Anda di halaman 1dari 23

TUGAS BEDAH ORTHOPEDI

OSTEOMIELITIS, SEQUESTRUM, INVOLUCRUM

LAJU ENDAP DARAH, C-REACTIVE PROTEIN, DAN

EPIPHYSEAL GROWTH PLATE

Oleh:

Candra Aji Setiawan G99141014


Meutia Halida G99141018
Clarissa Rayna Savealty G99141128
Rizky Saraswati Indraputri G99141129
Diah Nahdliana G99141136

Pembimbing:

dr. Udi Herunefi, Sp. B, Sp. OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SUBSTASE BEDAH ORTHOPEDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014
OSTEOMIELITIS

OSTEOMIELITIS AKUT

A. Definisi
Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik pada
tulang dan struktur di sekitarnya yang disebabkan oleh organisme piogenik
(Randall, 2011). Osteomielitis merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang
(cavitas medullaris) yang kemudian dapat menyebar sampai ke cortex dan
periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di cavitas medullaris inilah yang
kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan obstruksi
pembuluh darah, iskemik maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme
osteomielitis (Baltensperger, 2009).
Osteomielitis akut dengan penyebaran hematogen lebih sering
menyerang anak-anak karena daerah metafisis (daerah pusat pertumbuhan
tulang pada anak) memiliki vaskularisasi yang banyak dan rentan terhadap
trauma. Lebih dari 50% kejadian osteomielitis pada anak terjadi pada pasien
kurang dari 5 tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala-gejala sistemik
meliputi demam, iritabilitas selama 2 minggu. Selain itu, didapatkan gejala
lokalis seperti eritem, bengkak, dan kekakuan (tenderness) pada tulang yang
mengalami infeksi. Osteomielitis kronis jarang terjadi pada anak.

B. Etiologi
Bakteri piogenik penyebab osteomielitis bergantung pada usia pasien.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi
penyebab osteomielitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen
pada dewasa. Streptococcus hemolithicus grup A dan Streptococcus
pneumonia merupakan bakteri patogen tersering yang menyebabkan
osteomielitis pada anak, Streptococcus hemolithicus grup A merupakan
pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir. Staphylococcus epidermidis,
Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericia coli juga bisa menyebabkan
osteomielitis namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan
mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomielitis pada individu
dengan defisiensi sistem imun.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab
osteomielitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan
sel endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun
tubuh maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureus merupakan bakteri
dengan laju metabolisme yang rendah sehingga mudah resisten terhadap
antibiotik.

C. Patofisiologi
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas
medullaris dan cortex tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan
equilibrium (seimbang) tidak akan menimbulkan infeksi. Namun apabila
equilibrium ini terganggu karena minimal 1 faktor, maka infeksi tulang yang
dalam dapat terjadi. Keempat faktor tersebut ialah:
a. Jumlah bakteri pathogen
Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar
pula kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi
pada tulang.
b. Virulensi bakteri patogen
Pada osteomielitis, fokus infeksi dibatasi oleh membran piogenik
atau dinding abses yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen
patogen memiliki jumlah dan virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak
dan menyebabkan invasi sampai ke tulang. Invasi ini kemudian
mengaktivasi respon inflamasi dan menyebabkan hiperemis, peningkatan
permeabilitas capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik. Enzim proteolitik
ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi dari agen-
agen patogen sehingga membentuk pus. Destruksi tulang juga diperparah
oleh proses osteolisis yang disebabkan oleh aktivitas osteoklas akibat
stimulasi dari endotoksin bakteri, protein permukaan bakteri, dan beberapa
sitokin inflamasi (IL-1 dan TNF).
Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan
nekrosis, dan bakteri-bakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan
peningkatan tekanan intra medullaris. Keadaan ini menyebabkan kolaps
vascular, stasis vena, thrombosis, dan lokal iskemi. Pus mengalir melalui
kanalis sistem haver dan kanalis nutrisi yang kemudian terakumulasi di
ruang subperosteum dan menyebabkan elevasi periosteom, terpisah dari
cortex tulang. Elevasi ini lebih sering terjadi pada anak karena pelekatan
yang belum begitu kuat. Ketika akumulasi pus terus terjadi, dapat timbul
perforasi dan menyebabkan abses mukosa atau kutan.

