Anda di halaman 1dari 38

BAB I

LAPORAN STATUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Magelang
Pekerjaan : Petani
Tanggal Periksa : 05 Juli 2017

ANAMNESIS
Keluhan Utama :Mata kanan dan kiri pegal, berair dan terasa
ada yang mengganjal.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli mata RST dr. Soedjono Magelang pada tanggal 5
Juli 2017 dengan keluhan mata kanan dan kiri terasa pegal, berair dan terasa
mengganjal sejak 2 minggu ini. Keluhan ini juga disertai dengan pandangan
kabur pada mata kanan pasien. Pasien mengatakan keluhan yang dirasakannya
makin memberat dalam 3 bulan terakhir ini. Menurut pasien, pada mata kanan
dan kiri sering terasa pedih bila terkena angin dan sering nerocos terutama
pada mata kanan. Pasien merasa keluhan ini semakin memberat dalam 1
minggu terakhir sehingga pasien memutuskan untuk pergi berobat ke RST dr.
Soedjono Magelang. Pasien mengatakan bahwa, keluhannya ini dirasakan
sejak 2 tahun yang lalu, awalnya hanya terasa gatal, namun dirinya merasa
pada mata kanan dan kirinya tumbuh selaput tipis, tetapi pasien
mengabaikannya. Selaput pada mata kanan dan kiri pasien dirasakan semakin
melebar, dirinya merasa pada awalnya hanya pada bagian putih namun
sekarang makin melebar dari awalnya pada bagian putih saja sekarang sudah
mencapai bagian hitam pada matanya. Pasien bekerja sebagai petani sejak usia
muda hingga saat ini, pasien mengaku sering terkena terik matahari langsung,
debu, angin dan asap pada saat di ladang.

1
Pasien belum pernah berobat ke dokter atau ke klinik sebelumnya, untuk
mengatasi keluhannya pasien hanya meneteskan air pada matanya apabila
terasa pedih. Pasien mengatakan belum pernah menggunakan kacamata,
namun dirinya mengatakan pada saat membaca alquran, huruf pada bacaan
tidak begitu jelas sehingga harus dijauhkan, dan matanya terasa lelah, dan
pedih bila membaca dalam waktu yang lama. Pasien mengaku saat ini
penglihatan mata kanan agak buram. Pasien tidak memiliki riwayat alergi,
darah tinggi dan penyakit gula. Pasien mengatakan tidak pernah mengalami
luka pada matanya, terkena hantaman, ataupun terpapar oleh zat kimia.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat gejala serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat kemasukan benda asing : disangkal
Riwayat terpapar debu dan angin : diakui
Riwayat infeksi pada mata : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat operasi mata : disangkal
Riwayat penggunaan kaca mata : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tak ada riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga

Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat sebelumnya dan belum pernah mendapat
pengobatan apapun.

Riwayat Sosial Ekonomi :

2
Pasien bekerja sebagai petani, biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS,
kesan ekonomi cukup.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
Kesadaran : Compos mentis
Aktifitas : Normoaktif
Kooperatif : Kooperatif
Status gizi : Baik
Vital Sign

Tekanan darah : 120/75 mmHg


Nadi : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,5 C

3
Status Ophthalmicus

Oculus Dexter Oculus Sinister

Skema Ilustrasi Pre Operasi

Jaringan
Oculus Dexter Oculus Sinister Fibrovaskular

4
Pre Operasi

Pemeriksaan OD OS

Visus 1/60 NC 6/12 NC

Bulbus Oculi
Gerak bola mata Baik ke Segala arah- Baik ke Segala arah
Strabismus - -
Eksoftalmus - -
Enoftalmus - -
Suprasilia Normal Normal

Palpebra Superior
Edema - -
Hematom - -
Hiperemis - -
Blefarospasme - -

Lagoftalmus - -

Entropion - -
- -
Ektropion
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Silia
- -
Ptosis
Palpebra Inferior
Edema - -
Hematom - -
Hiperemis - -

Bleparospasm - -

Lafgotalmus - -
- -
Ektropion
- -
Entropion
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Silia
Konjungtiva
Injeksi konjungtiva - -
Injeksi siliar - -
Sekret - -

5
Laserasi - -
Edema - -
Bangunan patologis Ditemukan jaringan Ditemukan jaringan
fibrovaskuler jumlah 1, letak fibrovaskuler jumlah 1,
nasal, warna merah, bentuk warna merah, bentuk
segitiga, melewati limbus segitiga, melewati
kornea hingga ke pupil
limbus kornea >2mm.

