Anda di halaman 1dari 4

BIROKRASI vs DEMOKRASI:

Politisasi, Pembajakan dan Hegemoni Kuasa

Kepada pemerintah daerah, sebagai lembaga eksekutif yang memiliki kewenangan, kekuasaan
eksekutoryang sering dikenal dengan dunia birokrasi politik selalu menjadi hahan hujatan
keseharian mahasiswa, kelompok kepentingan dan LSM. Serta, lembaga legislatif daerah yang lebih
dikenal sebagai demokrasi representatif. Hiruk-pikuk para eksponen gerakan demokrasi lokal yang
lantang berteriak tentang kemiskinan, keterbelakangan, korupsi, kerusakan lingkungan hidup, problem
ketidakadilan gender, merupakan eksponen gerakan sipil lokal namun belum berada pada derajat
strategis mengenai pengambilan keputusan. Dalam tulisan ini, penulis berasumsi bahwa titik
persinggungan lebih didominasi oleh dua kekuatan birokrasi dan demokrasi perwakilan sehingga
mengabaikan gerakan masyarakat sipil lokal.
Dua wajah yang justru berbeda sama sekali. Birokrasi pemerintahan dengan kekuasaan
sumberdaya mampu membentengi dan membiayai kebutuhannya sendiri karena memiliki kuasa uang
dan otoritas regulasi. Dalam perspektif Neo-klasik, birokrasi telah menggunakan uang negara untuk
kepentingan kelompoknya, memperkaya dari perburuan rente proyek dengan rekanan dan berperan
penting dalam mengeksekusi kebijakan pembangunan yang berorientasi keuntungan (surplus
oriented). Birokrasi lebih gandrung dan siap membangun fasilitas perkantoran yang kokoh dalam
fisiknya, namun masih rapuh dalam kesiapan kualitas SDM PNS yang direkrutnya. Sedangkan
perspektif Neo-Marxian melihat bahwa birokrasi merupakan alat bagi kepentingan kelas kapital yang
hanya berperan mengakumulasi kapital dan mendaur ulang kekuasaan kapital melalui pembangunan.
Terlepas dari kedua hal dimaksud, sebelumnya Halevy1 mewanti-wanti problem yang dihadapi oleh
lembaga birokrasi dan lembaga demokrasi. Jika dikaitkan dengan fenomena lokal, sekurang-
kurangnya ada tiga problem besar yang harus dituntaskan. Pertama, birokrasi lokal merupakan dilema
bagi praktek demokrasi lokal. Kedua, sebaliknya dinamika demokrasi lokal juga sebenarnya menjadi
dilema bagi kinerja birokrasi. Ketiga, dilema birokratis dan perselisihan politik.
Pertama, birokrasi sebagai dilema bagi demokrasi. Kondisi birokrasi lokal saat ini dapat diajukan dua
hubungan yang intrinsik (mendalam secara kedalam) antara birokrasi dengan demokrasi. Meskipun
oleh Halevy, hal itu bersifat kontradiktif atau paradoksal (yaitu yang satu menguatkan dan sekaligus
melemahkan yang lain. Birokrasi lokal yang semakin kuat dan berpengaruh, telah memberikan
ancaman bagi masa depan demokrasi di Maluku Utara, meskipun tidak dipungkiri pula bahwa
membangun kekuatan demokrasi modern tidak terlepas dari birokrasi yang relatif kuat dan
independen. Meminjam Halevy, munculnya birokrasi sebagai salah satu lembaga negara yang
memiliki kuasa uang, kuasa wacana, bahkan mampu memfasilitasi tindakan-tindakan represif bahkan
penindasan atas nama kepentingan negara pula.
Bentuk-bentuk ancaman yang telah ada seperti menguatnya birokrasi lokal dalam
mencampuri otonomi, kebebasan, privasi dan hak-hak sipil sebagai substansi dan esensi demokrasi.
Demikian pula, tuntutan demokratisasi birokrasi masih tertatih-tatih dan sulit ditembus oleh senjata
transparansi, maupun regulasi yang partisipatif. Anggaran pelayanan publik semisal pendidikan, Olah
Raga, Mesjid, Gereja maupun anggaran lainnya seharusnya mengikutsertakan partisipasi dalam
penentuan dan perumusannya karena bersentuhan dengan kebutuhan publik. Yang terjadi adalah
publik sulit mengorek sejumlah informasi keuangan daerah meskipun telah diatur mekanisme
transparansi penggunaan anggaran daerah.
