Anda di halaman 1dari 16

8.

1 Analisa Mengenai Pemilihan Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kewenangan pemerintah untuk setiap kebijaksanaan


yang diputuskan secara bersama-sama untuk mempengaruhi sektor riil di bidang keuangan
atau moneter khususnya dalam hal menunjang pembangunan ekonomi. Salah satu bagian
dari kebijakan ekonomi makro yang dibuat oleh pemerintah dimasa ditujukan untuk
mendukung sasaran ekonomi makro seperti stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, serta pemerataan pembangunan dan keseimbangan neraca pembayaran disebut
Kebijakan Moneter. Terdapat dua macam kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter
kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif. Upaya yang dilakukan dengan cara
meningkatkan jumlah uang yang beredar untuk mendorong kegiatan ekonomi disebut
kebijakan moneter ekspansif, sedangkan upaya yang dilakukan dengan cara mengurangi
jumlah uang yang beredar untuk memperlambat kegiatan ekonomi disebut kebijkan ekonomi
kontraktif.

Adapun tujuan dari kebijaksanaan moneter yaitu untuk mensejahterakan masyarakat


dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui pembangunan ekonomi. Tujuan ini
diharapkan dapat tercapai dengan dukungan berbagai kebijaksanaan baik disektor moneter
maupun kebijaksanaan di sektor riil. Agar tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

Bank Sentral mempunyai kewenangan untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter


dengan menetapkan kebijakan di sektor moneter itu sendiri berupa mengatur keseimbangan
stabilitas nilai rupiah baik itu kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa ataupun
kestabilan nilai rupiah terhadap nilai mata uang asing. Kemudian kebijakan moneter lainnya
seperti mengendalikan jumlah uang yang beredar, mengurangi atau menghapus pencucian
uang, menstabilkan tingkat bunga, laju pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs
asing, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan undang-undang.

Dalam tujuannya yaitu mengatur dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diatur
dalam UU tentang Bank Indonesia. Kestabilan nilai rupiah yang ingin dicapai tersebut yaitu
kestabilan terhada harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Inflasi
ditimbulkan karena meningkatnya pendapatan masyarakat yang mempengaruhi
pengeluaran melebihi kemampuan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Adanya inflasi yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap perekonomian Indonesia yang
kemudian dapat pula mengganggu kestabilan sosial dan politik.
Berikut ini merupakan data tingkat inflasi di Indoneisa tahun 2016-2017

Bulan Tahun Tingkat Inflasi


Januari 2016 4.14 %
Februari 2016 4.42 %
Maret 2016 4.45 %
April 2016 3.60 %
Mei 2016 3.33 %
Juni 2016 3.45 %
Juli 2016 3.21 %
Agustus 2016 2.79 %
September 2016 3.07 %
Oktober 2016 3.31 %
Nopember 2016 3.58 %
Desember 2016 3.02 %
Januari 2017 3.49 %
Februari 2017 3.83 %
Maret 2017 3.61 %
April 2017 4.17 %
Mei 2017 4.33 %
Juni 2017 4.37 %
Juli 2017 3.88 %
Agustus 2017 3.82 %

Bank Indonesia telah menerapkan kerangka kebijakan moneter sejak tahun 2005
untuk mencapai tujuannya dalam mencapai kestabilan nilai rupiah dengan inflasi menjadi
sasaran yang paling utama dan sistem yang dianut yaitu nilai tukar yang mengambang (free
floating). Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar mengingat untuk mencapai
stabilitas harga dan sistem keuangan, peran kestabilan nilai tukar sangat penting. Kebijakan
nilai tukar yang dijalankan bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu namun
untuk mengurangi perubahan nilai tukar yang berlebihan.

Kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah untuk mencapai sasaran inflasi yaitu
dengan cara melihat kedepan (forward looking) dimana pemerintah akan melakukan
perubahan kebijakan moneter dangan melihat apakah sasaran inflasi yang telah dirancang
dapat mengikuti arus perkembangan inflasi ke depan. Disusunnya kebijakan moneter
diharapkan mampu memberi pengaruh terhadap suku bunga pasar uang, suku bunga
deposito, dan suku bunga kredit perbankan melalui penetapan suku bunga kebijakan (BI
Rate). Dalam penerapan kebijakan moneter pemerintah menggunakan empat instrumen
sebagai acuannya yaitu:

a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

b) Fasilitas Diskonto (Discount Rate)


c) Giro Wajib Minimum (Received Requirement Ratio)

d) Pengaturan Kredit dan Pembiayaan

e) Kebijaksanaan lain yang dianggap perlu.

Salah satu cara agar jumlah uang yang beredar tetap terkendali dengan
menggunkan sistem operasi pasar terbuka (OPT) maka pemerintah yang dapat dilakukan
pemerintah yaitu menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah. Sertifikat
Bank Indonesia yang dikeluarkan oleh BI kepada setiap pemilik SBI Bank Indonesia
merupakan salah satu alat yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan
jumlah uang yang beredar yaitu dengan cara memberikan balas jasa berupa pendapatan
bunga terhadap pemilik SBI Bank Indonesia. Jika jumlah uang yang beredar masih banyak,
menarik kembali jumlah uang yang beredar dari masyarakat dengan cara membuat
masyarakat membeli SBI merupakan upaya yang bisa dilakukan oleh Bank Indoneisa untuk
mengurangi peredaran jumlah uang di masyarakat.

Agar upaya tersebut berhasil maka Bank Indonesia akan menaikan tingkat suku
bunga SBI sehingga masyarakat tertarik untuk membeli SBI. Namun apabila pemerintah
ingin menambah peredaran jumlah uang, maka akan dilakukan hal sebaliknya dimana Bank
Indonesia akan menarik kembali SBI yang telah di beli oleh masyarakat dengan cara
membelinya kembali. Bank Indonesia akan menurunkan tingkat suku bunga SBI sehingga
semakin banyak masyarakat yang menual kembali SBInya.

Adanya hubungan antara suku bunga SBI dengan inflasi, Bank Indonesia
menggunakan instrumen suku bunga SBI dalam mengendalikan inflasi yang dapat
mendorong kenaikan suku bunga jangka pendek di pasar uang karena terjadinya kenaikan
suku bunga SBI. Demikian pula untuk tingkat suku bunga jangka panjang, inflasi dapat
menurun karena produksi dalam negeri yang dilakukan oleh produsen menurun. Produsen
akan mengurangi investasinya karena adanya kenaikan suku bunga di pasar uang untuk
jangka panjang.

Bank sentral dapat memberikan pinjaman terhadap bank umum yag mengalami
kesulitan dana dalam ekspansi kreditnya. Pinjaman dana dari bank sentral terhadap bank
umum disebut fasilitas diskonto atau tingkat diskonto (Discount Rate). Tingkat bunga yang
ditetapkan pemerintah untuk bank-bank umum yan meminjam dana ke bank sentral disebut
tingkat diskonto. Suatu bank yang mengalami kekurangan dana karena beberapa kondisi
tertentu mengharuskan bank tersebut meminjam pada Bank Sentral dan kondisi tersebut
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi atau menambah jumlah peredaran uang.
Pemerintah dapat menurunkan tingkat suku bunga pinjaman (tingkat diskonto) untuk
menambah jumlah uang yang beredar karena jika tingkat bunga pinjaman rendah maka
bank-bank umum akan melakukan pinjaman uang ke bank sentral. Sebaliknya pemerintah
dapat menaikkan tingkat suku bunga pinjaman untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
karena jika tingkat bunga pinjaman tinggi maka bank-bank umum tidak akan melakukan
pinjaman uang ke bank sentral.

Untuk mengatur dan mengubah jumlah uang yang beredar pemerintah juga dapat
menggunakan sistem penetapan cadangan wajib minimum (Giro Wajib Minimum). Untuk
menambah jumlah uang yang beredar, Bank Sentral akan menurunkan giro wajib minimum
sehingga kemampuan bank-bank umum untuk ekspansi kredit semakin meningkat.
Sebalikya untuk mengurangi jumlah uang yang beredar, Bank Sentral akan menaikkan giro
wajib minimum sehingga kemampuan bank-bank umum untuk ekspansi kredit semakin
menurun.

Pengaturan kredit adalah hal yang dapat di lakukan oleh Bank Indonesia sebagai
alat kebijakan moneter. Aktivitas utama dari lembaga keuangan bank yaitu kredit sehingga
manajemen kredit merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Pengaturan kredit
bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan kredit sehingga dapat meminimumkan kredit
macet. Misalnya, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diatur sedemikian rupa dengan
tingkat bunga yang rendah sehingga yang dapat disalurkan keapada anak perusahaan dari
bank yang menerima hanya mendapat sebagian tertentu saja sesuai dengan kebijakan yang
ditentukan. Agar sistem moneter dapat berjalan dengan baik dan kestabilan nilai uang yang
menjadi tujuannya dapat tercapai maka perlu dilakukan pengaturan mengenai manajemen
kredit sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang dapat mengganggu berjalannya
sistem.

Selain operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, giro wajib minimum (GWM),
pengaturan kredit dan pembiayaan, terdapat instrumen lainnya yang bersifat kualitatif yang
tidak memaksa bank umum untuk menaatinya yaitu imbauan moral (moral persuasion).
Imbauan moral tersebut biasanya dikeluarkan oleh bank sentral berupa pernyataan yang
besisi pengarahan atau pemberian informasi yang dapat dijadikan masukan bagi bank-bank
umum untuk mengelola aset dan kewajibannya lebih baik lagi. Kebijkan moneter yang
dicanangkan oleh pemerintah diharapkan membawa dampak positif untuk perekonomian
makro kedepannya. Kondisi perekonomian makro kedepannya dapat diukur dengan
beberapa indikator seperti terpeliharanya indikator ekonomi yang baik, stabilitas harga yang
terkendali, dan menurunnya tingkat pengangguran.
Pemerintah perlu melakukan pengelolaan dan pengaturan sistem perkreditan
dinamis dalam melaksanakan kebijkan moneter karena sesuai dengan kondisi
perekonomian masyarakat Indonesia yang kegiatannya bergantung pada aset keuangan
kredit perbankan. Pengelolaan dan pengaturan yang dilakukan menyesuaikan kebutuhan
dan kondisi struktur potensi masyarakat daerah yang akan dijalankan. Tercapainya tujuan
dari kebijakan moneter yaitu stabilisasi ekonomi, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :

a) Kuat atau tidaknya hubungan kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi.

b) Jangka waktu perubahan kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi.

8.2 Analisa Mengenai Kelembagaan

Kondisi perekonomian di Indonesia mengalami banyak perubahan seiring berjalanya


waktu. Sektor perekonomian dimulai dari periode dimana pada tahun-tahun awal
kemerdekaan perbankan di Indonesia hanya terdiri dari satu bank sentral, dan beberapa
bank-bank dagang yang merupakan warisan penjajahan yang telah disentralisasi, dan
sebuah investment bank milik negara. Tingginya tingkat inflasi pada periode tersebut
bersamaan dengan perbankan yang tidak dapat memobilisasi dana masyarakat
memperburuk keadaan, sehingga bank-bank umum swasta tutup, dan bank-bank milik
pemerintah tetap bertahan dengan perubahan fungsi menjadi saluran penciptaan uang yang
langsung diawasi oleh penguasa moneter (Nehen. 2016:345-346).

Pada masa pemerintahan orde baru lebih memberikan kesempatan kepada pihak
swasta dan mengandalkan kekuatan pasar serta mengurangi peran negara dalam
perekonomian. Bank-bank pemerintah yang merupakan hasil konglomerasi bank milik
negara diharapkan menjadi wadah perkembangan sistem keuangan. bank tersebut memiliki
hubungan khusus dengan bank sentral dimana dana simpanan mereka terjamin dan
memperoleh subsidi dari hubungan ini. Dengan perolehan subsidi tersebut, maka bank
menawarkan bunga deposito yang cukup tinggi. Dikutip dari buku Perekonomian Indonesia
oleh Ketut Nehen, sebagai imbalan dari hubungan ini karena belumnya dibentuk undang-
undang yang mengikat mengenai pendistribusian dana masyarakat di dunia perbankan
maka dari itu kebijakan otoritas moneter waktu itu yang diberikan terkait dengan sektor
perbankan adalah untuk kegiatan usaha-usaha besar dan program pemerintah, sekaligus
penyerahan tingkat bunga baik dalam bentuk simpanan atau deposito yang mereka terima
maupun yang mereka berikan. Pada Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa Bank Indonesia
merupakan bank sentral Republik Indonesia, ayat (2) yang menyatakan bahwa Bank
Indonesia merupakan lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan
pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatus
dalam undang-undang ini, serta ayat (3) menyatakan bahwa Bank Indonesia adalah badan
hukum berdasarkan undang-undang ini. berdasarkan undang-undang tersebut dapat
disimpulkan bahwa Bank Indonesia melepaskan fungsi bank umumnya yang di lakukan
pada saat awal-awal masa kemerdekaan yang bersamaan dengan bank umum lainnya.

Mulai menjamurnya kantor-kantor bank asing pada tahun 1972 membawa pengaruh
positif pada sistem perekonomian dimana kreditur asing yang bonafit mulai melirik untuk
berinvestasi diluar negri dan perkembangan kelembagaan ini memperlancar aliran modal
dalam jumlah yang besar ke dalam negri. Derasnya aliran modal dari investor asing tidak
diimbangi dengan memadainya sistem perbankan di Indonesia dalam penyerapan dana
masyarakat. Dalam deregulasi pemerintah pada tanggal 1 Juni 1983 yang dikenal dengan
Paket Juni 1983 yang memberikan kebebasaan kepada bank untuk menetapkan suku
bunga simpanan dan pinjaman, pengurangan KLBI, serta penghapusan pada kredit dan
pembatasan asset lain. Lalu pada sector perbankan juga mulai dikenalkan dengan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) serta fasilitas diskonto oleh
BI.

Dengan dikeluarkannya Paket Juni (Pakjun) masyarakat mulai tertarik untuk ke bank
dan diharapkan dapat menyebabkan pertumbuhan perbankan pesat. Pemerintah kembali
mengeluarkan paket yakni paket yang dikenal dengan nama pakto 88 yang dikeluarkan
pada tanggal 27 Oktober 1988. Menurut beberapa jurnal, artikel, serta buku, paket ini
merupakan paket paling liberal disepanjang sejarah perbankan Indonesia. Pada paket ini
bank diberikan kemudahan dalam mendirikan suatu bank, seluruh jenis bank dapat
membuka cabang di enam kota. Sistem permodalan untuk bank umum maupun BPR (Bank
Perkreditan Rakyat) pun memiliki nominal penyetoran modal yang relative rendah.

