Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian

2.1.1. Pajak

2.1.1.1. Pengertian Pajak

Prof. Dr. PJA. Adriani, Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara

(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh mereka yang wajib membayarnya

menurut peraturan, tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk

dan yang kegunaannya untuk membiayai pengeluaran umum terkait dengan tugas

negara untuk menyelanggarakan pemerintahan.

Sommerfeld, Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R., Pajak

adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan

akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan

yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan

proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya untuk

menjalankan pemerintah.

Sedangkan menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007,

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak

12
13

mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan beberapa pengertian pajak di atas dapat disimpulkan bahwa

pajak adalah suatu kewajiban yang merupakan bentuk transfer pendapatan dari

warga negara kepada pemerintah dengan ketentuan yang dibuat berdasarkan

Undang Undang dan bersifat memaksa serta digunakan untuk kepentingan

negara (publik).

2.1.2. Fungsi Pajak

Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2011:1), ada 2 (dua) yaitu :

1. Fungsi penerimaan (budgetair)

Pajak adalah sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran

pengeluarannya.

2. Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak adalah alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan

pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Menurut Diana Sari dalam bukunya Konsep Dasar Perpajakan

(2013:40), selain dua fungsi di atas, pajak juga memiliki fungsi lain yaitu :

1) Fungsi stabilitas
14

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan

kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat

dikendalikan.

2) Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untu membiayai

semua kepentingan umum, termasuk juga membiayai pembangunan sehingga

dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat.

3) Fungsi demokrasi

Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan wujud sistem gotong

royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada

masyarakat pembayar pajak.

2.1.3. Hukum Pajak

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku

pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Menurut Siti Resmi

(2013:4), ada 2 macam hukum pajak, yakni :

1. Hukum pajak materiil

Hukum pajak materiil merupakan norma norma yang menjelaskan

keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang

harus dikenakan pajak, dan berapa besar pajaknya. Termasuk dalam hukum pajak

materiil adalah peraturan yang memuat kenaikan, denda, sanksi atau hukuman,
15

dan cara cara pembebasan dan pengembalian pajak, serta ketentuan yang

memberi hak tagihan utama kepada fiskus.

2. Hukum pajak formil

Hukum pajak formil merupakan peraturan peraturan mengenai berbagai

cara untuk mewujudkan hukum pajak materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian

hukum ini memuat cara cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang

pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelanggarannya, kewajiban para wajib

pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak), kewajiban pihak

ketig, dan prosedur dalam pemungutannya. Hukum pajak formil dimaksudkan

untuk melindungi fiskus dan Wajib Pajak serta memberi jaminan bahwa hukum

materiilnya dapat diselenggarakan setepat mungkin.

2.1.4. Sistem Pemungutan Pajak

Terdapat 2 (dua) sistem pemungutan pajak (Diana Sari, 2013:78), yaitu :

1. Official Assesment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

pemerintah (fiskus) untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) besarnya

pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.

Ciri cirinya :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

b. Wajib pajak bersifat pasif.


16

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak dari fiskus.

2. Self Assesment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

Wajib Pajak untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) sendiri besarnya

pajak yang terutang dan membayarnya sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.

Ciri cirinya :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib

Pajak sendiri.

b. Wajib pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang.

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

Sistem self assement ini dalam pelaksanaannya didukung oleh With Holding

System yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk

menentukan (menghitung dan menetapkan) besarnya pajak yang terutang oleh

Wajib Pajak.

Ciri cirinya :

Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga.
17

2.1.5. Biaya Kepatuhan Pajak ( Tax Compliance Costs)

2.1.5.1. Pengertian Biaya Kepatuhan Pajak (Tax Compliance Costs)

Sanford v. Berg (2005:15) menyatakan Tax Compliance Cost didefinisikan

sebagai seluruh biaya yang diluar pajak terutang yang dikeluarkan oleh wajib

pajak dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakannya, mulai dari aspek

perpajakan dalam investasinya hingga saat menerima putusan banding dan

melunasi pajak terutangnya.