Gambar 1. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang


Gambar 2. Patomekanisme osteomielitis
c. Imunitas lokal dan sistemik host

Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

d. Perfusi lokal jaringan


Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan
oksigen mencapai area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan
penyebaran bakteri patogen terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini
adalah kondisi-kondisi yang mengganggu perfusi lokal jaringan:

Pada osteomielitis hematogen akut tulang yang sering terkena adalah


tulang panjang dan tersering femur, diikuti oleh tibia, humerus, radius, ulna, dan
fibula bagian tulang yang terkena adalah bagian metafisis dan penyebab
tersering adalah staphylococcus aureus. Predisposisi untuk infeksi pada
metafisis dianggap berhubungan dengan pola aliran darah setinggi sambungan
lempeng fiseal metafisis. Aliran darah yang lamban melalui vena eferen pada
tingkat ini memberikan tempat untuk penyebaran bakteri. Epifisis tulang
panjang mempunyai suplai aliran darah terpisah dan jarang terlibat osteomielitis
akut. Dengan maturasi, ada osifikasi total lempeng fiseal dan ciri aliran darah
yang lamban dihilangkan. Sehingga osteomielitis hematogen pada orang
dewasa merupakan suatu kejadian yang tak lazim.

Pada osteomielitis, bakteri mencapai daerah metafisis tulang melalui


darah dan tempat infeksi di bagian tubuh yang lain seperti pioderma atau infeksi
saluran nafas atas. Trauma ringan yang menyebabkan terbentuknya hematoma
diduga berperan dalam menentukan timbulnya infeksi didaerah metafisis yang
kaya akan pembuluh darah. Hematoma tersebut merupakan media yang baik
bagi pertumbuhan bakteri yang mencapai tulang melalui aliran darah. Di daerah
hematoma tersebut terbentuk suatu fokus kecil infeksi bakteri sehingga terjadi
hiperemia dan edema. Tulang merupakan jaringan yang kaku dan tertutup
sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan pembengkakan yang terjadi
akibat edema dan oleh karena itu, edema akibat peradangan tersebut
menyebabkan kenaikan tekanan intraseus secara nyata dan menimbulkan rasa
nyeri yang hebat dan menetap, kemudian terbentuk pus, yang semakin
meningkatkan tekanan intraseus didaerah infeksi dengan akibat timbulnya
gangguan aliran darah. Gangguan aliran darah ini dapat mengakibatkan
terjadinya trombosis vaskuler dan kematian jaringan tulang. Mula-mula
terdapat fokus infeksi di daerah metafisis, lalu terjadi hiperemia dan udem.
Karena tulang bukan jaringan yang bisa berekspansi maka tekanan dalam tulang
yang hebat ini menyebabkan nyeri lokal yang hebat. Biasanya osteomielitis akut
disertai dengan gejala septikemia seperti febris, malaise, dan anoreksia. Infeksi
dapat pecah ke periost, kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi
selulitis, atau menjalar melelui rongga subperiost ke diafisis. Infeksi juga dapat
pecah ke bagian tulang diafisis melalui kanalis medularis. Penjalaran
subperiostal ke arah diafisis, sehingga menyebabkan nekrosis tulang yang
disebut sekuester. Periost akan membentuk tulang baru yang menyelubungi
tulang mati tersebut. Tulang baru yang menyelubungi tulang mati disebut
involukrum.

Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis karena pada daerah


tersebut peredaran darahnya lambat dan banyak mengandung sinusoid.
Penyebaran osteomielitis dapat terjadi; (1) penyebaran ke arah korteks,
membentuk abses subperiosteal dan sellulitis pada jaringan sekitarnya; (2)
penyebaran menembus periosteum membentuk abses jaringan lunak. Abses
dapat menembus kulit melalui suatu sinus dan menimbulkan fistel. Abses dapat
menyumbat atau menekan aliran darah ke tulang dan mengakibatkan kematian
jaringan tulangg (sekuester); (3) penyebaran ke arah medula; dan (4)
penyebaran ke persendian, terutama bila lempeng pertumbuhannya
intraartikuler misalnya sendi panggul pada anak-anak. Penetrasi ke epifisis
jarang terjadi. Tanpa pengobatan, infeksi selanjutnya dapat menyebar ketempat
lain. Penyebaran lokal terjadi melalui struktur trabekula yang porus ke kortek
metafisis yang tipis, sehingga melalui tulang kompakta. Infeksi meluas melalui
periosteum melalui kanal atau saluran haver dan menyebabkan periosteum,
yang tidak melekat erat ke tulang pada anak-anak, mudah terangkat sehingga
terbentuk abses subperiosteum, terangkatnya periosteum akan menyebabkan
terputusnnya aliran darah kekortek dibawah periosteum tersebut dan hal ini
semakin memperluas daerah tulang yang mengalami nekrosis. Penyebaran
infeksi kearah kavum medular juga akan menggangu aliran darah kebagian
dalam kortek tulang. Gangguan aliran darah dari 2 arah ini yaitu dari kavum
medulare dan periosteum mengakibatkan bagian kortek tulang menjadi mati
serta terpisah dari jaringan tulang yang hidup, dan dikenal sebagai sekuestrum.
Sekuestrum adalah awal dari stadium kronik. Infeksi didaerah subperiosteum
kemudian dapat menjalar kejaringan lunak menyebabkan sellulitis dan
kemudian abses pada jaringan lemak. Pus akhirnya akan keluar menuju ke
permukaan kulit melalui suatu fistel. Pada tempat-tempat tertentu, infeksi
didaerah metafisis juga dapat meluas ke rongga sendi dan mengakibatkan
timbulnya arthritis septik, keadaan semacam ini dapat terjadi pada sendi-sendi
dengan tempat metafisis tulang yang terdapat di dalam rongga sendi, seperti
pada ujung atas femur dan ujung atas radius, sehingga penyebaran melalui
periosteum mengakibatkan infeksi tulang kedalam sendi tesebut. Jika bagian
metafisis tidak terdapat di dalam sendi, namun sangat dekat dengan sendi maka
biasanya tidak terjadi arthritis septic dan lebih sering berupa efusi sendi steril.
Penyebaran infeksi melalui pembuluh darah yang rusak akan menyebabkan
septikemia dengan manifestasi berupa malaise, penurunan nafsu makan dan
demam.septicemia merupakan ancaman bagi nyawa penderita dan dimasa lalu
merupakan penyebab kematian yang lazim.

