Anda di halaman 1dari 4

Artikel: Penduduk Usia Lanjut di Indonesia

Judul Penduduk Usia Lanjut di Indonesia


Isi
Salah satu dinamika penduduk yang menuntut perhatian sangat serius dari negara
adalah perubahan komposisi penduduk, utamanya perubahan penduduk lanjut usia,
baik dari jumlah absolut, maupun relatif. Hal tersebut terkait dengan implikasi baik
ekonomi sosial maupun kesehatan lansia.

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang
dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Lansia termasuk dalam kategori penduduk rentan dilihat dari kemunduran dari segi
fisik, psikologis, sosial, eknomi dan kesehatan sehingga mereka terlindung oleh jaminan
sosial. Hal ini tertulis dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial yang
diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung
berkelanjutan.

Penduduk Lansia (usia 60 +) di seluruh dunia diproyeksi akan tumbuh dengan sangat
cepat bahkan tercepat dibanding kelompok usia lainnya. Diperkirakan mulai tahun 2010
yang lalu telah terjadi ledakan jumlah penduduk lanjut usia. Hasil prediksi menunjukkan
bahwa persentase penduduk lanjut usia akan mencapai 9,77 persen dari total penduduk
pada tahun 2010 dan menjadi 11,34 persen pada tahun 2020.

Perubahan jumlah penduduk lansia perlu direspon secara tepat karena jika tidak, maka
akan menimbulkan persoalan yang sangat serius. Hal tersebut didasarkan pada
pemikiran bahwa penduduk lansia memiliki pengaruh besar dalam permbangunan sosial
ekonomi suatu Negara.

Disamping itu lansia memilki hak baik hak politik, sosial maupun ekonomi yang harus
dipenuhi. Hal ini nampaknya belum sepenuhnya direspon oleh pemerintah secara baik.
Oleh karenanya diperlukan suatu rumusan kebijakan mengenai lansia yang mampu
merespon kondisi yang ada. Dalam rangka itulah, pemerintah membentuk Komisi
Nasional Lanjut Usia yang disahkan berdasarkan Kepres No. 52 tahun 2004 yang
memiliki tugas tuntuk mengkoordinasi segala upaya peningkatan kesejahteraan sosial
lanjut usia.

Bab I Pasal 1 UU Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, juga
menjelaskan bahwa pemberdayaan lansia perlu diupayakan lintas sektor dan bersifat
terpadu. Arah pemberdayaan tersebut diperlukan untuk mengurangi kemiskinan,
mendapatkan jaminan kesehatan yang lebih baik, dan mendukung kehidupan sosial
masyarakat agar lebih berpartisipasi dalam pembangunan. Selain itu, salah satu
indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup
penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk,
menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi salah satu indikator
keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan.
Keberhasilan karena peningkatan jumlah lansia merupakan dampak dari peningkatan
usia harapan hidup, sementara sebagai tantangan peningkatan jumlah lansia akan
menimbulkan permasalahan penting. Bila permasalahan tersebut tidak diantisipasi,
maka tidak tertutup kemungkinan bahwa proses pembangunan akan mengalami
berbagai hambatan. Oleh sebab itu, permasalahan lanjut usia harus menjadi perhatian
kita semua, baik pemerintah, lembaga masyarakat maupun masyarakat itu sendiri.
Untuk menjadi lanjut usia yang sehat, produktif dan mandiri, kita harus mulai dengan
pola hidup sehat dan mempersiapkan masa lanjut usia secara lebih baik. Dengan
demikian, sasaran dari permasalahan lansia tidak hanya lansia itu sendiri, tetapi juga
penduduk usia muda. Pola hidup sehat harus diterapkan sejak usia dini, bahkan sejak
dalam kandungan.

Faktor Demografi yang menyebabkan


Penuaan Penduduk
Peningkatan jumlah penduduk usia
lanjut dari tahun ke tahun hampir di
setiap negara di dunia, termasuk di
Indonesia, dikarenakan terjadinya
transisi demografi. Transisi demografi
ini ditandai dengan penurunan angka
kematian yang kemudian disusul
dengan penurunan angka kelahiran.
Penurunan angka kelahiran yang
disertai dengan peningkatan usia
harapan hidup telah merubah
komposisi penduduk berdasarkan
umur dari kelompok penduduk muda
bergeser menjadi kelompok
penduduk tua. Peranan migrasi
internasional kurang bermakna dalam
mengubah distribusi umur bila
dibandingkan dengan fertilitas dan mortalitas (Lesthaeghe, 2000).