Skelra
Warna Putih Putih
Injeksi Siliar - -
Ruptur - -

Laserasi - -

Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
mengkilat - -
Edema - -

Infiltrat - -

Keratic precipitat - -

Ulkus - -

Ruptur - -
- -
Sikatrik
Ditemukan jaringan Ditemukan jaringan
Bangunan patologis
fibrovaskuler jumlah 1, letak fibrovaskuler jumlah 1,
nasal, warna merah, bentuk warna merah, bentuk
segitiga, melewati limbus segitiga, melewati
kornea hingga ke pupil
limbus kornea >2mm.

COA Sulit dinilai


Kedalaman - Cukup
Hipopion - -
Hifema - -

Tyndall effect - -

6
Iris
Kripta + +
Warna Coklat Coklat
Sinekia - -

Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Letak Sentral Sentral
Diameter 3mm 3mm

Reflek langsung Sulit dinilai +

Reflek tidak langsung + +

Lensa Sulit dinilai


Kejernihan - Jernih
Iris shadow - -

Corpus Vitreum Sulit dinilai Jernih

Fundus Refleks Sulit dinilai (+) cemerlang

Funduskopi Sulit dinilai


Fokus 0
Papil N II - Papil bulat, batas
tegas,warna orange
CDR=0,3
vasa
AV Rasio - 2:3
-
Mikroaneurisma -
-
neovaskularisasi -
Macula
+
Reflek fovea -
-
edema -
-
eksudat -
Retina
-
Cotton wool spot -
-
Edema -
-
Bleeding -

7
TIO (Palpasi) Normal Normal

Skema Ilustrasi Post Operasi

Jaringan
Fibrovaskular
Oculus Dexter Oculus Sinister

Laporan Pembedahan
Pasien tidur terlentang, desinfeksi, tutup dengan doek steril
Pasang eye speculum, injeksi dengan pehacain
Angkat jaringan pterigium, atasi perdarahan
Siapkan graft konjungtiva
Letakan graft dan jahit dengan benang vycril 8.0
Beri betadine, salep mata, obat mata
Operasi Selesai

8
Post Operasi

Pemeriksaan OD OS

Visus 6/12 NC 6/12 NC

Bulbus Oculi
Gerak bola mata Baik ke Segala arah- Baik ke Segala arah
Strabismus - -
Eksoftalmus - -
Enoftalmus - -
Suprasilia Normal Normal

Palpebra Superior
Edema - -
Hematom - -
Hiperemis - -
Blefarospasme - -

Lagoftalmus - -

Entropion - -
- -
Ektropion
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Silia
- -
Ptosis
Palpebra Inferior
Edema - -
Hematom - -
Hiperemis - -

Bleparospasm - -

Lafgotalmus - -
- -
Ektropion
- -
Entropion
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Silia
Konjungtiva
Injeksi konjungtiva - -
Injeksi siliar - -
Sekret - -

9
Laserasi - -
Edema - -
Bangunan patologis - Ditemukan jaringan
fibrovaskuler jumlah 1,
warna merah, bentuk
segitiga, melewati
limbus kornea >2mm.

Skelra
Warna Putih Putih
Injeksi Siliar - -
Ruptur - -
Laserasi - -

Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
mengkilat - -
Edema - -
Infiltrat - -

Keratic precipitat - -

Ulkus - -
- -
Ruptur
- -
Sikatrik
- Ditemukan jaringan
Bangunan patologis
fibrovaskuler jumlah 1,
warna merah, bentuk
segitiga, melewati
limbus kornea >2mm.
COA
Kedalaman Cukup Cukup
Hipopion - -
Hifema - -
Tyndall effect - -

Iris

10
Kripta + +
Warna Coklat Coklat
Sinekia - -

Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Letak Sentral Sentral
Diameter 3mm 3mm
Reflek langsung + +