Perilaku ini mirip dengan pelabelan Dwight King2 atas model birokrasi Indonesia yang
menyerupai birokrasi otoriter yang tidak membuka ruang opini publik dalam eksekusi keputusan
bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat.
Bahkan lebih lunak lagi William Liddle menyebut birokrasi Indonesia menyerupai pluralisme
terbatas, dimana eksekusi kebijakan bersifat terbatas pada kekuatan-kekuatan politik tertentu semata

1 Etzioni Halevy (1983) dalam bukunya Bureaucracy and Democracy: A Political Dilema,
2
Dwight King, 1982. Interprating Indonesia Politics. Hal....
sehingga tidak plural. Demikian pula, netralitas PNS dalam politik pemilu dan pilkada, netralitas
dalam tender proyek, dan netralitas dalam pelayanan publik. Kecenderungan birokrasi Indonesia
berbisnis juga nampak dalam penjelasan beberapa pengamat politik seperti Richard Robison, Olle
Tornquist, maupun Yoshihara Kunio.
Robison (1985) dalam desertasinya Indonesia: The Rise of Capital melihat birokrasi
Indonesia di masa Orde Baru merupakan kekuatan kelas politik berpengaruh dalam menentukan cetak
biru sistem ekonomi-politik Indonesia. Pasca Orde Baru, asumsi teoritik Robison ini menemukan
momentum tepat di saat sistem politik memberikan peluang kepada pengusaha untuk terjun di dunia
politik praktis. Misalnya, kritikan Akbar Tandjung (2007) dalam desertasinya The Golkar Way:
Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi perlu disimak mendalam. Pasalnya,
Akbar ingin menyampaikan bahwa seringkali perilaku birokrasi kapitalisme dapat merusak
demokrasi karena lebih mementingkan hasil akhir daripada proses pergulatannya. Dengan kata lain,
ada perilaku birokrasi saudagar dan politik saudagar yang dapat memperparah penyakit korupsi
birokrasi (bureaucracy corruption) dan korupsi politik (political corruption). Demikian juga hasil
penelitian Olle Tornquist (1990) yang melihat ada praktek perburuan rente atau keuntungan ekonomi
oleh rezim Orde Baru yang melibatkan kekuatan politik Golkar, pemerintah dan militer saat itu.
Praktek itu kini bersemai kembali oleh kekuatan partai politik besar semisal Golkar, PDIP dan partai-
partai politik baru PAN, PKS, dan Demokrat. Sejumlah gagasan itu dapat disimak pada pemikiran
Cornelis Lay (2006) dalam esai-esainya tentang Involusi Politik. Lay menjelaskan ada pergeseran
aktor politik, akumulasi kapital dan hegemoni kekuasaan politik yang menyebar tidak merata.
Desertasi lainnya diungkapkan David Sulistijo Widihandojo (1997) dalam The Making of a
Precarious Bourgeoisie: State and Transformation of Domestic Bourgeoisie in Indonesia, intinya
membenarkan perilaku birokrasi Indonesia dengan menekankan aspek-aspek priyayi bureaucrat
(birokrasi priyayi) yang menggerusi arus kapitalisme sejati dalam industri pembangunan nasional
maupun daerah.
Sedangkan Kunio dalam buku Kapitalisme Semu di Asia Tenggara lebih menekankan sifat
kapitalisme yang bersifat semu, tidak sejati dan cenderung menjadi parasit yang senantiasa tumbuh
dalam kerdilnya pengusaha Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang dibesarkan oleh
topangan kekuasaan politik rezim yang berkuasa. Dengan demikian, poin ini sebenarnya ingin
mengambarkan sebuah situasi dimana birokrasi berpotensi membajak proses demokratisasi di daerah.
Oleh Halevy, menguatnya birokrasi ditandai oleh kemampuan memonopoli keahlian dan informasi
sumberdaya terhadap demokrasi seperti parlemen, partai politik dan masyarakat publik. Kekuatan
demokrasi seperti parlemen, partai politik dan eksponen gerakan seharusnya memahami bahwa syarat
sebuah negara modern membutuhkan organisasi birokrasi yang tidak hanya mampu mengalokasikan
sumberdaya dan juga bertindak secara adil dan merata. Pandangan ini mewajibkan lembaga-lembaga
demokrasi lokal tidak hanya mengejar pertukaran material uang, jabatan, proyek dan kekuasaan,
melainkan juga peka atas kondisi sosial masyarakat dewasa ini.