D. Penegakan Diagnosis
Diagnosis osteomielitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis,
didapatkan adanya riwayat trauma, riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun
riwayat infeksi di tempat lain yang tidak spesifik, serta adanya gejala infeksi
sistemik seperti demam dan malaise maupun gejala infeksi lokal seperti
bengkak, rasa panas, kemerahan, penurunan kemampuan gerak, kekakuan
tulang, dan rasa sakit pada lokasi infeksi. Pemeriksaan fisik pun meunjukkan
hal-hal seperti yang ada dalam anamnesis yakni berupa tanda-tanda infeksi
sistemik dan infeksi lokal. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan ialah pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya
leukositosis, pemeriksaan kultur darah/tulang, serta pemeriksaan histopatologi
tulang yang mengalami infeksi. Pemeriksaan radiologi pada daerah yang diduga
infeksi pun dapat dilakukan. Kata akut pada ostemyelitis akut menunjukkan
bahwa tanda dan gejala yang muncul memiliki onset yang cepat, yakni kurang
dari 4 minggu.

Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis dengan


predominasi sel-sel PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C (CRP).
Aspirasi dengan jarum khusus untuk membor dilakukan untuk memperoleh pus
dari subkutan, subperiosteum, atau fokus infeksi di metafisis. Kelainan tulang
baru tampak pada foto rongent akan tampak 2-3 minggu. Pada awalnya tampak
reaksi periosteum yang diikuti dengan gambaran radiolusen ini baru akan
tampak setelah tulang kehilangan 40-50% masa tulang. MRI cukup efektif
dalam mendeteksi osteomielitis dini, sensitivitasnya 90-100%. Skintigrafi
tulang tiga fase dengan teknisium dapat menemukan kelainan tulang pada
osteomielitis akut, skintigrafi tulang khusus juga dapat dibuat dengan
menggunakan leukosit yang di beri label galium dan indium.

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen


maupun MRI. Foto rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2
minggu pasca infeksi karena 50% mineral tulang telah hilang (Gambar 3 dan
4). Sedangkan MRI dapat mendeteksi osteomielitis setelah 3-5 hari pasca
infeksi dengan sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90% (Gambar 5 dan 6). CT
scan jarang digunakan karena kurangnya kemampuan CT scan untuk
mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis osteomielitis (seperti leukocyte or bone scintigraphy,
positron emission tomography) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih
dari 90%.

Gambar 3. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan distal
phalanges 3 dan 4 menunjukkan adanya osteomielitis.
Gambar 4. Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat
osteomielitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis sumsum
tulang.

Gambar 5. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur dan
gambaran inhomogenisitas tulang.

Gambar 6. Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya


osteomielitis pada os calcaneus.

Perjalanan klinis osteomielitis biasanya dimulai dengan nyeri lokal serta


timbul dengan cepat, malaese generalisata, demam dan kedinginan. Riwayat
infeksi sebelumnya di dapat dalam sekitar 50% pasien. Pembengkakan
generalisata dalam daerah infeksi biasanya disertai dengan eritema. Pembesaran
kelenjar limfe proksimal bisa ada. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
lekositosis, anemia ringan sampai sedang dan peningkatan laju endap darah.
Pada awal penyakit, gejala sistemik seperti febris, anoreksia, dan malaise
menonjol, sedangkan gejala lokal seperti pembengkakan atau selulitis belum
tampak. Pada masa ini dapat terjadi salah diagnosis sebagai demam tifoid. Nyeri
spontan lokal yang mungkin disertai nyeri tekan dan sedikit pembengkakan
serta kesukaran gerak dari ektremitas yang terkena, merupakan gejala
osteomielitis hematogen akut. Pada saat ini diagnosis harus ditentukan
berdasarkan gejala klinis, untuk memberikan pengobatan yang adekuat.
Diagnosis menjadi lebih jelas bila didapatkan sellulitis subkutis.