Menurut Turner et al (1998:31), Tax Compliance Costs adalah :

Keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi

syarat syarat perhitungan pajak. Pembiayaan tersebut termasuk

didalamnya biaya belajar (segala sesuatu yang berhubungan dengan

perhitungan pajak), biaya pengarsipan (kwitansi kwitansi, tanda terima

dan catatan penting), biaya penyelesain penulisan berkas pajak

pendapatan, biaya konsultan pajak dan biaya tak terduga (surat menyurat,

telepon, perjalanan dan komunikasi dengan pejabat perpajakan). Bagi

perusahaan perusahaan, Tax compliance costs juga termasuk biaya

pengumpulan, pembayaran dan perhitungan pajak produk, pendapatan

perusahaan, gaji karyawan dan juga biaya belajar karyawan. Untuk

menghitung pembiayaan ini kita juga harus memperhitungkan opportunity

costs, biaya yang digunakan jika tidak ada pajak.

Dari pengertian pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Biaya

Kepatuhan Pajak (Tax Compliance Costs) adalah biaya biaya yang harus
18

dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya

di luar pajak terutang.

2.1.5.2. Jenis Biaya Kepatuhan Pajak (Tax Compliance Costs)

Sanford V. Berg (2005:15) membagi jenis Tax Compliance Costs menjadi

3 (tiga), yaitu sebagai berikut :

1. Actual Cash Outlay

Actual Cah Outlay adalah seluruh pengeluaran tunai yang dibayarkan

selama menghitung, menyetorkan, melaporkan, serta mempertanggungjawabkan

jumlah pajak terutang.

Actual Cash Outlay diantaranya adalah :

Biaya fotokopi dokumen terkait dengan pemenuhan kewahiban

pajak.

Biaya formulir pajak, biaya transportasi untuk kunjungan wajib

pajak ke tempat penyetoran pajak, kantor pajak, kantor konsultan,

dan kantor pengadilan pajak.

Biaya pendidikan dan pelatihan karyawan dalam bidang

perpajakan (seperti biaya training, seminar, lokakarya pajak, dll).

Biaya penyimpanan dan pengarsipan dokumen perpajakan yang

harus disimpan dalam kurun waktu 10 tahun (menurut ketentuan

perpajakan).

Biaya konsultasi pajak dengan akuntan atau konsultan pajak (tax

agents).
19

2. Opportunity Cost Of Time

Opportunity cost of time adalah kerugian yang diderita wajib pajak akibat

penghasilan harian atau outputnya berkurang selama melakukan kewajiban

perpajakan. Biaya ini merupakan ekuivalen rupiah dari waktu yang dihabiskan

wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Opportunity Cost Of Time diantaranya adalah :

Waktu yang terpakai untuk mempelajari ketentuan perpajakan.

Waktu untuk melakukan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT).

Waktu perjalanan untuk menyetorkan pajak.

Waktu perjalanan untuk melaporkan pajak.

Waktu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak.

Waktu untuk pengadministrasian dokumen pajaknya.

3. Psychological cost

Psychological cost adalah rasa stress ndan berbagai rasa takut atau cemas

karena melakukan tax evasion. Psychological cost meliputi ketidakpuasaan rasa

frustasi, serta keresahan wajib pajak dalam berinteraksi dengan sistem dan otoritas

pajak.

Tax Compliance Costs dibagi menjadi 4 (empat) kategori menurut Evan et

al (1997:431), yaitu :

1. Waktu wajib pajak (tax payers time)

2. Waktu pembantu yang tak terbayar (unpaid helpers time)


20

3. Upah agen pajak (tax agents fee)

4. Pengeluaran pengeluaran insidental (incidental expense)

2.1.6. Kualitas Pelayanan Perpajakan ( Tax Services Quality)

2.1.6.1. Pengertian Kualitas Pelayanan Perpajakan (Tax Services Quality)

J. Heizer dan B. Render (2009:56), kualitas merupakan persepsi dari

konsumen karena sifatnya yang tidak nyata serta produksi dan konsumsinya

berjalan secara simultan atau bersamaan.

