Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

A. Epidemiologi Penyakit TB

Penyakit TBC adalah merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam infeksi
yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyakit TBC dapat
menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta
dimana saja. Di Indonesia khususnya, Penyakit ini terus berkembang setiap tahunnya dan
saat ini mencapai angka 250 juta kasus baru diantaranya 140.000 menyebabkan kematian.
Bahkan Indonesia menduduki negara terbesar ketiga didunia dalam masalah penyakit
TBC ini.
Tuberkulosis telah hadir pada manusia sejak jaman dahulu. Deteksi jelas awal
Mycobacterium tuberculosis adalah sisa-sisa bison tanggal 17.000 tahun sebelum
sekarang ini. Namun., Apakah berasal TBC pada sapi dan kemudian ditransfer ke
manusia, atau menyimpang dari satu nenek moyang, saat ini tidak jelas. Menunjukkan
sisa-sisa kerangka manusia prasejarah (4000 SM) telah TB, dan pembusukan TBC telah
ditemukan di punggung mumi Mesir 3000-2400 SM penyakit paru-paru adalah istilah
Yunani untuk konsumsi;. sekitar 460 SM, Hippocrates diidentifikasi penyakit paru-paru
sebagai penyakit yang paling luas kali melibatkan batuk darah dan demam, yang hampir
selalu fatal. Studi genetik menunjukkan bahwa TB hadir di The Amerika dari sekitar
tahun 100 Masehi.
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB
masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah
penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada
tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian besar dari
kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negara yang sedang
berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun.
Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-
kasus TB yang baru dan kematian yang muncul di Asia.
Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global ini disebabkan :

1. Kemiskinan pada berbagai penduduk


2. Meningkatnya penduduk dunia
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit TB
5. Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan

Berikut gambaran epidemiologi TB di dunia :

1. Diperkirakan telah menginfeksi 1/3 penduduk dunia


2. Tahun 1993 WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena pd sbagian
besar Negara di dunia, TB tidak terkendali (banyak yang tidak dapat disembuhkan
dan penularan terus menyebar luas)
3. Tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi 9 juta penderita baru TB denga
kematian berkisar 3 juta orang.
4. 95% kasus TB diperkirakan terdapat di negara berkembang
5. 75% kasus TB diperkirakan adalah populasi usia reproduktif (15-50 tahun)
6. Di negara2 berkembang kematian karena TB mencapai proporsi 25% dari seluruh
sebab kematian.
7. Kematian karena TB pada perempuan lebh banyak karena kematian karena masalah
kehamilan, persalinan dan nifas.

Berikut gambaran epidemiologi TB di Indonesia :

1. SKRT 1995, menunjukkan bahwa di Indonesia,TB merupakan penyebab kematian


nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dab penyakit saluran napas, atau nomor 1
untuk golongan penyakit infeksi
2. Tahun 1999, di Indonesia diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat
130 penderita baru TB paru BTA positif
3. Epidemiologi TB di Indonesia Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3
tertinggi di dunia setelah China dan India.
B. Etiologi Penyakit TB

Tuberkulosis (TB atau TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman TB sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan fungsi pada berbagai
organ tubuh, khususnya paru-paru. Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium
tuberculosis yang berbentuk batang, tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga
disebut Basil Tahan Asam (BTA).

TB yang menyerang jaringan parenchyma paru (tidak termasuk pleura) TB paru,


sedangkan yang menyerang organ lain TB ekstra paru. TB paru terdiri dari : TB paru
dengan hasil pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam) yang positif dan TB paru BTA
negatif.

TB ekstra (luar) paru terdiri dari :

1. TB ekstra paru ringan, spt: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif TB unilateral, TB


sendi. TB kelen jar adrenalin.
2. TB ekstra paru berat, spt: Meningitis TB, TB milier, pleuritis eksudatif TB dupleks,
perikarditis, peritonitis,TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan genital.

C. Agent, Host and Enviroment

Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat


dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan
(environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analis dan
pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidak
seimbangan antar ketiga komponen tersebut. Model ini lebih di kenal dengan model
triangle epidemiologi atau triad epidemilogi dan cocok untuk menerangkan penyebab
penyakit infeksi sebab peran agent (yakni mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari
lingkungan.

1. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda
yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia
merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis,kuman
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena TB paru
dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki aktivitas yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan terpapar lebih besar
pada laki-laki (dalam Sitepu, 2009).
b. Umur
Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif
yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010). Karena Pada usia produktif selalu
dibarengi dengan aktivitas yang meningkat sehingga banyak berinteraksi dengan
kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh terhadap resiko tertular penyakit TB paru.
c. Kondisi sosial ekonomi
WHO 2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang
kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (dalam Fatimah,2008).
Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi.
Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun
sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
d. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru
dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh
sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi bila
kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan
penyakit tuberkulosis paru (Fatimah, 2008).
e. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh
pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman
tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya
tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan protein serta
kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (dalam Sitepu,
2009).
f. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan
meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan
meningkat pula.
2. Agen
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent dapat
berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana sosial, yang
dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/esensial dalam
terjadinya penyakit (Soemirat, 2010).
Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah
kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi.
a. Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada
host. Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah.
b. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembangbiak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah.
c. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama
virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
3. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host (pejamu), baik benda
tidak hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang lain (Soemirat, 2010).
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003). Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara
fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
a. Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat baik
dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Peranan faktor
lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya
penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah
yang berhawa lembab di daerah endemis penyakit tuberkulosis. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan tempat percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman (Keman, 2005) .
b. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru.
Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat
kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan
oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya. Semakin
padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut
mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan
berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air
dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka
akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium
tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh
penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan luas
lantai rumah dengan jumlah penghuni, dengan ketentuan untuk daerah perkotaan 6 m
per orang daerah pedesaan 10 m per orang.
c. Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% 70 % dan suhu ruangan yang ideal
antara 18C 30C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas
akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat.
Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-
orang tertentu dapat menimbulkan alergi.
Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering
seingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang
meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-baktri termasuk
bakteri tuberkulosis (Keman, 2005).
Kelembaban di dalam rumah dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :

1) Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )


2) Merembes melalui dinding ( percolating damp )
3) Bocor melalui atap ( roof leaks )

Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau saluran air di
sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi dengan dinding harus
kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang cukup.

d. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga
sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi
syarat kesehatan adalah = 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah
yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang
bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan
cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam menjadi media
yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk
kuman tuberkulosis. Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan semakin
membahayakan kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi
pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia
organik atau anorganik.
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karenadi ventilasi selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah,
akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut
terhisap bersama udara pernafasan (Keman, 2005).
e. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk
membunuh bakteri. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit
tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam
rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca.
Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan
kuman.
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati bila
terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak dapat di
masuki sinar matahari maka penguninya mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-
7 kali dibandingkan dengan rumah yang dapat dimasuki sinar matahari.
f. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak
lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru,
melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan
kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan
debu yang berbahaya bagi penghuninya.
g. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta
melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan
(privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu,
pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut
yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak
mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan (Keman, 2005).
4. Hubungan Host, Agen, dan Environment
Dari keseluruhan unsur di atas, di mana hubungan interaksi antara satu dengan yang
lainnya akan menentukan proses dan arah dari proses kejadian penyakit, baik pada
perorangan, maupun dalam masyarakat. Dengan demikian maka terjadinya suatu
penyakit tidak hanya di tentukan oleh unsur penyebab semata, tetapi yang utama
adalah bagaimana rantai penyebab dan hubungan sebab akibat di pengaruhi oleh
berbagai faktor maupun unsur lainnya. Oleh karena itu, dalam setiap proses terjadinya
penyakit, selalu memikirkan adanya penyebab jamak (multiple causational). Hal ini
sangat mempengaruhi dalam menetapkan program pencegahan maupun
penanggulangan penyakit tertentu. Usaha tersebut akan memberikan hasil yang di
harapkan bila dalam perencanaannya memperhitungkan berbagai unsur di atas (Noor,
2008).