Kedua, demokrasi sebagai dilema bagi birokrasi. Politisasi birokrasi lokal saat ini merupakan
salah satu faktor intervensi demokrasi dalam tugas dan kewajiban birokrasi yang seharusnya netral
dan tidak berpolitik praktis. Keterlibatan ataupun netralitas birokrasi pada pemilukada memposisikan
lembaga birokrasi lokal berada pada wilayah tidak bertuan. Kepatuhan struktural memungkinkan
semua kepala dinas tunduk pada incumbent kepala daerah. Demikian juga beberapa Bupati/walikota
juga tidak terlepas dari instruksi kebijakan partai pengusung. Secara hirarkis, otoritas kepemimpinan
Bupati/walikota berpengaruh secara langsung pada kinerja kepala-kepala dinasnya yang berada di
bawah struktur pemerintahannya masing-masing.
Teori patron-klien birokrasi dapat menjelaskan beberapa fenomena. Kepala daerah dapat saja
bersikap netral serta menginstruksikan seluruh bawahannya juga tidak terlibat dalam politik praktis.
Namun, sebaliknya ada beberapa kepala daerah secara terang-terangan menyatakan hak politiknya
untuk mendukung kandidat tertentu. Yang demikian ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada
loyalitas bawahannya sehingga dapat saja terseret kedalam politik dukung mendukung, melibatkan
modal negara meskipun dikemas dalam bentuk program-program pelayanan publik secara terbuka.
Dari beberapa dinamika politisasi birokrasi lokal, pelibatan beberapa kepala dinas di pemerintahan
daerah masih mencerminkan dilema demokrasi atas netralitas birokrasi.
Jika kepala-kepala dinas sudah berada dalam perumusan kebijakan dan alokasi sumber daya,
maka ini merupakan langkah menuju pelaksanaan kekuasaan politik kebijakan di level daerah.
Dengan demikian, cara-cara ini merupakan bentuk pertarungan politik yang dianggap lumrah dalam
demokrasi. Demikian halnya juga ketika birokrasi kampus yang dianggap netral, sebagai punggawa
kebenaran keilmuwan yang otoritatif susah dibedakan dengan kelompok-kelompok kepentingan
lainnya dalam bermain mata dengan demokrasi. Akibatnya sangat kebablasan dan merugikan kampus
tersebut. Padahal, ukuran kampus yang sehat dan maju adalah kemampuan dan kemandiriannya dalam
mengambil sikap serta tidak berada di bawah ketika kekuatan politik tertentu.
Ketiga, dilema birokratis dan perselisihan politik. Dilema politisasi birokrasi saat ini
sebenarnya memasuki babakan baru, lebih cair dan saling memanfaatkan dengan kekuatan partai
politik tertentu. Hal ini akan menimbulkan masalah sehingga membawa konflik kepentingan ini
keluar arena kekuasaan, mentransformasikan perbedaan yang tajam ini ke arena demokrasi seperti
perselisihan atau bahkan konflik di dalam arena politik di daerah kabupaten/kota. Hal tersebut dapat
dilihat pada menguatnya kekuasaan partai politik pemerintah dalam tubuh birokrasi.
Poin ini ingin menjelaskan bahwa bukan kontradiksi dan ketidakjelasan fungsi dan peranan
birokrasi dalam melayani kepentingan demokrasi, seperti yang diopinikan oleh beberapa pengamat
selama ini. Melainkan birokrasi sengaja ditawarkan oleh demokrasi (pimpinan partai politik yang
notabene adalah pejabat politik birokrasi) dengan sejumlah jabatan kunci yang basah untuk
dipertukarkan dengan kesetiaan, loyalitas dan keberlanjutan kekuasaan politik. Ironis memang,
sebagaimana dikemukakan oleh Halevy, birokrasi dituntut untuk terlibat dalam perumusan kebijakan
dan di sisi lain birokrasi dituntut untuk bersikap netral terhadap partai-partai politik.
Namun, ini sebenarnya sumber konflik birokrasi dan demokrasi yang cukup berpotensi
melahirkan gesekan dan riak di tingkat massa pendukung masing-masing. Hal ini disebabkan karena
tidak ada batas yang jelas antara wilayah pembuatan kebijakan birokrasi dengan wilayah politik partai
yang masih kabur dan mudah diseberangi atau ditembus. Beberapa contoh ketegangan dan
pertarungan kekuasaan yang parah menjelang maupun sesudah pilkada akan menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan terburuk seperti pemberhentian jabatan (bahasa halusnya rolling
jabatan), yang melibatkan birokrat senior.