Kotler & Keller (2009:169), kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik

dari suatu produk atau jasa yang berpengaruh pada kemampuannya untuk

memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat.

Garvin dalam Martenson (2007:39) menyatakan bahwa kualitas adalah

suatu kata yang bagi penyedia jasa dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan

dengan baik. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas

adalah persepsi dari pelanggan atas kepuasaan yang dirasakan.

Menurut Boediono (2003:60), pelayanan adalah suatu proses bantuan

kepada orang lain dengan cara cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan

hubungan interpersonal agar tercipta kepuasaan dan keberhasilan.

Komarudin (1994:79), pelayanan adalah prestasi yang dilakukan atau

dikorbankan untuk memuaskan permintaan atau kebutuhan pihak lain. Kemudian,

pengertian ini diperjelas oleh Saefullah (1999:7) yang menyatakan bahwa

pelayanan umum (public service) adalah pelayanan yang diberikan kepada


21

masyarakat umum yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk

negara yang bersangkutan. Dari definisi definisi tersebut disimpulkan bahwa

pelayanan dilakukan oleh pihak pemberi pelayanan untuk memberi kebutuhan dan

selera dari penerima pelayanan dengan tujuan untuk memuaskan mereka. Kotler

(1993:96), menyatakan bahwa :

Pelayanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh

suatu pihak kepada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta

tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Proses produksinya juga

dikaitkan dengan produksi fisik.

Kemudian, definisi pelayanan dari Kotler dalam Sugiarto (1999:36),

menyatakan sebagai berikut :

Pelayanan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan orang lain (konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien,

penumpang, dll) yang tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh

orang yang melayani maupun yang tidak dilayani.

Menurut keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63/KEP/M. PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelanggaraan

Pelayanan Publik, kualitas pelayanan yaitu kepastian prosedur, waktu, dan

pembiayaan yang transparansi dan akuntabel yang harus dilaksanakan secara utuh

oleh setiap instansi dan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan tugas

dan fungsinya secara menyeluruh.


22

Menurut Kotler (2005:153) dalam Kirana, Suhadak, dan Maria (2013:2)

definisi kualitas pelayanan adalah model yang menggambarkan kondisi pelanggan

dalam membentuk harapan akan layanan dari pengalaman masa lalu, promosi dari

mulut ke mulut dan iklan dengan membandingkan pelayanan yang mereka

harapkan dengan apa yang mereka rasakan.

Wyckof dan Lovelock dalam Sugiarto (1999:39) menyatakan bahwa,

kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian

atas tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat

keunggulan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Penilaian kualitas pelayanan yang menjadi persepsi pelanggan ini

didasarkan oleh tercapai tidaknya harapan pelanggan, hal ini dikemukakan oleh

Sugiarto (1999:39) sebagai berikut :

Suatu mutu atau kualitas disebut sangat baik jika penyedia jasa

memberikan pelayanan yang melebihi harapan pelanggan. Mutu atau

kualitas disebut baik jika penyediaan jasa memberikan pelayanan yang

setara dengan yang diharapkan oleh pelanggan. Sedangkan kualitas

disebut jelek jika pelanggan memperoleh pelayanan yang lebih rendah dari

harapan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, kualitas pelayanan perpajakan (Tax

Services Quality) dapat didefinisikan sebagai suatu mutu atau kualitas yang

diberikan fiskus kepada wajib pajak dalam pemenuhan hak dan kewajibannya,

sehingga tercapainya kesesuaian antara persepsi dan harapan wajib pajak.


23

2.1.6.2. Dimensi Kualitas Pelayanan Perpajakan

Menurut Zeithaml, Parsurman dan Berry (1985:47), terdapat 5 (lima)

dimensi kualitas pelayanan, yaitu :

1. Wujud Fisik (Tangible), yaitu seluruh fasilitas dan sumber daya manusia

yang secara langsung dapat diamati, dirasakan dan menjadi bagian dari

pelayanan. Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan saran

komunikasi.