Penurunan Fertilitas

Gambar 1

TFR dan Angka Harapan Hidup Indonesia Tahun 1950-2050


Penurunan angka fertilitas telah menjadi faktor yang menyebabkan meningkatnya
jumlah penduduk usia lanjut. Angka fertilitas ini dilihat dari angka fertilitas total (TFR).
Rata-rata TFR negara maju sejak abad ke dua puluh telah mengalami penurunan secara
terus menerus. Pada tahun 1950-1955 angka TFR mereka telah mencapai angka 2,8 anak
per wanita. Angka yang sudah rendah ini terus mengalami penurunan hingga pada
tahun 2000-2005 mencapai angka yang sangat rendah yaitu 1,5 anak per wanita. Kini,
semua negara maju telah mencapai TFR di bawah 2,1 (replacement level). Bahkan di
beberapa negara mencapai angka 1,3 anak per wanita. Angka fertilitas total (TFR)
Indonesia mengalami penurunan dari angka 5,5 tahun 1950-1955 menjadi 2,3 pada tahun
2000-2005. Ditahun-tahun berikutnya diproyeksi angka TFR ini akan mencapai 2,1 dan
stagnan hingga 2050 (lihat Gambar 1).

Penurunan Mortalitas
Sebagaimana angka fertilitas yang mengalami penurunan, penurunan angka mortalitas
khususnya pada kelompok usia tua, menyebabkan terjadinyan penuaan penduduk atau
peningkatan jumlah penduduk usia lanjut. Kondisi ini sangat nampak terutama di
negara-negara maju yang telah lebih dulu berhasil menurunkan angka fertilitas.

Angka harapan hidup saat lahir semakin mengalami peningkatan seiring dengan
menurunnya angka kematian penduduk. Angka harapan hidup penduduk Indonesia usia
60 tahun ke atas mengalami peningkatan pada kurun waktu 2000-2050. Pada tahun
2050, angka harapan hidup penduduk Indonesia usia 60 tahun diproyeksi akan
meningkat sebesar 3,8 tahun, sedangkan angka harapan hidup penduduk usia 65 tahun
meningkat sebesar 3,3 tahun. Dalam kurun waktu 50 tahun mendatang angka harapan
hidup penduduk usia 80 diproyeksi meningkat 1,7 tahun.

Apabila dilihat menurut jenis kelamin, angka harapan hidup penduduk perempuan lebih
tinggi dari penduduk laki-laki. Pada tahun 1950-1955, angka harapan hidup perempuan
lebih tinggi 1,2 tahun dari laki-laki, kemudian meningkat menjadi 2,5 tahun pada tahun
1975-1980. Angka ini disebut gender gap, kesenjangan di antara laki-laki dan perempuan.
Kesenjangan angka harapan hidup laki-laki dan perempuan ini semakin besar menjadi
4,0 tahun pada tahun 2000-2005. Kesenjangan angka harapan hidup laki-laki dan
perempuan pada tahun berikutnya diproyeksi semakin besar. Tahun 2025-2030 gender
gap angka harapan hidup diproyeksi 4,5 dan menjadi 4,7 pada tahun 2045-2050.

Menurut data yang dilaporkan WHO, usia harapan hidup wanita di seluruh dunia secara
statistik lebih tinggi dari pada usia harapan hidup pria. Prof. Barbara R. Migeon, MD, PhD
dari John Hopkins School of Medicine dalam www.voanews.com (2010),
mengungkapkan bahwa pria mempunyai resiko mortalitas (kematian) yang lebih tinggi
daripada wanita pada setiap tahap kehidupannya.

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah faktor sosial,
ekonomi dan perilaku seperti aktivitas selama hidup, di mana secara umum pria memiliki
peran lebih banyak dalam tanggung jawab mencari nafkah, sehingga rentan terhadap
penyakit ataupun lebih riskan terhadap kecelakaan. Selain itu faktor biologi dan
genetika menjadi faktor dasar yang menyebabkan rendahnya angka harapan hidup laki-
laki. Secara biologis, kaum laki-laki memiliki kromosom XY dan wanita memiliki
kromosom XY. Kromosom X mengandung 1100 gen, yang selain berperan penting dalam
pengaturan hormon, juga dalam fungsi vital tubuh lainnya, mulai dari pembekuan darah,
metabolisme dan perkembangan janin. Sedangkan kromosom Y hanya mempunyai
kurang dari 100 gen, yang fungsi utamanya hanyalah untuk pembentukan dan
perkembangan testes dan hormonal. Secara biologis, wanita lebih diuntungkan dengan
2 kromosom X ini karena mereka lebih tahan terhadap gejala-gejala penurunan fungsi
tubuh. Pada laki-laki yang hanya memiliki 1 kromosom X ini menjadikan mereka rentan
terhadap penurunan fungsi tubuh. (dikutip dari Modul Pendidikan Kependudukan/edo)

JudulInggris
IsiInggris
Kategori Modul Pendidikan Kependudukan
TanggalArtike 12/19/2013
l
http://jambi.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=788&ContentTy
peI

Anda mungkin juga menyukai