Keterlibatan birokasi dalam pentas demokrasi lokal berpotensi melahirkan konflik antara
sesama birokrat yang berbeda dukungannya dan berpotensi melahirkan konflik kebijakan publik yang
terkesan tidak terurus selama ini. Seluruh energi birokrasi yang bertujuan melayani kepentingan
publik mulai bergeser ke arah keberpihakan pada kelompok etnis, partai politik, klan, keluarga dan
golongan agama tertentu. Dari sisi nasionalisme, ini merupakan kemunduran dalam memperkuat
integritas politik bangsa Indonesia yang masih rentan dari isu-isu ethno-religius, politik identitas dan
tantangan pluralisme. Demikian juga beberapa fenomena seperti perilaku tertutup atas suku lain yang
bekerja dan berkarir di dunia birokrasi. Ada keengganan menerima orang lain menikmati sumberdaya
di negerinya. Secara kultural ini dapat dibenarkan. Tetapi secara plural, perbedaan formasi birokrasi,
keterbatasan SDM yang dibutuhkan dalam kepentingan birokrasi tidak serta merta dapat dipenuhi
oleh SDM lokal. Dilema ini sering menjadi problem birokrasi lokal yang terjebak pada dua
kepentingan yang saling meniadakan. Menolak orang luar, tetapi di saat yang bersamaan
membutuhkan formasi birokrasi sesuai dengan kebutuhan pengisian formasi.
Pada awalnya, birokrasi ibarat sebuah rumah yang mengadopsi bentuk-bentuk kebijakan
publik negara yang menyantuni, mendidik dan melakukan proses pemberdayaan (empowering).
Namun lambat laun, kooptasi kepentingan elit demokrasi oleh pejabat pemerintahan daerah ini justru
melahirkan perilaku baru yakni memperkuat pertemanan (koncoisme) dalam kerangka kerdil, ekslusif,
rasis, dan cenderung membela masing-masing etnis secara picik, dungu, jongos, kebablasan dan
bermental inlander---maupun membajak demokrasi (hijecting democracy). Pembajakan demokrasi
oleh birokrasi dapat dilakukan dengan cara membeli partai politik yang memiliki pengaruh kuat di
DPRD dan selanjutnya digunakan untuk melegitimasi sumberdaya uang dan Peraturan Daerah yang
menguntungkan serta dukungan politik dalam kebijakan publik di level masyarakat.
Mengakhiri tulisan singkat ini, tersendat-sendatnya pembangunan berbasis masyarakat
disebabkan oleh berbagai kooptasi kekuasaan antara birokrasi dan demokrasi. Dengan demikian,
pertarungan ini akhirnya hanya menguntungkan elit birokrat maupun politisi. Dalam berbagai momen
politik seperti pilkada yang melibatkan perebutan kekuasaan elit lokal, maupun eksekusi kebijakan
publikyang melibatkan birokrat senior dan politisi di DPRD, kedua-duanya hanyalah suatu rutinitas
belaka untuk membagi-bagi jatah sumberdaya. Agar proses itu berjalan dengan baik, dalam pilkada
rakyat dilibatkan ke arena pencoblosan suara untuk mendapatkan legitimasi politik secara gratis.
Demikian pula dalam pengambilan kebijakan publik, rakyat hanya dimintai mengusulkan program
pembangunan, tetapi eksekusi kebijakan publik itu berada di tangan birokrat. Akhirul kalam,
birokratisasi maupun demokratisasi akhirnya hanya akan melahirkan politisasi. Dan, hanya elit yang
diuntungkan.

Referensi
Etzioni Halevy, 1983. Bureaucracy and Democracy: A Political Dilema,
Richard Robison, 1985. Indonesia: The Rise of Capital
Akbar Tandjung, 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era
Transisi
Cornelis Lay, 2006. Involusi Politik: Esai-Esai di Era Transisi Demokrasi
David Sulistijo Widihandojo, 1997. The Making of a Precarious Bourgeoisie: State and
Transformation of Domestic Bourgeoisie in Indonesia
Olle Tornquist, 1990. Rent Capitalism, State, and Democracy dalam Arif Budiman (ed.). State and
Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No.22

Anda mungkin juga menyukai