2. Keandalan (Reliability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang

diasjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. Dapat juga diartikan

sebagai kemampuan memberikan pelayanan yang dapat dipercaya dan

akurat sesuai dengan janji yang telah ditawarkan.

3. Daya tanggap (Responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu

para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Digunakan

juga untuk mengukur sejauh mana aspek pelayanan yang diberikan

mampu memenuhi kebutuhan pemakai jasa secara cepat dengan mutu

pelayanan yang optimal.

4. Jaminan (Assurace), yaitu sejauh mana kemampuan para pegawai dalam

memberikan pelayanan kepada pelanggannya sehingga pelanggan merasa

percaya bahwa mereka akan mendapatkan pelayanan yang terbaik.

Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat

dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu

raguan.
24

5. Empati (Emphaty), yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan

komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan

pelanggan. Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi

yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.

2.1.7. Penggelapan Pajak ( Tax Evasion)

2.1.7.1. Pengertian Penggelapan Pajak

Harry Graham Balter (M. Zain, 2008:49) , Penggelapan pajak (tax

evasion) mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak apakah

berhasil atau tidak untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak

yang berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap

perundang undangan perpajakan.

Henk Elffers (1991:12) berpendapat bahwa :

Tax evasion is deliberately performing acts explicitly proscribed or not

executing acts explicitly prescribed in the tax regulations in order to pay

less tax.

Pengertian penggelapan pajak (tax evasion) menurut M. Zain (2008:44),

adalah sebagai berikut :

Penggelapan pajak adalah manipulasi secara illegal atas penghasilannya

untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.

Pengertian penggelapan pajak menurut Robert H. Anderson dalam M.Zain

(2008:50), adalah sebagai berikut :


25

Penggelapan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang

undang pajak.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Penggelapan Pajak ( Tax

Evasion) merupakan cara illegal untuk tidak membayar pajak dengan melakukan

tindakan menyimpang dalam berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan secara

sengaja dan dalam keadaan sadar.

2.1.7.2. Penyebab Penggelapan Pajak

Menurut Henk Elffers (1991:39) dorongan seseorang atau perusahaan

untuk melakukan tindakan penggelapan pajak (tax evasion) disebabkan oleh dua

faktor berikut, yaitu :

1. Tekanan (Strain)

Tekanan merupakan istilah umum, dan kita dapat dengan mudah

membayangkan contoh konkret dari itu, seperti tekanan atau kesulitan keuangan

dan ketidakpuasan dengan peraturan perpajakan

Tekanan Keuangan (Financial Strain)

Warneryd dan Walerud (1982) dalam Henk Ellfers (1991:39)

mengatakan bahwa orang atau perusahaan yang mengalami kesulitan

keuangan akan lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku penggelapan

pajak dari pada orang-orang yang keadaan keuangannya stabil. Namun

demikian, dua studi menemukan bahwa responden yang melaporkan

peningkatan dalam status ekonomi selama lima tahun sebelumnya, lebih


26

mungkin untuk melakukan penghindaran pajak dari pada mereka yang

melaporkan kemerosotan status ekonomi mereka selama periode yang

sama.

Ketidakpuasan (Dissatisfaction)

Satu pandangan umum adalah bahwa perilaku penghindaran pajak

dimotivasi oleh ketidakpuasan dengan sistem pajak, dan keyakinan bahwa

pajak itu tidak adil. Bukan hanya ketidakpuasan dengan sistem pajak

melainkan tidakpuasan dengan otoritas pajak, atau pengalaman dengan

formulir pajak dan peraturan yang relevan. Pengalaman langsung dengan

pegawai pajakatau fiskus dan sikap negatif terhadap otoritas,tentunya

berkaitan dengan ketidakpatuhan.

2. Kepribadian (Personality)

Faktor kepribadian biasanya digunakan untuk menjelaskan mengapa orang

yang berbeda berperilaku dengan cara yang berbeda ketika mereka menghadapi

tekanan situasional serupa. Dalam konteks ini, telah berpendapat bahwa

karakteristik kepribadian mungkin berguna dalam akuntansi untuk itu mengapa

beberapa individu lebih rentan terhadap tindakan menghindari pajak dari pada

yang lain meskipun peluang dan keadaan sosial ekonomi sama.