Keterangan :

A = Agen/penyebab penyakit,
H = Host/penjamu/populasi beresiko tinggi, dan
E = Environment/Lingkungan.

Keadaan pertama merupakan kondisi Sehat, keadaan seimbang H, A & E. Interaksi


antara ketiga unsur tersebut harus dipertahankan keadaan keseimbangannya. Apabila
terjadi gangguan keseimbangan antara ketiganya, akan menyebabkan timbulnya
penyakit tertentu. Pada keadaan normal, kondisi keseimbangan proses interaksi
tersebut dapat dipertahankan.

Dalam interaksinya, terdapat empat keadaan yang memungkinkan terjadinya keadaan


sakit, yaitu:

a. Keadaan ke-2
Sakit, karena adanya peningkatan A infeksius (contoh : peningkatan infeksius
bakteriMycobacterium tuberculosis). Kasus pada keadaan pertama merupakan adanya
pemberatan agen terhadap keseimbangan segitiga epidemiologi sehingga diartikan
sebagai agen/penyebab penyakit mendapat kemudahan menimbulkan penyakit pada
host.Mycobacterium Tuberkulosis dapat tahan hidup diudara kering maupun dalam
keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es. Ini dapat terjadi
apabila kuman berada dalam sifat dormant (tidur). Pada sifat dormant ini kuman
tuberkulosis suatu saat dimana keadaan memungkinkan untuk dia berkembang,
kuman ini dapat bangkit kembali. Infektifitas bakteri Mycobacterium
tuberculosis meningkat dan tingkat virulensi yang tinggi menyebabkan cepatnya
perkembangbiakan bakteri, sehingga apabila terinfeksi maka kemungkinan besar
sebagian besar masyarakat dapat tertular dan akan sakit, atau keseimbangan akan
terganggu.
b. Keadaan ke-3
Sakit, karena peningkatan susceptibility pada populasi (contoh : peningkatan
jumlah anak rentan TB karena tidak di imunisasi BCG). Pada kasus ini, host menjadi
pemberat dalam keseimbangan segitiga epidemiologi. Keadaan seperti ini
menyebabkan host menjadi lebih peka terhadap suatu penyakit. Misalnya apabila
jumlah penduduk menjadi muda atau atau proporsi jumlah penduduk balita bertambah
besar, maka sebagian besar populasi menjadi lebih peka terhadap penyakit TB, namun
apabila host tidak mendapat imunisasi BCG saat balita maka akan mudah terserang
penyakit TB anak maupun dewasa, dan mengakibatkan sakit atau keseimbangan
terganggu.
c. Keadaan ke-4
Sakit, karena perubahan E yang menguntungkan A (contoh : bencana tsunami). Pada
kasus ini terjadi pergeseran kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga
memudahkan agen memasuki tubuh host dan menimbulkan penyakit. Contohnya
ketika terjadi banjir di suatu wilayah yang menyebabkan air kotor yang mengandung
kuman penyakit (agen) berkontak dengan masyarakat, sehingga agen lebih mudah
memasuki mereka yang kebanjiran. Banjir tersebut menyebabkan lingkungan menjadi
tidak sehat dan kumuh sehingga menjadi tempat baik dalam menularkan penyakit
menular seperti penyakit tuberkulosis dan masuk dalam tubuh host kemudian
menyebabkan sakit atau keseimbangan terganggu.
d. Keadaan ke-5
Sakit, karena perubahan E yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh A (contoh
: polusi udara). Sama dengan keadaan ke-4, ketidak seimbangan terjadi karena
pergerseran kualitas lingkungan, hanya sekarang mengakibatkan host menjadi lebih
peka terhadap agen. Contohnya ketika terjadi pencemaran udara yang menyebabkan
saluran udara paru-paru populasi menyempit, namun akibatnya ialah paru-paru
kekurangan oksigen, dan menjadi lemah, dan ditambah dengan terpapar bakteri
tuberkulosis sehingga menyebabkan terjadinya sakit TB dan komplikasi-komplikasi
lainnya.