Pemerintah juga kembali melegalkan lembaga keuangan non bank, serta


menghidupkan dan menyempurnakan Bursa Efek Indonesia (BEI). Pakto 88 menyebabkan
meningkatnya jumlah bank yang tumbuh, sektor moneter dan juga bank baru juga
mendapatkan manfaatnya namun pertumbuhan lembaga tersebut menjadi tidak terkendali.
Hal tersebut menyebabkan pada penerapan pakto 88 terdapat banyak bank-bank gelap
akibat modal untuk pendirian bank di Indonesia diambil dari dana-dana luar negri yang
masuk melalui pasar modal.

Kompetisi juga semakin kompetitif antar bank diantaranya kompetisi pencarian


tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan. Persingan ini menyebabkan bank
sangat tidak profesional dalam memberikan pinjaman kredit dan menyebabkan berbagai
pihak dirugikan, banyak kredit macet karena keamanan dari penyaluran dana tersebut.
Dikeluarkannya paket pada tahun 1991 pada bulan Februari merupakan kelanjutan dari
pakto 88, yang mulai mengatur mengenai permodalan dari suatu bank yakni modal sendiri
sebesar 8% dari seluruh asetnya, karena pada masa pakto 88 banyak bank yang memiliki
CAR yang rendah. Diharapkan paket pada tahun 1991 ini meningkatkan kualitas perbankan
karena pada periode ini telah terjadi proses globalisasi perbankan, sehingga tidak adanya
kasus bank yang collapse.

Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan,


pada Bab IV Pasal 16 ayat (2) yang mengatur mengenai persyaratan pendirian bank baru
karena deregulasi yang dikeluarkan melalui paket pada tahun 1991 menyebabkan banyak
bank yang memperkuat modalnya sendiri. Ditahun yg bersamaan dengan dikeluarkannya
undang-undang tersebut, pemerintah juga menaikkan modal minimum pendirian bank,
namun masih saja jumlah pendirian bank meningkat yang diindikasi pendirian bank baru
tersebut oleh para konglomerat untuk memenuhi kebutuhan finansial usaha mereka. Pada
tahun ini masih terjadi kejanggalan atau permasalahan yang terjadi pada periode pakto 88
yakni ketidakamanan dalam penyaluran kredit, tingkat bunga yang melambung tinggi
sehingga terjadi banyak kredit macet yang menyebabkan banyak bank mengalami skandal
Likuiditas Bank Indonesia (LBI).

Krisis moneter pada tahun 1998 menyebabkan terdapat 16 bank yang dilikuidasi dan
mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan di Indonesia.
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya
memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk blanket guarantee
yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 tahun
1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Ruang lingkup penjamin yang terlalu luas menimbulkan moral hazard baik dari segi
pengelola perbankan maupun masyarakat, meskipun ada saat itu kepercayaan masyarakat
sudah mulai kembali pada sistem perbankan. Pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-
undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan mengamanakan pembantukan LPS
sebagai pelaksana penjamin masyarakat untuk menciptakan rasa aman nasabah dalam
penyimpanan uang dibank dengan ruang lingkup yang terbatas.pada tanggal 22 September
2005 beriringan dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan yang berfungsi sebagai lembaga yang dapat menjamin
simpanan nasabah dan aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya resmi beroperasi.

Dikutip dari penjelasan mengenai kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh


Bank Indonesia, pada tahun 1998-2003 telah terjadi proses restrukturisasi perbankan di
Indonesia sehingga akhirnya terbentuk kebijakan-kebijakan baru untuk memudahkan
transmisi kebijakan moneter dari Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan di Indonesia karena stabilitas sistem keuangan tidak hanya
mendukung negara dalam makroekonomi atau stabilitas harga, melaikan juga mendukung
pertumbuhan ekonomi seperti kejadian yang telah dipaparkan diatas mengenai kondisi
perbankan yang mendorong dalam penjagaan stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
Dikutip dari situs bank Indonesia dalam rangka stabilitas nilai mata uang yang tercermin dari
nilai inflasi yang rendah dan stabil, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan 7DRR (7-day
(Reserve) Repo Rate) sebagai instrument kebijakan utama untuk mempengruhi
perekonomian dengan tujuan akhirnya pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.

Kebijakan moneter perlu bereaksi terhadap credit gap dan nilai tuker riil untuk
memitigasi dimensi waktu dan risiko sistemik. Risiko sistemik dikutip dari bulletin Bank
Indonesia merupakan risiko yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat dan
peningktan ketidakpastian ekonomi sehingga mengganggu jalanannya sistem
perekonomian karena fungsi sistem keuangan tidak bekerja dengan baik. Sehingga dalam
penerapannya, kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial merupakan instrument
komplementer sehingga Bank Indonesia perlu merumuskan secara bersamaan kedua
kebijakan tersebut dalam model makroekonomi yang telah memasukkan ketidak
sempurnaan pasar kredit dan efektivitas transmisi moneter.