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:149), selain faktor psikologis wajib

pajak kurang sadar terhadap kepatuhan pajak, hal lain yang membuat wajib pajak
27

berusaha menghindar dari pajak diantaranya kondisi lingkungan, pelayanan fiskus

yang mengecewakan, tingginya tarif pajak dan sistem administrasi yang buruk.

1. Kondisi lingkungan

Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan dari

manusia sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama

lain. Hampir tidak ditemukan manusia di dunia ini yang hidupnya hanya

bergantung pada diri sendiri tanpa memperdulikan keberadaan orang lain.

Begitu juga dalam dunia perpajakan, manusia akan melihat lingkungan

sekitar yang seharusnya memahami aturan perpajakan. Mereka saling mengamati

terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Jika kondisi lingkungannya baik (taat

aturan), masing masing individu akan termotivasi untuk mematuhi peraturan

perpajakan dengan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sebaliknya jika lingkungan sekitar kerap melanggar aturan, masyarakat menjadi

saling meniru untuk tidak mematuhi peraturan karena dengan membayar pajakm

mereka merasa rugi telah membayarnya sementara yang lain tidak.

2. Pelayanan fiskus yang mengecewakan

Pelayanan aparat pajak pemungut pajak terhadap masyarakat cukup

menentukan dalam pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar pajak.

Hal tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak yang merasa dirinya telah

memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak.


28

Jika pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib pajak, mereka

tentunya merasa telah diapresiasi oleh fiskus. Mereka menganggap bahwa

kontribusinya telah dihargai meskipun hanya sekedar dengan pelayanan yang

ramah saja, tetapi jika yang dilakukan tidak menunjukkan penghormatan atas

usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk membayar pajak kembali.

3. Tingginya tarif pajak

Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal

pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat tidak

terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin berkelit

dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap aturan perpajakan

karena harta yang berkurang hanya sebagian kecil.

Dengan pembebanan tarif pajak yang tinggi, masyarakat semakin serius

berusaha untuk terlepas dari jeratan pajak. Wajib pajak ingin mengamankan

hartanya sebanyak mungkin dengan berbagai cara karena mereka tengah berusaha

untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak ingin apa yang

telah diperoleh dengan kerja keras harus hilang begitu saja hanya karena tarif

pajak yang tinggi.

4. Sistem administrasi perpajakan yang buruk

Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam

proses pemungutan pajak suatu negara. Dengan administrasi yang bagus,

pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak
29

menemui hambatan yang tidak berarti. Sistem yang baik akan menciptakan

manajemen pajak yang profesional, prosedur berlangsung sistematis dan tidak

semrawut. Ini membuat masyarakat menjadi terbantu karena pengelolaan pajak

yang tidak membingungkan dan transparan.

Seandainya sistem yang diterapkan berjalan jauh dari harapan, masyarakat

menjadi berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka bertanya tanya apakah

pajak yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik atau tidak. Setelah timbul

pemikiran yang meragukan kinerja fiskus seperti itu, kemungkiinan besar banyak

wajib pajak yang benar benar lari dari kewajiban membayar pajak.

Menurut Oliver Oldman (M. Zain, 2008:51) penyelundupan pajak tidak

hanya terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya, tetapi

juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh:

1. Ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu

akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

tersebut.

2. Kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi salah hitung

datanya.

3. Kesalahpahaman (missunderstanding), yaitu wajib pajak salah

menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

4. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku

beserta bukti-buktinya secara lengkap.


30

2.1.7.3. Indikator Penggelapan Pajak

Menurut M. Zain (2008:51), tindakan penggelapan pajak ini dapat dilihat

dari indikator berikut :

1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan tidak benar.

3. Menyalahgunakan NPWP atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

4. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong.

5. Berusaha untuk menyuap fiskus.

2.2. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

2.2.1. Kerangka Pemikiran

Definisi pajak berdasarkan Pasal 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar besarnya.

Berdasarkan definisi tersebut dapat terlihat bahwa pajak sangatlah

memegang peranan penting dalam pelaksanaan pemerintah, terutama

pembangunan pembangunan yang dilakukan. Pajak merupakan sumber utama

pendapatan negara, sehingga dalam rangka kemandirian pembiayaan negara,


31

penerimaan pajak diharapkan dapat dioptimalkan. Namun berdasarkan realita

yang ada penerimaan pajak masih belum optimal, apabila kondisi kepatuhan

sukarela (voluntary compliance) masyarakat telah terbentuk, maka penerapan self

assessment system yang diterapkan di Indonesia akan berjalan dengan efektif

(Theresia Woro Damayanti, 2004:110).

Saat wajib pajak melakukan upaya maksimal dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya, maka ia pun menunjukkan kepatuhannya sebagai wajib pajak.

Upaya maksimal tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, salah

satunya seperti biaya untuk membayar konsultan pajak agar pajak yang

dibayarkan sesuai dengan perhitungannya, sehingga akan menghindari wajib

pajak atas konsekuensi kesalahan perhitungan, penyampaian Surat Pemberitahuan

(SPT), dll. Apabila konsekuensi kesalahan itu terjadi maka akan mengakibatkan

kerugian yang lebih besar pada wajib pajak itu sendiri.

Berdasarkan hasil pengamatan Norma D. Nowak dalam M. Zain

(2008:33), peningkatan penerimaan pajak sebesar 95% adalah hasil dari

pengembangan iklim perpajakan. Adapun iklim perpajakan tersebut dengan ciri

ciri sebagai berikut :

1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami ketentuan peraturan

perundang- undangan perpajakan.

2. Mengisi formulir pajak dengan tepat.

3. Menghitung pajak dengan jumlah yang benar.


32

4. Membayar pajak tepat pada waktunya.

Untuk mencapai iklim perpajakan yang menunjukkan kepatuhan, berbagai

langkah telah ditempuh oleh wajib pajak. Salah satunya, melalui training

perpajakan, atau menyewa jasa tax agent, sehingga perhitungan yang dihasilkan

mempresentasikan nominal seharusnya. Untuk melakukan hal hal tersebut

memerlukan biaya yang tidak sedikit, disamping seperti biaya fotokopi dokumen,

formulir, transportasi ke kantor pajak, pengarsipan, dll. Artinya cita cita untuk

mencapai kepatuhan sukarela wajib pajak juga dipengaruhi oleh besar nya biaya

biaya yang dikeluarkan oeh wajib pajak, yang ditentukan oleh bagaimana sistem

perpajakan tersebut berlaku.

Sanford v. Berg (2005:15) menyatakan Tax Compliance Cost didefinisikan

sebagai seluruh biaya yang diluar pajak terutang yang dikeluarkan oleh wajib

pajak dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakannya, mulai dari aspek

perpajakan dalam investasinya hingga saat menerima putusan banding dan

melunasi pajak terutangnya. Beliau membagi Tax Compliance Costs tersebut

menjadi, Pengeluaran Uang Tunai (Actual Cash Outlay), Waktu yang Terpakai (

Opportunity Cost of Time ), dan Psychological cost.

1. Actual Cah Outlay adalah seluruh pengeluaran tunai yang dibayarkan

selama menghitung, menyetorkan, melaporkan, serta

mempertanggungjawabkan jumlah pajak terutang. Actual Cash Outlay

diantaranya adalah : Biaya fotokopi dokumen terkait dengan pemenuhan

kewajiban pajak, Biaya formulir pajak, biaya transportasi untuk kunjungan

wajib pajak ke tempat penyetoran pajak, kantor pajak, kantor konsultan,


33

dan kantor pengadilan pajak, Biaya pendidikan dan pelatihan karyawan

dalam bidang perpajakan (seperti biaya training, seminar, lokakarya pajak,

dll), Biaya penyimpanan dan pengarsipan dokumen perpajakan yang harus

disimpan dalam kurun waktu 10 tahun (menurut ketentuan perpajakan),

serta biaya konsultasi pajak dengan akuntan atau konsultan pajak (tax

agents).