D. Riwayat Alamiah Penyakit TB

Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang


perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya
paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau
kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik. Tahapan
riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis adalah sebagai berikut.
1. Tahap Peka/ Rentan/ Pre pathogenesis
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar
tubuh manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu. Pada keadaan ini belum
ditemukan adanya tanda tanda penyakit dan daya tahan tubuh pejamu masih kuat
dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal, terutama
adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan kumuh.
Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor internal
dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan
dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan pengobatan dengan
immunosupresan.
2. Tahap Pra gejala/Masa Inkubasi/ Sub-Klinis
Pada tahap ini telah terjadi infeksi, tetapi belum menunjukkan gejala dan masih belum
terjadi gangguan fungsi organ. Pada penyakit Tuberkulosis paru sumber infeksi
adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak
yang rapat (misalnya dalam keluarga) pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB
dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk
(sekitar 3.000 droplet) dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan
cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran
diameter droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1 5 mikron. Pada umumnya
droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih
lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB
tersebut akan cepat mati. Pasien TB yang tidak diobati maka setelah 5 tahun akan:
50% meninggal, 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan
20% menjadi kasus kronik yang tetap menular (Nadia dan Donaldo, 2003).
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis, droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus,dan terus berjalan sehingga sampai
di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis paru berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan didalam paru, saluran limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek
primer adalah 4-6 minggu.
Infeksi TB dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculindari negatif
menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai
kuman persistent atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasinya yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan selama 6
bulan.
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
3. Tahap Klinis (stage of clinical disease)
Tahap klinis merupakan kondisi ketika telah terjadi perubahan fungsi organ yang
terkena dan menimbulkan gejala. Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala
umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran
secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang
sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental.
a. Gejala sistematik
Gejala ini mencakup :
1) Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberculosis yang masuk.
2) Badan terasa lemah
3) Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
b. Gejala respiratorik
Gejala ini mencakup :
1) Batuk/Batuk darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk
radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada peradangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. Batuk biasnya
terjadi lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang
bersifat mukoid atau purulen, batuk berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh
darah yang robek.
2) Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Rasa nyeri pada dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya
c. Gejala khusus:
1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,
pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah.

Gejala klinis pada penyakit Tuberculosis dibagi menjadi dua yaitu:

a. Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat), dimana gejala tersebut adalah
batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri pada bagian dada.
Gejala ini sangat bervariasi: tegantung dari berat atau tidaknya luas lesi yang
ditimbulkan oleh kuman tersebut. Gejala Sistemik, dapat berupa demam, keringat
malam, anoreksia, dan berat badan menurun.
b. Gejala tuberkulosis ekstra paru, misalnya pada lifadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran pada organ limfa, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sesuai dengan organ yang terserang (Herlina, 2007).
4. Tahap Penyakit Lanjut/ Ketidakmampuan.
Tahap Penyakit Lanjut/ Ketidakmampuan merupakan tahap saat akibat dari penyakit
mulai terlihat. Pasien yang menderita penyakit Tuberkulosis semakin bertambah parah
dan penderita tidak dapat melakukan pekerjaan sehinggamemerlukan perawatan (bad
rest).
5. Tahap Terminal (Akhir Penyakit)
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan penyakit
tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu : sembuh sempurna, sembuh dengan
cacad (fisik, fungsional, dan social), karier, penyakit berlangsung kronik, berakhir
dengan kematian. Menurut Depkes RI (2008), Riwayat alamiah penyakit
Tuberkulosis, apabila tidak mendapatkan pengobatan sama sekali, dalam kurun waktu
lima tahun adalah sebagai berikut:
a. Pasien 50 % meninggal
b. 25% akan sembuh dengan daya tahan tubuh yang tinggi
c. 25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (Herlina, 2007).
E. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit TB

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Environment
dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :

1. Pencegahan Primer
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif,
walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar
kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan
TBC yang meliputi :
a. Imunisasi aktif, melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin (BCG) secara nasional
dan internasional pada daerah dengan kejadian tinggi dan orang tua penderita atau
berisiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host
tambahan dan Environment
b. Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan
dan tetap harus dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak.
c. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan
diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental.
2. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama : Agent, Host dan Environment. Kontrol
pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi
spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak
langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat,
sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi
obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC,
dengan imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol
lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat
mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi
lingkungan memegang peranan terhadap epidemic TBC. Melalui usaha pembatasan
ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan
menghindari tekanan psikis.
3. Pencegahan Tersier
Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara
psikis, rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien,
kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya,
pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi
cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi.
Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi
perbedaan pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai berikut :
a. Perkembangan media.
b. Metode solusi problem keresistenan obat.
c. Perkembangan obat Bakterisidal baru.
d. Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
e. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel.
f. Studi lain yang intensif.
g. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer


dan OAT sekunder.

1. OAT Primer
Prognosis baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun. Nutrisi yang baik,
pengurangan konsumsi alkohol, dan kepatuhan pada terapi obat merupakan faktor-
faktor penting. Penyembuhan penyakit umumnya terjadi setelah pengobatan
selama 6 bulan. Pada awalnya sekurang-kurangnya digunakan tiga obat, untuk
mencegah perkembangan strain yang resisten. Regimen yang dianjurkan adalah
rifampisin, dan isoniazid selama 2 bulan, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 4
bulan. Tambahan piridoksin mencegah neuropati perifer akibat isoniazid. Fungsi
hati sebaiknya dipantau, karena rifampisin dan pirazinamid dapat menyebabkan
disfungsi hati. Jika dicurigai terjadi resistensi obat (rekurensi TB pada pasien yang
tidak patuh), maka regimen empat obat (tambahkan etambutol) dapat dimulai. Bila
ada hasil kultur, obat alternatif akan menggantikan obat yang tidak sensitif untuk
mikrobakterium. Etambutol (pantaulah penglihatan warna untuk neuritis optikus),
streptomisin (pantaulah kadar plasma untuk mneghindari gangguan pendengaran)
atau siprofloksasin dapat digunakan. Pada TB paru berat, kortikosteroid kadang-
kadang memperbaiki hasil.
Di beberapa organ (misalnya tulang), TB diobati lebih lama, sering dengan obat-
obat tambahan. Pada TB meningeal atau serebral, regimen empat obat selama 12
bulan dengan tambahan steroid dianjurkan, untuk memastikan penetrasi otak yang
adekuat dan mencegah kompresi nervus kranialis akibat pembentukan parut
meningeal.
Bila dengan OAT primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan
dengan paling sedikit 2-3 macam OAT sekunder yang belum resisten, sehingga
penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus. Strategi pengobatan yang
dianjurkan oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short course)
untuk penggunaan OAT primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT
sekunder.
2. OAT Sekunder
OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone,
fluorokinolon, aminoglikosida dan capreomycin, cycloserine, penghambat
betalaktam, clarithromycin, linezolid, thioacetazone, dan lain-lain.
a. Asam Para-Amino Salisilat (PAS)
Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang disunakan
bersama dengan isoniazid dan streptomycin; kemudian kedudukannya
digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek bakteriostatik terhadap
M.tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam
folat dari asam para-amino benzoate.
b. Thioacetazone
Secara in-viro dan in-vivo diperlihatkan mempunyai khasiat bakteriostatik
terhadap M. tuberculosis. Resistensi silang sering terlihat antara thioacetazone
dengan isoniazid dan ethioonamide. Karena kerap menimbulkan reaksi
hipersensitifitas berat (sindroma Steven-Johnson), thioacetazone tak
dianjurkan untuk digunakan pada penderita dengan HIV.
References :

Administrator. 2011. Tuberkulosis Paru. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2017. Dari :
http://epidemiologiunsri.blogspot.co.id/

Administrator. 2013. Epidemiologi Tb Paru. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2017.


Dari : http://nurulwandasari.weblog.esaunggul.ac.id/

Administrator. 2014. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis (TBC). Diakses pada


tanggal 5 Oktober 2017. Dari : https://kekeanisa20091995.wordpress.com/

Administrator. 2015. Kuliah Kesehatan Masyarakat. Diakses pada tanggal 5 Oktober


2017. Dari : http://hidayatpulunjan.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai