Anda di halaman 1dari 7

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam

kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik

dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. dari telaah kasus di rumah sakit

besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata sekitar 500/100.000 penduduk

dengan kematian antara 0.6-5 % (Kemenkes RI, 2006) dan 91 % kasus terjadi

pada umur 3-19 tahun (WHO, 2003). Prevalensi tifoid klinis nasional sebesar

1,6% (rentang: 0,3% - 3%), dengan prevalensi diprovinsi Lampung adalah

sebesar 0,67% (Depkes RI, 2007). Data pada Dinas Kesehatan Provinsi

Lampung memperlihatkan Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung

memiliki angka rata-rata yang paling tinggi dibandingkan dengan 27

puskesmas lainnya di Kota Bandar Lampung yaitu sebesar 125 pasien

perbulan.

Resiko lebih tinggi untuk terjangkit demam tifoid bila berada di negara/area

dengan standar higienitas yang rendah serta suplai air yang tidak memadai. Di

Indonesia insidensi penyakit tersebut tergolong masih tinggi karena sebagian

1
besar masyarakat Indonesia memiliki kebersihan perorangan yang kurang baik,

sanitasi lingkungan yang jelek (misalnya penyediaan air bersih yang kurang

memadai, pembuangan sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi

syarat kesehatan, pengawasan makanan dan minuman yang belum sempurna),

serta fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat

(Santoso, 2009).

Demam tifoid yang tidak ditatalaksana dengan tepat akan menimbulkan banyak

komplikasi yang dapat mengancam kehidupan pasien. Munculnya komplikasi

seperti perforasi traktus gastrointestinal, meningitis, endokarditis,

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Soedarmo et al, 2010).

Obat utama dari pengobatan demam tifoid adalah antimikroba.

Penatalaksanaan yang tidak tepat, khususnya dalam peresepan obat seperti

jenis obat, dosis obat, dan lama pemberian obat, akan menimbulkan kasus

resistensi basil kuman terhadap obat yang beredar (Kemenkes, 2006).

Resistensi terhadap suatu obat akan menyulitkan sembuhnya infeksi dengan

menggunakan obat tersebut, selain itu akan meningkatkan biaya pengobatan

pasien dengan kuman yang telah mengalami resistensi terhadap obat tertentu.

Pada tahun 2006, Menkes RI mengeluarkan suatu pedoman pengobatan demam

tifoid yang dapat dijadikan standar pengobatan demam tifoid di Indonesia.

Standar tersebut mengatur mulai dari tirah baring hingga pemberian

antimikroba untuk demam tifoid. Selain itu, dalam standar tersebut, diatur pula

mengenai pemberian antimikroba demam tifoid, mulai dari jenis obat, dosis

obat, dan lama pemberian obat untuk demam tifoid.

2
Peresepan sesuai standar sesungguhnya merupakan suatu proses yang

kompleks dan dinamis, dimana terkait beberapa komponen, mulai, pemilihan

dan penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat,

petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan,

pemberian label dan kepatuhan penggunaan obat oleh

penderita. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan memberikan berbagai

kerugian. Menurut WHO (2010) bahwa Sekitar 50 persen resep yang diberikan

tidak sesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut gagal mendapatkan

pengobatan yang benar terkait penyakitnya.

Dari latar belakang di atas, peneliti akan melakukan penelitian untuk melihat

kesesuaian peresepan obat demam tifoid terhadap standar pengobatan demam

tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung

periode Mei-Oktober 2012.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan yang telah dijabarkan diatas, maka rumusan masalah yang

diambil adalah apakah peresepan obat untuk demam tifoid sudah sesuai

terhadap standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas

Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012?

3
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui kesesuaian peresepan obat demam tifoid terhadap standar

pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas Kedaton Kota

Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap

standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas

Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

b. Mengetahui kesesuaian lama pemberian obat dalam resep demam tifoid

terhadap standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap

Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti sebagai aplikasi dari disiplin keilmuan peneliti sehingga

dapat mengembangkan khasanah pengetahuan peneliti.

b. Bagi puskesmas sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan program

pemerintah dalam penanganan demam tifoid

c. Bagi peneliti lain sebagai acuan atau bahan pustaka untuk melaksanakan

penelitian selanjutnya, khususnya tentang bidang farmasi, yaitu

kesesuaian peresepan obat dengan standar pengobatannya.

4
E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella yang terbawa melalui

makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna. Bakteri yang

masih hidup akan mencapai usus halus dan masuk ke sistem RES dan

mengalami multiplikasi. Setelah melewati periode inkubasi, maka bakteri

tersebut akan menyebar secara sistemik melalui duktus torasikus. Gejala

yang timbul tergantung lamanya infeksi telah berlangsung dan apabila tidak

segera ditangani dengan benar penyakit demam tifoid dapat menimbulkan

komplikasi hingga kematian (Soedarmo et al, 2010).

Pengobatan sesuai standar demam tifoid yaitu menurut Kemenkes RI no.

364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid adalah istirahat dan

perawatan, diet dan terapi penunjang, serta antimikroba. Antimikroba yang

terdapat pada standar pengobatan yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI

adalah Kloramfenikol (dewasa: 4 x 500 mg (2 gr)/hari selama 14 hari, anak:

50-100 mg/kgBB/hari maksimal 2 gr, diberikan selama 10-14 hari),

Seftriakson (dewasa: 2-4gr/hari selama 3 -5 hari, anak : 80 mg/kgBB/hari

dosis tunggal selama 5 hari), Ampisilin dan Amoksisilin (dewasa: 3-4gr/hari

selama 14 hari, anak: 100 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 10 hari),

Kotrimoksazol (dewasa: 2 x (160-800) selama 2 minggu, anak: TMP 6-10

mg/kgBB/hari atau SMX 30-50 mg/kgBB/hari selama 10 hari), kuinolon (a.

Siprofloksasin: 2 x 500 mg selama satu minggu, b. Ofloksasin: 2 x (200-

5
400) mg selama satu minggu, c. Pefloksasin: 1 x 400 mg selama satu

minggu, d. Fleroksasin: 1 x 400 mg selama satu minggu), Cefixime (anak:

15-20 mg/kgBB/hari selama 10 hari dibagi menjadi 2 dosis), dan

Tiamfenikol (dewasa: 4x500 mg, anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari

bebas panas). Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin

adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak

dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim, dan seftriakson.

(Kemenkes, 2006).

Peresepan yang tidak sesuai standar dapat menyebabkan kegagalan terapi

pada pasien (WHO, 2010). Peresepan yang baik seharusnya mencantumkan

identitas pembuat resep, tanggal pembuatan resep, jenis dan bentuk obat,

dosis dan jumlah, label, identitas pasien,serta tanda tangan pembuat resep

(de Vries et al, 2000). Dari resep yang tertulis diatas, akan dibandingkan

resep tersebut dengan standar pengobatan yang dikeluarkan oleh Menteri

Kesehatan RI no.364 tahun 2006.

6
F. Kerangka Konsep

Demam Tifoid

Resep obat dari Puskesmas Obat Demam Tifoid Standard Pengobatan


demam tifoid oleh
Kemenkes

1. Dosis obat 1. Dosis obat

2. Lama pemberian 2. Lama pemberian

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian (de Vries et al, 2000; dan Kemenkes,
2006)

Anda mungkin juga menyukai