2. Opportunity Cash of Time adalah kerugian yang diderita wajib pajak

akibat penghasilan harian atau outputnya berkurang selama melakukan

kewajiban perpajakan. Biaya ini merupakan ekuivalen rupiah dari waktu

yang dihabiskan wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban

perpajakan. Opportunity Cost Of Time diantaranya adalah : Waktu yang

terpakai untuk mempelajari ketentuan perpajakan, Waktu untuk

melakukan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), Waktu perjalanan untuk

menyetorkan pajak, Waktu perjalanan untuk melaporkan pajak, Waktu

untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak, Waktu untuk

pengadministrasian dokumen pajaknya.

3. Psychological cost adalah rasa stress ndan berbagai rasa takut atau cemas

karena melakukan tax evasion. Psychological cost meliputi

ketidakpuasaan rasa frustasi, serta keresahan wajib pajak dalam

berinteraksi dengan sistem dan otoritas pajak.

Safri Nurmanto (2003:48), menjelaskan bahwa salah satu faktor yang

menentukan tinggi dan rendahnya kepatuhan wajib pajak dalam rangka

melakukan pemenuhan kewajiban pajak dalam sistem self assessment adalah


34

jumah biaya biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak. Lebih tingginya

Tax Compliance Costs, maka tingkat keyakinan dan kepuasan dalam pembayaran

juga meningkat, sehingga terhindar dari dampak sanksi yang berlaku sebab telah

memenuhi kepatuhan perpajakan dengan baik tanpa tindakan tindakan yang

mengarah pada penggelapan pajak ( Tax Evasion ). Pada penelitian ini indikator

untuk mengukur tax compliance costs adalah actual cash outlay (Pengeluaran

uang tunai) dan opportunity costs of time (waktu yang terpakai). Psychological

cost tidak digunakan sebagai indikator karena memiliki sifat berbanding terbalik

dengan actual cash outlay dan opportunity cost of time (Arrabella dan Yenni :

2012).

Sarana, prasarana yang baik dan sistem informasi baru yang disediakan

oleh organisasi publik, seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam melayani

wajib pajak disiapkan untuk meningkatan kualitas pelayanan kepada wajib pajak.

Menurut Boediono (2003:60), pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada

orang lain dengan cara cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan

interpersonal agar tercipta kepuasaan dan keberhasilan. Sedangkan, kualitas

menurut J. Heizer dan B Render (2009:56) adalah persepsi dari konsumen karena

sifatnya yang tidak nyata serta produksi dan konsumsinya berjalan secara simultan

atau bersamaan. Jadi, kualitas pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah

segala bentuk aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh fiskus terhadap

pemenuhan kebutuhan wajib pajak dalam mengimbangi harapan wajib pajak.

Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para


35

wajib pajak atas pelayanan nyata yang mereka terima dengan pelayanan yang

sesungguhnya mereka harapkan.

Menurut Zeithaml, Parasurman dan Berry (1985:47) terdapat 5 dimensi

yang digunakan dalam menilai suatu kualitas pelayanan, yakni Wujud Fisik

(Tangible), Keandalan (Reliability), Daya Tanggap (Responsiveness), Jaminan

(Assurance), dan Empati (Emphaty). Pelayanan petugas pajak terhadap wajib

pajak cukup menentukan dalam pengambilan keputusan wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal tersebut disebabkan karena wajib pajak

telah berkontribusi besar kepada negara dengan membayar pajak. Ketika wajib

pajak merasa pelayanan yang diberikan kepadanya tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan, maka wajib pajak cenderung akan melakukan kecurangan, yaitu

penggelapan pajak (tax evasion), dan sebaliknya jika pelayanan yang diberikan

sudah baik dan sesuai dengan harapan wajib pajak, maka wajib pajak cenderung

patuh untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal tersebut sesuai dengan

penelitian Intan Yuningtyas (2013), bahwa seorang wajib pajak yang puas atas

pelayanan yang diberikan oleh fiskus cenderung akan melaksanakan kewajiban

perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku.