Biakan darah harus didapatkan dan akan positif dalam sekitar 50%
pasien. Staphylococcus aureus merupakan organisme penyerang paling sering.
Dalam bayi dan neonatus, streptococcus bisa menghasilkan gambaran klinis
yang sama. Organisme gram negatif juga bisa bersifat etiologi, walaupun
umumnya menimbulkan perjalanan yang kurang fulminan dibandingkan yang
diuraikan. Secara khusus, osteomielitis salmonella yang melibatkan diafisis
tulang panjang, bisa merupakan komplikasi anemia sel sabit.
Osteomielitis eksogen sering mengikuti fraktur terbuka terkontaminasi.
Organisme manapun bisa terlibat.Biasanya infeksi terbatas pada tempat cidera
dan biasanya karena periosteum telah putus, Maka elevasi periosteum dan
perluasan infeksi tidak terlihat. Jika luka telah tertutup, maka multiplikasi
bakteri tetap bisa menyebabkan dehisasi spontan dengan drainase purulenta.

Diagnosis osteomielitis akut dapat di tegakkan berdasarkan beberapa


penemuan klinik yang spesifik. 2 dari 4 tanda dibawah ini harus dipenuhi untuk
menegakkan diagnosis osteomielitis akut; (1) adanya materi purulen/ pus pada
aspirasi tulang yang teinfeksi; (2) kultur bakteri dari tulang atau darah
menunjukkan hasil positif; (3) ditemukannya tanda-tanda klasik lokal berupa
nyeri tekan pada tulang , dengan jaringan lunak yang eritem atau udem; (4)
pemeriksaan radiologi menunjukkan hasil yang positif, berupa gambaran udem
pada jaringan lunak diatas tulang setelah 3-5 hari terinfeksi. Pada minggu kedua
gambaran radiologi mulai menunjukkan destruksi tulang dan reaksi periosteal
pembentukan tulang baru.

E. Penatalaksanaan
Pada kebanyakan pasien dengan osteomielitis, terapi antibiotik
menunjukkan hasil yang maksimal. Antimikroba harus diberikan minimal 4
minggu (idealnya 6 minggu) untuk mencapai tingkat kesembuhan yang
memadai. Pada anak-anak dengan osteomielitis akut harus diberi terapi
antibiotik secara parenteral selama 2 minggu sebelum diberikan per oral.
Osteomielitis hematogen akut harus diterapi segera. Biakan darah didapatkan
dan antibiotik intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan. Karena
staphylococcus merupakan organisme penyerang tersering, maka antibiotik
yang dipilih harus mempunyai spektrum antistafilokokus. Jika biakan darah
kemudian negatif, maka aspirasi subperiosteum atau aspirasi intramedula pada
tulang yang terlibat bisa diperlukan. Pasien diberikan istirahat baring,
keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan, antipiretik diberikan untuk
demam dan ektremitas dimobilisasi dalam gips dua katup, yang memungkinkan
inspeksi harian. Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24 jam setelah
pemberian terapi antibiotik. Jika timbul kemunduran, maka diperlukan
intervensi bedah. Indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan meliputi; (a)
adanya abses; (b) rasa sakit yang hebat; (c) adanya sekuester, dan ; (d) bila
mencurigakan adanya perubahan ke arah keganasan (karsinoma epidermoid).
Saat yang terbaik untuk melakukan pembedahan adalah bila involukrum telah
cukup kuat untuk mencegah terjadinya fraktur pasca bedah. Setelah kultur
dilakukan, terapi empiris parenteral antibiotik regimen nafcillin dengan
cefotaxime atau cefriaxone merupakan terapi awal klinik dari bakteri yang
dicurigai. Setelah diketahui hasil kultur regimen antibiotik disesuaikan.
Pada osteomielitis hematogen, agen penginfeksi meliputi S aureus,
organisme Enterobacteriaceae, group A dan B Streptococcus, dan H influenzae.
Terapi primer adalah kombinasi penicillin sintetik yang resisten terhadap
penicillinase dan generasi ke-tiga cephalosporin. Terapi alternatif yaitu
vancomycin atau clindamycin dan generasi ke-tiga cephalosporin.
Terapi bedah osteomielitis adalah insisi dan drainase. Pendekatan bedah
tergantung pada lokasi dan luas infeksi serta harus memungkinkan untuk
drainase selanjutnya bagi luka. Korteks di atas abses intramedula dilubangi serta
debris nekrotik disingkirkan dengan kuretase manual dan irigasi bilas pulsasi.
Harus hati-hati untuk menghindari lempeng fiseal berdekatan. Luka dibalut
terbuka untuk memungkinkan drainase dan ekstremitas dimobilisasi dalam
gips. Antibiotik intravena diteruskan selama minimum 2 minggu dan bisa
diperlukan selama 6 minggu, tergantung pada organisme dan kerentanannya
terhadap antibiotik.
Luka dibalut pada interval teratur dan dibiarkan sembuh dengan intensi
sekunder atau ditutup dengan cangkok sebagian ketebalan kulit, bila jaringan
granulasi adekuat telah berkembang. Bila proses akut telah dikendalikan, maka
terapi fisik harian dalam rentang gerakan diberikan. Pemulaian aktivitas penuh
tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Dalam infeksi luas, kelemahan
nantinya akibat hilangnya tulang bisa menyebabkan fraktur patologi.
Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomielitis:
OSTEOMYELITIS KRONIK

A. Definisi
Osteomyelitis kronis mudah dikenali ketika ada pasien dengan riwayat
osteomyelitis mengalami kekambuhan disertai munculnya gejala seperti nyeri
yang memberat, eritema, dan pembengkakan dalam hubungannya dengan
adanya sinus yang keluar cairan. Hal ini ditandai dengan adanya peradangan
yang low-grade/ringan, adanya tulang yang mati ( sequestrum ), aposisi tulang
baru dan adanya fistula (Khan, 2011; Parsonnet et al, 2005). Hal ini
kemungkinan muncul dari pengobatan osteomyelitis akut yang tidak memadai,
trauma, penyebab iatrogenik seperti penggantian sendi dan fraktur dengan
fiksasi internal dan patah tulang yang berat (Zuluaga, 2006; Parsonnet, 2005;
Spiegel, 2005) . Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri kronis dan
keluarnya cairan, dan kadang-kadang juga ditemukan demam ringan, abses
lokal, infeksi jaringan lunak, atau kedua jika saluran sinus menjadi terhalang.
Penatalaksanaan yang tidak sesuai pada pada osteomyelitis baik hematogenous
maupun contiguous mengakibatkan perubahan dari osteomyelitis akut menjadi
kronik (Wu, 2007; Calhoun 2005).

B. Etiologi Osteomyelitis Kronis


Permasalahan yang paling utama pada infeksi tulang yang kronis adalah
sulitnya menentukan agen penyebabnya. Terapi yang diberikan harus sesuai
identifikasi agen penyebab dan keadaan pasien. Terdapat banyak organisme
penyebab osteomyelitis kronis namun penyebab terbanyak adalah
Staphylococus Aureus (Zuluaga, 2006).

C. Patofisiologi Osteomyelitis Kronis


Infeksi terjadi ketika mikroorganisme masuk melalui darah, secara
langsung dari benda benda yang terinfeksi atau luka tembus. Trauma, iskemia
dan benda asing dapat meningkatkan risiko invasi mikroorganisme ke tulang
melalui bagian yang terpapar sehingga organisme tersebut lebih mudah
menempel. Pada daerah infeksi fagosit datang mengatasi infeksi dari bakteri
tersebut, namun dalam waktu yang bersamaan fagosit juga mengeluarkan
enzim yang dapat mengakibatkan tulang menjadi lisis. Bakteri dapat lolos dari
proses tersebut dan akhirnya menempel pada bagian tulang yang lisis dengan
cara masuk dan menetap pada osteoblas dan membungkus diri dengan
protective polysaccharide-rich biofilm (Parsonnet, 2005). Jika tidak dirawat
tekanan intramedular akan meningkat dan eksudat menyebar sepanjang korteks
metafisis yang tipis mengakibatkan timbulnya abses subperiosteal. Abses
subperiosteal dapat meningkat dan menyebar pada bagian tulang yang lain
(Spiegel, 2005).
Pus dapat menyebar melalui pembuluh darah, mengakibatkan
peningkatan tekanan intraosseus dan gangguan pada aliran darah (Parsonnet,
2005). Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya trombosis (Zuluaga, 2006).
Nekrosis tulang mengakibatkan hilangnya peredaran darah periosteal. Nekrosis
pada segmen besar tulang mengakibatkan timbulnya sequestrum. Sequestra ini
memuat bagian infeksius yang mengelilingi bagian tulang yang sklerotik yang
biasanya tidak mengandung pembuluh darah. Kanal haversian diblok oleh
jaringan parut dan tulang dikelilingi oleh bagian periosteum yang menebal dan
jaringan parut otot. Sequestra merupakan muara dari mikroorganisme dan
mengakibatkan timbulnya gejala infeksi. Abses juga dapat keluar dari kulit
membentuk sinus. Sinus kemungkinan tertutup selama beberapa minggu atau
bulan memberikan gambaran penyembuhan, dapat terbuka (atau muncul di
tempat lain) ketika tekanan jaringan meningkat. Antibiotik tidak dapat
menembus bagian yang avaskular dan tidak efektif dalam mengatasi infeksi
(Appley, 1993).
Terbentuknya formasi tulang baru (involucrum) secara bersamaan
karena periosteum berusaha untuk membentuk dinding atau menyerap fragmen
sequestra dan membentuk stabilitas tulang baru. Involucrum memiliki
morfologi yang bervariasi dan memiliki reaksi periosteal yang agresif yang
dapat mengakibatkan timbulnya keganasan. Jika respon periosteal minimal,
hilangnya segmen tulang secara fokal maupun segmental tidak dapat
dihindarkan. Sequestra secara dapat diserap sebagian maupun penuh sebagai
akibat dari respon inang atau tergabung dalam involucrum (Spiegel, 2005;
Appley 1993).
Gambaran morfologis dari osteomyelitis kronis adalah adanya bagian
tulang yang nekrosis ditandai dengan tidak adanya osteosit yang hidup.
Kebanyakan mengandung sel mononuklear, granula dan jaringan fibrosa
menggantikan tulang yang diserap oleh osteoklas. Jika diwarnai beberapa
macam organisme dapat ditemukan (Spiegel, 2005; Appley 1993).
Terdapat risiko munculnya artritis septik pada daerah dimana
metafisis terdapat pada bagian intrartikular (proksimal femur, proksimal
radius, proksimal humerus, distal fibula). Risiko meningkat pada anak anak
berusia kurang dari 2 tahun sebagai akibat dari uniknya aspek pembuluh darah
pada anak anak. Pembuluh darah metafisis dan epifisis berhubungan sampai
sekitar umur 12 -18 tahun dimana fisis berperan sebagai perisai mekanik
terhadap penyebaran infeksi (Spiegel, 2005; Appley 1993).
Cierny dan Mader (1990) membagi osteomyelitis kronis menjadi
empat tipe penyakit anatomik (1-4) dan tiga kategori fisiologis (A,B, dan C).
Pembagian ini dibuat berdasarkan keadaan inang, keadaan anatomi tulang,
faktor terapi dan faktor prognosis. Inang dibagi menjadi A, B dan C. Inang
kelas A adalah pasien dengan karakteristik fisiologis, metabolik dan
imunologis normal. Inang B adalah terganggu
secara lokal, sistematis ataupun keduanya. Tujuan utama terapi pada
inang B adalah untuk menghilangkan faktor pengganggu yang
membedakannya dari inang A. Akhirnya inang C adalah pasien dengan terapi
infeksi tulang lebih parah dari infeksi itu sendiri atau seseorang yang sangat
sakit sehingga dengan tindakan operatif pun tidak memungkinkan.

D. Presentasi Klinis Osteomyelitis Kronis


Presentasi pada pasien dengan osteomyelitis kronis biasanya
merupakan efek jangka panjang, berupa keluarnya sinus atau adanya nyeri
tulang kronik setelah mendapatkan terapi. Pasien juga kadang kadang
mengalami eksaserbasi akut dan biasanya memiliki riwayat osteomyelitis
sebelumnya, biasanya pada waktu kecil. Demam pada umumnya tidak khas
kecuali terdapat obstruksi pada sinus yang mengakibatkan timbulnya infeksi
pada jaringan (Spiegel, 2005).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri pada tulang,
bengkaknya jaringan, dan kemerahan. Pada kasus kasus jangka panjang
biasanya ditemukan adanya penebalan atau pelipatan pada tempat dimana
adanya jaringan parut atau sinus yang menempel pada tulang yang terinfeksi.
Selain itu juga kemungkinan terdapat cairan seropurulen dan ekskoriasi
mengelilingi kulit. Pada pasien dengan osteomyelitis post trauma, tulang
kemungkinan mengalami deformitas atau non-union (Appley, 1993).