Untuk memitigasi risiko yang muncul dari prosiklisitas keterkaitan makrofinansial,


serta akumulasi risiko sistemik yang muncul maka kebijakan makroprudensial dibuat dalam
cakupan pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan yang bersifat makro dan
berfokus pada risiko sistemik. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan ini
adalah:

1. Kebijakan makroprudensial diarahkan untuk mencegah akumulasi risiko boom-bust


siklus keuangan baik karena factor dari dalam sistem keungan itu sendiri maupun
interaksinya dengan perekonomian domestic dan internasional (time dimension);
2. kebijakan makroprudensial diarahkan untuk memperkuat ketahanan sistem
keuangan dan memitigasi risiko pewabahan contagion dari interkoneksi dan jejaring
dari sistem keuangan (cross-section dimension);
3. mampu mengembangkan pengaturan prudensial yang dari perspektif sistem secara
keseluruhan yang mampu mendorong bekerjanya instenif dan dis-insentif (structural
dimension).

Tidak hanya berfokus pada sektor perbankan, kebijakan rasio LTV (loan-to-value)
contohnya yang memantau pergerakan property dan konstruksi, pemantauan kondisi
makroekonomi sebagai lingkungan sistem keuangan, serta pemantauan daya beli
msyarakat. Untuk kebijakan ini tentunya dilakukan pengawasan terhadap bidang yang
terkait seperti penyaluran KPR (kredit Pemilikan Rumah) korporasi mapupun rumah tangga
oleh lembaga keuangan bank maupun non-bank (Warjiyo. 2016:35).

Menurut Asih dan Akbar dalam penelitiannya, adanya pengaruh inflasi terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan menandakan inflasi sangat terkait dengan penurunan
kemampuan daya beli, baik individu maupun perusahaan. Sehingga inflasi dan Indeks
Harga Saham Gabungan berpengaruh positif dengan inflasi yang meningkat akan
menyebabkan harga saham akan turun, karena perusahaan mengalami penurunan profit
sebagai dampak dari inflasi. Lain halnya dengan tingkat suku bunga yang memiliki korelasi
negtif terhadap Index Harga Saham Gabungan. Apabila tingkat suku bunga mengalami
kenaikan, maka harga-harga saham yang diperdagangkan dalam Bursa Efek Indonesia
akan mengalami penurunan, dan para investor beralih ke investasi perbankan seperti
deposito, dan berlaku sebaliknya.

8.3 Analisa Mengenai Kasus Capital Flight dan Cara Mencegahnya

Capital Flight atau yang sering disebut pelarian dana adalah suatu bentuk masalah
ekonomi yang sering ditemui oleh para pelaku ekonomi di suatu Negara termasuk di Negara
Indonesia. Capital Flight sangat memerlukan perhatian apalagi jika terjadi krisis. Tetapi
istilah Capital Flight sangat jarang dibicarakan karena belum ada kejelasan mengenai
definisi dari Capital Flight itu sendiri secara pasti, para ahli- ahli ekonomi mempunyai
pendapat yang berbeda- beda mengenai definisi Capital Flight sehingga tidak ada kejelasan
mengenai istilah Capital Flight.

Ketika diamati banyak pendapat mengenai konsep Capital Flight itu sendiri, para ahli
memiliki definisi, Capital Flight yang berbeda hal ini menimbulkan pandangan yang sangat
negative untuk aliran dana keluar yang jumlahnya besar di suatu Negara sehingga hal
tersebut nantinya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara yang
bersangkutan. Seharusnya, masalah Capital Flight sangat perlu diperhatikan dan dicari jalan
keluarnya sehingga dampak negative dari adanya masalah Capital Flight dapat diantisipasi
dan dikurangi .
Kesetabilan pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh Capital Flight. Capital
Flight mulai diperhatikan sejak awal tahun 1980-an dimana besar dana yang dikeluarkan
oleh suatu negara berbanding terbalik dengan dana yang masuk di negara tersebut. Capital
Flight menekankan pada dana yang dikeluarkan suatu negara. Ada beberapa factor yang
mempengaruhi Capital Flight yaitu seberapa besar terjadinya infasi pada suatu negara,
kebijakan politik suatu negara, perdagangan, tingkat korupsi , dll yang nantinya semua factor
tersebut akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Ada pula factor yang sangat mempengaruhi adanya Capital Flight yang jarang
diperhatikan oleh para pelaku ekonomi yaitu factor SDM, ketika SDM diberdayakan dan
ditingkatkan kualitasnya maka masalah yang timbul akibat Capital Flight akan dapat
diminimalisir.