Reflek tidak langsung + +

Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Iris shadow - -

Corpus Vitreum Jernih Jernih

Fundus Refleks (+) cemerlang (+) cemerlang

Funduskopi
Fokus 0 0
Papil N II Papil bulat, batas Papil bulat, batas
tegas,warna orange tegas,warna orange
CDR=0,3 CDR=0,3
vasa
AV Rasio 2:3 2:3
- -
Mikroaneurisma
- -
neovaskularisasi
Macula
+ +
Reflek fovea
- -
edema
- -
eksudat
Retina
- -
Cotton wool spot
- -
Edema
- -
Bleeding

11
TIO (Palpasi) Normal Normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Adapun pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah
1. Pemeriksaan histopatologi pada jaringan pterygium. Gambaran Pterygium
adalah berupa epitel yang irregular dan tampak adanya degenerasi hialin
pada stromanya.

DIAGNOSIS BANDING
a. Oculus dexter

OD Pterygium Grade IV
Dipertahankan karena pasien mengeluh mata kanan terasa pegal seperti
ada yang mengganjal, pedih bila terkena udara dan sering nerocos. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien bekerja sebagai petani, yang setiap
hari terpapar, angin, debu, asap dan sinar matahari langsung, yang
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit Pterygium. kemudian pada
mata pasien terdapat membrane fibrovaskular yang berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau daerah kornea yang merupakan tanda
khas dari Pterygium. Pada pasien selaput fibrovaskular sudah melewati
limbus dan sudah melewati pupil sehingga mengganggu pengelihatan,
yang merupakan gambaran klinis khas pterygium grade IV
OD Pterygium Grade III
Disingkirkan karena pada pterigium grade III pertumbuhan jaringan
selaput fibrovaskular sudah melewati limbus > 2mm tetapi belum
melewati pupil. Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular sudah
melewati limbus dan sudah melewati pupil, serta mengaggu pengelihatan
OD Pterygium Grade II
Disingkirkan karena pada Pterygium grade II pertumbuhan jaringan
meliputi kornea < 2mm. Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular

12
sudah melewati limbus dan sudah melewati pupil, serta mengaggu
pengelihatan.
OD Pterygium Grade I
Disingkirkan karena pada Pterygium grade I pertumbuhan jaringan selaput
fibrovaskular pada konjungtiva sebelah nasal hanya sebatas pada limbus
kornea. Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular sudah melewati
limbus dan sudah melewati pupil, serta mengaggu pengelihatan.
OD Pseudopterygium
Disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada kornea
serta tidak ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea akibat ulkus di
kornea yang menahun. Sedangkan pada pasien tidak didapatkan riwayat
tersebut.
OD Pinguekula
Disingkirkan karena pada pinguekula berbentuk kecil, meninggi, masa
kekuningan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa. Sedangkan
pada kasus berbentuk segitiga dan hiperemis.

a. Oculus sinister

OS Pterygium Grade III


Dipertahankan karena pasien mengeluh mata kanan terasa pegal seperti
ada yang mengganjal, pedih bila terkena udara dan sering nerocos. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien bekerja sebagai petani, yang setiap
hari terpapar, angin, debu, asap dan sinar matahari langsung, yang
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit Pterygium. kemudian pada
mata pasien terdapat membrane fibrovaskular yang berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau daerah kornea yang merupakan tanda
khas dari Pterygium.Pada pemeriksaan didapatkan pertumbuhan jaringan
sudah meliputi kornea > 2mm tapi belum melewati pupil.

13
OS Pterygium Grade II
Disingkirkan karena pada Pterygium grade II pertumbuhan jaringan
meliputi kornea < 2mm. Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular
sudah melewati limbus > 2mm
OS Pterygium Grade I
Disingkirkan karena pada Pterygium grade I pertumbuhan jaringan selaput
fibrovaskular pada konjungtiva sebelah nasal hanya sebatas pada limbus
kornea. Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular sudah melewati
limbus > 2mm.
OS Pterygium Grade IV
Disingkirkan karena pada Pterygium grade IV pertumbuhan jaringan
melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. Sedangkan pada pasien
selaput fibrovaskular sudah melewati limbus > 2mm.
OS Pseudopterygium
Disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada kornea
serta tidak ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea akibat ulkus di
kornea yang menahun. Sedangkan pada pasien tidak didapatkan riwayat
tersebut.
OS Pinguekula
Disingkirkan karena pada pinguekula berbentuk kecil, meninggi, masa
kekuningan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa. Sedangkan
pada kasus berbentuk segitiga dan hiperemis.