Seperti yang dipaparkan oleh Siti Kurnia Rahayu (2010:149) bahwa selain

fasktor psikologis wajib pajak kurang sadar terhadap kepatuhan pajak, salah satu

hal lain penyebab wajib pajak menghindar dari pajak adalah pelayanan fiskus

yang mengecewakan. Strategi pelayanan yang diterapkan untuk membentuk

persepsi masyarakat yang positif tentang pajak adalah yang berorientasi pada

kepuasan wajib pajak. Melalui kepuasaan wajib pajak atas pelayanan yang
36

diperolehnya, dapat mendorongnya membayar pajak sesuai ketentuan sehingga

menurunkan tingkat penggelapan pajak (tax evasion). Safri Nurmanto (2003:54)

menyatakan bahwa tahapan yang tidak solid dapat menimbulkan berbagai

penyimpangan seperti penggelapan pajak (tax evasion).

Seandainya kepatuhan masyarakat sudah baik, maka penerimaan pajak

akan optimal. Sebaliknya jika kepatuhan masih rendah dapat menimbulkan

penggelapan pajak (tax evasion). Penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha

yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari

atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak. Sejalan dengan definisi Tax

Evasion menurut M.Zain (2008:44) adalah manipulasi secara illegal atas

penghasilannya untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Tindakan

penggelapan pajak ini dapat dilihat dari indikator berikut :

1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan tidak benar.

3. Menyalahgunakan NPWP atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

4. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong.

5. Berusaha untuk menyuap fiskus (M. Zain, 2008:51).

Berdasarkan paparan kerangka pemikiran penulis di atas berdasarkan

fenomena, teori dan pendapat para ahli, dapat diindikasikan bahwa Biaya

Kepatuhan Perpajakan (Tax Compliance Costs) dan Kualitas Pelayanan

Perpajakan (Tax Services Quality), dapat mempengaruhi terjadinya tindakan


37

penggelapan pajak (Tax Evasion). Untuk lebih jelasnya, penulis menyimpulkan

fokus penelitian pada kerangka pemikiran yang akan menjadi variabel variable

yang akan diteliti sebagai berikut :

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

Variabel Independen 1 (X1)


Variabel Dependen (Y)
TAX COMPLIANCE COSTS
TAX EVASION
(BIAYA KEPATUHAN PAJAK)
(PENGGELAPAN PAJAK)
Pengeluaran Uang Tunai ( Actual
Cash Outlay) Tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan ( SPT )
Waktu yang Terpakai (Opportunity
Time Cost) Menyampaikan Surat
Pemberitahuan ( SPT dengan
( Sanford V. Berg : 2005 ) tidak benar )

Menyalahgunakan NPWP atau


Variabel Independen 2 (X2) pengukuhan Pengusaha Kena
TAX SERVICES QUALITY Pajak ( PKP ).

(KUALITAS PELAYANAN PAJAK) Tidak menyetorkan pajak yang


telah dipungut atau dipotong,
Wujud Fisik (Tangible) dan
Keandalan (Realibility) Berusaha untuk menyuap
Daya Tanggap (Responsiveness) fiskus

Jaminan (Assurance) ( M. Zain : 2008 )

Empati (Emphaty)

( Zeithaml, Parasurman dan Berry : 1985 )


38

2.2.2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Hipotesis 1 : Tax Compliance Costs wajib pajak badan mempunyai pengaruh

terhadap Tindakan Tax Evasion.

Hipotesis 2 : Tax Services Quality mempunyai pengaruh terhadap Tindakan

Tax Evasion.

Hipotesis 3 : Tax Compliance Costs wajib pajak badan dan Tax Services

Quality mempunyai pengaruh terhadap Tindakan Tax Evasion.

Anda mungkin juga menyukai