8.3.1. Berikut adalah contoh kasus Capital Flight yang pernah terjadi di Indonesia

Krisis ekonomi yang terjadi di Asia Tenggara dan melanda Bangsa Indonesia
menimbulkan dampak negative bagi pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia. Pada waktu
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mengakibatkan banyak investor asing yang
memindahkan modal/asset yang dimilikinya ke luar Indonesia. Krisis ekonomi juga
mengakibatkan krisis mata uang, yang ditandai dengan menurunnya nilai Rupiah terhadap
USD. Hal tersebut tentu menandakan bahwa investasi investor di Indonesia sangat tidak
menguntungkan.

World Development Report (World Bank, 1998) menyebutkan bahwa krisis ekonomi
yang terjadi di Asia Tenggara disebabkan oleh adanya pelarian modal (Capital Flight) besar-
besaran ke luar negeri sejak tahun 1997 sampai tahun 1998. Dan pada tahun 2000 inward
Capital Flight pun terjadi sampai 3.65 USD. Hal ini kemungkinan terjadi karena pertumbuhan
perekonomian Indonesia semakin stabil sehingga investor kembali menanamkan modalnya
ke Indonesia yang disebabkan oleh adanya pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan
Bank Indonesia untuk melakukan rekapitulasi perbankan yang bertujuan untuk penyehatan
perbankan.

Beberapa literatur dan penelitian terkait, pengukuran capital flight menggunakan


residual method dari World Bank. Menurut Johannesen dan Pirttila yang melakukan
penelitian pengkuran capital flight menggunakan teknik sources-and-uses yang
menggunakan data neraca pembayaran untuk mengestimasi capital flight menyimpulkan
bahwa pengukuran capital flight sangat sulit dilakukan karena factor alami yang terjadi pada
perekonomian suatu negara. Dalam penelitian ini, diambil penerimaan pajak korporat
sebagai salah satu variable, sehingga menurut peneliti negara berkembang relatif lebih
bergantung pada pertumbuhan pendapatan penerimaan pajak korporat karena terdapat
dampak negative dari profit shifting oleh perusahaan multinasional.

Dalam artikel yang dikeluarkan oleh Rakhmindyarto, peneliti badan kebijakan fiscal
kementrian keuangan RI menyatakan bahwa Base Erosion and Profit Sharing (BEPS)
merupakan strategi perencanaan pajak yang memanfaatkan gap atau kelemahan-
kelemahan yang terdapat dalam undang-undang perpajakan domestic dengan tujuan untuk
pengalihan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah atau
bahkan bebas pajak. Dengan pendapat ini maka sangat jelas negara berkembang yang
notabene memiliki ketentuan atau peraturan yang mengikat mengenai penerimaan pajak
akan mendapatkan dampak negatif dalam kasus ini.

Dalam kasus capital flight ini, Indonesia dihadapi dengan permasalahan


ketidakseimbangan makroekonomi, makrofinansial yang tidak dapat diatasi dengan hanya
kebijakan moneter, manajemen aliran modal asing, atau bahkan kebijakan mikroprudensial.
Sehingga diperlukannya instrument penting lainnya untuk yang berkomplementer dengan
kebijakan bank sentral lainnya dalam bauran kebijakan Bank Indonesia. Untuk pencegahan
dari kasus capital flight bank sentral perlu menaruh perhatian pada assesmen nilai tukar,
yield obligasi, dan harga saham, serta harga properti. Bank Sentral di Indonesia juga sudah
menerapkan ITF (Inflation Targeting Framework) setelah sebelumnya Bank Indonesia
menggunakan uang primer sebagai sasaran kebijakan moneter, untuk menanggulangi
capital flight Bank Indonesia juga seharusnya tetap konsisten pada ITF tersebut. Menurut
Warjiyo dalam buletinnya menyatakan bahwa Bank Indonesia perlu melakukan analisis
tersendiri mengenai prakiraan makroekonomi dan makrofinansial, dan memperkaya
assesmen, serta instrument moneter dan/atau makroprudensial untuk memitigasi resiko
yang menungkin saja terjadi kedepannya.

8.4 Analisa Mengenai Devaluasi

8.4.1 Nilai Rupiah dalam Valuta Asing (Devaluasi)

Mengatur atau mengendalikan kurs valuta asing di negara sendiri seperti contohnya
Amerika Serikat, Indonesia maupun negara lainnya dilimpahkan sepenuhnya pada
pemerintah. Kurs (exchang Rate) merupakan perbandingan nilai antara mata uang suatu
negara yang satu terhadap yang lainnya. Oleh sebab itu, pasar mata uang asing di tiap-tiap
negara perlu melakukan penyesuaiannya masing-masing.

Suatu penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya
melibatkan Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengambil alih sistem nilai tukar yang
tetap merupakan definisi dari devaluasi mata uang. Devaluasi sering kali dilakukan bila
kekuasaan yang mengambil alih sistem nilai tukar tetap yang ada dinilai bahwa harga suatu
mata uang tersebut terlalu tinggi diantara nilai mata uang negara lainnya.