ODS Presbiopi :
Dipertahankan karena pasien berusia >40 th dan mengeluh mata mudah
lelah dan pedas jika membaca dalam waktu lama.
ODS Hipermetropia:
Disingkirkan karena pasien tidak mengalami gejala kabur bila melihat
jauh maupun lebih kabur lagi saat melihat dekat.

14
DIAGNOSIS KERJA
OD Pterygium Grade IV
OS Pterygium Grade III
ODS Presbiopi

PENATALAKSANAAN
1. OD PTERYGIUM GRADE IV
Medikamentosa
Oral
Tidak diberikan
Topikal
Dexamethason sodium phosphate 1 mg ED S 3 dd gtt 1 ODS
Polymixin B sulphate 6000 IU S 3 dd gtt 1 ODS
Parenteral
Tidak diberikan
Operatif
Rencana operasi Ekstirpasi Pterygium dan Graft Konjungtiva
Oculus Dexter.

2. OS PTERYGIUM GRADE III


Medikamentosa
Oral
Tidak diberikan
Topikal
Dexamethason sodium phosphate 1 mg ED S 3 dd gtt 1 ODS
Polymixin B sulphate 6000 IU S 3 dd gtt 1 ODS
Parenteral
Tidak diberikan
Operatif
Rencana operasi Ekstirpasi Pterygium dan Graft Konjungtiva
Oculus Sinister setelah operasi Oculus Dexter.

15
Non Medikamentosa
Tidak ada
3. Presbiopi
Medikamentosa :
Oral / sistemik : -
Topikal : -
Parenteral : -
Operatif : -
Non Medikamentosa : dengan kacamata Sferis +2.5 Dioptri sesuai
dengan umur pasien >= 55 tahun
KOMPLIKASI
1. OD Pterygium grade IV
o Astigmatisme
o Penurunan visus
o Diplopia
2. OS Pterygium grade III
o Astigmatisme
o Penurunan visus
o Diplopia

EDUKASI
OD Pterygium grade IV et OS Pterygium grade III
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput berwarna merah berbentuk
segitiga itu adalah sebuah kelainan yang diakibatkan seringnya mata
terkena debu, angin dan sinar matahari, serta berhubungan dengan
pekerjaan pasien sebagai petani. Kelainan tersebut disebut Pterygium,
b. Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput pada matanya tersebut akan
semakin melebar baik pada mata kanan maupun mata kiri. maka untuk
menjaga supaya mata kiri tidak semakin melebar dan mata kanan tidak
kembali terkena setelah operasi, maka harus menjaga mata dari papran
langsung matahari dengan menggunakan topi atau caping bila di
ladang, debu dan angin dengan menggunakan kaca mata pelindung dan

16
menggunakan helm dengan penutup saat bepergian dengan kendaraan
bermotor.
c. Menjelaskan kepada pasien bahwa obat tetes matanya hanya untuk
mengurangi peradangan, bukan untuk memperkecil ukuranya tersebut.
d. Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput dimata kanan tersebut harus
dilakukan tindakan operasi, untuk memperbaiki fungsi pengelihatan
dan memperbaiki dari segi kosmetika.
e. Menjelaskan kepada pasien walaupun sudah dioperasi, akan tetap ada
bekas dimatanya walaupun minimal.
f. Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput tersebut dapat muncul
kembali jika mata terpapar dengan faktor pencetus seperti debu,dan
angin. Oleh karena itu dianjurkan untuk menggunakan kacamata untuk
melindungi mata dari debu dan angin.
g. Menjelaskan kepada pasien bahwa setelah operasi, fungsi pengelihatan
pasien akan kembali seperti semula, namun harus ditambahkan
kacamata untuk dapat melihat lebih jelas apabila pasien sedang
membaca.
Presbiopia
Menjelaskan pada pasien bahwa umurnya sudah > 40 th sehingga untuk
melihat dekat sebaiknya menggunakan kacamata baca agar mata tidak cepat
lelah dan pedas.

RUJUKAN
Dalam kasus ini tidak dilakukan rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran
lainnya karena dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan yang
berkaitan dengan Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya.

17
PROGNOSIS
Prognosis Oculus Dexter Oculus Sinister
Quo ad visam ad Bonam ad Bonam
Quo ad sanam ad Bonam ad Bonam
Quo ad functionam ad Bonam ad Bonam
Quo ad kosmetikan Dubia ad Bonam Dubia ad Bonam
Quo ad vitam ad Bonam ad Bonam

18
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Anatomi
II.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar


digerakkan dari tarsus.

- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera


dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal


dengan konjungtiva bulbi

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan


jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak

Gambar 1. Anatomi mata

19
II.1.2 Anatomi kornea

Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan


dan avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak
epitel kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat
rapi dan padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea
merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea
melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan
sklera ini disebut limbus.

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom
dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis
ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di

20
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. membrane descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik
dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.

5. Endotel

Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m.


endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden. Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

21
Gambar 2. Lapisan kornea

II.2 Pterigium

II.2.1 Definisi

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk


segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea , pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif .
Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General
Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguicula
berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral.
Sedangkan menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani,
yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan
pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

22
Gambar 3. Mata dengan pterygium

II.2.2 Epidemiologi

Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,


tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus


pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan
sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen,
iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).

Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20


49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih

23
sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Laki-laki lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.

II.2.3 Mortalitas/Morbiditas

Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi


visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita.

2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk


pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan
pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium
yang paling tinggi.

II.2.4 Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi


ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter .

1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah
paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak
lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi
juga merupakan faktor penting.

24
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara
autosom dominan.

3 . Faktor lain.
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterygium. Yang juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis
factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

II.2.5 Etiologi dan patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.

Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan


degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu

25
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain
itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah
beriklim kering mendukung teori ini.

Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah


interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenarasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor
supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses
kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya,
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik
dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan


phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan.
Pada fibroblast pterygium menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks
ekstraselular yang berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab
pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea sehingga
terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat

26
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi


subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E .
Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh
jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi
mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Gambar 4. Histopatologi pada pterigium

II.2.6 Gejala Klinis

Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,


karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal
karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung.

27
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan
pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva


yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stokers line).

Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:

- mata sering berair dan tampak merah

- merasa seperti ada benda asing

- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam


penglihatan.

- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan


mata.

II.2.7 Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :


Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
ke arah kantus
Apex (head), bagian atas pterygium

28
Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk
batas pinggir pterygium.

Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :


- Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan
beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium
- Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit
vaskularisasi, membentuk membran tetapi
tidak pernah hilang

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke


kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian
kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
(Gradasi klinis menurut Youngson ):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga


mengganggu penglihatan.

II.2.8 Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah


satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-
lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari

29
peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin
tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah
paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh.
Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium
tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak
dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.

II.2.9 Diagnosa Banding

1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim
sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

Gambar 5. Mata dengan pinguekula

2.Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring
atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular
yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterygium, pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada

30
limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda
dengan true pterigium.

Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium

II.2.10 Terapi

II.2.10.1 Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2
yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

II.2.10.2 Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi


pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus

31
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.

A. Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus


2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang
digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak
dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea
yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.

2. Teknik Autograft Konjungtiva


memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium

32
tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari
graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

3. Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat
kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan
10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk
kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion
biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap
ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran
amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah
digunakan dalam autografts konjungtiva.

C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi
telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari
terapi tersebut.

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya


untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun,

33
dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC
saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah
eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah
operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena


menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak
ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk
dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan
katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan
terhadap penggunaannya.

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan


pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,


bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

II.2.11 Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.

34
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral
berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.


Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini
bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplant membran amnion pada saat eksisi

II.2.12 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti


nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan
memakai kacamata pelindung sinar matahari.

35
II.2.13 Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis


baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes
mata atau beta radiasi.

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi.

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga


atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

36
BAB III

KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata
dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya
aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas
40 tahun karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun


(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan


secara konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif.
Pada pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat
mengganggu bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun
hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi
mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit
ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar
matahari.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2010

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
hal:2-6, 116 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari
:http://emedicine.medscape.com/ article/ 1192527-overview. 2011

5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asburs General Ophthalmology 17th


edition. Philadelpia : McGrawHill. 2007

6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New


York : Thieme. 2000

7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.


Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

8. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ; 1996. p.142

38

Anda mungkin juga menyukai