp

3.8 Observasi Durante Operasi


Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Balance Cairan
Waktu Input Output
Pre operasi RL : 1000 cc IWL : 650 cc
Urin : 100 cc
Durante operasi RL : 500 cc Urin : 200 cc
Gelofussion : 500 cc Perdarahan : 200 cc
Total 2000 cc 1150 cc

3.9 Terapi Cairan Perioperatif


Pasien laki - laki 23 tahun dengan BB 65 kg dan TB 165 cm
a. Pre Operatif

30
1. Kebutuhan:
Maintenance dan replacement (puasa 10 jam):
Cairan:
40-50 cc/kgBB/hari 2600 3250 cc/hari
108 -135 cc/jam
1080 1350 cc/10 jam
Dapat diberikan RL 1000-1500 cc.
2. Aktual cairan yang diberikan : RL 1000 cc
b. Durante Operatif
1. Kebutuhan
Urin 200 cc, perdarahan 200 cc, IWL 650 cc
- Dehidrasi ringan : 3-5% x BB = 195 325 cc
- Pemeliharaan (operasi sedang) = 6 cc/kgBB/jam = 390 cc/jam
- EBV = 70 x kgBB (65 kg) 4550 cc
- EBL = % perdarahan x EBV = 200 cc 4% EBV
- Replacement :
Kristaloid 2-4 x EBL = 400 800 cc
Koloid 1 x EBL = 200 cc
2. Aktual Cairan yang diberikan: RL 500 cc + Gelofussion 500 cc = 1000 cc
Sudah mengganti jumlah yang hilang selama operasi

c. Post Operative
1. Kebutuhan:
Maintenance:
- Cairan : 40 -50 cc/kgBB/hari = 2600 -3250 cc/hari
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 130 - 260 mEg/hari
- Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 65 - 195 mEq/hari
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1625 kkal/hari
2. Actual cairan yang diberikan: RL 1500 cc/hari

3.10 Follow Up Post Operatif


Tanggal Pemeriksaan Planning
26/05/2016 S: Nyeri pada luka bekas operasi 5. IVFD RL/8 jam
O: 6. Inj. Metronidazole 3x500 mg
31
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR 7. Inj. Ceftiakson 2 x 1 gr
20x/menit, suara napas vesikuler, ronki -/-, 8. Inj. Ketorolac 3x1 amp
wheezing -/-
B2: perfusi hangat(+), kering(+), pucat(-),
CRT<2, TD 120/80 mmHg, Nadi
80x/menit, kuat angkat, regular, conjuntiva
anemis (-).
B3: Kesadaran CM, GCS E4V5M6, pupil
bulat isokor ODS 3 mm
B4; Tidak Terpasang DC, produksi urine (+)
warna kuning jernih. Urine tidak ditampung,
frekuensi BAK normal.
B5: Abdomen datar, BU (+), supel, NT (-)
B6 : edema (-), fraktur (+) 1/3 distal tibia et
fibula sinistra, tterbalut verban, rembesan
(-), nyeri (+), gerak aktif terbatas

A: Post pemasangan ORIF pada neglected


fracture galeazzi sinistra
27/05/2016 S: Nyeri pada luka bekas operasi 9. IVFD RL/8 jam
O: 10. Inj. Metronidazole 3x500
B1 : airway bebas, nafas spontan, RR mg
20x/menit, suara napas vesikuler, ronki -/-, 11. Inj. Ceftiakson 2 x 1 gr
wheezing -/-
12. Inj. Ketorolac 3x1 amp
B2: perfusi hangat, kering, pucat, CRT<2,
TD 120/80 mmHg, Nadi 88x/menit, kuat
Pasien Boleh Pulang
angkat, regular, conjuntiva anemis (-).
B3: Kesadaran CM, GCS E4V5M6, pupil
bulat isokor ODS 3 mm
B4; Tidak Terpasang DC, produksi urine (+)
warna kuning jernih. Urine tidak ditampung,
frekuensi BAK normal.
B5: Abdomen datar, BU (+), supel, NT (-)
B6 : edema (-), fraktur (+) 1/3 distal tibia et
fibula sinistra, tterbalut verban, rembesan
(-), nyeri (+), gerak aktif terbatas