Tabel 4.1 Kurs Dollar September 2017

Sumber : kursdollar.net

Pada 16 September 2017, harga beli dolar mengalami peningkatan dari tahun 2007.
Pada tahun 2007 kurs dolar Rp 9.600,00 sedangkan pada tahun 2017 kurs dollar telah
menguat dan nilai tengah dolar sebesar Rp13.261,00.

Dalam dua cara penulisan kurs valuta asing menunjukkan bahwa dolar Amerika
Serikat mengalami apresiasi (peningkatan nilai) dan rupiah mengalami depresiasi
(penurunan nilai). Naik atau turunnya nilai satu mata uang relative terhadap mata uang
lainnya yang ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran yang berarti
bahwa mata uang tersebut mengalami apresiasi atau depresiasi. Berbeda halnya jika
perubahan nilai satu mata uang didasarkan atas kebijakan pemerintah dimana dikatakan
terjadi devaluasi (nilai mata uang dalam negeri relative menurun terhadap mata uang asing)
atau revaluasi (nilai mata uang dalam negeri relative naik terhadap mata uang asing).

Perbedaan inflasi kedua negara dapat mencerminkan bahwa nilai mata uang suatu
negara mengalami kelebihan nilai. Inflasi yang tinggi di suatu negara sudah tentu akan
mengalami penurunan nilai mata uang, tetapi hal tersebut tidak berlaku secara otomatis
dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian dikarenakan penyesuaiaan tersebut
harus melalui penetapan pemerintah. Menurunnya ekspor dan menurunnya kinerja
manufaktur merupakan tanda mata uang suatu negara mengalami kenaikan nilai.

Tujuan negara melakukan devaluasi untuk meningkatkan ekspor serta membatasi


impor. Dengan melakukan devaluasi dapat membenahi posisi balance of payment, BOP dan
balance of trade, BOT agar mendekati equilibrium. Dengan tercapainya kesetimbangan BOP
diharapkan nilai kurs valuta asing dapat menjadi relatif stabil.
Nilai mata uang asing terhadap rupiah menjadi naik bila diterapkannya devaluasi. hal
tersebut akan mengakibatkan tingginya harga barang impor jika dinilai dengan rupiah.
Pemerintah berharap agar kebijakan devaluasi ini dapat mengurangi impor. Sedangkan
harga barang ekspor ke luar negeri menjadi turun jika mata uang importirnya bukan rupiah
(sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun. Volume ekspor dapat bersaing di pasar
internasional dikarenakan nilai barang ekspor di luar negeri lebih rendah. Dengan adanya
kenaikan ekspor dan menurunnya impor, diharapkan perusahan dalam negeri dapat
berkembang, menyerap banyak tenaga kerja yang dapat mengurangi tingkat pengangguran
serta meningkatkan perekonomian masyarakat.

Terdapat dua acara menentukan kurs valuta asing yaitu:


1. Parity Kandungan Jaminan (mint parity)
Setiap mata uang mempunyai jaminan di bank sentralnya, yang berupa emas dan
logam mulia lainnya ditambah dengan surat-surat berharga dan mata uang asing yang
komfortabel (yang mudah ditukarkan dengan uang). Semua jaminan yang terkandung di
dalam satu mata uang sama artinya dengan kandungan logam mulia (mint) pada uang yang
bersangkutan. Kandungan jaminan pada mata uang menunjukkan nilainya masing-masing
dan jika keduanya dibandingkan maka akan diperoleh nilai mata uang tertentu relative
terhadap mata uang lainnya.

2. Parity Daya Beli (purchasing power parity)


Cara ini adalah dengan membandingkan daya beli mata uang di dalam negerinya
masing-masing yang ditunjukkan oleh indeks harga konsumen. Jadi, membandingkan
indeks harga konsumen dua negara (dengan tahun dasar sama) akan memperoleh kurs
mata uang satu negara relative terhadap mata uang lainnya.
Cara manapun yang digunakan dalam menentukan kurs valuta asing, satu negara
pasti mempunyai nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain dan perubahannya
ditentukan setiap hari oleh pasar atau pada waktu tertentu oleh pemerintah. Pemerintah
hanya menentukan kurs mata uangnya jika sistem devisa yang dipakai memperkenankan
campur tangan pemerintah. Misalnya pada akhir masa pemerintahan Sukarno, pemerintah
menerapkan system devisa yang disebut Exchange Control dan sepanjang pemerintahan
Suharto pemerintah menerapkan system devisa mengambang terkendali (managed floating
exchange rate). Semenjak Agustus 1997 Indonesia menerapkan sistem kurs mengambang
bebas (free floating exchange rate system) dimana posisi nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing (USD) ditentukan oleh mekanisme pasar. Pergerakan nilai tukar mata uang
Rupiah (IDR) terhadap Dollar Amerika (USD) semenjak peberlakuan sistem kurs
mengambang bebas (free floating exchange rate system) kurs mengalami keterpurukan
akibat krisis moneter yang mengakibatkan jatuhnya nilai mata uang domestik secara tajam.
Pada Agustus 1959 pemerintah menetapkan harga US$1=45. Kemudian pemerintah
mempertahankan kurs US$ tetap sebesar Rp45 meskipun pada waktu itu terus terjadi
kenaikan harga di dalam negeri. Harga resmi US$ tetap, tetapi karena inflasi harga di pasar
gelap sudah meningkat. Dalam keadaan seperti itu, rupiah dinilai terlalu tinggi oleh
pemerintah yang mempunyai akibat menguntungkan importir tetapi tidak mendorong ekspor.
Karena alasan ingin mendorong ekspor dan mengekang impor maka kemudian pemerintah
menyesuaikan kurs US$ menjadi Rp250 pada tahun 1964. Kebijakan pemerintah untuk
menurunkan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri disebut kebijakan
devaluasi. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan devaluasi beberapa kali, dan sejak
Oktober 1997 rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai kekuatan pasar
dan oleh karenanya tidak ada lagi peluang untuk mengadakan devaluasi.