E. Temuan Klinis pada Pasien Osteomyelitis Kronis


Pendekatan radiologis pada pasien osteomyelitis kronis dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui daerah tulang yang terinfeksi (panjang infeksi
intramedular yang aktif atau abses pada area yang nekrosis, sequestrum dan
fibrosis) dan untuk mengetahui jaringan kulit yang terlibat (area selulitis, abses
dan sinus). Akhirnya pendekatan radiologis memiliki peranan dalam
mendeteksi infeksi aktif dan menentukan panjang debridement yang
diperlukan untuk mengeluarkan bagian tulang yang nekrosis dan jaringan lunak
yang abnormal. Modalitas radiologis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis osteomyelitis kronis adalah plain photo, ultrasound, nuclear
imaging, CT dan MRI (Appley, 1993).
Plain photo merupakan pencitraan awal yang digunakan untuk
mendiagnosis osteomyelitis kronis. Modalitas ini tidak mahal, tersedia dimana
mana dan akurat. Dalam mendeteksi osteomyelitis kronis, sensitivitas plain
photo masih tinggi sekitar 90% pada 3 4 minggu setelah presentasi , walaupun
spesitifitasnya masih rendahsekitar 30%. Pada plain photo dapat terlihat bone
resorption dengan penebalan dan sklerosis yang mengelilingi tulang. Sequestra
menunjukkan adanya penebalan fragmen yang tidak alami. Plain photo juga
berguna dalam mendeteksi adanya kelainan anatomis (misalnya fraktur, bony
variants atau deformitas), benda asing dan udara dalam jaringan. Stress
fracture, osteoid osteoma dan penyebab lain dari periosteitis kemungkinan
memiliki gambaran yang mirip osteomyelitis kronis (Zuluaga, 2006).
Ada beberapa penelitian menunjukkan ultrasonografi resolusi tinggi
dapat digunakan untuk mendiagnosis osteomyelitis kronis karena dapat
mendeteksi reaksi periosteal, reaksi pembentukan tulang baru dan perubahan
jaringan lunak sepanjang tulang. Tetapi tidak dapat menunjukkan keadaan fisik
dari tulang karena refleksi dari gelombang suara pada jaringan lunak ke
permukaan tulang. Ultrasonografi juga dapat mendeteksi kumpulan cairan pada
subperiosteal atau adanya abses pada jaringan lunak yang terdekat dengan
tulang (Spiegel, 2006).
CT scan sangat sesuai dalam mendeteksi adanya sequestra, hancurnya
kortikal, abses jaringan lunak dan adanya sinus pada osteomyelitis kronis.
Sklerosis, demineralisasi dan reaksi periosteal juga dapat terlihat pada
modalitas ini. CT scan membantu dalam mengevaluasi keperluan untuk
tindakan operatif dan memberikan informasi penting mengenai luasnya
penyakit. Informasi ini sangat berguna dalam menentukan metode operatif
yang akan digunakan. CT juga sangat membantu dalam melaksanakan biopsi
tulang. Keuntungan yang paling penting dari CT scan dapat menunjukkan lesi
pada medulla dan infeksi pada jaringan lunak. CT scan merupakan modalitas
standar dalam mendeteksi sequestrum. CT juga sangat baik dalam
menampilkan tulang belakang, pelvis dan sternum (Zuluaga, 2006; Spiegel
2005).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat berguna dalam
mendeteksi infeksi musculoskeletal, dimana setiap batasannya menjadi
terlihat. Resolusi spasial yang ditawarkan oleh MRI sangat berguna dalam
membedakan infeksi dari dari tulang dan jaringan lunak, dimana hal ini
merupakan permasalahan pada pencitraan radionuklir. Namun MRI, tidak
seperti pencitraan radionuklir, tidak terlalu tepat untuk pemeriksaan seluruh
tubuh dan adanya logam yang tertanam kemungkinan menggambarkan artifak
lokal (Calhoun, 2005; Khan 2011).
Skrining MRI awal biasanya memuat T1-weighted dan T2-weighted
spin-echo pulse sequence. Osteomyelitis biasanya nampak sebagai gangguan
sumsum tulang yang terlokalisasi dengan penurunan densitas pada gambar T1-
weighted dan peningkatan intensitas pada gambar T2-weighted. Biasanya,
terdapat penurunan intensitas signal pada gambar T2-weighted. Jaringan tulang
akibat post operasi atau trauma biasanya menampakkan adanya penurunan
intensitas pada gambar T1-weighted dengan tidak adanya perubahan pada
gambar T2-weighted. Sinus akan terlihat area dengan intensitas tinggi pada
gambar T2-weighted, menyebar dari tulang sampai jaringan lunak dan bagian
kulit paling luar. Selulitis akan nampak sebagai area difus dengan sinyal
menengah pada gambar T1-weighted pada jaringan lunak dan peningkatan
sinyal pada gambar T2-weighted (Calhoun, 2005; Khan 2011).
SEQUESTRUM DAN INVOLUCRUM

Sequestrum adalah tulang yang sudah mati dan terlihat secara makroskopis.
Sequestrum didefinisikan sebagai tulang mati yang telah terpisah dari tulang
sekitarnya selama proses nekrosis. Namun, definisi radiologis sequestrum mengacu
pada gambaran kalsifikasi radioopaque yang terlihat di dalam lesi yang bersifat
radiolucent, dan sepenuhnya terpisah dari tulang sekitarnya.

Involucrum adalah lapisan pertumbuhan tulang baru di luar tulang yang


sudah ada yang terlihat ada kasus osteomielitis piogenik. Involucrum terbentuk dari
pengupasan periosteum akibat akumulasi nanah di dalam tulang yang kemudian
tumbuh tulang baru dari periosteum tersebut. Secara radiologis involucrum dapat
terlihat sebagai selubung tebal dari pertumbuhan tulang baru periosteal yang dapat
terlihat di sekitar sequestrum.

Cloaca adalah suatu saluran yang dapat terlihat di sekitar sequestrum dan
involucrum yang merupakan jalan keluar pus.

(A) Tulang normal; (B) Involucrum; (C) Jaringan granulasi; (D) Kloaka; (E)
Sequestrum.
LAJU ENDAP DARAH DAN C-REACTIVE PROTEIN

Laju Endap Darah (LED) atau juga biasa disebut Erithrocyte Sedimentation
Rate (ESR) adalah ukuran kecepatan endap eritrosit, meggambarkan komposisi
plasma serta perbandingan eritrosit dan plasma. Laju Endap Darah dipengaruhi oleh
berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi.

Nilai Normal Laju Endap Darah :

Pria : < 15 mm/jam

Wanita : < 20 mm/jam

Anak anak : < 10 mm/jam

Peningkatan nilai LED > 50 mm/jam, harus diinvestigasi lebih lanjut dengan
melakukan pemeriksaan terkait infeksi akut maupun kronis, yaitu : kadar protein
dalam serum atau protein immunoglobulin, Anti Nuclear Antibody (ANA) tes,
reumatoid factor. Sedangkan Peningkatan LED > 100 mm/jam selalu dihubungkan
dengan kondisi serius, misalnya infeksi, malignansi, paraproteinemia, primary
macroglobulinaemia, hiperfibrinogenaemia, polymyalgia rheumatic.

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat
dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat kecil. Dalam keadaan
tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh
penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi CRP dapat meningkat
sampai 100 kali. Nilai CRP pada keadaan normal < 0,8 mg/dl dan meninggi > 1
mg/dl pada keadaan patologis.
EPIPHYSEAL GROWTH PLATE

Epiphyseal growth plate atau lempeng epifisis merupakan cartilago hyalin


yang terdapat pada metafisis pada ujung dari setiap tulang panjang. Lempeng ini
terdapat pada anak-anak maupun remaja. Pada orang dewasa, dimana pertumbuhan
tulang sudah terhenti, lempeng ini tergantikan oleh garis epifisis. Menghilangnya
epiphyseal growth plate dapat terjadi pada usia yang berbeda-beda pada setiap
individu. Pada wanita lempeng epifisis pada femur akan menutup pada usia 15-19
tahun, untuk pria menutup pada usia 17-21 tahun. Sedangkan lempeng epifisis pada
humerus wanita menutup pada usia 18-22 tahun, pada pria berkisar 20-25 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Orthopedics. (akses : 16 Januari 2011) download from ULR :


http://www.thachers.org/orthopedics.htm
Auh JS. Retrospective Assessment of Subacute or Chronic Osteomyelitis in
Children and Young Adults. Radiologic Clinics of North America. 2001; 1
Malueka RG. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Yogyakarta. Pustaka
Cendikiawan Press. 2007.103-5
Calhoun JH and Manring MM. Adult Osteomyelitis.Infect Dis N Am 2005; 19:765-
786
Khan AN. Osteomyelitis chronic. (cited : 2011 January 11th ). Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/393345-overview
Parsonnet J and Maguire JH. Osteomyelitis. In: Kasper DL, Braudwald E, Fauci
AS, Hauser SL, Longo DL and Jameson JL. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th edition. New York. McGraw Hill.2005. 745-9
Reddy SC, Zgonis MH and Aurbach JD. Musculosceletal Infection. In: Chin KR
and Samir M. Orthopaedic Key Review Concepts. 1st edition. Philadelphia.
Lipincott Wiliam and Wilkins. 2008.48-51
Spiegel DA and Penny JN. Chronic Osteomyelitis in Children. Techniques in
orthopaedic. 2005; 20. 2 Apley AG, Solomon L and Mankin HJ. Apleys
System of Orthopaedics and Fractures. 7th edition. Oxford. Butterwooth-
Heinemann. 1993. 40-2
Wu JS, Gorbachova T, Morison WB and Hains AH. Imaging-Guided Bone Biopsy
for Osteomyelitis: Are There Factors Associated with Positive or Negative
Cultures. 2007. AJR. 188:15291534.
Zuluaga AF, Galvis W, Saldarriaga JG, Agudelo M, Salahazar BE, Vesga O.
Etiologic Diagnosis of Chronic Osteomyelitis. Arch Intern Med. 2006.
166:95 100.

Anda mungkin juga menyukai