32
A: Post pemasangan ORIF pada neglected
fracture galeazzi sinistra

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien, laki-laki usia 34 tahun pada kasus diatas akan dilakukan tindakan
pemasangan internal fiksasi dengan aneestesi umum atau general Anestesi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit saluran
pernapasan, riwayat penyakit kardiovaskular, alergi, maupun riwayat penyakit metabolic.
Berdasarkan hasil pemeriksaan preoperative tersebut, pasien tergolong pada PS ASA I sesuai
dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist.
Pasien dengan PS ASA I adalah pasien yang tidak memiliki gangguan organic, biokimia, dan
psikiatrik.5,6,7,8 Ini disimpulkan karena dari pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien
dalam keadaan stabil dan tidak didapatkan adanya gangguan sistemik yang dapat
mengganggu proses operasi dan anestesi.
Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan K-
WIRE dibawah anestesi umum dengan mengunakan inhalasi isofluran 2%. Anestesi
umum/general anestesi dipilih dengan pertimbangan kemungkinan tindakan pembedahan
yang akan berlangsung lama dan pembedahan pada pasien ini tidak dapat menggunakan
anestesi local karena tidak praktis dan ditakutkan hasil anestesi yang diharapkan tidak akan
memuaskan.6,7 Selain itu General Anastesi pada pembedahan memiliki beberapa keuntungan
yaitu pasien menjadi tidak sadar sehingga mencegah kesakitan selama prosedur medis
berlangsung, efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin memberikan trauma psikologis, serta
memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu yang lama. Keuntungan-
keuntungan anaestesi spinal tersebut menyebabkan tidak dipilihanya anestesi regional untuk
tatalaksana anestesi pada kasus ini. Hal ini disebabkan karena pada anestesi regional sebagian
besar pasien tetap sadar sehingga ditakutkan akan menyebabkan kecemasan pada pasien
karena akan tetap menyadari sedang dilakukannya tindakan pada anggota tubuhnya, anestesi
regional juga terkadang berisiko menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik selain itu

33
anestesi regional tidak dapat dijadikan pilihan pada operasi yang memakan waktu yang lama
seperti pada pasien yang menjalani operasi selama 2 jam 20 menit.5,6,7,8
Berdasarkan hal-hal diatas tersebut, maka pemilihan tatalaksana anestesi pada pasien
ini dengan menggunakan anestesi umum merupakan pilihan yang tepat.
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum dengan inhalasi
dan intravena. Untuk anestesi inhalasi digunakan Isofluran 2%. 6,7 Isofluran merupakan salah
satu halogenasi eter yang sering digunakan. Obat ini bekerja menekan pernapasan dan kurang
mempunyai pengaruh menekan jantung, dan tidak mencetuskan disritmia. Obat ini juga
hanya dimetabolisme sebanyak 0,2%, sehingga tidak menimbulkan toksisitas yang bermakna
pada hepar atau ginjal. Setelah induksi, obat anestesi intravena juga diberikan untuk rumatan
anestesi diantaranya fentanil dan propofol (recofol). Rumatan anestesi ini mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis), analgesia cukup, dan diusahakan selama pembedahan
pasien tidak mengalami nyeri dan diharapkan relaksasi otot lurik yang cukup. Fentanil
sebagai opioid diberikan dengan harapan akan menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
yang cukup dan pemberian Propofol pada pasien ini diberikan untuk memberikan efek
sedative dengan cepat.6,7
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing system organ dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.

Problem Actual Potensial Antisipasi


List
B1 Airway bebas, malampati Sumbatan jalan napas Penggunaan tampon,
score : I, gigi palsu (-), akibat aspirasi darah, ETT, O2 nasal atau
thoraks simetris, ikut gerak obstruksi oleh gigi masker sesuai saturasi
napas, RR: 20 x/m, perkusi: yang dicabut, dan O2, chin lift, suction
sonor, suara napas vesikuler jatuhnyapangkal bila perlu
+/+, ronkhi-/-, wheezing -/- lidah.
B2 Perfusi: hangat, kering, Hipovolemik, Resusitasi cairan,
merah. CRT < 2 detik, BJ: Overload, Bradikardia, monitoring vital sign
I-II murni regular, hipotensi, perdarahan
konjungtiva anemis -/-
B3 Kesadaran Compos Mentis, Penurunan kesadaran, Observasi kesadaran
GCS: 15 (E4V5M6), riwayat peningkatan TIK akibat (GCS), tanda-tanda
kejang (-), riwayat pingsan obat anestesi. TTIK
(-)
34
B4 Terpasang DC, produksi Retensi urin Rehidrasi, Monitoring
urin pre op 200 cc, warna produksi urin
kuning jernih
B5 Perut tampak datar, nyeri Risiko refluks Pemberian Ranitidin
tekan (-), BU (+) normal, gastroesofageal saat dan Ondansentron
hepar dan lien tidak teraba operasi.
membesar
B6 Akral hangat (+), edema (+) Posisikan pasien
diregio antebrachii sinistra dengan tepat

Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan mengenai
terapi cairan selama masa perioperative. Terapi cairan sendiri adalah tindakan untuk
memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus
krsitaloid atau koloid secara intravena.7,8
Dengan mempertimbangkan hal diatas dan berdasarkan perhitungan kebutuhan cairan
preoperative untuk maintenance dan sekaligus untuk mengganti deficit selama puasa 10 jam
dibutuhkan 1080 1350 cc/10 jam, maka dapat dilakukan terapi cairan untuk resusitassi
dengan cairan Ringer Laktat 1000 1500 cc sebelum pembedahan sehingga pemberian cairan
pre operatif berupa cairan RL 1000 cc cepat dan tepat.
Operasi pemasangan K_WIRE pada pasien dijalani selama 2 jam 20 menit dengan
total perdarahan 200 cc. perkiraan volume darah pada pasien (Estimaed Blood Volume/EBV)
adalah 70 cc x 65 kg yaitu 4550 cc, sehingga jumlah kehilangan darah (Estimated Blood
Loss/EBL) sekitar 200 cc atau sekitar 4% dari EBV. Jika dijumlahkan dengan jumlah urin
yang keluar selama operasi sebesar 200 cc dan IWL pasien 650 cc, maka pemberian actual
cairan yang diberikan pada pasien selama durante operasi berupa cairan kristaloid RL 500 cc
dan Gelofussion 500 cc dapat dikatakan sudah cukup untuk menggantikan kehilangan cairan
pada pasien selama proses operasi.
Setelah operasi, pasien diobservasi diruang pemulihan dan dipindahkan ke ruang
perawatan ortopedi. Aktualnya pasien sudah diperbolehkan makan sedikit-sedikit 6 jam post
operasi, sehingga kebutuhan cairan dan kalori dapat terpenuhi bukan hanya dari cairan infus
tetapi juga melalui konsumsi per oral.8 Kebutuhan cairan pasien ini adalah 2600-3250 cc/hari
dengan kebutuhan Natrium 130 - 260 mEg/hari, Kalium 65 - 195 mEq/hari, dan Kalori 1625
kkal/hari. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa stress pembedahan menyebabkan pelepasan
Aldosteron dan ADH sehingga terjadi kecenderungan tubuh untuk menahan air dan Natrium.
Penggunaan cairan intravena diharapkan dapat menunjang pemenuhan kebutuhan cairan dan

35
kalori disamping melalui intake oral.7,8 Actual cairan yang diberikan pada pasien berupa
Ringer Laktat 1500 cc/hari. Ringer Laktat yang diberikan pada pasien ini mengandung 130
mEq Natrium sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Natrium, karena tidak
terdapatnya cadangan Natrium dalam tubuh. Walaupun pemberian cairan intravena ini
diberikan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien, namun tetap saja harus
didukung dengan intake oral yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori perhari.8

36
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serat pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis neglected fracture Galeazzi sinistra yang direncanakan dilakukan tindakan
pemasangan K_WIRE dengan general anestesi.
Pemilihan anestesi ini sudah sesuai indikasi, yaitu untuk pembedahan yang
diperkirakan kemungkinan akan memakan waktu yang lama.
Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA I karena pada pasien ini berdasarkan
pemeriksaan preoperative dalam keadaan stabil dan tidak ditemukan gangguan
organic, fisiologis, biokimia, dan psikiatrik.
Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi kebutuhan
cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya hemodinamik durante
dan post operative.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Schiwatch, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran; 2000.
2. Reksoprodjo S. Buku Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; 2010.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran;
2004.
4. Anonim. BAB I PENDAHULUAN. [serial online] 2010. [Diunduh 09 Oktober 2014].
Tersedia dari: URL: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/147/jtptunimus-gdl-lutfilkhak-
7335-1-babi.pdf
5. Anestesi [Internet]. 2015. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi
6. Gede M, Senapathi T.G.A, Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta. PT Indeks.
2010.
7. Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2010.
8. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio, Dachlan Ruswan. Anestesiologi. Jakarta. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004
9. Pradana A, Usyinara. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Aesculapius; 2009
10. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone; 2007.
11. Solomon L, Apley AG. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi Ke-7.
Jakarta: Widya Medika; 1995.
12. Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong, Wim (Editor). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta: EGC.
13. Supardi Sabroto. Ortopedi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, 2009. Jakarta. Penerbit:
Bagian Ilmu Bedah Universitas Indonesia.

38

Anda mungkin juga menyukai