8.4.1. Contoh Kebijakan Devaluasi Yuan


Pada bulan juli ekspor Tiongkok mengalami penurunan sebesar 8,3% (Izzudin:2015).
Penurunan ekspor tersebut membuat pemerintah Tiongkok melalui Bank Sentral
memberikan kebijakan devaluasi mata uang Yuan terhadap Dollar Amerika Serikat.
Devaluasi Yuan dilakukan pada bulan Agustus tepatnya tanggal 11,12 dan 13 Agustus 2015.
Penurunan mata uang Yuan berkisar diantara 1-2% dari nilai tukar Yuan yang sebelumnya.
Akibat dari devaluasi mata uang Yuan akan dapat mendorong ekspor dan membatasi impor
yang masuk ke negara Tiongkok. Tiongkok beranggapan dengan menurunkan nilai tukarnya
maka mitra dagang dapat membeli barang maupun jasa dengan lebih murah. Sehingga
mitra dagang Tiongkok akan membeli barang dengan kuantitas yang lebih dari pada
sebelumnya. Kondisi yang demikian akan membuat Tiongkok sukses dengan tujuan
awalnya dengan mendevaluasi mata uangnya akan dapat mendorong ekspor dan
memperbaiki posisi neraca perdagangan.
Daftar pustaka
Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press.
Kurs Dollar Net. 2017. Kurs Dollar 2017. http://kursdollar.net/. Diakses pada tanggal 16
September 2017.
Izzudin,2015. Penurunan Ekspor China. (online).
Tersedia :https://ekbis.sindonews.com/read/1030816/35/ekspor-china-juli-merosot-83-
1439019008. Diakses 16 September 2017
Ika Kholifatul Marah, Suhadak dan Raden Rustam Hidayat. 2016. Pengaruh Perubahan
Nilai Tukar Yuan Tiongkok Terhadap Us Dollar Amerika Serikat Dan Dampaknya
Terhadap Rupiah Indonesia (Studi Pada Bloomberg Dan Bank Indonesia Tahun 2012-
2015). Malang: Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). Vol. 35 No. 2:46-52
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/Default.aspx

Catona Machtra, Fakhruddin. 2016. Analisis Efek Kebijakan Moneter Terhadap Output
Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik. Volume 3 nomer 1 ISSN.2442-7411

http://www.ukm.my/fep/jem/pdf/2016-50%282%29/jeko_50%282%29-11.pdf

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (diakses
pada 16 September 2017)

Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan (diakses pada 16 September 2017),

(http://www.lps.go.id/ (diakses pada 17 September 2017)).

http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Documents/Sesi%201%20-%20Stabilitas
%20Sistem%20Keuangan%20-%20s.pdf (diakses pada 16 September 2017)).

(Bank Indonesia.2016.Mengupas Kebijakan Makroprudensial.Jakarta:Bank Indonesia)

(Warjiyo, perry. 2016.Bauran Kebijakan Bank Sentral: Konsepsi Pokok dan Pengalaman
Bank Indonesia.Jakarta: BI Institute)
(Asih dan Akbar. 2016. Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Nilai Tukar (Kurs), dan
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap Indeks Hrga Saham Gabungan
(IHSG) Studi Kasus Pada Perusahaan Properti yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia.Banjarmasin:Jurnal Manajemen dan Akuntansi Vol. 17, No. 1:50)

(Auzairy et al. 2016. Dynamic relationships of capital flight and macroeconomic


fundamentals In Malaysia.Malaysia:Malaysian Journal of Society and Space Vol. 12, Issue 2
(203-211)).

Johannesen dan Pirttila. 2016. Capital Flight and development. Finland:UNU-WIDER

(Rakhmindyarto, Base Erosion and Profit Sharing (BEPS): Aktivitas Ekonomi Global dan
Peran OECD.) diakses pada 17 September 2017.

Anda mungkin juga menyukai